Gintama belongs to Hideaki Sorachi
Warning: Ini hanyalah sebuah fanfiction abal-abal.
A/N: Ingat, ini Gintama. Animenya aja bisa nyeleneh, apalagi fanfictnya!
Nikah_Yuk_Nikah
Mulanya Gintoki nggak kepikiran mau menghubungi Hijikata. Sudah malam, pastinya Hijikata butuh istirahat. Belum lagi ditambah setan-setan berkeliaran di tiap sudut jalan. Mending ngorok di rumah dah.
Tapi, apalah daya rindu sudah kadung merayap. Ganggu dikit boleh lah ya. Toh, cuma nanya kabar sang pujaan. Ga dibales juga gapapa, yang penting rindunya tersampaikan.
'Hiji...'
Gintoki mengetik pesan singkat itu lalu mengirimnya. Basa-basi dikit buat mastiin Hijikata sudah tidur atau masih gawe.
Drrt.. drrt..
Wah, langsung dibales, cuy!
'Kenapa, Gin?'
Gintoki mendadak buntu. Bales apa lagi, ya?
Ah elaaah, kayak ababil baru pedekate aja. Umur udah hampir kepala tiga, woy! Orang dewasa itu kudu terus terang!
"Apa ya.. mm... Hiji, lagi sibuk ga? Sorry ganggu malem-malem, cuma pengen nanya kabar. Oke, gitu aja deh."
Gintoki mengetik lagi kalimat pesan yang barusan dia pikirkan.
'Hiji, lagi sibuk ga? Gue kangen pengen ketemu. Lo ada di markas ga?'
Klik.
Your message is being delivered.
"AS*! GUE NGETIK APAAN INI?"
"Bang Gin, lo harusnya sadar, ketika hati berbicara, seluruh tubuh kecuali mulut tak mampu berbohong, termasuk jari-jari lo. Sabar ya, Bang."
Ehem. Yang barusan itu suara author dari langit-langit.
"DIEM LU, AUTHOR S**L*N! NGAPAIN LO NONGOL DI SAAT GENTING BEGINI?"
"HEH, GUE BANTUIN LO PEDEKATE, ABANG TOKOH UTAMA GA LAKU! LO MAU KAGAK KAWIN SEUMUR HIDUP? BISA LEMAH SYAHWAT LU NANTINYA!"
"TAPI GA GINI JUGA CARANYA, COEG! PELAN-PELAN KALO MAU NGAMBIL HATINYA! DAN APA MAKSUD LO LEMAH SYAHWAT, B*NGS*T!"
Hening sejenak. Suara author mendadak hilang.
"Bang, gue ini sayang banget sama lo.. Gue mau lo bahagia.. Gue kasih tau ya, cara lo pedekate tuh udah ketinggalan jaman, Bang. Di umur segitu, lo mestinya gercep. Gue ga bercanda soal lemah syahwat itu, lho. Lagian lo jatuh cinta sama dia udah dari lama, kenapa baru sekarang berani deketin?"
Gintoki sedikit tersentuh mendengar kalimat "sayang banget sama lo" dari si author gadungan. Biarpun omelannya pedes nyes, tapi sukses nancep di hatinya.
"Hah.. udahan napa ngomongin lemah syahwatnya. Oke, gue ngaku, gue lambat soal cinta-cintaan gini. Lo juga tahu sendiri kan, gue dulu berantem mulu tiap kali ketemu dia. Dari situ kadang-kadang timbul rasa kangen, tapi karena gue selalu dikelilingi cewek-cewek gue langsung lupa sama dia. Sekarang kangen bertubi-tubinya baru berasa.. Mungkin karena sekarang gue mulai kesepian..."
Hening lagi.
"Thor? Lo napa diem?"
"Abis buang tisu, Bang. Air terjun di mata gue ga mau berhenti."
"Elaaah, lebay lo. Udah sana balik. Kemunculan lo bikin sewot reader tau,"
"Whoaa, bener juga. Maafin saya ya, reader yang terhormat. Saya numpang lewat doang kok. Saya janji ga akan muncul lagi. Bye bye!"
Ga ada suara. Author beneran sudah pergi.
Gintoki mengecek kembali ponselnya. Ada balasan dari Hijikata.
'Um... gue juga...'
"Gue juga...?"
Gintoki lupa tadi dia mengetik apa. Riwayat pesannya di-scroll ke atas...
'Hiji, lagi sibuk ga? Gue kangen pengen ketemu. Lo ada di markas ga?'
'Um... gue juga...'
"..."
"DIA JUGA KANGEN GUE? SERIUSAN NIH?" Saking girangnya, Gintoki sampai melompat dari sofa. "Dooh, mata gue belom katarak, kan? Eh, tapi dia cuma bales gitu, ya? Ga ngasih tau ada di mana sekarang. Mm.. malu kali ye, gue ajak ketemuan. Hihi..."
Gintoki ga peduli lagi sama otak bloonnya yang mikir terlalu rumit. Dia ga tahan lagi harus menahan diri dari rindu. Dia akan mencoba menuruti nasihat author sableng yang hobi ngungkit-ngungkit umurnya.
Dengan jantung dag-dig-dug-duer-daia, Gintoki langsung menelepon si pujaan hati.
"Halo, Hiji, sorry ganggu malem-malem. Lo sibuk ya?... Ah, nggak kok, gue cuma.. um.. pengen tau kabar lo... Gue? Gue baek, kok... Iya... Eh? Sekarang?"
Jantung Gintoki rasanya pengen keluar aja dari dadanya. Hijikata mengundangnya datang malam ini!
Masa bodoh soal 'gue laki dia laki', atau 'udah malem, ga enak bertamu ke rumah orang', atau 'udah malem, banyak setan', atau 'bensin gue tinggal dikit, kalo mogok di jalan gimana?', atau begono begini lainnya.
Si pujaan udah notis perasaan, kurang apa lagi? Kesempatan belom tentu dateng dua kali, bro! Bisa aja gara-gara Gintoki ga sanggup memenuhi panggilannya, besoknya dia lari ke laki-laki lain, ye kan?
Nikah_Yuk_Nikah
Gintoki sampai di markas Shinsengumi. Dua bawahan Hijikata yang lagi jaga malam di depan gerbang langsung mempersilakan Gintoki masuk. Mungkin dikasih tahu sama Hijikata dia akan datang. Gintoki markirin vespanya di belakang gerbang, lalu berjalan ke arah belakang markas, kamar tidur Hijikata.
Tok. Tok. Tok.
"Hiji? Ini gue, Gintoki."
Hijikata muncul dari balik pintu geser. Malam ini dia mengenakan kimono tidur warna baby blue. Rambut hitamnya sedikit acak-acakan.
Jedag. Jedug. Jedag. Jedug.
"Amsyong. Lo cute banget dah ah!"
"Gin? Kok bengong? Masuk, di luar banyak nyamuk."
Gintoki seketika balik ke alam nyata. Untung belom sempet bengongin Hijikata yang ena-ena...
"Eh? Uh oh, iya..."
Gintoki pun masuk dan menutup pintu. Hijikata izin sebentar buat nyuguhin hidangan. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa teh hijau dan setoples kue kering.
"Beginian doang gapapa, kan? Soalnya persediaan cemilan lagi abis." tanya Hijikata sambil menuangkan teh hijau ke cangkir Gintoki.
"Woles lah, lo kayak sama siapa aja.." jawab Gintoki (sok) kalem.
"Dilayanin sama lo aja dah bikin gue bahagia, Hiji... Andaikan tiap hari kayak gini..."
Beberapa menit dilalui Gintoki dan Hijikata dengan keheningan. Absurd banget ga sih? Dua orang yang selalu adu otot tiap kali ketemu mendadak canggung ketika salah satunya bertamu.
"Duh, Gusti... Hiji napa dari tadi diem aja sih? Sariawan tenggorokan? Gondokan? Padahal di telepon tadi lancar-lancar aja nyerocosnya. Apa jangan-jangan dia keganggu sama kehadiran gue, ya? Mungkin aja dia ngizinin gue ke sini karena ga enak sama SMS gue tadi... Akh! Bego lo, Gin!"
"Hiji? Kok diem aja? Lo ngantuk ya? Gue balik aja deh," kata Gin dengan nada khawatir.
Hijikata terkesiap. "Eh, nggak kok, Gin. Sorry, gue lagi susah fokus akhir-akhir ini.." katanya disempilin curhat.
Melihat mata Hijikata yang tampak kosong, terbesit rasa penasaran di dada Gintoki. Kayaknya Hijikata memang lagi ada masalah deh. Ga biasanya dia segalau ini. Mau berangkat perang aja dia ga pernah galauin soal hidup atau mati.
"Gue ga akan maksa lo buat cerita, sih.. Toh, gue juga bukan orang yang jago ngasih solusi. Tapi, kalo lo emang lagi butuh didengerin, gue siap kok.." ucap Gintoki lembut, apa adanya.
Hijikata memandang jauh ke mata Gintoki. Dia pikir mungkin ada baiknya jika kali ini sedikit menurunkan gengsinya.
"Gue... dilamar sama Takasugi..."
Krik. Krik.
"APA?"
Sejujurnya, Gintoki ga terlalu kaget kalau hal seperti ini bakal terjadi. Takasugi sudah lama jatuh bangun mengejar-ngejar Hijikata, jauuuuuh sebelum Gintoki menyadari dia juga ada rasa. Waktu itu dia masih sibuk mengisi kenangan-kenangannya dengan saling adu otot. Kenangan ampas yang kini disesali Gintoki.
"Gue ga tau mesti kayak gimana, Gin.. Gue dulu membenci dia karena dia teroris. Terus entah hidayah dari mana, dia berhenti ngejar-ngejar gue. Dua tahun dia menghilang, gue pikir dia bakal kembali dengan bawa pasukan yang lebih besar. Tapi perkiraan gue salah..."
Gintoki diam. Kali ini dia ngerasain hawa-hawa ga enak mengalir ke seluruh penjuru kamar.
"Dia membuang semuanya... Dia membubarkan Kiheitai... Dia memulai hidup baru sebagai Takasugi Shinsuke, bukan Takasugi si teroris. Begonya gue, dulu gue pernah asal ngomong kalo dia mau tobat, mungkin gue akan mempertimbangkan perasaannya... Gue menyesal, Gin, gue menyesal!"
Darah di sekujur tubuh Gintoki seolah berhenti mengalir. Hijikata sampai bicara sejauh itu, berarti...
"Hiji... apa saat itu lo ada sedikit rasa sama Takasugi? Soalnya omongan lo itu seolah ngasih kesempatan buat dia..." tanya Gin hati-hati. Hijikata membalas ucapannya dengan gelengan kencang.
"Nggak, Gin, gue berani sumpah! Gue ga pernah ada rasa sama Takasugi, bahkan sampai detik ini. Gue ga nyangka dia bakal beneran tobat dan pas balik malah buru-buru ngelamar gue. Mendingan dia balik lagi jadi teroris, deh. Gue ga pusing mikirin hal-hal kayak gini.."
Sekelibat perasaan lega mengalir di dada Gintoki. Syukurlah, pujaan hatinya ini beneran ga ada rasa sama mantan teman seperguruannya itu. Gintoki menatap dalam mata Hijikata, ga ada kebohongan di sana.
Hijikata balas menatap Gintoki lembut. "Thanks ya, Gin, udah mau dengerin ocehan ga penting gue. Seriusan deh, ini lebih memusingkan daripada kisah gue dan Mitsuba dulu..." senyumnya miris. "Gue lembek banget ya soal cinta-cintaan, padahal kalo perang selalu jadi yang terdepan..."
Disenyumin begitu bikin Gintoki ga tahan untuk ga menyentuh sang pujaan. Dielusnya rambut halus Hijikata perlahan.
"Semua orang pasti begitu kok, kalo berurusan sama cinta.. Udahlah, ga usah terlalu dipikirin. Cinta kan ga bisa dipaksain, jadi ya, lo tinggal nolak dia secara baik-baik.." ucap Gintoki (sok) bijak.
"Iya, gue juga udah ngerencanain itu sebenernya. Tapi karena gue pendem sendiri, lama-lama gue jadi bebal dan baper berkepanjangan. Untung ada elo, Gin.." senyum Hijikata semakin lebar.
Blussshh!
"Bangke bener dah ni pipi.. Jangan panas di saat yang ga tepat, woy!"
Gintoki ketawa maksa buat nutupin gugupnya. "Biasa aja kali, hehe... Btw, Takasugi kan beneran tobat tuh. Lo ga terharu liat perubahannya? Ga kepikiran buat ngasih dia kesempatan?"
Jujur saja, Gintoki misuh-misuh dalam hati menanyakan ini. Apa boleh buat, kasus mengenai perasaan itu kan kudu diselidiki sampai ke akar-akarnya!
Dan sekali lagi Gintoki berpikir matanya mulai katarak. Seorang Hijikata yang terkenal seram... blushing?
"Nggak kepikiran sama sekali, soalnya gue..." Hijikata memelankan suaranya. "...su-suka sama orang lain..."
Gintoki mengorek telinganya, berharap upilnya ga menyumbat gendang telinga. Eh, bersih kok.
"Lo.. suka sama orang lain? Beneran?"
"Ini napa suara gue jadi ikutan mencicit gini, sih?"
Di luar dugaan, Hijikata mengangguk pelan.
JDEEEEERRR!
Terdengar suara petir yang sangat keras. Yap, petir itu menyambar hati Gintoki.
"Si-siapa...?"
Hijikata tersentak ditanya serius seperti itu. Seluruh wajah sampai telinganya memerah hebat. Sementara Gintoki harap-harap cemas, bersiap mendengar kemungkinan terburuk.
"I-itu.. lo ga perlu tau!" sergah Hijikata. "Udah ah, bahas beginiannya. Baper mulu ga baik buat jiwa, tau!"
Hijikata boleh saja mengelak, tapi dia ga bisa berbohong sepenuhnya di depan Gintoki. Keseringan melihatnya dalam kondisi emosional, Gintoki bisa membedakan mana Hijikata yang jujur dan berbohong.
Dan kali ini Hijikata sedang dalam kondisi keduanya.
"Maafin gue, Hiji. Gue ga boleh menyerah. Gue udah mati-matian buletin tekad buat ketemu dan ngomong langsung ke lo malam ini!"
"Hijikata.. sorry, gue masih mau bahas ini. Gue.. mau ngomong sesuatu sama lo..."
Alis Hijikata bertaut, pertanda dia ga setuju melanjutkan pembicaraan ini. Tapi pancaran mata serius Gintoki membuatnya lemah. Hijikata pun menghela napas, menyetujuinya.
"Gue mau bilang ini sejak lama.. sayangnya, timing-nya selalu ga tepat. Gue harap lo ga kaget mendengar ini..."
Bolehkah Gintoki berharap? Dia seperti mendengar detak jantung Hijikata berdentum keras. Ibarat kesetrum listrik, jantungnya juga ikut berdentum. Dentuman yang membuatnya stres. Dentuman yang seolah meraung-raung menunggu pernyataan.
"Tenanglah, wahai jantung yang gue cinta sampai mati seperti gue mencintai Hijikata sampai mati juga... Gue mau nyatain perasaan doang, ga sampe belah dada biar Hijikata mengerti... Akh! Pokoknya harus bisa! Masa' begini doang gue cemen!"
"Hijikata..."
"Gue suka sama lo.. Lo mau ga jadi pacar gue?"
"Gue suka sama lo.. Lo mau ga nikah sama gue?"
Uh oh. Kali ini malah mulut lo yang berkata jujur, Bang...
TBC
