[1]
LONGING
.
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Warning :
Typo(s), AU, Yaoi, DLDR, cover not mine, it's only fictitious
Cast(s):
Akashi Seijuurou
Mayuzumi Chihiro
Kuroko Tetsuya
.
.
Iris sewarna rubi indah itu menatap hamparan bunga di depannya, musim semi begitu penuh warna setelah musim dingin yang kelabu berakhir.
Kuncup sakura mulai bermekaran. Merah muda memberi rona pada langit biru. Angin yang berhembus membawa hawa sejuk, beraroma flora manis.
Namun di sini lain. Bukan bunga yang mekar di ranting langsing, yang pada saatnya nanti akan berguguran serupa hujan petal bernuansa merah muda.
Di sini, sepanjang mata memandang yang ada hamparan bunga nemophila yang cantik, berwarna biru muda atau dikenal dengan nama baby blue eyes.
Tumbuhan perdu yang tumbuh rapat dengan tinggi sama, serupa permadani bergelombang mengikuti tekstur tanah yang berbukit.
Bukit Hitachi, taman tepi laut di perfektur Ibaraki
Perjalanan lebih dari dua jam dari Tokyo seolah terbayarkan dengan panorama yang disajikan.
Ia berdiri di teras sebuah restoran. Memenuhi undangan rekanan bisnis yang akan membicarakan proyek pembangunan tempat liburan keluarga. Waktu pertemuan masih setengah jam lagi, pria itu sengaja datang lebih awal.
Rasa tentram memenuhi relung hatinya. Warna biru muda yang membawanya pada kedamaian.
"Seandainya saja kau ada di sini, Tetsuya," bisiknya lirih. Angin meniup bunga-bunga, menggoyangkannya ke arah yang sama, seakan menyisir surai biru langit milik seseorang. Dalam benaknya ia membayangkan sosok beriris biru langit, yang pergi mengejar mimpinya setahun yang lalu.
.
"Akashi-kun besok aku akan ke Amsterdam," serupa kata perpisahan. Seketika itu ia merasa hidungnya mampet, oksigen seolah enggan masuk ke saluran nafasnya, darah dalam pembuluh kapilernya seakan mogok beroperasi.
"Akashi-kun..." tangan kecil itu mengibas-ngibas di depan wajahnya, membantu menyadarkan dari jeda sesaat.
"Tetsuya..." wajah cantik itu meneleng, sementara kedua mata lebarnya seolah bolak balik menatap kedua mata rubi, kiri-kanan, kiri-kanan.
"Kenapa tiba-tiba sekali?" setelah ia meraup udara mengisi dua kantong paru-paru yang serasa mengkerut.
"Aku sudah mengatakannya berulang kali, tapi kau tidak mau mendengar," mata itu masih saja menatapnya dengan cara yang sama.
Ia tidak rela, sungguh. Bagaimana kalau di Belanda nanti ada orang yang suka pada Tetsuya, bagaimana kalau ada yang jatuh cinta terus terobsesi, terus memaksakan cintanya, terus Tetsuya menerimanya, atau bagaimana kalau ada orang yang menjahati, Tetsuya itu lemah! Pikirannya berputar serupa gasing yang tidak bisa berhenti.
Ia mencoba berspekulasi.
"Tetsuya, kalau kau tetap mau pergi, pergi saja, kita akhiri semuanya!" suaranya berat. Ia yakin Kuroko akan merajuk, lalu membatalkan kepergiannya.
"Baiklah Akashi-kun kalau itu yang kau mau." Mata rubi membola, orang yang dicintainya tidak mempertahankannya!
.
Di tangannya sebuah gawai aktif merekam hamparan bunga berwarna biru. Sungguh ia rindu pada mantan tak resminya di Belanda sana.
Jarinya menggeser fitur galery, wajah yang membayangi setiap saat tampak tengah tersenyum.
"Kenapa tidak kau telepon saja?" sebuah suara terdengar dari arah samping, luput dari perhatiannya, karena matanya hanya tertuju pada sosok yang bersinar dari layar lima inci lebih.
"Maaf, Mayuzumi-san?" suaranya terdengar datar. Ada kekehan pelan.
"Kalian sama saja," Mata kelabu Mayuzumi Chihiro menyapu lautan nemophila. Ia mundur beberapa langkah lalu membidik sosok rekan bisnis dari samping yang tengah memandang permadani biru langit.
"Kau merindukannya, bukan?" ucapnya ringan.
"Mayuzumi-san kita akan membahas bisnis bukan perasaanku," berusaha untuk tidak kesal saat teritori privat diusik. Kekehan kembali terdengar.
"Dia juga merindukanmu," gawai beresolusi dua jempol itu disodorkan. Sosok Kuroko Tetsuya tengah memandang lautan tulip berwarna merah.
"Ia sering sekali berdiri berlama-lama, menatap hamparan merah itu. Tapi selalu menolak tiap kali aku menyuruhnya menghubungimu," gelengan kecil, membuat surai abu-abu bergoyang.
"Jadi siapa duluan yang akan menelpon?" mata kelabu bersinar jenaka. "Aku harap CEO Akashi Corp dapat meluangkan sedikit waktu berharganya untuk menghubungi adikku yang sedang rindu," gawai kembali ditarik, dilesakkan ke dalam saku pantalon.
Akashi tersenyum, melirik jam yang melingkar di tangannya. "Di sana masih jam 2 malam, aku yakin dia masih terlelap, kakak ipar," ucapnya ringan.
"Hei! Kau lupa, kau bukan apa-apanya Tetsuya, sudah berani menganggapku iparmu. Aah sudahlah ayo kita mulai saja meetingnya!" pria tinggi itu berlalu memasuki restoran yang mejanya sudah ia pesan.
Keduanya tersenyum, yang satu geli, yang satu lagi penuh harap.
.
.
peun
.
.
