Naruto © Masashi Kishimoto

Favorite Things by Mongto

.

.

.

Bukan Sakura Haruno namanya jika tidak bisa menjalani segalanya, secara mandiri. Beberapa hari lalu ia mengajukan lamaran pekerjaan di salah satu perusahaan arsitektur ternama di Hi, kemudian langsung mendapat wawancara yang bahkan belum dipikirkannya, dan entah apa yang terjadi ia diterima bekerja di sana.

Sakura tentu ingat betul saat Mebuki, ibunya, langsung menjerit senang dan berhambur memeluknya. Meski saat itu ayahnya tampak tak begitu suka, tapi beliau tetap memberikan selamat pada Sakura, hingga di sinilah Sakura berada.

Dalam perjalanan dengan seorang wanita cantik berambut pirang di depannya. Dan tepat sekali, Sakura sedang berada di USA, Uchiha Sasuke Architecture, perusahaan arsitektur yang mampu membesarkan nama Konoha, dan sebutir upil seperti Sakura telah menjadi keluarga besar perusahaan bergengsi ini. Rasanya Sakura ingin meledak sekarang juga.

"Haruno, di sini ruangan Bapak."

Tak terasa, mereka telah sampai. Di depannya, ada sebuah ruangan yang berdindingkan kaca dengan tirai yang membingkai sisinya dan jika Sakura memincingkan matanya, maka ia bisa melihat seorang pria dengan setelan rapi tengah duduk di meja kerjanya dengan melakukan sesuatu yang tampaknya begitu penting. Dan tak bisa diganggu gugat, sepertinya.

Wanita pirang yang tadi mengaku sebagai sekretaris dari pemilik USA itu mengetuk perlahan pintu kaca di depannya, tanpa menunggu jawaban dari dalam, ia masuk dan meminta Sakura untuk menunggu sebentar selagi ia membicarakan sesuatu yang Sakura yakini untuk meminta waktu sebentar kepada pria itu.

"Kau sudah bisa masuk, Haruno."

Tak butuh berlama-lama dengan jantungnya yang mulai melompat-lompat, Sakura tersenyum kepada Ino, wanita tadi, dan masuk. Yang pertama kali mengalihkan atensi Sakura adalah aroma ruangan milik bosnya ini. Aroma pinus yang begitu menyegarkan, juga tatanan ruangan yang menurut Sakura begitu fantastis dengan gaya elegan khas pria kaya hidung belang.

Ups.

"Duduklah.. em.." suara bass pria di meja kerja itu mengudara, tangannya membolak-balik berkas kuning di atas meja dengan mata beririskan hitamnya meneliti tulisan dengan size 12 itu. "Sakura.. Haruno?"

"Ya, terima kasih."

Satu hal yang Sakura benci dari dirinya, ia selalu gagal untuk menyembunyikan kegugupannya.

Beberapa menit digunakan pria itu untuk membaca berkas-berkas yang sangat Sakura hapal jika itu adalah miliknya, sedangkan Sakura sendiri sibuk menyembunyikan keringat kegugupan dengan melirik setiap penjuru ruangan yang sebenarnya tak dipenuhi dengan perabot ala-ala ruangan direktur seperti di film.

Hanya meja kerja lengkap dengan dua kursi di seberangnya, lemari dengan laci, lukisan pegunungan dengan bingkai berwarna hitam—yang begitu kontras dengan cat ruangan, lampu kerja, dan sebuah sofa malas yang berada di sudut ruangan. Oh, jangan lupakan juga soal jendela besar yang langsung mempertontonkan pemandangan Konoha.

Jemari-jemari lembab Sakura meremas rok span hitamnya tanpa meninggalkan garis kusut yang akan merusak penampilannya di hari pertama. Iris emeraldnya melirik ke sudut meja, tepatnya pada sebuah papan kayu dengan ukiran kaligrafi modern bertuliskan Sasuke Uchiha, nama pria itu, bosnya.

"Nah, Sakura—boleh aku memanggilmu begitu?" Sasuke menutup berkas dan menatap lurus mata Sakura yang jelas saja masih menunjukkan kegugupan yang meletup-letup, dan gadis merah jambu itu mengangguk gugup. "Apa yang membuatmu tertarik untuk bekerja di sini?"

Bagus, Sasuke tak akan mengalihkan tatapannya dari Sakura, Sakura tahu itu. "Apa ini tes?"

"Tidak. Hanya pertanyaan pribadi dari seorang atasan terhadap.. pegawai barunya," jawab Sasuke cepat dengan wajah santai dan nada datar. Dan jangan lupakan matanya yang sepertinya memang telah terpaku pada wajah Sakura.

Sakura meringis sebelum ia bisa menemukan jawaban briliant dari pertanyaan—yang mungkin—jebakan itu. Haruskah Sakura menjawab jika ia bekerja di sini karena tak ada pilihan lain? Oh ayolah.. perusahaan arsitektur tak hanya USA di sini, banyak sekali jumlahnya meski perusahaan lain masih kalah tahta dengan USA.

Tap, tuk. Itu jadi membuatnya kepikiran, kenapa ia memilih USA? Apa hanya karena USA adalah perusahaan nomor satu di Hi? Tidak juga, USA adalah perusahaan arsitektur bergengsi dan masih kalah dengan NARC yang juga berada di Konoha.

Entahlah..

"Mungkin.. karena saya ingin?" Ups.

"Mungkin?" Alis tebal Sasuke naik tinggi-tinggi, wajahnya seperti meremehkan tapi terdapat senyum geli yang begitu tipis. Baiklah, Sakura tahu pria ini menyebalkan. "Bagaimana kau bisa bekerja jika menjawab pertanyaan sekecil ini saja kau masih memiliki keraguan?"

"Itu, Pak, saya.. Saya tidak bisa menjawabnya sekarang," bibir Sakura bercicit kecil, wajahnya sedikit memerah menahan malu. "Bisa diganti pertanyaannya?" Itu hanya permintaan yang sebenarnya bisa digunakan pada saat kuis dan bukan saat di hadapan BOSMU.

"Hn? Ah, baiklah, aku mengerti.." Sasuke telah mengalihkan tatapannya, menuju berkas yang dibukanya kembali dan membaca bagian yang tak dapat Sakura intip. Pria itu bergumam jelas, "Jika dihitung.. tahun ini usiamu baru akan memasuki 24, dan di usia semuda ini, kenapa tak kau nikmati saja dengan bersenang-senang?"

Sasuke melipat tangannya di atas meja dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Bukan 'kah bekerja itu membosankan? Apalagi bekerja di perusahaan yang jelas akan banyak menyita waktu bersantaimu."

"Sebenarnya saya sempat berpikir demikian.., tapi ada hal lain yang membuat saya sadar. Yaitu tujuan saya bersekolah hingga meraih gelar sarjana secepat ini, jika bukan untuk bekerja demi memulai hidup baru, lalu untuk apa lagi?" Kata-kata itu entah mengapa keluar begitu saja dari mulut Sakura, seolah-olah ia memang telah menunggu pertanyaan semacam ini, itu sedikit membuat Sakura kagum sendiri.

Sasuke mengangguk-angguk pelan, tampak sedikit puas. "Pemikiran yang cerdas. Aku menyukainya.."

.

.

.

"Selamat bekerja, Sakura."

Iris Sakura mengikuti langkah panjang dari stiletto yang dipakai Ino, wanita pirang itu memiliki postur tubuh selayaknya model dan lihat saja bokongnya saat berjalan, benda kenyal itu seperti ingin melompat keluar dari rok super ketat milik Ino. Juga dengan blazer ketat yang seolah-olah kancingnya tak lagi memiliki daya untuk saling mengait, membuat tonjolan dadanya sebagai penyebab kesempitan itu.

Ya Tuhan.. pantas saja ia menjadi sekretaris.

Gedung USA memiliki empat lantai. Lantai paling bawah terdapat kafeteria dan meja resepsionis, kemudian lantai berikutnya adalah tempat para pegawai, baik yang masih junior maupun senior juga ruangan milik direktur, dan lantai tiga sebagai ruang rapat, sisanya sebagai ruang tak berpenghuni yang biasanya menampung interior mewah. Ruang dengan kaca tebal sebagai pembatasnya itu biasanya digunakan beberapa pegawai kurang kerjaan untuk melihat pemandangan Konoha malam yang dihiasi lampu-lampu. Sangat cocok untuk menghilangkan stres dan Sasuke tak keberatan akan hal itu.

"Hey, kau pegawai baru ya?" suara seorang pria dari arah samping terdengar. "Aku Utakata."

Pria ramah itu mengulurkan tangannya ke arah Sakura, membuat Sakura menatap tangan besar pria itu dan membalasnya dengan ragu. "Sakura Haruno,"

Utakata tersenyum penuh arti selagi jabatan tangan mereka terlepas. Masih di posisi sama—duduk di atas kursi yang diputar sembilan puluh derajat ke arah meja Sakura—Utakata seolah menunggu agar Sakura segera duduk di atas kursinya sendiri. "Dua jam lagi makan siang, ingin makan siang bersama?"

Sakura mengernyit mendengarnya, tangannya berhenti sebentar dari kegiatannya menata mejanya yang hanya ditempati sebuah komputer berwarna putih. "Tidak, terima kasih."

"Oh astaga.., sebelumnya aku tak pernah ditolak oleh seorang gadis. Ini hanya makan siang biasa."

Baiklah, pria itu sangat berisik.

"Tapi tidak, terima kasih."

"Bukankah meny—"

"—terima kasih."

Setelah menekankan kalimat itu, Sakura segera menghela napas lega mengetahui tak lagi ada suara memaksa dari pria aneh itu. Jujur saja, Sakura tidak pernah dekat dengan seorang pria, sebelumnya. Mungkin paling dekat dengan teman satu kelas, dan interaksi yang terbuat hanya sekedar membicarakan persoalan kelas, bukan makan siang ataupun kencan.

Jadi jangan heran jika Sakura benar-benar tak pernah berpengalaman dengan masalah seperti itu.

"Baiklah.. tapi jika kau berubah pikiran, aku mau menemanimu."

Sakura menggelengkan kepalanya pelan, penuh maklum. Kemudian kembali memerhatikan meja putih yang saat ini telah menjadi meja kerjanya, dan itu di samping meja milik Utakata. Satu lantai ini dihuni dua puluh orang, dua puluh dua jika Sasuke dan Ino dihitung.

Meja pegawai dibuat saling berhadapan dan terdapat empat berbanjar. Tak ada sekat di antara banjar meja pegawai satu dengan lainnya, tapi diberi beberapa jarak antara setiap meja. Dan setiap meja telah dilengkapi perlengkapan seperti; komputer, lampu kerja, dan kotak untuk menyimpan kertas-kertas, sedangkan laci meja yang berada di atas CPU komputer biasa digunakan untuk menyimpan berkas penting yang dilengkapi dengan kuncinya.

Sakura sendiri jadi merasa risih jika melihat mejanya masih kosong. Tak ada yang bisa diperbuatnya. Namun pintu ruangan Sasuke yang tiba-tiba dibuka membuat Sakura mengalihkan perhatiannya dan menatap Sasuke yang tengah mengancing kancing jasnya dengan keren.

Tak lama setelah pria itu berjalan-jalan demi memantau kerja pegawainya, Ino datang dengan tumpukan berkas yang dipeluk sebelah tangannya dengan anggun. Wanita seksi itu menjelaskan sesuatu pada Sasuke yang didengar dengan serius oleh lawan bicaranya. Setelah itu Ino pergi ke ruangan Sasuke tanpa diikuti Sasuke sendiri.

Interaksi yang dilakukan kedua orang itu tampak biasa saja, Sakura perhatikan sejak tadi, mereka berdua seolah memang tak memiliki hubungan khusus di luar hubungan antara seorang direktur dengan sekretaris. Bukannya Sakura lancang, ia hanya penasaran dengan kedua orang itu. Sasuke memiliki fisik yang jelas tak bisa dikatakan buruk, kekayaannya pun pasti mampu untuk membeli banyak apartemen mewah, sedangkan Ino sendiri memiliki tubuh yang bisa membalikkan mata para pria—termasuk Sasuke.

Setahu Sakura, seorang pria akan sempurna jika telah memiliki harta, tahta, dan wanita. Dan pria seperti Sasuke jelas sangat terobsebsi dengan yang namanya kesempurnaan. Tapi..

"Sakura?"

"Eh? Iya.., Pak Sasuke..?" entah sejak kapan makhluk itu ada di samping meja Sakura. "Ada yang bisa saya bantu?"

Sasuke mengangkat kedua alisnya bersamaan, tampak sedikit terkejut akan sesuatu yang tak Sakura ketahui. Pria itu mengangkat tangan dan menyembunyikannya di balik kantong celana hitamnya. Ia bergumam, "Aku sudah menyiapkan pekerjaan untukmu. Setelah makan siang, datanglah ke ruang rapat."

"B-baik."

.

.

.

Sakura bisa gila di hari pertamanya bekerja dan di pekerjaan pertamanya. Ia tak pernah tahu jika akan mendapat pekerjaan bersamaan dengan dua orang senior yang tampak sama galaknya dengan Sasuke. Tapi itu lebih baik, setidaknya sampai pada akhirnya tatapan Sasuke tak lagi terpaku pada wajahnya.

Entah mengapa, sepanjang rapat membosankan yang isinya hanya protesan dari seorang pegawai yang Sakura maksud tadi, kedua iris hitam pekat milik Sasuke tak pernah berpaling darinya. Mungkin beberapa detik, saat dirinya menjelaskan sesuatu, dan akan kembali menghantui wajah Sakura yang memerah.

Oh.., siapa gerangan yang tak akan malu jika ditatap setajam pisau daging impor yang baru saja dibeli oleh pria seperti Sasuke? Sakura tidak termasuk ke dalamnya.

"Aku berharap bisa satu proyek denganmu, Sakura," suara Utakata membangunkan Sakura dari pikirannya, pria itu berbicara sambil terus mengetik laporan hasil kerjanya. Sebuah pulpen berwarna kuning terang bertengger di telinga kanannya.

Sakura meringis, "Aku tak ingin membayangkannya."

"Ha? Kau seperti merendahkanku," Utakata meliriknya sedetik. "Kujamin, kau akan ketagihan."

"Jangan terlalu berharap."

Utakata bergumam dengan suara dalamnya—suara menyebalkan yang mampu memporak-porandakan pukul tujuh milik Sakura. Setelah rapat dengan Sasuke untuk membahas pembagian proyek, ia harus menghandiri rapat nonformal bersama kedua rekan kerjanya yang benar-benar sangat kentara jika tak telalu menyukai Sakura.

Mereka bernama Samui dan Karui. Wanita yang sama-sama memiliki bentuk tubuh seperti Ino, dan memiliki kesombongan yang mampu menampar Sakura bagai badai. Sakura merasa menjadi yang paling kecil di antara kedua wanita itu.

Sebenarnya jam pulang sudah lewat dan para pegawai yang tidak dikejar deadline sudah meninggalkan kantor, tapi Sakura masih di sini, di meja kerjanya dengan beberapa berkas-berkas baru yang jumlahnya masih mudah untuk dihitung. Entah apa yang membuatnya betah untuk duduk di tempat membosankan ini, mungkin karena Utakata sudah pergi, pria itu berpamitan padanya untuk mendatangi rapat dengan klien yang tidak dipedulikan oleh Sakura.

Lantai pegawai sudah gelap, hanya beberapa lampu kerja yang masih menyala demi menerangi para pegawai yang terjebak di depan komputer, dan ruangan Sasuke yang masih terang—menandakan jika pemilik ruangannya masih ada di sana.

Sakura cukup tahu, untuk tidak perlu mengamati ruangan itu—setidaknya ia tak mau malu sendiri jika seandainya kerpegok sedang mengintip ke dalam ruang bosnya secara terang-terangan. Sungguh memalukan.

"Seingatku, pekerjaanmu tak harus dikirim malam ini, Sakura."

Suara itu. Sakura segera menegakkan tubuhnya, memutar kursi ke arah samping dan mendapati Sasuke tengah berdiri tegak di dekatnya dengan pakaian yang masih sama seperti beberapa jam lalu. Pria itu masih tampak serapi pukul tujuh pagi dan masih begitu harum untuk kalangan manusia dengan aktivitas padat.

Menakjubkan.

"Sebenarnya, iya. Saya hanya sedang menunggu jemputan. Bapak tahu sendiri, di zaman sekarang ini banyak sekali khasus pelecehan dan ya.."

"Aku mengerti kekhawatiranmu, Sakura," potong Sasuke dengan suaranya yang tenang. "Tapi cobalah untuk lebih berani. Aku yakin, mereka akan takut padamu."

Setelah itu, pria tampan itu pergi dengan anggukan berkharisma khas miliknya. Membiarkan Sakura mengutuk dirinya atas segala alasannya yang sengaja dibuat-buat. Sungguh, hanya kalimat itu yang terlintas di kepalanya, selain karena Sakura sendiri tak mau jika seandainya diberi pekerjaan tambahan karena ia mengaku sedang tak tahu harus melakukan apa.

Sakura melirik ruangan Sasuke, tampak pria itu sedang duduk di kursi kebesarannya dengan jas yang telah ditanggalkan. Dasi biru yang sedari tadi melingkari lehernya telah tertarik longgar, juga rambutnya yang tadinya tersisir rapi dan licin bak perosotan, telah berubah acak-acakan dengan poni seksi yang menutupi keningnya.

Padahal belum ada lima menit pria itu meninggalkan meja Sakura, tapi penampilannya sudah berubah drastis.

"Selamat malam, Ino."

Sebuah sapaan dari penjuru ruangan membuat Sakura mengalihkan perhatiannya. Ino tengah berjalan dengan anggunnya menuju ruangan Sasuke. Seperti biasanya, ia akan mengetuk beberapa kali pintu kaca itu, dan membukanya meski orang di dalam ruangan belum memberi jawaban apapun. Wanita itu sangat penuh dengan rasa percaya diri.

Rasa penasaran kembali melanda diri Sakura. Gadis merah muda itu mengintip secara terang-terangan kedua insan yang sedang berada dalam satu ruangan itu. Mereka tampak normal; berbicara seperti biasanya dan tak menunjukkan gelagat aneh seperti saling melancarkan flirting.

Mungkin hanya Sakura saja yang terlalu banyak menonton kisah cinta picisan seorang direktur dengan sekretarisnya, yang berawal dari benci hingga cinta, atau yang berawal dari hubungan tanpa status yang berubah menjadi hubungan berstatus yang juga diakui Tuhan, atau juga yang berawal dari kenormalan menuju keluarbiasaan. Entahlah.., Sakura harus menonton film action setelah ini.

Dari sana, Sasuke tiba-tiba berdiri sambil mengambil jasnya. Kemudian berjalan meninggalkan ruangannya dan juga Ino yang tampak terburu-buru secara tiba-tiba. Pria itu beberapa kali menjawab sapaan dari pegawainya yang sedang lembur, juga beberapa kali menyapa dengan singkat pegawainya yang sedang asyik di depan perkejaan mereka, termasuk menyapa Sakura.

Hingga sebelum pintu lift tertutup, Ino segera masuk ke sana dan berdiri di samping Sasuke yang langsung membuka obrolan hingga pintu lift tertutup dengan perlahan.

Jadi, apa yang akan mereka lakukan berdua?

.

.

.

Semalam Sakura pulang pukul sembilan, dan ternyata Sasuke bersama Ino kembali ke kantor dengan beberapa berkas yang ada di pelukan Ino. Berkas yang cukup banyak dan mampu membuat wanita pirang itu kesulitan, sedangkan Sasuke sendiri tampak tak acuh dengan sekretarisnya yang mengekorinya seperti anak itik.

Mungkin memang mereka berdua tak memiliki hubungan lain selain hubungan kerja. Setidaknya tak sama seperti Sakura saat ini. Memiliki dua rekan kerja yang tampak ogah-ogahan untuk melakukan pekerjaan, dan mengisi diskusi mereka dengan gosip atau membayangkan tubuh Sasuke. Yep, mereka bekerja di USA karena menyukai tubuh seksi milik Sasuke.

"Kau tahu, Karui? Aku selalu terangsang hanya melihatnya saat membuka jas," ucap Samui sambil mengipasi lehernya menggunakan telapak tangannya. Wajahnya memerah.

Karui, wanita eksotis itu tersenyum geli. "Bentuk tubuhnya di balik kemeja ketatnya, pinggang yang tampak lentur, dan dada yang begitu bidang. Wajah tampan sebagai bonus. Astaga."

"Ya Tuhan, aku bisa gila!"

"Aku tak bisa membayangkan untuk melingkari kakiku di pinggangnya."

"Ya! Atau menggantungkan sebelah kakiku di salah satu pundaknya."

"OH! At—"

Suara Karui langsung terhenti ketika suara meja digebrak terdengar. Kedua wanita itu menatap Sakura yang sedang menampakkan wajah penuh kekesalan. Wajah gadis muda itu memerah karena marah dan juga tidak sengaja ikut membayangkan apa yang sedang heboh dibicarakan kedua wanita itu.

"Maaf, Karui, Samui. Kita di sini untuk mendiskusikan pekerjaan, bukan tubuh Pak Sasuke. Ini pekerjaan pertamaku dan aku sudah harus mendesain dua ruko bersama kalian berdua. Jadi aku benar-benar minta kerja samanya,"

Samui mengangkat telapak tangannya. "Kau ingin memberi kesan baik di awal, heh? Ingin mencari muka?"

"Samui..,"

Sakura mendesah, "Samui, kau salah paham. Aku hanya ingin pekerjaan ini tuntas di waktu yang telah ditentukan."

"Kalau memang begitu, maka kerjakan saja pekerjaan pertamamu sendiri. Kau tampak tak membutuhkan orang cerewet seperti kami." Samui tiba-tiba berdiri dari kursi restoran, tanpa menghabiskan makanannya, ia langsung beranjak meninggalkan meja mereka dengan dagu naik. "Ayo, Karui. Kau hanya akan mengganggu seseorang yang sedang bekerja."

Kedua emerald Sakura masih mengikuti kedua wanita itu yang benar-benar meninggalkannya sendirian di restoran. Matanya terasa panas, tenggorokannya tercekat menyakitkan. Tapi air matanya tak bisa keluar dan terjun di atas pipinya.

Bukan, kah yang seharusnya sakit hati dan marah-marah di sini adalah dirinya? Tapi kenapa malah Sakura yang ditinggalkan dengan setumpuk pekerjaan yang bahkan belum tuntas dua puluh persen.

Oh, Tuhan.. kenapa Sakura harus memakai cara menggebrak meja untuk menegur kedua wanita itu?

.

.

.

a/n : Yo!

Jadi setelah pertimbangan berat dan akhirnya diputuskan buat delete 'WORK', finally saya bisa memunculkan revisi dari ff itu. Dengan jalan cerita yang nyerempet sama dan judul beda :D

Yep, thanks guys so much for reading and waiting!

See ya later~

Mg_