Trouble

Naruto © Masashi Kishimoto

This fic © author

Oneshot, OOC (banget!), typo(s), gaje, abal, nggak menarik. Don't like don't read. Review please.

Bab 1

.

Dedicate for Kushina's birthday (and my birthday too! I got the same birthday with Bloody Habanerooo! Nggak nanya.)

.

Sudah pagi. Padahal gadis bersurai merah darah itu baru saja akan menutup jendelanya lagi. Niatnya untuk menghalangi sinar matahari yang menyebalkan itu terhenti saat kedua bola matanya yang lebar menangkap sesuatu yang asing di balkon seberang. Ya, balkon yang tepat berhadapan dengannya.

Ia melihat… seorang anak perempuan.

"Siapa itu?" itu gumaman pertamanya hari ini.

Gadis perempuan tepatnya. Seumuran dengannya, dan sedang menyirami bunga yang tumbuh di balkonnya tersebut. Tangannya sigap saat memegang ceret air, tapi juga lemah lembut. Wajahnya… cantik. Dengan kulit porselen dan rambut hitam panjang melewati bahu. Siapa ya? Apa mungkin tetangga baru?

Tapi sepertinya orang asing itu tidak akan cocok dengannya. Ewh, lihat saja cara berpakaiannya! Anak itu memakai rok! Sementara rok adalah pantangan yang harus dijauhi bagi Kushina—kecuali rok sekolah.

Kushina merenung sebentar, lalu akhirnya turun ke bawah menuruti kata hatinya.

Sebelumnya, Kushina menutup jendela itu, kemudian turun ke bawah. Setidaknya ia bisa bersyukur karena bukan bibi Chiyo yang biasanya berada di sana.

.

.

.

"Kau sudah siap?" Kushina berhenti sebentar dari acara menali tali sepatunya. Yang bicara tadi ibunya, yang sekarang sedang memegang panci panas dengan jampel.

"Yap." Kata gadis itu pendek. Dan melanjutkan lagi kegiatannya.

"Sudah kukatakan berkali-kali kapan kau akan melepas sepatu itu, Kushina?" Kushina berhenti lagi. Sudah berkali-kali ia mendengar ibunya berbicara begini. Rasanya sangat memuakkan di telinga.

"Kau selalu memakai kets itu. Bukannya sekolahmu mewajibkan memakai fantovel, heh?" tanya ibunya sekali lagi. Membuat Kushina tidak ingin berlalu dari tempatnya. Mematung, mendengus.

"…."

"Ayo sekarang sarapan. Sarapan itu penting lho. Mana Ayahmu? Tadi sudah kuingatkan dia agar sarapan dulu sebelum berangkat."

Jelas saja ibunya tidak mendengar perkataan Kushina, karena lirihan Kushina tidak lebih dari dengungan lebah. Dan sekarang, ia harus menerima kenyataan kalau dinasihati pagi-pagi itu tidak menyenangkan.

Kushina akhirnya bangkit. Ia duduk di salah satu kursi kemudian mengambil sumpit duluan. Niatnya, ia ingin berangkat sebelum ibunya kembali ke ruang makan. Karena jika itu terjadi, akan ada banyak kalimat yang harus ia dengar sebelum hari pertama masuk sekolah seusai liburan.

.

.

.

"Hoi Kushina!"

Sekelompok kurcaci-kucaci kecil sudah menunggu Kushina di bawah pohon di taman sekolah. Tujuan utama Kushina setelah berminggu-minggu tidak bertemu teman-temannya.

Di sana, terlihat Chouza Akimichi, yang memanggilnya tadi, tengah mengunyah sebungkus besar keripik kentang. Disebelahnya, ada Inoichi yang bersandar pada batang pohon. Sepertinya mereka memang sudah menunggu kedatangan gadis tomboy yang satu ini.

Sementara Kushina, yang sudah mencapai area kelas, harus rela mengorbankan piagam penghargaan setiap hari berturut-turut sebagai 'Pendatang Kelas Pertama' demi sahabat-sahabat terbaiknya. Juga terkonyolnya itu. Menyadur langkah tidak ikhlas.

"Shina, kau kenapa?" tanya Chouza. Wajahnya polosnya tertutup remah-remah keripik kentang. Wajahnya abstrak sekarang.

Kushina hanya mendengus kesal. "Kalian menyebalkan, ttebane." Dengusnya kemudian.

"Kau bilang apa Kushina?" Inoichi angkat bicara.

"A-ah. Tidak, aku tidak bilang apa-apa." Kushina menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.

"Mungkin dia rindu pada Namikaze itu," ujar salah seorang dari sana, lalu terkikik.

"Siapa yang bilang begitu!?" Tentu saja Kushina mendengarnya. Melotot marah, gadis itu menemukan biang keladinya.

"SHIKAKU! AWAS KAU!"

"Shina… Sudahlah." Inoichi menahan Kushina yang sudah menunjukkan bogemnya kepada Shikaku. Siap menerjang, untungnya ditahan.

Inoichi dibantu oleh Chouza sukses, Kushina kembali tenang. Gadis itu duduk di sebuah kursi kayu di bawah pohon. Walau keduanya tidak begitu yakin, mungkin saja Kushina masih menyimpan amarahnya itu. Dan suatu saat bisa melampiaskannya jika mereka tidak tahu.

"Shika, sebaiknya kau pergi saja sana." ujar Chouza. Niatnya, meminimalisir keributan yang bisa saja akan terjadi.

"Baiklah," Shikaku terkekeh pelan. "Aku memang akan menemui si pirang itu."

"Kau brengsek ttebane!"

TAK! Sebuah kerikil berhasil membentur kepala Shikaku yang akan berjalan menjauh. Dugaan kedua laki-laki—Chouza dan Inoichi—itu yang semula baik, kini presentasenya mendadak turun drastis ketika pemilik langkah berbalik dan mengaduh keras-keras.

"HEI! Kau pikir itu tidak sakit?!" omel Shikaku seraya mengelus-elus ubun-ubunnya.

"Kau pikir aku bodoh, hah?" jerit Kushina. Inoichi dan Chouza pasrah di tempat. "Aku tahu kau akan melaporkan hal aneh-aneh tentangku kepada si pirang itu, bukan? Aku sudah pernah mendengarnya ttebane! Jadi, jangan macam-macam."

Kushina berdiri. Ia tidak tahu jika hembusan angin akibat gerakannya itu berdampak buruk bagi kedua teman di sampingnya. Keduanya langsung terhempas sambil terduduk.

"Inoichi! Chouza! Kita pergi!" kata gadis merah itu tanpa melihat keadaan keduanya. "He? Mengapa kalian jadi duduk di bawah begitu? Ayo pergi!"

Dan saat itu, bel berbunyi nyaring.

.

.

.

Beberapa orang di Konoha High School yang tahu nama Kushina Uzumaki—sebatas tahu saja, belum tentu kenal—pasti sudah menduga Kushina bukan perempuan biasa. Pasti! Rambut merahnya, cara berjalannya, cara bicaranya. Kushina memang berbeda.

Kushina tidak suka perempuan, dan sangat menyebalkan begitu ia menyadari ia adalah seorang perempuan. Maksudnya, bukan perempuan seperti teman-temannya. Teman laki-lakinya bilang, perempuan itu lemah. Dipukul sedikit saja sudah menangis. Dan… tanpa aba-aba, Kushina segera mendatangi anak yang berkata begitu, dan menghajar hidungnya hingga mimisan. Anak laki-laki itu menangis, tapi Kushina seakan tidak peduli walaupun ia dipanggil ke kantor kepala sekolah saat itu juga.

Kushina tidak punya teman perempuan. Perempuan satu kelas menjauhinya. Entah karena takut, tidak suka, atau hanya tidak akrab dengan gadis cilik itu. Mereka lebih memilih perempuan lain dibanding Kushina karena Kushina tidak bisa diajak menggosip dan membicarakan kakak kelas yang populer-populer.

Intinya, Kushina tidak punya waktu luang seperti anak-anak perempuan lain.

"Jangan hiraukan, Shina. Mereka memang begitu." kata-kata Chouza memasuki telinga Kushina. Sedikit menenangkan hatinya.

Mereka—Kushina dan teman-temannya—baru saja akan keluar kelas ketika beberapa anak perempuan langsung berbisik-bisik sambil melihat Kushina. Lalu lewat begitu saja di depannya. Bahkan ada dua anak laki-laki kelas lain yang mengolok-oloknya di ujung sana, kemudian langsung berlari saat gadis bersurai merah itu mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi.

Untunglah Kushina masih jinak. Jika tidak, dua laki-laki itu sudah jadi dendeng besok.

"Mereka hanya iri denganmu." Tambah Fugaku. Laki-laki dengan wajah masam itu menoleh kepada Kushina dan memasang wajah percaya-saja-padaku walau dengan senyum sinis.

Kushina melangkah lagi. Teriakan 'Bloody Habanero' atau sejenisnya menggema di lorong-lorong, namun Kushina berusaha tidak peduli. Tujuannya kan ke lapangan basket, untuk apa menguras tenaga hanya untuk menghabisi sialan-sialan yang mengejeknya itu?

.

.

.

"Kudengar ada murid baru."

Kushina yang sedang membenarkan kaos kakinya seketika terhenti dan menatap yang sedang berbicara. Shikaku mendribel bola lalu memasukkannya ke ring dengan mulus.

"Yang benar?" Inoichi menimpali sambil mengambil bola yang menggelinding sebelum sampai ke pojok lapangan.

"Benar." Kata Shikaku. Untuk meyakinkan teman-temannya, ia sampai membuat tanda piece dengan dua jarinya.

Inoichi dan Chouza kini malah ikut nimbrung. Duduk di sebelah Kushina dengan tatapan siap menyimak. Sementara Fugaku duduk di bangku penonton. Menyimak juga, diam-diam.

"Eh? Kita jadi main basket atau tidak?"

Melihat teman-temannya malah duduk di sekeliling Shikaku, membuat semangatnya untuk main basket menghilang.

"Ceritakan saja tentang anak baru itu. Perempuan bukan?"

"Cantik tidak?"

Dalam hati, Kushina mendengus kesal. Mengapa teman-temannya menjadi begini? Tidak berdirinya Kushina bukan berarti permainan tidak dilanjutkan. Toh ia masih sedang membenarkan kaos kakinya. Tapi tetap saja memindah haluan teman-temannya ini sama saja dengan memindah sebuah jangkar besar. Kalau sudah menyantol soal perempuan sekali saja—kecuali Kushina tentunya—sulit sekali untuk dihentikan.

"Ayolah, jangan pelit!"

Permohonan-permohonan itu sudah tidak bisa dibendung lagi, dengan menguap lebar-lebar sebagai ritual pembukaan, keturunan Nara itu menyeringai. Membuka mulut malasnya. Hanya kali ini untuk menjawab rengekan teman-temannya.

"Dia… lumayan." Pembukaan yang sama sekali tidak bermutu. Ia mendribel bola sekali lagi untuk mengusir hawa sepi yang terlanjur hinggap. "Rambutnya hitam dan panjang. Kulitnya putih. Terakhir kali aku bertemu dia saat… di ruang tata usaha."

Semua yang ada di lapangan hanya bisa melongo. Masing-masing membayangkan bidadari cantik yang turun dari langit dan langsung ada di ruang TU. Dan tepat pada saat itu, si kepala nanas datang dan semuanya… runtuh. Hancur lebur.

"Kau tahu namanya?"

Sebuah suara berat akhirnya pecah. Seluruh yang duduk menoleh. Memperlihatkan wajah cengo kepada Fugaku Uchiha. Seorang Fugaku yang selalu tidak tertarik dengan semua pembicaraan kawan-kawannya. Seorang Fugaku yang kini mengajukan pertanyaan. Semua yang ada tersenyum-senyum.

Beberapa sudah memiliki dugaan kuat.

"Apa perlu kusebutkan? Pasti kau tidak akan tertarik." Shikaku sengaja menciptakan kesan cuek. Memancing manusia es batu itu. Apakah pancingannya ditangkap atau….

Yap! Fugaku melengos dan mendengus sekaligus.

"Lupakan." Ujarnya. Benteng Uchiha benar-benar kuat. Tapi, mudah ditebak.

"Apa dia seperti bidadari?" Chouza menyeletuk. Shikaku menahan tawa.

"Kau hyperball ttebane." Kushina menyodok lengan sahabat gempalnya dengan raut muka ceria.

"Yah. Apa kita akan tetap diam begini saja?" tanya Inoichi. Satu-satunya blonde di sana berdiri, setelahnya meregangkan otot.

"Tentu saja tidak! Kita bagi jadi dua tim, oke?" Kushina ikut bangkit. Ia lebih memilih menghapus bayang-bayang tentang anak baru itu dengan bermain basket daripada pikirannya dipenuhi wajah seorang wanita yang masih abstrak.

Padahal dalam hati, Kushina masih penasaran setengah mati. Yang lain akhirnya juga ikut berdiri. Fugaku juga, ia masih diliputi aura hitam dan nampaknya, ia masih menimbang-nimbang penawaran Kushina.

Ikuti sajalah, itu lebih baik daripada di bully habis-habisan, mungkin, pikirnya.

"Fugaku, kau mau ikut atau tidak?" suara Kushina yang bisa dibilang keras memecah di lapangan yang kosong. Terpaksa Fugaku mengangguk.

Rehat. Teman-temannya bermandi keringat. Skor 3 - 1 1antara timnya dengan Shikaku sangat sukses berkat Kushina di pihaknya. Kushina memang perempuan, dan tenaga perempuan yang sering diremehkan sekarang diputar-balikkan oleh Habanero Berdarah itu. Gengnya sudah tahu semangat Kushina tidak akan pernah redup.

Sebuah tepukan keras mendarat di bahunya. Sepertinya disengajakan agar ia tersedak minumannya sendiri. Umpatan kecil melayang dalam hati.

"Shikaku?"

Melihat orang yang duduk disampingnya tersenyum semanis mungkin, firasatnya berkata akan ada apa-apa.

"Tenang saja, pasti akan kukenalkan kau," kata Shikaku menunjuk hidungnya. "dengan dia."

Shikaku tersenyum jahil. "Tenang saja, pasti akan kukenalkan kau," Shikaku memberi jeda sejenak. "dengan dia." Dengan penekanan dalam kata 'dia'.

Melihat Fugaku semakin memerah, Shikaku tertawa keras-keras. Ketika ia membuka mata melihat si raven, ia semakin tertawa lebih keras lagi. Mengundang keingintahuan kawan-kawan lain yang semula tidak peduli.

Kushina dan Chouza memasang wajah super polos dan penasaran. Shikaku tidak peduli, tetap tertawa sementara Fugaku sudah mendidih.

"Kau…." Geram Fugaku.

Sekali sentakan, tawa itu berhenti dan orang yang tertawa terhempas ke belakang. Suara gedubrak menggema ke seluruh lapangan indoor.

Shikaku mengaduh kesakitan. Fugaku melengos dan keluar lapangan. Kushina dan Chouza terlihat sangat bodoh.

.

.

.

Langit memerah. Mikoto langsung keluar dari gerbang dengan langkah terburu begitu menyadari ia terlambat dua jam sejak jam kepulangannya. Sekolah sudah sepi dan ia belum begitu hafal daerah sekitar sini. Bagaimana jika ada orang yang jahat yang akan menyergapnya di tengah jalan? Bagaimana jika ia tersesat dan hampir malam? Kota Tokyo memang padat, tapi pengecualian untuk daerah sekolah rumah dan sekolahnya karena daerah ini adalah daerah paling tenang diantara yang lainnya. Jantung Mikoto berdegup kencang. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.

Salah satu penyebab keterlambatannya ini adalah pengurusan seragam dan lain-lain di ruang tata usaha. Ia anak baru. Dan menjadi anak baru adalah hal yang paling menyebalkan karena ia harus menunggu hingga semua buku-buku dan seragamnya siap kemudian baru boleh pulang agar besok ia bisa langsung memakai seragam barunya. Sebenarnya, ibunya berjanji akan datang ke sekolah dan membantunya, bagaimanapun ini juga kewajiban orang tua. Tapi ternyata, ibunya datang, tapi mendadak meninggalkannya karena ada telepon penting. Ibunya membawa sebagian buku dan seragamnya, lalu sisanya, ia yang akan membawa.

Mikoto menggerutu dengan cemas. Jalan dengan cepat Mikoto! Ayo! Daerah sekitarnya sudah cukup sepi meskipun suasananya nyaman dan tentram. Ia tidak mau ada orang yang tiba-tiba melompat dan menyergap di depannya. Pikirannya memang aneh-aneh sejak pindah dari rumah lamanya.

Dengan dua tangan memeluk tas berisi buku-buku, Mikoto terpaksa berjalan terseret. Ia mencoba menoleh ke kanan-kiri, mungkin tiba-tiba ada seorang yang mau membantunya membawa buku-buku tebal ini hingga ke rumahnya, dan tak akan ada momen-momen seperti sekarang ini. Pasti ia akan sangat berterima kasih pada orang itu.

Belum sempat khayalannya hilang, Mikoto mendengar suara lindasan roda yang menggeram melindas dedaunan kering, kemudian langsung saja menyerempet lengan kirinya. Membuat keseimbangannya hilang dan… kalian tahu kelanjutannya.

—BRUAK!

Buku-buku berhamburan, menyatu dengan daun-daun kering yang sekarang menutupi rok seragamnya. Mikoto mengaduh kesakitan sekaligus kesal, harapan-harapannya yang indah malah dikabulkan seratus delapan puluh derajat berbeda. Dan yang benar-benar—sangat menyebalkan, jam kepulangannya tentu akan molor sekali lagi.

Melihat sepeda gunung yang menabraknya berhenti, Mikoto memutuskan untuk membereskan buku-buku barunya itu segera. Belum tentu si pengendara mau meminta maaf dan membantunya, ia tak akan menunggu hingga gadis berambut merah itu berjalan ke sini.

"Sini biar kubantu."

Sini biar kubantu. Gadis raven itu menoleh ke atas. Mendapatkan mata seindah langit. Mata Kushina Uzumaki.

.

.

.

Etto, gomen ne, saya re-ulpload fic ini karena... ada typo yang entah kenapa nggak saya sadari (parah banget ya author ini *dijitak*) Jadi, mohon maaf yaaaaa. Sebelumnya, saya sempet dapet ide untuk menghapus fic ini, tapi saya urungin lagi.

Sekali lagi, gomeeeeeennn *bungkuk bungkuk*

AO.