Aku selalu mengawasimu. Selamanya…

Viola

A Vocaloid Fanfiction

Desclaimer : Yang penting Vocaloid bukan milik saya.

Rated : T

Genre : Mystery, Horror, Family, Romance, Friendship

Main Chara : Hatsune Miku, Shion Kaito, Shion Kaiko, Hatsune Mikuo, Megurine Luka

Warning : Awas typo, gak serem, mungkin rada gak nyambung.

Summary : Kesalahanmu di masa lalu akan berbalik menjadi senjata yang akan membunuhmu.

Setiap manusia adalah tempatnya kesalahan. Karena itu, tolong maklumi semua kekurangan yang ada di fic ini.

My first horror fic in Vocaloid fandom.

Hope you like it!

ooo

*Chapter 1 : Ramalan*

Aula gedung musik malam ini sangatlah gelap. Hanya sinar dari lampu panggung saja yang menjadi satu-satunya penerangan di aula ini. Malam ini sedang diadakan konser musik tahunan. Karena itu, suasana aula dibuat gelap agar atensi para penonton hanya tertuju pada pemusik yang membawakan lagu di atas panggung.

Di atas panggung tersebut, seorang wanita tengah berdiri sambil memainkan biola dengan anggunnya. Penampilannya malam ini sungguh cantik. Wanita itu mengenakan dress putih kehijauan yang panjang tanpa lengan bermoti mawar putih yang dilengkapi dengan sepatu higheels berwarna senada dengan hiasan dedaunan. Rambut hijau toska panjangnya disanggul rapi di belakang dan dihiasi dengan hiasan berbentuk bunga lily. Make-up yang ia sapukan diawajahnya terlihat natural dan sederhana, sehingga memberikan kesan segar pada setiap orang yang memandangnya. Hatsune—bukan—Shion Miku adalah nama wanita itu.

Di belakangnya, seorang pria tengah mengiringi permainan biolanya dengan permainan pianonya. Sama seperti Miku, pria ini terlihat sangat tampan dan keren malam ini. Ia mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam dan dilengkapi dengan celana hitam. Jangan lupakan dasi biru laut yang menghiasi kerahnya. Surai biru lautnya ia sisir rapi. Penampilan sederhana namun terlihat mewah dan elegan. Nama pria itu adalah Shion Kaito.

Keduanya memang pemusik yang hebat. Selain handal bermain musik, mereka berdua juga pandai membuat lagu. Seperti kali ini. Lagu yang mereka bawakan adalah lagu karangan mereka sendiri. Biasanya, mereka membuat lagu-lagu romantis bernada ceria. Namun, karena kali ini mereka membawakan lagu dengan biola yang dipadukan dengan piano, mereka mengubah genre lagu mereka. Mereka kini membawakan lagu bernada sedih. Lagu yang terdengar indah namun menyayat hati. Ekspresi serius dari kedua pemusik yang tengah beradu nada itu penuh dengan kesungguhan hati untuk menciptakan sebuah nada yang harmonis. Ekspresi mereka seakan-akan menunjukkan isi hati mereka terhadap lagu tersebut. Tanpa sadar, para penonton mulai terbawa susana.

Akhirnya, lagu tersebut sampai dipuncaknya. Lagu tersebut ditutup dengan permainan piano dari Kaito. Saking seriusnya menonton permainan mereka berdua, tidak ada satupun penonton yang sadar bahwa lagu tersebut telah berakhir. Sampai salah satu dari mereka berteriak.

"Eh?! Lagunya sudah selesai? Tidak kusangka."

Setelahnya, riuh tepuk tangan pun menggema memecah suasana di aula tersebut. Apalagi tepuk tangan dan teriakan dari seorang gadis bersurai biru pendek yang berusia sekitar 10 tahun yang duduk kursi penonton.

"Kyaaaa! Papa dan Mama keren!" jeritnya histeris. "Mikuo, Mikuo. Lihat! Papa dan Mama sangat keren bukan?"

Gadis itu terus menarik-narik lengan kemeja seorang bocah laki-laki bersurai toska—yang sepertinya lebih muda 2 tahun dari gadis itu—yang duduk di sampingnya. Sayangnya, si bocah laki-laki itu hanya diam. Ia tak merespon sama sekali apa yang dikatakan si gadis. Ia hanya menatap lurus panggung, menatap kedua orang tuanya yang tengah berjalan menuruni panggung. Si gadis pun cemberut karena diacuhkan si bocah.

ooo

"Bagaimana penampilan kami tadi? Apa kami terlihat keren?" tanya Miku meminta pendapat kedua anaknya. Kini, Miku bersama keluarganya, Kaito, Kaiko dan Mikuo tengah berada di mobil. Mereka dalam perjalanan pulang menuju rumah.

"Mama dan Papa keren banget! Ekspresi kalian itu benar-benar deh! Beda banget sama ekspresi kalian pas di rumah. Permainan biola sama piano-nya juga keren banget. Lagunya apalagi! Aku jadi pengen cepat-cepat dewasa supaya bisa cepat jadi seperti Papa dan Mama!" seru Kaiko. Sejak tadi, Kaiko saja yang terus berceloteh. Berbeda dengan Mikuo yang duduk manis diam dan hanya mendengarkan ocehan kakaknya.

"Kalau kamu ingin jadi seperti kami, kamu harus banyak berlatih dan berdoa. Dengan begitu, cita-cita kamu pasti tercapai," ujar Miku lembut. Kaiko menjawabnya dengan senyuman.

"Tentu saja! Selama ini, aku sudah berusaha keras kok! Aku berlatih piano tiap hari di sekolah dan di rumah bersama Papa. Mikuo juga seharusnya mulai berlatih biola bersama Mama. Nanti, kita berdua bisa jadi pemain piano dan biola yang hebat seperti Mama dan Papa. Bener kan, Mikuo?"

Sama seperti tadi, Mikuo tidak menggubris. Ia hanya diam. Bahkan tidak bergerak. Kaiko kembali cemberut. Ia ingin sekali saja mendnegar adiknya bersuara dan tidak mengacuhkannya. Namun, rasanya sangat mustahil.

Walaupun sedang kesal, Kaiko penasaran juga dengan adiknya karena sejak tadi, ia belum melihat pergerakan sedikitpun dari Mikuo. Kaiko pun memastikannya dengan mendekati wajah adiknya. Ternyata, Mikuo tertidur. Kaiko bisa mendengar dengkuran halus dari Mikuo.

"Mikuo, kamu tidur ya?" tanya Kaiko.

Kaito tersenyum melihat kedua anaknya lewat kaca spion yang ada di dalam mobilnya.

"Sepertinya dia lelah. Kita harus segera sampai rumah," gumam Kaito. Ia sedikit menambah kecepatan mobilnya. Sampai akhirnya, siluet seperti manusia tiba-tiba melesat di depan mobil Kaito. Kaito sontak terkejut dan membanting stirnya. Ia kehilangan keseimbangan mobilnya dan mobilnya melaju tanpa arah. Kaito berusaha menghentikan mobilnya dan mengembalikan keseimbangan mobilnya. Sayangnya tidak berhasil. Sampai akhirnya…

CKIIITT!

Mobil Kaito berhasil berhenti setelah di rem oleh Kaito. Hampir saja mobilnya menabrak pembatas jalanan yang langsung berarah ke jurang.

Keempatnya merasa shock akan apa yang baru saja terjadi pada mereka. Miku terlihat sangat kaget. Kaiko terlihat sangat ketakutan sementara Mikuo terbangun dari tidurnya. Ia terkejut dan tentu saja tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.

"T-tadi itu… apa?" ujar Kaito. Jujur, ia masih sangat shock. Tangannya masih memegang stir mobilnya dengan gemetar.

"Kaiko, Mikuo, kalian baik-baik saja kan?" tanya Miku memastikan kedua anaknya. Kaiko tidak menjawab. Ia masih bergetar ketakutan. Sementara Mikuo merespon dengan anggukan.

"Pa-papa… Ta-tadi i-itu… a-apa?" Kaiko berujar dengan mulut bergetar. Sepertinya, ia sangat shock. Miku berusaha menenangkan Kaiko, sementara Kaito membuka pintu mobilnya, hendak keluar.

"Sayang, kamu mau kemana?" tanya Miku.

"Aku keluar sebentar, ingin mengecek apa yang sebenarnya lewat di depan mobil kita tadi," jawab Kaito.

"Hati-hati."

Kaito mengangguk sambil tersenyum lembut. Kemudian, ia keluar dari mobil.

"Pa-papa…" Kaiko bergumam khawatir. Ia takut terjadi sesuatu pada Papanya. Tiba-tiba saja, ia merasa seseorang memegang tangannya. Kaiko menoleh dan mendapati Mikuo yang menggenggam tangannya sambil tersenyum tipis pada Kaiko. Sepertinya, ia ingin menenangkan Kaiko. Melihat senyum yang jarang sekali diberikan oleh Mikuo membuat Kaiko menatap bingung. Namun, rasa hangat yang memancar dari genggaman Mikuo dan senyumannya membuat Kaiko merasa lebih baik sekarang. Ia tersenyum lembut pada Mikuo.

"Terima kasih, Mikuo."

Tak lama kemudian, Kaito telah kembali ke mobil. Ekspresinya sudah terlihat tenang seperti tadi.

"Tidak ada apa-apa," ujarnya. Miku mengerut bingung.

"Lalu yang tadi itu?"

"Entahlah. Lupakan saja."

Kaito kembali menyalakan mesin mobilnya dan melanjutkan perjalan pulang mereka. Tanpa mereka sadari, sosok misterius tengah mengawasi mereka dari kejauhan.

"Aku menemukanmu, Miku…"

Sosok itupun menghilang dalam kegelapan.

ooo

Miku dan keluarganya telah sampai di rumah. Namun, mereka berempat kebingungan karena keadaan rumah yang gelap gulita.

"Apa sekarang sedang mati lampu?" tanya Miku.

"Tidak. Lampu tetangga sebelah menyala terang. Apa Taito lupa menyalakan lampu atau dia belum pulang sekolah?"

"Mana mungkin. Ini kan sudah jam 10 malam. Masa anak SMA seperti dia belum pulang jam segini?"

"Bisa saja kan dia pergi hang-out atau semacamnya dengan teman-temannya. Namanya juga anak muda."

Miku lalu mencari saklar untuk menghidupkan lampu. Namun setelah ketemu dan Miku sudah menekan saklar itu berkali-kali, lampunya tetap tidak menyala. Miku jadi tambah bingung.

"Apa listrik rumah kita rusak? Kenapa tidak menyala? Sayang, kamu tidak lupa bayar tagihan kan?"

"Tidak kok. Coba, biar kuperiksa." Kaito hendak melangkah keluar untuk memeriksa listrik rumah mereka. Namun, ia dihentikan oleh teriakan terkejut dari Miku.

"Sayang, ada apa?" tanya Kaito.

"A-ada yang memegang bahuku…" jawab Miku terbata. Miku menoleh perlahan, berharap yang memegangnya adalah makhluk nyata, bukan makhluk tak kasat mata yang sering muncul di adegan-adegan film horror. Yang Miku tau, sosk yang sedang berdiri dihadapannya ini punya tinggi yang lebih rendah dari tinggi badannya. Karena gelap, Miku jadi tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang tengah memegang bahunya saat ini.

"S-siapa kamu?"

Tiba-tiba semua lampu di rumah menyala terang. Miku terkejut. Kini, ia bisa menatap sosok yang berdiri di hadapannya sambil memegang bahunya. Sosok pemuda bersurai ungu yang memiliki paras mirip dengan Kaito. Hanya saja, ia lebih pendek dan lebih muda dari Kaito. Dia adalah Shion Taito, adik Kaito yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA.

Ditatap bingung oleh Miku, Taito pun menyeringai lebar.

"Hehe, kejutan!" teriaknya.

"Selamat ulang tahun, Miku!"

Setelah itu, tiba-tiba saja muncul orang-orang yang entah dari mana munculnya sambil menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun" dan bertepuk tangan untuk Miku. Mereka semua adalah teman-teman Miku. Ada Akita Neru, Kasane Teto, dan Furukawa Miki, tiga sejoli yang menjadi sahabat Miku semasa ia bersekolah di sekolah musik dulu. Lalu ada pasangan Kagamine, Len dan Rin yang juga mengajak anak kembar mereka, Rinto dan Lenka. Bukan hanya teman-teman Miku saja yang ada disana. Kakak ipar Miku, Shion Meiko dan Shion Akaito juga hadir bersama dua anak mereka, Lui dan Ring. Meiko mebawakan sebuah kue tart besar yang terlihat lezat. Entah sejak kapan, Kaito, Kaiko dan Miku sudah bergabung dengan mereka. Mereka ikut bernyanyi dan bertepuk tangan, minus Mikuo yang hanya diam. Ia hanya berpindah posisi saja.

Miku yang masih terkejut menutup mulutnya karena tidak percaya. Mukanya merah karena malu dan senang. Ia tidak percaya teman-temannya menyiapkan pesta kejutan untuknya sedangkan Miku sendiri lupa dengan hari ulang tahunnya.

"Ya ampun, kalian…" Miku berujar terharu.

"Miku, ayo tiup lilinnya dan ucapkan permohonanmu," ujar Meiko.

Miku mengangguk. Ia memejamkan matanya dan mulai berdoa. Merasa doanya sudah cukup, Miku meniup seluruh lilin. Tepuk tangan pun menggema.

"Aku tidak percaya kalian akan melakukan ini," ujar Miku.

"Tentu saja. Ini semua kan idenya Kaito. Dia bilang kamu terlalu sibuk sampai-sampai kamu lupa dengan hari ulang tahunmu sendiri," jawab Teto.

"Kamu ini bagaimana sih? Aku tau kamu sibuk sebagai dosen musik. Tapi, jangan terlalu berlebihan. Nanti kamu bisa stress lho," nasihat Neru.

"Iya, iya. Aku ngerti kok. Habisnya, akhir-akhir ini aku sibuk karena beberapa muridku akan mengadakan konser tunggal. Aku juga sibuk dengan beberapa konserku yang digelar dadakan. Ya, seperti malam ini contohnya. Aku saja sampai lupa kalau hari ini hari ulang tahunku. Tapi, terima kasih ya. Kalian semua telah mengingatkanku. Terima kasih banyak…"

Semuanya pun tersenyum lembut pada Miku.

"Tenang saja. Kami pasti akan melakukan apapun untuk Miku," ujar Miki. Miku kembali tersenyum.

"Sayang, selamat ulang tahun ya," Kaito membisikkannya dengan lembut seraya memeluk Miku dari belakang. Ia mengecup puncak kepala Miku, membuat beberapa teman Miku yang masih berstatus single iri dengan kemesraan mereka berdua. Miku sendiri sedikit salting karena diperlakukan seperti itu oleh Kaito di depan banyak orang.

"Kaito, malu ih. Banyak orang tau," cibir Miku.

"Kenapa? Aku kan suamimu," ujar Kaito.

"Tapi kan malu. Banyak anak-anak."

"Mama malu-malu," goda Kaiko.

"Ish, Kaiko!"

Akhirnya, Kaito pun melepaskan pelukannya dari Miku. Ia mengambil sesuatu yang ia simpan di saku celananya. Sebuah kotak kecil dengan hiasan pita mungil di atasnya. Kaito meneyrahkan kotak itu kepada Miku.

"Miku, ini untukmu."

Miku menerima kotak dari Kaito.

"Apa ini?"

"Bukalah."

Miku membuka kotak tersebut. Ternyata kotak tersebut berisi sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk salib.

"Kalungnya indah sekali!" puji Miku.

"Mau kupakaikan?"

Miku mengangguk. Kaito meraih kalung tersebut dan memakaikannya di leher Miku. Miku jadi terlihat tambah cantik dengan kalung yang menghiasi lehernya.

"Terima kasih, Kaito," ujar Miku sambil tersenyum bahagia.

"Apapun akan kuberikan untukmu. Bahkan seisi dunia pun akan kuberikan untukmu Miku," ujar Kaito gombal. Miku tertawa malu menanggapi Kaito.

"Hehe, gombal kamu."

"Hehehe, melihat kalian berdua membuatku gemas. Walaupun sudah menikah, kalian tetap masih malu-malu seperti saat pacaran dulu," ujar Neru.

"Iya. Iri deh lihat kalian. Aku kapan nikah ya? Kalau dulu aku lebih cepat dari Miku, aku pasti yang mendapatkan Kaito duluan," ujar Teto.

"Kau boleh mengambilnya setelah kau melangkahi mayatku dan anak-anakku!" Miku berujar sarkartis. Teto membalasnya dengan tawa renyah.

"Hahaha, aku bercanda Miku."

"Aku juga."

Sementara itu, Kaiko dan Mikuo pun mendekati Miku.

"Mama…" panggil Kaiko.

"Ini hadiah dari kami." Kaiko dan Miku sama-sama menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang. Miku menerimanya dan membuka isinya. Hadiah dari Kaiko adalah sebuah lukisan keluarga mereka. Ada Kaito, Miku, Kaiko, dan Mikuo di lukisan buatan Kaiko tersebut. Miku menatap takjub lukisan hasil karya Kaiko.

"Ini.. indah sekali, Kaiko-chan," ujar Miku.

"Terima kasih, Mama," balas Kaiko senang karena Miku menyukai lukisannya.

Sementara hadiah dari Mikuo adalah sebuah bingkai yang sepertinya buatan tangan yang berisi potongan foto-foto kecil keluarga mereka yang disatukan dalam satu bingkai. Mikuo menghias bingkai itu dengan sangat kreatif. Miku tidak percaya Mikuo-lah yang membuatnya.

"Ini… kamu yang buat Mikuo?" tanya Miku.

Mikuo mengangguk malu-malu.

"Ya, aku lihat Mikuo yang membuatnya. Aku juga sedikit membantunya," ujar Kaiko bangga.

"Ini… indah. Sangat indah. Terima kasih." Miku memeluk kedua anaknya. Ia sangat bangga dan senang memiliki anak seperti Kaiko dan Mikuo.

ooo

Pesta masih berjalan walaupun hari semakin malam. Para anak-anak masih asyik bermain dan belum mau pulang. Para pria juga masih asyik mengobrol. Miku juga masih senang berbincang-bincag dengan teman-teman lamanya.

"Sepertinya perkembangan Mikuo sudah lebih baik ya. Iya sudah mulai tersenyum, tidak seperti dulu," ujar Meiko pada Miku. Sejak tadi, Meiko terus memperhatikan Mikuo yang sedang memperhatikan Kaiko, Ring, dan Lenka yang sedang bermain ular tangga. Sesekali, Mikuo juga memperhatikan Rinto dan Lui yang bermain catur. Walaupun sudah diajak bermain bersama Kaiko, Mikuo tetap menolak untuk ikut bermain dan memilih untuk memperhatikan saja. Taito duduk di sebelah Mikuo untuk menjaganya.

"Iya. Sekarang, Mikuo sudah lebih banyak berekspresi. Hanya saja, dia masih belum mau bicara," jawab Miku.

"Mungkin, dia butuh teman," sambung Meiko. "Kenapa kamu tidak menyekolahkannya di sekolah khusus anak-anak seperti dia saja? Siapa tau dia mendapatkan teman disana," usul Meiko.

"Sudah kucoba. Tapi hasilnya nihil. Mikuo tetap jadi anak tanpa ekspresi saat aku menyekolahkannya di salah satu sekolah khusus. Disana, Mikuo sama sekali tidak mau bergaul dengan siapapun. Sampai suatu hari, Mikuo tidak mau datang ke sekolah itu lagi. Akhirnya, aku dan Kaito memutuskan untuk memberikan home schooling saja untuknya dengan mendatangkan guru khusus," jelas Miku.

"Begitu ya. Susah juga ya," gumam Meiko. "Aku akan coba mengajaknya bicara." Meiko lalu bangkit dari kursinya dan menghampiri Mikuo.

"Hei, Miku! Bagaimana pestanya?" Teto menghampiri Miku sambil membawa sirup jeruk yang ada ditangannya. Ia duduk di samping Miku, menggantikan Meiko yang tadinya duduk disana.

"Pestanya sangat menyenangkan. Sekali lagi terima kasih," ujar Miku.

"Tak perlu sungkan. Kami senang kalau kamu juga senang," jawab Teto. Miku tersenyum.

Keduanya pun terdiam sampai akhirnya Teto kembali membuka percakapan.

"Sudah lama kita tidak kumpul-kumpul begini ya? Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu sih."

"Maaf," Miku tersenyum bersalah.

"Haha, tak apa. Sayangnya, Luka sudah tidak ada ya. Kalau ada Luka disini, rasanya pasti tambah menyenangkan," ujar Teto. Miku tercengang mendengar nama salah satu sahabatnya disebutkan Teto. Entah kenapa, memori-memori yang telah terkubur dalam-dalam di kepala Miku kembali muncul satu persatu saat ia mendengar nama 'Luka'. Ya, Luka. Sosok sahabat yang begitu berarti bagi Miku. Sahabat yang dulu selalu melindunginya, selalu ada untuknya. Sahabat yang kini sudah tidak ada lagi di dunia ini. Mengingat sosok Luka yang telah tiada membuat Miku sedih. Apalagi, Miku sendiri menyaksikan kematian Luka.

Melihat ekspresi wajah Miku yang berubah menjadi sedih membuat Teto jadi merasa bersalah dan tidak enak.

"Maaf, Miku. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih karena membahas Luka," sesal Teto.

"Tak apa. Kamu tidak salah kok. Hanya saja, jika aku mengingat Luka, aku jadi merasa bersalah padanya. Aku tidak bisa menyelamatkannya," sesal Miku.

"Tidak Miku. Itu bukan salahmu. Semuanya adalah kecelakaan yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Luka mati saat itu karena takdirnya," sanggah Teto.

"Lagipula, Luka tidak akan marah padamu karena kamu tidak bisa menyelamatkannya. Luka itu sahabatmu. Dia tidak akan marah pada sahabatnya sendiri," Teto mencoba menghibur Miku. Miku membalasnya dengan senyuman.

"Ngomong-ngomong, kamu beruntung ya. Kamu punya keluarga yang harmonis. Anak-anakmu itu manis. Suamimu juga sangat perhatian. Adik iparmu juga sepertinya penurut dan penyayang ya. Aku jadi iri padamu deh. Kira-kira kapan aku nikah ya?," gumam Teto. Miku tertawa kecil mendengar gumaman Teto.

"Jangan nyerah, Teto. Mungkin, sekarang bukan saatnya jodohmu datang. Tapi, suatu saat nanti kamu pasti akan ketemu sama jodoh kamu," hibur Miku.

"Iya, aku tau," ujar Teto sambil memandang Kaito yang sedang mengobrol dengan Akaito dan Len.

"Kamu masih punya rasa sama Kaito?" tanya Miku menyelidiki. Teto yang ketahuan oleh Miku sedang mencuri pandang dengan Kaito langsung salah tingkah. Ia buru-buru menyanggah.

"T-tidak kok. Jangan cemburu, Miku! Aku cuma menatapnya saja."

"Hahaha, tidak kok. Aku tidak cemburu. Aku hanya memastikan saja," jawab Miku.

"Hehehe, begitu ya," ujar Teto sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal.

"Tenang saja. Aku sudah tidak punya perasaan untuknya lagi. Aku memandangnya sebagai sahabatku saja sekarang. Aku kangen saja dengan wajahnya. Sudah lama tidak melihatnya. Kaito yang dulunya kekanakkan dan bodoh kini telah jadi seorang ayah yang bijak ya?" ujar Teto.

"Hahaha, iya sih. Pikirannya sudah dewasa sekarang karena ia telah jadi seorang ayah. Tapi, sifat manjanya dan kecintaannya pada es krim masih belum hilang juga. Bahkan menurun sampai ke anakku, Kaiko," jawab Miku.

"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," gumam Teto. Miku tertawa renyah. Pandangannya lalu ia alihkan pada Miki dan Rin yang sedang sibuk dengan beberapa kartu di pojok ruangan sana. Miku mengernyit heran dengan apa yang sedang di lakukan oleh tiga temannya itu.

"Mereka sedang apa?" tanya Miku.

"Miki sedang meramal masa depan Rin dan Neru," jawab Teto.

"Eh? Sejak kapan Miki jadi peramal?"

"Tidak tau. Kamu mau coba lihat?"

"Boleh deh."

Miku dan Teto beranjak menghampiri Miki, Rin, dan Neru.

"Jadi, bagaimana Miki?" tanya Rin.

Miki menatap sebuah kartu tarot yang digenggamnya. Ia memasang wajah berpikir.

"Menurut kartu ini, sebentar lagi kamu akan dapat hadiah spesial dari orang yang kamu cintai," jawab Miki. Mata Rin berbinar mendengar jawaban Miki.

"Benarkah?! Kira-kira aku akan dapat apa ya dari Len?" tanya Rin.

"Aku tidak tau. Ramalan ini tidak sepenuhnya benar ya. Jadi jangan terlalu percaya."

"Miki, kamu serius bisa meramal?" tanya Miku.

"Aku tidak yakin, sih. Tapi, aku sedikit mengerti dengan ramalan kartu tarot. Tidak semua ramalanku terbukti benar sih," jelas Miki.

"Tapi, kebanyakan ramalan Miki terbukti benar. Waktu Miki meramalku jatuh dari tangga, esoknya aku benar-benar jatuh dari tangga di kantorku," ujar Teto.

"Hehehe, mungkin itu cuma kebetulan," jawab Miki.

"Miki meramalku akan nikah bulan depan. Semoga saja ramlannya benar," ujar Neru berharap.

"Iya, aku doakan semoga Neru cepat nikah," balas Rin.

"Miku, kamu mau coba?" tanya Miki yang sejak tadi diperhatikan oleh Miku dengan mata penasarannya. Miku menggangguk antusias.

"Ini hanyalah permainan ya. Jangan dianggap serius," ujar Miki. Miki mulai mengocok kartu-kartu tarot di tangannya. Kemudian, ia menyebarkannya di depan Miku dan menyuruh Miku memilih salah satu. Miku mengambil salah satu kartu tarot dan menyerahkannya kembali pada Miki. Miki menerima kartu tarot itu dan mulai membacanya. Ia memasang ekspresi serius saat membaca tarot itu. Seketika, ekspresinya berubah. Miki menatap Miku dengan tatapan yang sulit diartikan, membuat Miku keheranan karenanya.

"Menurut kartu ini, kamu akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagimu," ujar Miki. Miku sedikit terkejut mendengarnya.

"Maksud kamu?" Miki tidak langsung menjawab. Ia diam sebentar sebelum akhirnya membuka mulutnya.

"Apa kamu pernah membuat sebuah kesalahan sebelumnya?"

Miku tercengang mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Miki. Miku tiba-tiba teringat masa lalunya. Masa lalunya yang selalu membuatnya ketakutan dan merasa bersalah. Seketika wajah Miku berubah pucat pasi karena mengingatnya.

Melihat Miku yang sepertinya ketakutan membuat Miki merasa tidak enak. Ia buru-buru minta maaf pada Miku.

"Miku, jangan terlalu di pikirkan ya. Jika kamu tidak bisa menjawabnya, jangan dijawab. Ah, tidak. Lupakan saja ramalan yang ku katakan tadi. Ramalanku tidak sepenuhnya benar kok," ujar Miki.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa Miki. Aku hanya kaget saja mendengarnya."

"Maaf Miku.

"Tak apa."

"Miku, kamu tenang saja ya. Sesuatu yang berharga bagimu itu tidak akan pergi meninggalkanmu selama kamu bisa menjaganya dengan baik," hibur Rin.

"Iya, aku tau. Terima kasih."

ooo

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Pesta sudah selesai. Semua tamu telah pulang ke rumah mereka masing-masing. Sudah saatnya untuk beristirahat.

"Hoam… Untung saja besok hari minggu. Jadi bisa tidur sampai siang," ujar Taito. Ia menoleh ke arah Mikuo yang tertidur pulas di sofa dan Kaiko yang duduk di sebelah Miku sambil masih menyantap kuenya.

"Kaiko-chan kok belum tidur. Mikuo-kun saja sudah nyenyak banget tuh," ujar Taito.

"Nanti dulu, Kak Taito. Aku masih belum habisin kueku," jawab Kaiko.

"Malam-malam masih makan kue. Nanti kamu gendut lho. Nanti aku laporin Mama kamu ah," cibir Taito.

"Kak Taito berisik nih! Jangan dilaporin ke Mama! Nanti aku bisa diomelin," protes Kaiko.

"Kalau tidak mau dilaporin, kuenya buat Kak Taito ya," ujar Taito.

"Eh? Tapi…"

"Ya sudah. Kalau tidak mau kasih, Kakak laporin ya."

"Eh, Kak! Tunggu! Iya deh aku kasih." Akhirnya, Kaiko memberikan potongan kue terakhirnya pada Taito. Taito pun tersenyum penuh kemenangan.

"Nah, gitu dong. Itu baru namanya Kaiko-chan ku yang manis…" puji Taito sambil mengelus puncak kepala Kaiko dengan lembut. Setelahnya, ia langsung melahap potongan terakhir dari kue milik Kaiko.

"Nah, sekarang cepat taruh piringnya di dapur dan pergi tidur. Kalau belum tidur jam segini, kamu bisa diomelin Mama sama Papa kamu lho," ujar Taito.

"Iya, Kak Taito." Kaiko lalu beranjak dari sofa dan membawa piring kueny ke dapur. Saat di dapur, ia tidak sengaja berpapasan dengan Kaito yang sedang minum. Kaiko langsung terpaku karena takut diomeli Papa kesangannya itu.

"Lho kok Kaiko belum tidur?" tanya Kaito.

"I-iya, itu aku habis…" Kaiko bingung harus jawab apa. Kaito menatap piring kue ditangan Kaiko kemudian tersenyum maklum.

"Ya sudah, cepat taruh piringnya dan sikat gigi sana. Setelah itu langsung tidur ya," ujar Kaito lembut.

"Ok deh, Pa!" jawab Kaiko senang karena Papanya tidak memarahinya.

Kaito meninggalkan dapur dan menuju ruang tamu. Disana, ia melihat adiknya sedang berusaha membangunkan Mikuo.

"Mikuo tidak mau bangun ya?" tanya Kaito.

"Iya nih. Tidurnya pulas banget," jawab Taito.

"Ya sudah, biarkan saja. Nanti aku bawa dia ke kamarnya."

"Tidak usah, biar aku saja." Taito lalu menggendong Mikuo dan membawanya ke kamar. Kaito tersenyum meihat adiknya yang sangat sayang dengan anak-anakanya.

"Terima kasih, Taito. Oh ya, nanti tolong temani Kaiko sikat gigi dan pastikan dia tidur di kamarnya ya," pesan Kaito.

"Sip, Kak," jawab Taito.

ooo

Di kamar Kaito dan Miku…

Kaito menatap Miku yang tengah berdiri sambil memandang langit malam lewat jendela. Miku jarang sekali melakukannya. Karena itu, Kaito merasa ada yang tidak beres.

"Ada apa, sayang? Kamu telihat cemas," tanya Kaito sambil memeluk Miku dari belakang, kebiasaan yang sangat disukai oleh Kaito. Miku awalnya sedikit terkejut karena kehadiran Kaito yang terlalu tiba-tiba. Tapi, ia tersenyum saat merasa dirinya nyaman dipelukan Kaito.

"Tidak apa-apa. Aku tidak cemas kok," jawab Miku.

"Bohong. Aku bisa mengetahui walau lewat dari samping wajahmu," jawab Kaito. "Katakan saja. Apa yang terjadi? Apa salah satu temanmu mengatakan sesuatu yang aneh padamu?"

Miku jadi teringat kembali dengan ramalan yang dikatakan Miki padanya. Mungkin, tidak ada salahnya jika ia menceritakannya pada Kaito.

"Sebenarnya, tadi Miki meramalku," jawab Miku.

"Hah? Sejak kapan Miki bisa meramal? Dan apa yang ia katakan padamu?"

"Dia bilang…" Miku menghela napas sejenak. "…aku akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagiku."

Miku terdiam setelah menjawabnya. Kaito juga ikut diam.

"Kamu tau kan, Kaito? Sesuatu yang sangat berharga bagiku adalah kalian keluargaku. Aku tidak mau kehilanganmu, kehilangan Kaiko, kehilangan Mikuo, ataupun kehilangan adikmu, Taito. Kalian semua keluargaku yang berharga. Aku cinta kalian. Aku tidak bisa hidup tanpa kalian. Aku takut kehilangan kalian. Aku sangat takut…" Miku berujar dengan bibir bergetar. Dia bisa mengatakan dirinya cengeng sekarang. Namun, itulah yang ia rasakan saat ini. Ia sangat takut kehilangan keluarganya. Ia sangat mencintai keluarganya. Miku ingin menangis saking takutnya, namun ia menahannya karena ia ingin terlihat kuat dihadapan Kaito.

"Tak perlu kau pikirkan, Miku," ujar Kaito.

"Miki tidak serius mengatakannya, bukan? Itu hanya sebuah ramalan. Memangnya kau percaya dengan ramalan? Ya, percaya mungkin tak apa-apa asalkan jangan berlebihan. Ramalan tidak selalu terbukti benar karena yang mengatakannya adalah manusia, bukan Tuhan," nasihat Kaito.

"Selain itu…" Kaito memutar tubuh Miku, memintanya untuk menatapnya saat ini juga. "Kami tidak akan meninggalkanmu. Kami juga mencintaimu. Tidak akan ada yang akan pergi meninggalkanmu sendirian. Percayalah, Miku. Kami berjanji padamu," Kaito berujar lembut. Berusaha menenangkan hati dan pikiran istrinya. Berusaha meyakinkan istrinya.

Menatap wajah serius Kaito yang tengah tersenyum lembut membuat Miku mempercayinya bahwa semua keluarganya tak akan meninggalkannya. Miku tersenyum lalu memeluk Kaito.

"Iya, aku percaya padamu. Pada kalian semua," bisik Miku.

"Terima kasih," ujar Kaito. Ia lalu melepaskan pelukannya setelah Miku merasa lebih tenang.

"Sekarang kita tidur ya," aja Kaito.

"Iya," jawab Miku.

Keduanya lalu beranjak ke tempat tidur mereka. Karena kelelahan akibat aktivitas seharian, mereka berdua tertidur dengan cepat. Namun, sebelum tidur, keduanya tidak lupa untuk selamat tidur agar mendapatkan tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah. Sayangnya, mimpi yang didapatkan Miku tidaklah seindah yang diharapkannya. Miku bermimpi semua keluarganya mati dibantai dirumahnya. Taito adalah orang yang pertama mati, kemudian disusul oleh kematian Kaiko, Kaito, lalu Mikuo. Di depan mayat keluarganya, Miku menangis histeris. Ia berteriak ketakutan, meminta pertolongan siapapun yang bersedia menolongnya. Sayangnya, sama sekali tak ada orang selain dirinya sendiri yang masih hidup.

Tepat di belakang Miku, sosok wanita berambut soft pink panjang yang kini penuh dengan noda darah berdiri sambil menyeringai menyeramkan. Pakaian yang dikenakannya juga penuh dengan noda darah. Kepala hancur dan penuh darah. Wajahnya terlihat sangat menyeramkan. Matanya yang dulu berwarna biru kini telah menjadi merah menatap tajam penuh dendam dan kebencian terhadap Miku. Ia melangkah pelan mendekati Miku. Kemudian, ia mengacungkan sebuah belati tajam tepat ke arah Miku.

"Sekarang… Semuanya akan berakhir… Akan kurebut semua yang berharga bagimu. Termasuk hidupmu!" wanita itu berujar dingin.

"Tolong… maafkan aku, Luka…" Miku terus memohon di kaki wanita itu, terus meminta maaf. Sayangnya, sang wanita sudah tidak peduli lagi dengan Miku. Dendamnya akan sepenuhnya terbalaskan jika ia telah membunuh Miku. Sekali lagi, ia tersenyum penuh arti. Dan…

CRASH!

Belati itu tepat terhunus di dada Miku. Darah segar mengalir dari jantungnya yang robek akibat tusukan belati itu. Miku pun ambruk. Kini, yang ia rasakan hanya kegelapan.

"Akhirnya, aku menemukanmu… Miku."

To be continued…

14