LIFE LESSON

.

.

.

.

.

.

.

Main Cast :

-Haechan/Donghyuck

-Mark

.

.

.

Haechan hanyalah seorang bocah di bawah umur yang masih berusia 16 tahun dan bahkan masih terlalu naif untuk ditarik ke dalam masalah serunyam itu oleh seorang pemuda berusia 24 tahun bernama Mark. Mark bahkan tega terus mengikatnya ke dalam belenggu masalah yang begitu membuatnya ingin menangis. Tidak bisakah Mark mencari orang lain saja selain dirinya? Jujur saja ia tidak sanggup untuk menghadapi ini semua.

.

.

.

.

HAPPY READING

.

.

.

.

.

.

.

Haechan hanya melangkahkan kakinya malas mengekori sang adik mencari unit apartemen bernomor 231 di sepanjang lorong apartemen ini. Semangat milik sang adik masih membumbung tinggi sejak tadi, berbeda dengan dirinya yang hanya melangkah asal sambil sibuk memainkan ponsel di tangannya.

"Jisung-ah!" Teriak seseorang di depan sana sambil melambai kearah mereka, atau mungkin lebih tepatnya hanya kearah sang adik.

"Jeno hyung!," Adiknya membalas dengan sangat heboh, ia bahkan sampai ditarik oleh sang adik berlari untuk segera menghampiri Jeno di depan sana.

"Kau datang bersama Haechan? Kau bilang kau akan datang sendiri, aku tidak menyangka hyungmu mau ikut," Jeno sedikit tertawa diakhir kalimatnya.

"Sebenarnya aku malas menemaninya. Tapi karena dia merengek sambil menangis akhirnya aku mau," Ia menjawab Jeno dengan nada datarnya seperti biasa.

"Siapa yang menangis." Jisung berdecih tidak suka ke arahnya.

"Sudahlah, ayo masuk," Ajak Jeno pada mereka.

"Kalian masuk saja dulu. Aku ada telepon dari seseorang," Ia undur diri dari hadapan Jisung dan Jeno, membiarkan mereka berdua masuk terlebih dahulu sementara dirinya akan mengangkat telepon dari temannya.

"Ada apa?," Ia menjawab telepon sambil berjalan di lorong dan mencari tempat yang cukup sunyi, yaitu di tangga darurat di ujung lorong.

"Haechan! Kenapa tidak bilang jika kau pergi ke apartemennya Jeno! Kau mau merebut dia dariku ya!," Tuduhan aneh langsung terlontar padanya ketika ia baru saja akan duduk di anak tangga.

"Ck, aku kemari hanya untuk menemani Jisung. Kalau kau mau kemari ya datang saja. Kau benar-benar sangat cerewet Jaemin!," Ia membalas dengan mengatai Jaemin, teman sekelasnya yang benar-benar memiliki mulut berisik.

"Tidak! Aku tidak mau kesana. Jika aku kesana, Jeno pasti akan langsung mengusirku. Kau taukan kemarin dia habis kuapakan. Dan aku belum sempat minta maaf padanya, hahaha," Jaemin tertawa sumbang di seberang sana.

"Itu salahmu sendiri. Kenapa bisa kau seceroboh itu. Mendorong Jeno hingga dia jatuh dari tangga dan dilihat oleh orang banyak. Astaga bayangkan betapa malunya Jeno saat itu,"

"Akukan tidak sengaja!" Sanggah Jaemin.

"Tetap saja. Kau memang ceroboh dan sangat menyebalkan. Aku yakin Jeno tidak akan pernah suka padamu. Sekarang saja dia lebih memilih mengundang Jisung ke rumah barunya dibanding dengan kau." Cibirnya membalas Jaemin.

"Jisungkan adik kesayangannya, jadi wajarkan dia mengundangnya. Dan aku? Akukan kemarin sudah berbuat hal yang tidak euhm 'hal yang tidak baik' mungkin? Ya akukan sudah berbuat 'hal yang tidak baik' padanya. Mungkin dia masih sedikit marah padaku, jadi tidak mengundangku,"

"Dasar, selalu saja membenarkan segala hal hanya untuk membela diri. Terserahmu sajalah. Kalau kau mau datang ya kemari saja, kalau tidak ya jangan ganggu aku. Sudah jangan hubungi aku dulu." Ia memutuskan sambungannya dengan segera, mengabaikan Jaemin yang sempat ia dengar protesannya di seberang sana setelah mendengar ucapannya tadi.

Ia berbalik dan pergi dari tangga ini, membuka pintu dan kembali berjalan di lorong apartemen. Matanya mengedar mencari nomor unit apartemen Jeno, 234, 231 atau 213 ya tadi. Astaga dia lupa, dan sekarang apa yang harus ia lakukan? Menelpon Jisung? Anak itu tidak akan menjawab, anak itu sering mebiarkan ponselnya mati kehabisan daya. Menelpon Jeno? Anak itu bilang ponselnya rusak dan baru akan membeli yang baru besok. Atau membuat opsi ketiga? Menebak dengan hati dan perasaan? Ya, mungkin opsi yang terakhir akan ia coba. Semoga saja berhasil.

Kakinya melangkah ke unit apartemen bernomor 213 dengan ragu. Menengok kanan-kiri seperti seorang penguntit sialan yang ingin membuntuti seseorang.

"Ok, sekarang kita coba," Ia memencet bel yang ada di sisi kanan pintu dengan sangat hati-hati, takut jika ia akan meledakkan sebuah bom setelah memencet bel tsb.

"Eh?" Ia memicingkan mata kaget saat melihat ke arah gagang pintu yang ternyata tidak tertutup rapat dan masih terbuka. "Mungkin ini apartemen Jeno, dan dia sengaja tidak menutup rapat pintunya agar aku bisa langsung masuk," Tebaknya. Dan meski masih ada rasa ragu di dalam lubuk hatinya, ia tetap memaksakan diri untuk masuk ke dalam apartemen tersebut.

Ketika ia baru menginjakkan kaki di dalam apartemen itu, ia langsung disambut dengan teriakan seseorang. Sebenarnya ketika mendengar teriakan itu ia sudah sadar jika ia salah masuk apartemen, tetapi tiba-tiba saja rasa penasaran menggerogoti benaknya. Membuatnya tanpa ragu tetap melangkahkan kaki masuk semakin ke dalam apartemen itu.

"Mark, Dengarkan kata ibumu! Dan jangan membentaknya seperti itu. Kau benar-benar tidak sopan," Seorang pria berkata dengan nada yang sangat tegas sambil menunjuk wajah seorang anak lelaki yang sedang duduk di sofa. Mungkin anak itu yang dimaksud dengan Mark, batinnya.

"Sudahlah, kalian pulang saja. Aku malas jika kalian terus mendesakku masuk ke perusahaan keluarga," Anak lelaki itu menjawab santai.

Sekarang lihatlah Haechan. Tanpa ia sadari, ia melangkah pelan tanpa ragu untuk masuk menuju ke arah ruang tamu apartemen ini. Tidak takut sama sekali jika saja si pemilik apartemen ini akan marah karena kedatangan seorang tamu tak diundang yang bertingkah bak penyusup seperti dirinya.

"KAU!" Seorang wanita yang nampak begitu cantik dan anggun tersentak berdiri dari sofa memarahi putranya. Dan astaga wanita itu kini tepat berada di hadapannya. Bukan di hadapnnya secara langsung sih, setidaknya masih ada sebuah sofa yang menghalangi mereka serta jarak yang tidak terlalu dekat darinya, sekitar 7 meter mungkin? Ah masa bodoh soal itu, karena tetap sajakan mereka berhadapan.

Ia membulatkan matanya saat wanita itu memicingkan mata begitu kaget ketika mata mereka bertemu. Lihatlah mata nyalang milik wanita itu. Sangat menyeramkan dan begitu tajam, membuatnya sejenak bergidik ngeri membayangkan jika saja tatapan mata bisa membunuh, mungkin sekarang tubuhnya sudah tak utuh lagi karena sudah tercincang oleh tatapan menyeramkan itu.

"Dan siapa tamu tak diundang itu!," Wanitu itu berkata dengan sangat histeris sambil mengacungkan jari telunjuk padanya, lalu akhirnya semua orang yang ada disanapun mengalihkan segala atensi kepadanya.

"Ha?" Ia melongo tidak mengerti dan baru sadar jika ia telah masuk terlalu dalam ke sini.

"Yak! Siapa kau!" Wanita itu kembali meneriakinya.

Ia masih terdiam kaku tidak tahu akan berbuat apa. Pikirannya kosong. Seolah-olah otaknya sudah tak berfungsi lagi. Ia hendak berkata 'maaf saya salah masuk apartemen.' Namun mulutnya masih tersumpal rapat oleh nyalinya yang mendadak menciut. Ekor matanya memperhatikan anak lelaki yang tadi dimarahi oleh kedua orangtuanya itu berdiri dan berjalan kearahnya. Astaga, apa yang harus ia lakukan sekarang. Anak lelaki itu pasti akan memarahinya karena telah lancang masuk ke dalam apartemennya.

Namun bukannya dimarahi, ia malah mendapatkan sesuatu yang sangat tidak terduga.

"Dia pacarku, aku bahkan sudah memberitahunya password apartemenku. Wajarkan jika dia bisa masuk kesini dengan sesuka hatinya. Ibu lihatkan? Semakin ibu memaksaku, aku akan semakin menjadi pembangkang. Aku bahkan menjadi seorang homo sekarang, dan bayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika semakin hari ibu semakin memaksakan kehendak terhadapku? Mungkin aku akan menikahi pacarku ini sekarang,"

"Ha?," Matanya membola dengan sangat aneh ketika anak lelaki itu tiba-tiba merangkul bahunya sambil berkata ngaco seperti tadi.

"Apa katamu! Dia bahkan masih anak kecil Mark! Dan demi seluruh keturunan keluarga ini, kau tega menolak Seulgi di acara pertunangan waktu itu hanya untuk anak kecil ingusan seperti ini!," Wanita itu menjerit tidak percaya padanya.

"Euhm, Maaf-," Ia hendak meluruskan keadaan dengan cara menyela ucapan wanita itu, namun semua sirna ketika anak lelaki bernama Mark tadi menarik tangannya, membawanya tepat ke hadapan kedua orangtuanya.

"Terserah ibu. Ibu bisa pergi sekarang. Dan ayah, bisakah ayah menghalangi ibu agar tidak datang kemari lagi?" Anak lelaki bernama Mark itu masih menarik tangannya, dan sekarang dia bahkan sudah mengaitkan kedua tangan mereka ke dalam genggaman hangat yang erat. Konyolnya lagi dia malah memamerkan gandengan tangan itu tepat didepan wajah ibunya. "Ibu lihatkan? Aku bahagia dengannya. Jadi untuk apa aku harus bertunangan dengan Eunbi,"

"Mark! Kenapa kau seperti ini! Dan apa-apaan tadi! Anak ini bahkan tau password apartemenmu, sementara aku yang ibumu saja tidak pernah kau beritahu sampai sekarang!,"

"Sudahlah ibu pulang saja sana," Si Mark ini malah mengusir orangtuanya, ah Haechan merasa pusing sekarang.

"Yak! Kau mengusir orangtuamu hanya agar bisa berduaan dengan anak kecil itukan?" Wanita itu semakin tidak terkendali ucapannya, membuat ia semakin pusing dan hanya pasrah saja menuruti sandiwara aneh dan menggelikan ini.

"Baiklah, ayah dan ibu akan pulang. Namun Mark, bisakah kau berhenti kekanakan seperti ini? Jangan membuat ayah dan ibu semakin sulit mengaturmu. Maksud kami bukanlah mengatur yang memaksamu atau apapun itu yang ada di dalam pikiranmu, di sini kami hanya ingin mecoba memberikan yang terbaik untuk dirimu." Seorang pria yang ia tebak mungkin ayah dari si Mark ini berdiri, membimbing istrinya untuk pulang dan pergi dari apartemen ini.

"Aku tidak peduli." Ia bisa mendengar nada dingin dari jawaban yang terlontar oleh Mark. Ia jadi berpikir, kenapa bisa hubungan orangtua dan anak bisa seburuk ini, si Mark ini benar-benar tidak sopan pada kedua orangtuanya. Seharusnya jika dia memang tidak mau atau tidak suka pada keinginan orangtuanya dia tinggal menolak dengan haluskan? Tidak perlu sampai menyebabkan perdebatan seperti ini? Tapi hei, seharusnya ia tidak boleh sok tahu begini. Mungkin masalahnya tidak sesederhana itu, jadi lebih baik ia hilangkan saja segala prasangkanya itu, ia juga belum tahu apa-apa soal keluarga ini.

"Apa kau akan terus berdiri di situ?," Ucapan dari Mark membuyarkan segala isi pikirannya. Ia tidak sadar sudah melamun sejak tadi.

"Ah maaf. Maafkan aku, sebenarnya aku-,"

"Aku tahu kau salah masuk apartemen. Itukan yang ingin kau bilang? Tidak apa-apa, aku juga mau minta maaf dan berterima kasih padamu. Maaf untuk kejadian tadi, dan terima kasih untuk ikut dalam sandiwara aneh tadi,"

"Ah ya. Aku akan segera pergi, sekali lagi maaf," Ia membungkukkan badannya pada Mark, ia berpikir sepertinya Mark lebih tua darinya beberapa tahun, dilihat dari postur tubuhnya yang tampak sedikit lebih tegap, meski sebenarnya juga tampak kurus disaat yang bersamaan.

"Aku akan mengantarmu sampai di luar kalau begitu," Mark berjalan mengikutinya dari samping dan mengantarnya sampai depan pintu.

Ketika ia sudah sampai di depan pintu, ia tidak berkata apapun, begitupun dengan Mark. Mereka berdua sama diamnya dan pergi begitu saja. Haechan berjalan menyusuri lorong lagi, sekarang ia kembali dibingungkan dengan yang mana apartemen milik jeno. Yang bernomor 231 atau 234? Ah, sial!.

"Haechan!," Suara Jeno menyelamatkannya dari rasa bingung yang menderanya tadi.

"Kenapa lama sekali?," Tanya Jeno padanya.

"Aku lupa nomor apartemenmu," Ia menjawab datar.

"Oh. Ingat baik-baik ya, nomor apartemenku itu 231. Ingat-ingat ya, agar aku tidak perlu memberitahumu lagi,"

"Untuk apa aku mengingat-ingatnya. Seperti aku sudi saja kembali kesini,"

"Hei, jaga mulutmu itu. Kau pikir aku juga sudi menerima tamu seperti dirimu? Jawabannya tidak!,"

Dan di sepanjang itu, mereka terus saja saling menghina dan mengejek. Tidak peduli apakah akan ada yang tersinggung atau tidak, yang terpenting saling menjatuhkan satu sama lain. Karena memang dari dulu mereka sudah seperti itu. Berteman baik, namun tidak pernah saling memuji, yang ada ya seperti tadi. Menghina satu sama lain tanpa ada niat untuk berhenti.

.

.

.

.

.

Haechan menguap lebar di dalam mobil. Jujur saja ia masih sangat mengantuk, semalam ia dan Jisung pulang sedikit larut dari rumah Jeno. Semua ini karena Jisung yang memaksa ingin maraton film, padahalkan pagi ini mereka masih harus bersekolah.

"Hyung, ayo bolos saja," Jisung yang duduk disampingnya ikut menguap menahan kantuk.

"Turun sana dari mobil kalau mau bolos," Ia menjawab ketus ucapan dari sang adik.

"Pak nanti sepulang sekolah langsung ke tempat latihan ya. Setelah itu kau jemput Jisung," Pintanya pada pak Kim, seorang sopir yang sudah lama mengabdi pada keluarganya.

Dan setelahnya perjalanan menuju ke sekolah itu mereka habiskan dengan diam. Jisung sibuk menahan kantuknya, pak Kim fokus pada jalanan, dan sementara dirinya, ia sendiri sibuk memandangi pemandangan pagi di jalanan Seoul yang sudah tampak sangat ramai.

Sibuk memandangi orang yang berlalu-lalang di jalanan membuatnya tidak sadar jika mereka telah sampai di depan pintu gerbang sekolahnya. Jisung masih sibuk menguap di sampingnya, dan terlihat akan tidur jika saja ia tidak menjitak kepala anak itu.

"Sakit hyung!," Anak itu menggerutu sebal.

"Pulang sekolah nanti aku ada latihan memanah, kau lebih baik langsung pulang jika pak Kim sudah menjemputmu. Jangan menyusulku di tempat latihan, karena jika kau melakukan itu, aku akan mencekik lehermu. Pak Kim nanti selesai menjemput Jisung dan membawanya pulang langsung datang ke tempat latihanku ya, tunggu aku sampai selesai," Ia berkata panjang lebar sebelum turun dari mobil. Mengabaikan Jisung yang masih menggerutu sebal sebab ia telah menjitak kepala anak itu.

"Iya tuan." Pak Kim membungkukkan badannya dan menutup kembali pintu mobil ketika ia sudah turun.

.

.

.

.

Pelajaran di sekolah hari ini mebuatnya begitu bosan. Ia sering menguap lebar ketika pelajaran sedang berlangsung, bahkan jika mungkin Jaemin tidak mengawasinya, ia pasti sudah terlelap di mejanya.

Sepulang sekolah seperti rencana awalnya tadi, ia pergi ke tempat pelatihan memanah. Tempat kursus yang sudah ia ikuti selama lebih dari 5 tahun sejak ia masih berusia 11 tahun dan masih berada di bangku kelas 6 sekolah dasar hingga sampai sekarang ia sudah menginjak usia 16 tahun dan berada di tingkat kedua sekolah menengah atas.

Memanah adalah olahraga yang sangat ia gemari. Semua berawal dari sang ibu yang dulu pernah mengajaknya pergi ke sebuah turnamen memanah untuk mendukung anak dari teman ibunya yang sedang bertanding. Awalnya ia bosan, namun ketika melihat anak dari teman ibunya itu sedang melesatkan anak panahnya dengan begitu indah ke arah papan sasaran, hal itu membuat sesuatu di dalam hatinya menjadi begitu takjup dan terkagum. Tampak begitu indah dan luar biasa. Dan dari sejak itulah ia meminta pada sang ibu untuk dicarikan tempat kursus latihan memanah.

Ia memasuki tempat latihannya dengan diikuti oleh Pak Kim di belakangnya. Pak Kim tampak sibuk membawa beberapa peralatan memanahnya, ia sendiripun juga begitu, ia membawa beberapa peralatan memanah yang tidak sanggup dibawa oleh pak Kim seorang diri.

"Pak Kim boleh pergi sekarang. Jemput Jisung dan setelah itu bawa dia pulang. Jangan izinkan dia untuk bermain ke rumah teman-temannya. Suruh dia belajar saja. Kalau tidak mau, ancam saja jika aku akan berhenti jadi teman bermainnya di rumah," Ia berpesan pada pak Kim setelah meletakkan semua peralatan memanah yang ia butuhkan ke sisi arena latihannya.

"Satu lagi, segera kembali kemari jika sudah membawa anak itu ke rumah,"

"Baik tuan. Saya permisi dahulu," Pak Kim undur diri dari hadapannya.

Ia mulai menyiapkan segala keperluannya sebelum memulai sesi latihan. Dan yang terpenting dari semua itu adalah ia harus berganti baju terlebih dahulu, sebab sekarang ia masih mengenakan seragam sekolahnya.

Ketika ia baru keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian, beberapa orang berpakaian serba hitam datang menghampiri dirinya. Menghalangi jalannya sambil mengepungnya dari berbagai sisi tubuhnya.

"Kau harus ikut kami. Nyonya ingin bertemu dan berbicara denganmu," Salah satu dari mereka berbicara.

"Kalian ini siapa ya?," Ia membalas dengan heran. Pasalnya ia benar-benar bingung dan tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Ia tidak merasa kenal dengan orang-orang ini. Dan siapa yang mereka maksud dengan 'Nyonya'?. Apakah ibunya? Jangan konyol, ibunya tidak akan bertindak seaneh ini. Ada kalanya jika sang ibu ingin berbicara dengannya pasti ibunya lebih memilih mengajaknya bicara seorang diri di rumah, tanpa harus menyuruh orang-orang aneh ini untuk menjemputnya.

"Sebaiknya kau ikut kami sekarang juga," Salah satu dari mereka memberi perintah kepada para anak buahnya untuk menyeret tubuhnya mengikuti mereka.

"Hei, apa-apaan ini? Kalian tidak bisa seperti ini! Katakan sebenarnya siapa kalian!," Ia memicingkan matanya tidak suka ketika ada sebuah tangan yang menarik kerah kaos polonya sambil mengunci pergerakan tangannya, membuatnya tidak bisa melawan ketika badannya didorong oleh mereka dan akan dibawa entah ke mana. Astaga ini memalukan, tidak tahu mengapa ia benar-benar merasa telah menjadi seorang tahanan yang tertangkap kembali setelah mencoba kabur dari sel.

Badannya masih dibawa dengan paksa ketika sudah sampai di depan gedung tempat latihannya, dan tak lama setelahnya, mendadak badannya didorong ke dalam sebuah mobil oleh mereka. Ia mengerang tidak suka ketika tidak ada satupun dari manusia di dalam mobil itu mau menjawab pertanyaan yang ia lontarkan.

Di dalam mobil mulutnya mulai bisa ia kendalikan. Ia lebih memilih diam dan tidak banyak bertanya lagi. Namun dibalik mulutnya yang terkatup itu ada begitu banyak pikiran aneh yang bergentayangan di dalam otaknya. Ia mulai berpikir mengenai sebenarnya mereka ini siapa? Menebak-nebak apakah mereka ini segerombolan sikopat yang hendak menculik dan menjadikannya sebagai korban pembunuhan keji? Ataukah mereka ini sekumpulan mafia yang ingin menjual dirinya ke luar negeri? Sekarangkan banyak sekali kasus perdagangan manusia yang terkuak. Atau bisa saja mereka ini suruhan orang jahat yang diberi tugas untuk menculiknya dan mebunuhnya lalu mengambil organ-organ di dalam tubuhnya untuk selanjutnya diperjual-belikan. Kan memang sekarang sedang banyak-banyaknya kasus penjualan organ-organ dalam manusia secara ilegal.

"Turun. Kita sudah sampai sekarang. Bawa dia segera ke hadapan Nyonya. Dia sudah menunggu di lantai atas," Terlalu asik mengkhayalkan hal-hal aneh membuat dirinya menjadi tidak sadar jika mobil yang ia naiki tadi telah berhenti di depan sebuah hotel.

Eh? Tunggu dulu. Hotel? Hotel katanya tadi?! Hotel? Lalu Nyonya? Apa maksudnya ini? Apa ia akan dijadikan seorang gigolo? Hotel ditambah Nyonya? Astaga Ya Tuhan! Ia bahkan masih 16 tahun, mana bisa ia disuruh melayani seorang Nyonya di dalam sana? Oh, hatinya teriris miris sekarang, seseorang tolong selamatkan dirinya sekarang juga!

"Cepat jalan! Nyonya sudah menunggu di lantai atas," Seseorang menarik paksa tubuhnya ketika ia sedang berusaha untuk lepas dari mereka.

"Lepaskan aku!," Ia berusaha untuk bisa kabur dengan cara terus berontak, namun semuanya sia-sia ketika badannya telah dipaksa masuk ke dalam lift. Oh hancurlah sudah ia sekarang. Kelak masa depannya pasti akan suram, sesuram pikirannya sekarang.

Pintu lift itu terbuka, dan sekarang ia telah sampai di lantai teratas hotel ini. Lantai teratas yang ternyata adalah sebuah restoran. Ia memperhatikan restoran hotel ini yang tampak begitu mewah namun sepi, sebab disini tak nampak satupun seorang pelanggan yang datang, kecuali seseorang yang sekarang tengah duduk di sebuah set meja pelanggan di dekat jendela. Wanita yang jika ia perhatikan nampak tidak asing di otaknya. Tunggu dulu, ia ingat-ingat terlebih dahulu siapa wanita itu. Wajah itu, mata tajam itu, dan pelototan tidak suka itu?! Freakin' bad! Wanita itu adalah wanita yang semalam memarahinya! Wanita yang mengira jika ia adalah pacar anaknya!

"Kami sudah mebawanya kemari Nyonya. Kami akan pergi terlebih dahulu agar tidak mengganggu pembicaraan kalian," Badannya dipaksa untuk duduk di hadapan wanita itu, dan setelahnya para pria aneh tadi pergi meninggalkan tempat ini, meninggalkan dirinya sendirian di hadapan wanita berwajah cantik yang sedang memandanginya penuh amarah.

"Putuskan hubunganmu dengan putraku,"

"Eh?;" Ia heran wanita itu bahkan tidak berbasa-basi terlebih dahulu sama sekali.

"Cepat telepon putraku dan putuskan hubungan kalian sekarang. Sekarang! Dan tepat di hadapanku," Ucapan dari wanita itu membuatnya terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Pasalnya, oh ayolah mana ia tahu nomor telepon si Mark itu. Jangankan menelponnya memiliki nomor teleponnya saja tidak pernah.

"Cepat telepon dia!," Wanita itu sekarang bahkan membentaknya.

"Aku tidak mau," Sebenarnya bukan tidak mau yang ingin ia ucapakan, melainkan 'mana aku tahu nomor telepon anakmu!'

"Aku sudah menduga ini. Mark pasti menyuruhmu begitukan kalau aku menemuimu? Anak itu benar-benar!," Wanita itu menggerutu sebal di hadapannya.

Ia sih tidak peduli akan seperti apa nanti pertemuan ini, dan apa pula yang akan dibicarakan oleh mereka nanti. Nyonya cerewet ini benar-benar menyebalkan.

"Baiklah. Biar aku yang menghubunginya. Dan kau! Kau harus putuskan hubunganmu dengan putraku hari ini juga," Wanita itu mengacungkan jari telunjuk kirinya sambil tangan kanannya memegangi ponsel mahal miliknya. Mungkin mecoba menghubungi si Mark itu. Dasar keluarga aneh! Kenapa ia harus terlibat di dalam lingkaran aneh keliarga ini sih! Dan lagi kenapa wanita ini ngotot memaksanya memutuskan hubungan dengan anaknya itu. Hubungan apanya, tahu namanya saja baru semalam. Kenapa sih wanita ini tidak menyuruh putranya saja untuk mengakhiri hubungan konyol ini?

"Sekarang bicara padanya," Wanita itu menyodorkan ponselnya.

Ia bergumam sebal dalam hati, bicara apa sih! Dia bahkan tidak tahu harus menyapa Mark seperti apa.

"Cepatlah, ibu ingin bicara apa?," Suara Mark terdengar ketika ponsel itu sudah sampai di tangannya. Ternyata sudah di lostspeaker.

"Mark. Ibumu menculikku," Entah dapat bisikan dari mana, dirinya malah bilang seperti itu. Tidak peduli dengan pelototan super maha nyalang dari wanita di hadapannya.

Sementara Mark di seberang sana sempat diam cukup lama, mungkin anak itu bingung siapa maksudnya yang diculik.

"Mark. Ibumu ingin kita putus. Bisa kau selamatkan aku sekarang," Ia memberi sedikit kode pada Mark agar anak itu segera mengerti situasi dan cepat bicara.

"Yak! Bicara apa kau malah!," Ibunya Mark membentaknya penuh emosi. Tidak suka dengan apa yang ia ucapkan mungkin, entahlah ia tidak tahu.

"Dimana kau sekarang," Akhirnya anak itu bicara juga setelah cukup lama diam dan tidak segera mengerti keadaannya.

"Entahlah aku tidak tahu tepatnya ini di mana. Tapi yang jelas, aku dibawa ke lantai teratas sebuah hotel. Di restoran hotel yang begitu sepi dan hanya diisi oleh ibumu yang sekarang menatap tajam kearahku seakan-akan ia ingin membunuhku sekarang juga,"

"Anak nakal! Kenapa malah bicara seperti itu!," Ibunya Mark menyela sambil merebut kembali ponselnya.

"Aku akan kesana. Kalian jangan pergi dulu!," Sebelum sambungan telepon itu terputus, ia bisa mendengar suara Mark sejenak. Ok, mungkim nanti ia bisa selamat. Tapi sepertinya tidak dengan sekarang. Karena wanita ini benar-benar tampak ingin menghabisinya saat ini juga.

"Jangan menatapku seperti itu," Ia menutupi wajahnya dengan buku menu untuk menghindari tatapan wanita itu.

"Astaga lihatlah dirimu sekarang! Sikapmu itu, benar-benar seperti anak kecil tau," Wanita itu menggerutu.

"Akukan memang masih anak kecil," Dengusnya pelan di balik buku menu itu.

"Heh, heh jangan berbicara seakan aku tidak bisa mendengarnya ya. Aku dengar! Aku dengar semua ucapanmu!,"

"Ya sudah! Baguslah kalau begitu," Dan sekarang sikap aslinyapun muncul. Berbicara cukup keras sambil mendengus kesal.

"Wah, wah! Hebat sekali kau. Setelah sedari tadi bersikap sok manis, sekarang sikap aslimu muncul juga ya. Kau bahkan hampir membentakku," Wanita itu mencebik tidak suka di hadapannya. "Aku benar-benar tidak suka dengan dirimu!,"

'Aku juga tidak suka padamu. Sangat sangat sangat tidak suka malah!' Batinnya kesal.

"Kenapa diam? Sudah mengaku kalau dirimu itu salah?" Wanita itu masih belum berhenti mencibirnya. Tadi dia bicara dia dikata-katai, sekarang dirinya diam dia malah semakin dijatuhkan. Ish menyebalkan!

"Lebih baik aku diam saja sampai anakmu datang." Jawabnya dengan nada kesal.

"Astaga! Mulutmu itu lho! Sebenarnya apa sih yang Mark sukai dari dirimu? Oh, putraku yang sempurna, kenapa kau bisa mengenal anak sekurang ajar ini."

Biarkanlah wanita itu mengoceh sesuka dan sepuas hatinya. Jangan pedulikan dia, anggap saja dia tidak ada. Tetap diam dan lihat kearah lain, kearah jendela mungkin. Dari sini pemandangan di luar sana tampak sangat indah dari atas. Ya begini lebih baik, setidaknya hatinya tidak akan iritasi oleh ucapan menyebalkan wanita itu.

Sudah hampir satu jam ia menunggu dan si Mark itu baru muncul. Sialan! Kenapa anak itu lama sekali sih. Tidak tahu apa jika dirinya ini sudah hampir sekarat berada di hadapan wanita itu. Matanya menatap tidak suka pada Mark yang baru datang dan langsung duduk di sebelahnya. Lihatlah wajah itu. Wajah yang tampak tenang, terlihat tidak merasa bersalah sama sekali. Benar-benar ingin dirajam ya anak itu.

"Maaf sedikit terlambat." Mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Mark membuat emosi di dalam dirinya mendadak ingin meledak. Sedikit terlambat kepalamu! Dia bahkan sudah hampir mati sejak tadi.

"Ya kau memang sedikit terlambat. Hampir satu jam aku menunggu jika kau tidak tahu." Dan sebuah kalimat ironi akhirnya terlontar dari mulutnya. Ia bisa melihat jika Mark yang ada di sebelahnya sedikit kaget dan tidak percaya dengan apa yang sudah ia ucapkan.

"Hei! Pada pacarmu saja bicaramu seperti itu?!" Dan wanita itu kembali menyalak tidak suka padanya. "Lihatkan? Dia ini tidak baik untukmu Mark. Cepat putuskan hubungan kalian."

"Bisa ibu diam dulu?" Mark angkat bicara.

"Cepat selesaikan ini. Karena ulah kalian aku jadi meninggalkan sesi latihan memanahku. Kalian benar-benar menyita waktuku." Ia memalingkan wajahnya sambil memasang wajah sebal menahan marah.

Mark yang mendengar itu benar-benar tidak bisa percaya. Ia sangat tidak habis pikir anak yang baru ia temui semalam dan belum ia ketahui siapa namanya itu ternyata tipikal anak bermulut pedas. Dan lihatlah sifat ketusnya itu. Sangat berbeda dengat sikapnya semalam ketika ia meminta maaf padanya karena telah salah masuk apartemen. Semalam bahkan anak itu tidak banyak bicara dan benar-benar tampak tulus meminta maaf padanya, namun sekarang? Ini sangat di luar dugaan mendengar anak itu bisa berkata seketus itu.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku sangat sibuk tadi, dan baru bisa kemari sepuluh menit setelahnya. Lalu ketika perjalanan kemari jalanan Seoul di jam pulang kantor sangatlah mace-"

"Aku menyuruhmu untuk menyelesaikan masalah ini dengan cepat, bukan malah berbicara panjang lebar tidak penting mengenai alasan keterlambatanmu. Asal kau tau saja, aku tidak butuh alasan keterlambatanmu. Jadi bisakah kau tidak usah mengulur waktuku?" Mark melongo mendengar kalimat ketus dari anak itu sekali lagi. Dia bahkan berani menyela ucapannya, benar-benar tak bisa dipercaya.

"Ck, yang seperti itu kau pilih sebagai pacar? Cari yang lain saja sana, setidaknya jika kau homo kau bisa cari yang lebih berkelas sedikitkan." Cibiran dari ibunya membuatnya semakin pusing harus bicara apa.

"Pacar, pacar, pacar! Siapa yang pacarnya! Aku bu-" Dengan cepat ia membekap mulut anak itu. Ia tahu jika anak itu akan memberitahukan yang sebenarnya pada sang ibu. Untuk sekarang ia harus menahannya terlebih dahulu, setidaknya ibunya jangan sampai tahu jika kejadian semalam itu hanya bohongan.

"Bisa kau diam dulu? Masalah ini akan semakin rumit jika kau mengatakan yang sebenarnya. Ibuku tidak akan sepercaya itu. Dia sudah terlanjur membeci ini dan akan sangat sulit membuatnya percaya pada ucapanmu." Ia berbisik pelan pada anak itu.

"Arg!" Haechan melepaskan bekapan tangan dari Mark dan memalingkan wajahnya menahan marah. "Cepat selesaikan ini! Aku ingin pulang." Nada bicaranya sudah tidak ketus lagi, tapi malah berganti dengan nada merajuk.

"Ok, ok. Aku akan menyelesaikan ini dengan segera." Ia berkata seperti demikian untuk meredakan emosi dari anak itu, setidaknya anak itu harus ditenangkan terlebih dahulu.

"Ibu harus memikirkan penawaranku sekarang. Aku akan bekerja di perusahaan ayah setelah beberapa tahun kedepan, tapi aku mohon pada ibu untuk tidak mencampuri urusan pribadiku. Seperti memiliki pacar, tinggal di mana dan sekarang aku bekerja di mana. Setidaknya ibu jangan mencampuri urusanku yang itu. Aku berjanji setelah tiga tahun atau empat tahun aku pasti akan datang ke perusahaan ayah. Namun untuk sekarang aku tidak bisa. Aku masih ingin bekerja di tempat yang aku inginkan. Ibu harus tahu aku melakukan itu karena aku sedang mencari pengalaman sebelum masuk ke perusahaan ayah. Tapi sebagai gantinya, seperti apa yang aku katakan tadi. Aku mohon pada ibu jangan pernah ikut campur mengenai kehidupan pribadiku,"

"Apa?!," Ibunya berteriak tidak suka, "Tidak bisa seperti itu Mark!,"

"Iya atau tidak untuk selamanya," Balasnya.

"Apa kau sedang mengancam ibu sekarang."

"Ya, terserah ibu mau menyebutnya apa."

"Ok, setidaknya biarkan aku berpikir sebentar. Tiga menit. Beri aku tiga menit." Ibunya mulai memikirkan tawarannya tadi. Semoga saja dia mau menerima tawarannya. Setidaknya dengan begitu ia bisa hidup tenang setelahnya.

"Pacarmu itu usia berapa?," Tiba-tiba ibunya menanyakan hal yang membuatnya menjadi pusing harus menjawab apa. Jangankan usia bu, namanya saja aku tidak tahu. Batinnya nelangsa.

"Aku enam belas tahun," Hah, dan berterima kasihlah ia untuk yang kesekian kalinya pada anak itu, terima kasih karena sudah mengerti situasi dan keadaa saat ini.

"Jesus! Usia kalian bahkan berbeda delapan tahun Mark!," Ibunya tampak sangat frustasi dan pusing.

"Bukankah itu bagus. Aku masih anak dibawah umur, dan perjalan hidupku masih panjang. Tidakkah kau berpikir aku akan merasa cepat bosan dan memutuskan hubungan dengan putramu itu. Dan berdoalah semoga putramu cepat merasa jengah padaku yang sudah dipastikan memiliki sikap kekanakan," Ck, lagi-lagi ucapan ketus dan sarkastis terlontar dari mulut anak itu. Ia bisa melihat jika sekarang ibunya menatap tidak percaya pada anak itu, jangankan ibunya. Ia saja juga kaget sekali dengan kemampuan bicara anak itu.

"Ok sayang, aku tahu kau marah padaku. Tapi jangan berbicara seolah-olah hubungan kita ini hanya mainan. Setidaknya jangan berdoa atau mengandai-andaikan hal yang buruk akan terjadi pada kita," Ucapnya bersikap sok seperti kekasih sungguhan.

Kita lihat wajah Haechan sekarang. Matanya semakin nyalang menahan marah, wajahnya merah padam, dan bibirnya benar-benar ingin menyemburkan api dan memuntahkan lahar tepat di depan wajah Mark.

"Mendengarkan cara bicaramu sejak tadi, aku sudah yakin kalau kalian akan cepat putus. Baiklah Mark, ibu setuju dengan tawaranmu. Nikmatilah masa pacaran gilamu dengan anak ini, dan setelah itu cepat putuskan dia dan kemabilah kepada kami. Aku yakin cepat atau lambat kau akan sadar jika anak ini sangat menyebalkan." Ibunya tampak jengkel dan dongkol. Lucu juga melihatnya ternyata bisa bersikap seperti itu. Baru kali ini ada seseorang yang bisa membuat ibunya sedongkol itu. Pada dirinya saja sang ibu tidak pernah seperti ini, namun kali ini lihatlah ibunya yang tampak sangat kesal bercampur jengkel menghadapi anak berusia enam belas tahun yang sedang duduk sebal di sebelahnya.

"Pembicaraan ini aku anggap sudah selesai. Dan ibu, aku peringatkan pada ibu untuk jangan pernah menemuinya lagi seperti ini. Ibu bahkan sudah membuatnya harus meninggalkan kelas memanahnya yang sangat berharga baginya," Tambahnya dengan mengingat-ingat ucapan dari anak ini, tadi dia masih begitu ingat jika anak ini tampak sangat kesal karena telah meninggalkan kelas memanahnya karena dibawa kemari oleh sang ibu, "Kami pergi dulu," Ia menarik tangan anak itu dan membawanya meninggalkan sang ibu sendirian disana.

"Mark, nanti malam datanglah ke rumah. Kita makan malam bersama, dan ajak anak nakalmu itu juga. Bilang iya atau ibu akan terus mengganggu hidupnya." Sialan, kenapa ibu malah mengancam anak itu, ia kan sebenarnya sudah tidak mau melibatkan anak yang tidak tahu apa-apa itu semakin masuk ke dalam masalah pribadinya. Ia benar-benar menjadi merasa tidak enak sekarang.

"Aku tidak mau. Setelah membuatku meninggalakan sesi latihan memanahku kau sekarang berniat membuatku melewatkan waktu belajarku? Yang benar saja apa kau mau membuatku menjadi makhluk bodoh berotak dangkal yang tidak mengerti apa-apa?," Anak itu menatap kesal pada ibunya, yang juga dibalas pelototan tidak suka dari sang ibu.

"Oh memang itu maksudku. Membuatmu bodoh dan dengan begitu aku akan semakin bersemangat mengataimu," Ibunya balas mencibir. Astaga dua orang ini, bisakah mereka berhenti untuk tidak saling menjatuhkan lagi, ia pusing sekali sekarang.

"Mark.! Bawa aku pergi dari sini sekarang juga!," Anak itu mendesis tidak suka di sampingnya. "Oh, kau berharap aku jadi bodoh ya? Lalu kau mau berharap apa kalau aku ini bodoh? Anakmu bahkan sangat suka pada orang bodoh ini? Kau mau bilang apa jika anakmu ini ternyata lebih bodoh dariku, lebih memilih membelaku yang bodoh daripada ibunya sendiri. Wow, aku benar-benar tersanjung dengan sikap bodoh anakmu itu. Dan semakin kau merendahkanku dengan mengataiku bodoh maka itu sama saja dengan kau yang juga merendahkan putramu sendiri," Anak itu menghempaskan tangannya dan pergi meninggalkannya terlebih dahulu.

"Wow, aku bangga punya pacar seperti dia." Dia tersenyum konyol di depan sang ibu yang kentara sekali sedang menahan emosi.

Ia berlari menyusul anak itu, buru-buru sebelum anak itu masuk ke dalam lift duluan. Setidaknya sebelum mereka berpisah, ia harus tahu siapa nama anak itu.

"Hei, tunggu!," Dan akhirnya ia berhasil meraih tangan anak itu tepat sebelum pintu lift akan tertutup. "Aku benar-benar memin-,"

"Jangan mengucapkan maaf seolah aku akan menerimanya. Aku tidak akan bersikap seperti kemarin, menerima maafmu dengan lapang dada dan tersenyum baik hati. Sekarang situasinya berbeda. Kau sudah terlalu jauh menyeretku ke dalam masalahmu yang celakanya bukanlah urusanku. Membantumu sekali mungkin terdengar sangat luar biasa, namun jika diulangi itu akan benar-benar memuakkan," Anak itu benar-benar bersikap sangat dingin dengan berbicara seperti itu. Tangannya bahkan sekali lagi kembali dihembaskan olehnya.

"Oh, astaga! Aku bahkan juga tidak menyangka jika ibuku akan bertindak sejauh tadi. Mengertilah aku, dan untuk sejenak biarkan seperti ini saja. Jangan bicara apapun, cukup diam saja sampai semuanya mereda dengan sendirinya."

"Berhenti dengan sendirinya your ass. Aku tahu ibumu adalah tipe wanita yang selalu serius dengan ucapannya. Melihat dari matanya saja aku sudah tahu. Dan aku akan diam saja begitu? Berharap ini akan selesai dengan seiring berjalannya waktu? Apa yang bisa diharapkan jika ibumu benar-benar akan terus menggangguku jika aku tidak datang ke acara makan malamnya yang maha bullshit itu? Tidak, terima kasih! Setidaknya kau harus segera selesaikan hal ini. Semua ini terjadi akibat dari ulah menjengkelkanmu," Mendengar anak ini berbicara seperti itu membuatnya seakan dipaksa untuk memilih dibuat mati saja. Ia tidak tahan dengan ucapannya yang seakan menyudutkannya, menyalahkannya dalam segala aspek tanpa pikir panjang.

"Dari mana kau belajar bicara sampai kau bisa berkata seperti itu?,"

"Apa itu penting? Apa kau sedang mencoba untuk mengalihkan pembicaraan ini? Maaf, aku tidak akan tertarik. Cepat katakan cara apa yang bisa aku lakukan supaya aku tidak diganggu oleh ibumu lagi,"

"Nanti malam kita penuhi undangan makan malamnya. Aku cukup yakin jika nanti malam akan menjadi hal terakhir yang membuat kita bertemu. Setelah itu berharap dan berdoa saja dengan khusyuk supaya ibuku tidak mengganggu hidupmu lagi." Ia menyodorkan ponselnya pada anak itu, "Beri aku nomor ponselmu. Ketik namamu di situ, dan beritahu aku alamat rumahmu. Sekarang aku akan mengantarmu pulang, dan nanti malam aku akan menjemputmu."

"Kau tidak sedang bercandakan? Untuk apa aku harus memeberitahumu nomor teleponku?" Haechan berdecak tidak suka padanya.

"Baiklah coret untuk nomor telepon jika kau keberatan. Sebenarnya aku meminta nomor teleponmu agar semua bisa mudah. Apa yang akan ada dipikiran ibuku jika dia tahu aku bahkan tidak memiliki nomor teleponmu? Jangankan nomor telepon, namamu saja sampai sekarang aku tidak tahu." Haechan bisa mendengar dari nada bicaranya sepertinya orang itu sedang kesal padanya.

"Ck!" Ia pun hanya berdecak sambil mengambil ponsel milik Mark dan mulai menuliskan nomor teleponnya di ponsel itu.

"Aku menyimpannya dengan nama Donghyuck." Ia lebih memilih menyimpan nomornya di ponsel itu dengan nama aslinya, bukan nama Haechan yang selama ini selalu dipakai oleh orang-orang yang sudah mengenalnya.

"Katakan di mana alamatmu nanti di dalam mobil. Aku akan mengantarmu pulang."

.

.

.

Sesampainya di rumah ia disambut oleh Pak Kim yang tampak kebingungan hendak menghubungi seseorang. Jangan bilang jika Pak Kim khawatir padanya karena tidak ada di tempat latihan dan akan menghubungi orangtuanya? Demi Tuhan ini gawat!

"Pak Kim!" Ia berlari menghampiri Pak Kim setelah keluar dari mobil Mark dan meninggalkan pria itu begitu saja. Dan Mark pun yang ditinggal begitu saja tanpa kalimat sampai jumpa dari Haechan hanya bisa memutar bola matanya malas lalu meninggalkan area rumah tersebut.

"Tuan?!" Lelaki tua itu berlari-lari kecil menghampiri dirinya. "Anda dari mana saja tuan? Sejak tadi saya kebingungan mencari anda. Saya bahkan hampir menghubungi nyonya dan tuan dan hendak bilang jika anda telah hilang tuan." Ucap pria itu khawatir padanya.

"Aku tidak hilang paman. Dan jangan hubungi papa dan mama ok! Aku tadi hanya bolos sebentar ke rumah teman." Alasannya dengan berdusta. Hampir saja dia tidak terselamatkan. Jika saja ia terlambat sedikit saja, sudah ia pastikan jika nanti kedua orangtuanya akan panik dengan hebohnya saat mendengar berita dari pak Kim jika ia telah hilang.

"Baiklah. Pak Kim tolong setelah ini pak Kim kembali ke tempat latihanku dan ambil peralatan memanahku. Ah, juga tas sekolahku yang tertinggal di loker sana ketika aku sedang berganti pakaian. Tolong ambil ya pak. Passwordnya masih sama." Perintahnya pada pak Kim.

"Baik tuan. Akan saya laksanakan."

Untung saja pak Kim belum mengabari kedua orangtuanya. Jika saja ia terlambat, bayangkan bagaimana paniknya kedua orangtuanya. Hilang apanya, Ia tidak hilang kok, ia hanya sedang diculik sebentar oleh seorang wanita berkelakuan bar-bar.

Berbicara mengenai wanita gila tadi membuatnya mau tidak mau jadi mendengus kesal. Dasar wanita menyebalkan! Sudah seenaknya mengatai dirinya, membuatnya kesal dan yang terpenting adalah wanita itu benar-benar suka seenaknya sendiri. Jika diingat-ingat hampir semua ucapan yang dikeluarkan oleh wanita itu hampir seluruhnya itu kalimat yang menyalahkan dirinya. Heol, padahal semua inikan salah anaknya sendiri! Anaknya yang katanya sempurna itu bahkan juga sama seperti ibunya. Sama-sama menyebalkan.

Memasuki rumahnya ia disambut oleh suara ribut yang berasal dari ruang tengah. Ruang keluarga yang biasanya dipakai untuk berbincang di akhir pekan bersama kedua orangtuanya. Ia berjalan menuju ke sana dan sesampainya di sana ia dikejutkan dengan pemandangan super berantakan yang disuguhkan oleh Jisung. Anak nakal itu sibuk bermain game dan yang paling parah adalah anak itu membiarkan bungkus camilan-camilannya berserakan di sekitar karpet serta ada beberapa remahan kue kering di sekelilingnya.

"Asik bermain game nya?" Ia berkata retorik, dan bisa ia lihat Jisung tersentak kaget langsung mengokkan wajahnya ke arah dirinya.

"Hyung?!" Jisung berlari menghampirinya. "Kau ke mana saja?! Pak Kim bilang kau hilang. Astaga hyung, aku sangat panik asal kau tau.!" Jisung memeluknya heboh.

"Panik katamu? Kau bahkan masih bisa setia bermain game. Yang seperti itu kau sebut panik?!" Ia menatap malas adiknya. "Cepat bereskan semua itu. Kau benar-benar menjijikkan Jisung."

"Hehe, aku belum selesai bermain game hyung. Nanti saja ya dibereskannya, kan ada ahjumma, biar mereka saja nanti yang bereskan."

"Berani menyuruh mereka, aku akan memiting kepalamu. Yang membuat kotor itu dirimu, untuk apa mereka harus merepotkan diri membereskan kekacauanmu." Ia menarik kerah belakang baju adiknya dan membawanya menuju ke arah dapur. Ia menyodorkan beberapa alat kebersihan pada anak itu.

"Bereskan sekarang juga. Dasar anak nakal."

Setelah itu ia berjalan memasuki kamarnya. Membanting tubuhnya di atas ranjang lebarnya sambil memejamkan kedua netranya. Ia benar-benar lelah hari ini. Kenapa sih ia bisa terlibat ke dalam masalah ini! Kenapa juga semalam ia tidak buru-buru pergi dari sana ketika dirinya sudah sadar jika ia salah masuk apartemen dan bukannya malah semakin masuk dan membuatnya menjadi diseret dalam masalah ini. Ok, ia akui ini memang bukan sepenuhnya salah si Mark sih. Ia akui ia juga ikut andil dalam masalah ini, namun hanya sedikit tidak sebanyak Mark yang memiliki andil besar dalam segala kekacauan yang sedang terjadi sekarang ini.

Ia mengerang kesal ketika ponselnya berbunyi dan membuatnya sedikit tersentak kaget. Ia lihat pemberitahuan di ponselnya dan di sana ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal. Pesan itu berbunyi:

"Aku akan menjemputmu malam ini jam 9. Kita akan makan malam di restoran, ibuku membatalkan makan malam di rumah karena suatu alasan.

Mark."

Oh dari si sialan Mark itu ternyata. Membatalakan karena suatu alasan? Halah bilang saja jika wanita itu tidak pandai memasak dan memilih untuk mengajak makan malam di restoran. Dasar wanita rubah.

.

.

.

.

Malam harinya ia sudah bersiap dengan setelan kemeja kasualnya. Ia sedikit sebal sebenarnya, kenapa acara makan malamnya harus dimulai jam sembilan. Diakan masih di bawah umur, jika ia tidur terlambat dan tidak teratur bisa terganggu nanti proses pertumbuhannya. Kan memang mau bagaimanapun juga dia ini masih di bawah umur, masih dalam masa pertumbuhan lebih jelasnya.

"Hyung mau ke mana?" Jisung menghadang langkahnya. Anak itu sepertinya baru kembali dari dapur, dilihat dari segelas susu di tangan kanannya.

"Hyung ada acara sebentar." Jawabnya singkat.

"Ke mana? Hyung tidak boleh pergi!" Adiknya itu merentangkan lebar kedua tangannya, melarangnya untuk pergi.

"Jisung, lebih baik kau segera tidur dan jangan buat hyung kesal ok. Hyung sudah sangat lelah hari ini. Hyung harus cepat pergi dan segera menyelesaikan masalah ini biar hyung cepat istirahat"

"Sampai jam berapa?"

"Secepatnya." Jawabnya ragu.

"Benarkah? Berani hyung berbohong, aku akan mengadukannya pada mama!" Kalimat bernada ancaman keluar dari mulut Jisung.

"Sudah ya jangan cerewet." Ia berjalan melewati adiknya begitu saja.

Di luar ia bisa melihat mobil seseorang sudah terparkir di halaman gerbangnya. Ia menghampiri mobil itu sesaat setelah Mark keluar dari dalam mobil itu.

"Ibuku sudah menunggu di sana. Ayo." Mark membukakan pintu untuknya, entah apa ini maksudnya. Apakah anak itu sedang mencoba untuk bersikap baik padanya dengan cara berlaku sok seperti kekasih sungguhannya.

"Nanti jika ibuku bertanya mengenai hubungan kita jangan dijawab, kau diam saja. Biar aku yang menangani itu. Dan untuk sikap ketusmu itu, aku rasa lebih baik kau tetap pertahankan itu di depan ibuku. Semakin kau bersikap ketus, aku berharap semoga dia tidak menyukaimu, jadi bisa jadi dia tidak akan pernah menemuimu lagi." Mark menjanjikan sesuatu yang terdengar sangat luar biasa di gendang telinganya. Tidak akan menemuinya lagi? Bagus sekali, semoga itu memang benar dan sesuai dengan keinginannya.

"Kau yakin itu?" Ia bertanya dan menatap Mark yang sedang mengendalikan kemudi mobil ini.

"Ya begitulah. Meski tidak seratus persen yakin, hanya saja semoga ibuku tidak menemuimu lagi."

"Aku pegang kata-katamu. Jika sampai ibumu datang menemuiku lagi, aku jamin aku akan bilang semuanya pada wanita itu."

"Kubilang jangan. Jika kau bilang semuanya, masalah ini tidak akan cepat selesai. Yang ada dia akan menganggap kau hanya berbohong dan akan terus mengganggumu karena kau sudah membohonginya."

"Lalu kenapa tadi siang kita tidak pura-pura putus saja agar ibumu tenang!" Ia menyentak kesal.

"Hei jangan begitu. Kau pikir apa yang akan ibuku lakukan jika dia tau aku sebenarnya tidak memiliki kekasih, hidupku pasti akan semakin sulit. Mengertilah aku." Mark meminta padanya.

"Wah. Wah! Kau memanfaatkan aku ya?! Sialan, kau tidak bisa seperti itu! Aku tidak mau! Aku tidak terima kau manfaatkan seperti ini hanya agar kau mendapatkan kebebasan. Dan lagipula tadi siang kau sudah buat kesepakatan pada ibumu supaya dia tidak mengganggu kehidupan pribadimu! Jadi apa lagi masalahnya?! Kita seharusnya berakting putus nanti! Setelah itu masalahku dengan ibumu akan selesai dan lagipula kau juga tidak akan diganggu ibumu lagi sekalipun kau sudah tidak memiliki kekasih. Kau kan sudah buat kesepakatan dengannya." Haechan mencerca Mark dengan segala emosi yang tengah ia tuang sekarang.

"Ya, ya berharap saja semoga apa yang diharapkan bisa terwujud."

"Kenapa nada bicaramu seakan mengatakan kalau semua ucapanku tadi hanya omong kosong yang tidak berarti?"

"Memangnya aku harus bicara apalagi? Aku menyanggah ucapanmupun pasti akan kau balas dengan bantahanmu yang sangat luar biasa itu." Mark membalas malas.

"Setidaknya jangan seringan itu kau menjawabnya. Kau seakan-akan menganggap remeh hal ini. Kau tidak tahukan betapa sangat terganggu dan keberatannya diriku menghadapi ini, apalagi berurusan dengan ibumu."

"Kau saja yang terlalu berlebihan. Jika kau menghadapi ini dengan santai, aku yakin kau tidak akan terlalu terganggu dengan semua ini."

"Kau bisa berkata seperti itu karena sudah terbiasa dengan sikap ibumu." Ia mencibir Mark tidak suka. Sungguh hatinya benar-benar sedang dihujam oleh rasa kesal yang amat sangat. Tidak bisakah Mark mengerti sedikit akan posisinya yang begitu tidak suka denga sikap ibunya yang terlalu mengganggu itu? Bisakah anak itu mengerti dirinya yang memang sangat tidak sudi diseret ke dalam jurang masalah ini? Kenapa anak itu seolah tidak peduli dengan keadaannya yang benar-benar sangat malang ini. Ia ini hanyalah seorang anak yang tidak tahu apa-apa yang kemudian secara tiba-tiba diseret dan didorong semakin dalam ke jurang masalah yang memiliki lebar begitu menganga tak terhingga.

Ia benci anak itu. Ia benci Mark. Orang yang baru ia temui semalam. Orang yang di dalam hatinya sudah ia patenkan sebagai seseorang yang sangat ia benci dan harus ia jauhi. Anak itu sudah banyak menorehkan berbagai macam hal yang tidak mengenakkan untuk ia alami. Dan anak itu benar-benar ingin ia habisi sekarang juga dengan tembakan berbagai jenis arrow yang sudah ia olesi dengan racun sebelumnya.

Suara ponsel milik Mark memecah keheningan ketika mobil yang mereka tumpangi sedang berhenti di lampu merah. Ia melirik melalui ekor matanya dan melihat anak itu nampak terburu-buru memasang earphone di telinga kanannya. Sebenarnya ia tidak ada maksud untuk menguping pembicaraan anak itu di telepon dengan seseorang entah siapa itu, namun ketika kata 'ibu' terdengar melewati saluran pendengarannya, mau tidak mau hal itu membuatnya langsung menengok dan memfokuskan segala perhatiannya pada pembicaraan Mark dengan seseorang di telepon itu.

"Maksud ibu bagaimana? Tidak jadi di restoran lalu pindah di ke mana lagi?" Dari tensi bicara yang Mark ucapkan, bisa ia simpulkam bahwa anak itu sedang kesal. Dan apakah acara makan malamnya akan berpindah lokasi? Benar-benar. Wanita itu sangat labil.

"Apa?! Ke rumahku? Lalu jika ke rumahku, kita akan makan apa di sana?! Oh ayolah bu, jangan aneh seperti ini." Dan setelah ia dengarkan sekali lagi, pembicaraan antar ibu-anak itu sangatlah tidak mengasyikkan, membuatnya jadi malas untuk meneruskan acara mari mencuri dengar pembicaraan Mark di telepon dengan seseorang.

"Kita akan ke apartemenku. Ibuku bilang kita akan makan malam di sana. " Mark memilih untuk segera melajukan mobilnya kembali ke arah apartemennya sesaat setelah lampu lalu lintas itu telah berubah warna hijau.

"Memangnya aku akan disuguhi makanan apa di rumahmu?" Tidak bermaksud untuk mengejek sebenarnya, namun ia benar-benar tidak tahu makanan apa yang akan dihidangkan nanti untuk makan malam.

"Ibuku membawa koki keluarga untuk memasak di sana. Jadi nanti kita akan terlibat sedikit ke dalam obrolan ringan bersama orangtuaku sembari menunggu makanan siap."

"Sudah kuduga jika ibumu itu tidak pandai memasakkan. Ibumu itu benar-benar aneh. Dan aku yakin sekali ia pasti punya maksud lain mengadakan makan malam di rumahmu. Apa dia sudah tiba duluan di sana?"

"Belum. Jadi lebih baik kita harus sampai di sana dahulu."

Setelah kalimat itu ia tidak menjawab. Ia lebih memilih diam dan memperhatikan jalanan. Hati dan mulutnya sudah cukup lelah untuk sekedar membalas kalimat dari Mark. Ia pun juga butuh waktu untuk mengistirahatkan otak serta batinnya. Sebab cobaan terbesar bukanlah saat ini, melainkan nanti ketika ia sudah berhadapan dengan ibunya Mark. Ibunya Mark itukan wanita yang sangat luar biasa menguji kesabarannya. Dan beruntunglah dirinya sebab ia bukan tipikal orang yang mau mengalah jika soal beradu argumen.

Biarkan energi serta kekuatannya terisi terlebih dahulu, setidaknya sekarang ia harus mempesiapkan hatinya untuk senantiasa bersabar di kala berhadapan dengan sosok wanita super menyebalkan macam ibunya Mark nanti. Ia sadar meski sebenci apapun dirinya terhadap wanita itu, wanita itu tetaplah sesosok ibu serta seseorang yang lebih tua dibandingkan dengan dirinya jadi ia harus tetap menjaga sopan santunnya nanti. Meskipun tadi siang ia sudah memberikan kesan buruk pada wanita itu. Namun itu tidak akan meluputkannya untuk mencoba berperilaku baik untuk menunjukkan pada wanita itu bahwa sesungguhnya ia juga memiliki tatakrama serta perilaku yang begitu santun.

Sekarang ia sudah sampai di lobi apartemen Mark, dari belakang ia dengan setia mengikuti laju kaki pria itu. Jujur saja, ia tidak ada keberanian sama sekali untuk berjalan berdampingan dengan pria itu, bukan karena takut ataupun apa. Hanya saja ia merasa jika ia berjalan di samping pria itu mungkin itu akan memberikan pandangan aneh dari beberapa orang yang tadi dilalui oleh mereka. Mark berjalan sendirian saja ia rasa sudah menarik perhatian banyak orang, apalagi jika ia muncul di samping pria itu, bisa jadi nanti ia juga akan dijadikan sebagai pusat perhatian. Ia tidak bermaksud untuk terlalu percaya diri, namun ia sejak dulu memang sangat tidak suka jika menjadi pusat perhatian atau sekedar berdekatan dengan seseorang yang begitu memiliki jiwa penarik perhatian. Ia anti dengan hal-hal seperti itu sejak dulu.

Ketika mereka sudah sampai di lantai di mana apartemen Mark berada, ia yang baru saja keluar dari lift hampir saja dibuat terkena serangan jantung. Bagaimana tidak, di sana ia melihat ibunya sedang berbincang sedikit dengan keluarga Jeno di depan pintu apartemen Jeno. Sepertinya ibunya akan berpamitan pulang.

Ia reflek menyembunyikan tubuhnya tepat di samping Mark dan memilih untuk menundukkan kepalanya, bermaksud untuk meminimalisir kemungkinan ia akan ketauan oleh ibunya. Ia sangat takut akan ibunya yang bisa saja memergokinya sekarang, dan ketahuan sudah melanggar peraturan yang sudah dibuat di rumah oleh kedua orangtuanya. Keluar di jam malam yang hampir mendekati jam tidurnya tanpa seizin mereka, bisa gawat nanti jika ia sampai ketahuan. Ia yakin ibunya pasti tidak akan mengampuni dirinya dengan mudah.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Ia yakin Mark pasti sedang heran dengan tingkah anehnya sekarang. Bayangkan saja ia yang lebih pendek dari Mark sedang mendusal-dusal di lengan orang itu sembari menggandeng lengannya. Ia tidak ada maksud lain sungguh, ia hanya benar-benar sangat takut jika ketahuan oleh ibunya.

"Bisa kita lebih cepat!" Ia benar-benar panik ketika ia melihat tubuh ibunya sudah berbalik dari apartemen Jeno. Nampaknya kunjungan ke hunian baru itu telah usai dan ibunya hendak pulang. Astaga semoga saja ibunya tidak pulang ke rumah, ia berharap semoga ibunya kembali menginap di hotel seperti biasanya jika sedang sibuk bekerja. Dan ia sekarang semakin disibukkan dengan kegiatan mari sembunyi dari ibu dengan cara semakin menarik-narik tubuh Mark tanpa sadar. Tidak bisakah mereka cepat sampai ke dalam apartemen! Ia sungguh bisa gila jika sampai ketahuan.

"Huft..." Ia lega akhirnya bisa bernapas bebas juga. Ibunya tidak menyadari dirinya dan hanya berlalu begitu saja melewati mereka tanpa rasa curiga ataupun apa.

"Sebenarnya ada apa sih?" Mark bertanya heran ketika mereka akhirnya telah sampai di depan pintu apartemen. Pria itu kini sedang menekan password apartemennya dengan santai, tidak takut jika ia bisa saja mengintip dan mengetahui passwordnya.

"Kau lihat wanita yang berpapasan dengan kita tadi?" Ia bertanya ketika mereka sudah masuk ke dalam. "Dia itu ibuku asal kau tahu. Di rumahku ada beberapa peraturan ketat yang dibuat oleh orangtuaku, diantaranya dilarang keluar rumah ketika waktu sudah menunjukkan lewat jam tidur tanpa seizin dari mereka. Dan jika sampai ketahuan, bisa gawat nanti. Aku tidak tahu apa konsekuensinya sebab aku tidak pernah melanggarnya, namun ketika membayangkan aku melanggar peraturan itu dan ketahuan oleh orangtuaku, rasanya sangat menakutkan. Hanya memikirkan hukuman apa yang akan aku terima saja itu sudah cukup untuk membuatku menjadi merinding ketakutan."

"Entah kenapa mendengar itu aku jadi merasa jika ibumu hampir serupa dengan ibuku." Mereka berdua duduk berdampingan di sebuah sofa panjang di ruang tamu.

"Tidak juga sih. Setidaknya ibuku masih memberiku kekebasan. Dan juga ada beberapa peraturan yang akan hilang seiring dengan bertambahnya usiaku." Ia menjelaskan sambil berasandar nyaman di sofa itu.

"Ya, ya terserah kau saja. Ngomong-ngomong aku sudah punya skenario untuk putus sekarang. Dengarkan aku baik-baik ok." Mark memberi jeda sejenak. "Nanti ketika makan malam kau berpura-puralah untuk pamit sebentar ke kamarku alasannya bilang saja jika kau mau mengambil ponselmu yang tertinggal di sana. Lalu setelah itu, kau akan keluar dari kamar dengan keadaan sangat marah karena menemukan sebuah foto seorang wanita di dalam laci kamarku. Dan di saat itulah kau marah besar padaku dan berteriak meminta putus." Pria itu menjelaskan dengan sangat panjang dan cepat, beruntung ia seorang yang pandai sehingga bisa dengan cepat pula menangkap maksud ucapannya.

"Boleh juga. Baiklah aku setuju untuk melakukan itu. " Ia hanya menjawab ringan, sebab jika ia pikirkan sekali lagi hal itu mungkin cukup akan berhasil. Mengingat ibunya Mark memang sangat menginginkan mereka untuk putus. Putus bagaimana, padahal berkencan saja tidak pernah.

Ia melihat arloji di tangan kanannya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Astaga mau sampai kapan ia akan berada di sini. Bahkan makan malamnya saja belum dimulai. Memang sih besok ia libur, namunkan esok ia ada latihan memanah rutin di akhir pekan. Ia tidak mau melewatkannya lagi seperti tadi sore.

Jujur saja, Ia berlatih giat seperti itu bukan karena ia memiliki keinginan untuk menjadi seorang atlet, semuanya yang ia lakukan bukanlah untuk itu. Semua ini ia lakukan semata karena ia sangat menyukai olahraga ini. Memanah membuatnya menjadi penuh konsentrasi serta membutuhkan fokus tinggi. Dan ketika ia memanah hal tersebut mampu membuatnya melupakan sejenak masalah yang sedang ia hadapi sebab fokus pikiran serta konsentrasinya teralihkan pada bidikan panahnya nanti.

Setidaknya hal itu mampu membantunya menghindari stress. Dan ketika ia melihat anak panahnya melesat dengan laju yang begitu cepatnya, itu mampu membuatnya merasa sangat bahagia. Melihat anak panah itu melesat dengan bebasnya tanpa halangan dan rintangan apapun.

Tidak lama setelah ia dan Mark menunggu, kedua orangtua Mark kini telah datang, diikuti dengan pasukan pria bertopi kokinya yang mengikuti dari belakang. Melihat hal tersebut ia benar-benar dibuat melongo, jadi kalimat Mark yang tadi itu memang benar. Ia kira pria itu hanya bercanda ketika bilang jika ibunya akan membawa koki rumah. Tidak ia sangka hal itu bukanlah gurauan semata, pikirannya yang mengatakan jika ibunya Mark mungkin akan memesan makanan dari restoran ternama ternyata tidaklah nyata. Ibunya Mark lebih memilih membawa koki sendiri ternyata. Wah, wanita itu benar-benar aneh dan luar biasa tidak bisa ditebak.

"Kalian segera memasak sekarang. Bawa bahan-bahannya ke dapur sekarang juga, karena aku tahu anakku yang satu ini sangat malas mengisi kulkas dengan bahan masakan." Perintah si Nyonya besar itu.

"Siap nyonya." Serempak para koki tersebut menjawab dan lekas berjalan menuju ke arah dapur di rumah ini.

Ketika dirinya masih dibuat takjub dengan semua yang sedang ia lihat tadi, Mark tanpa ia sadari sudah menarik tangannya untuk duduk kembali ke arah sofa.

Mereka berempat sudah duduk di sana dengan saling berhadapan. Ia dengan Mark yang duduk berdampingan dan kedua orangtua Mark di depan mereka.

"Apa kau tidak akan menyapa kedua orangtua dari kekasihmu terlebih dahulu." Suara cibiran yang keluar dari mulut wanita itu menyadarkannya dari lamunan aneh yang sejak tadi ia lakukan.

"Ah iya, Selamat malam Tuan, Nyonya. Nama saya Lee Donghyuck." Ia berdiri dan mengenalkan dirinya dengan sedikit kaku. Ia baru sekali melakukan hal ini, maksudnya baru pertama kali bersikap seperti ini pada orang yang benar-benar asing bagi dirinya.

Setelah membungkukkan badannya sejenak, ia kembali duduk di sofanya, bertepatan dengan ayah Mark yang tampak tersenyum tipis kepada dirinya. Untunglah ayahnya Mark tidak memandang tidak suka padanya, setidaknya sekalipun ia bukanlah pacar sungguhannya Mark ia bisa dikenal sebagai sosok yang baik oleh oranglain. Jadi tidak akan sia-sia tindakannya tadi, tampaknya ayahnya Mark memang tidak nembencinya.

" Mengenai penawaranmu tadi siang, sebenarnya ibu masih belum bisa menyetujuinya secara utuh. Kau tahukan, setiap keputusan yang akan ibu ambil haruslah dibicarakan terlebih dahulu bersama ayahmu." Yang mengawali pembicaraan ini adalah ibunya Mark. Entah mengapa, sekarang setiap kali ia mendengarkan suara milik wanita itu perasaannya mendadak berubah tidak enak dengan begitu cepatnya.

"Euhm lalu.?" Ia mendengar Mark bertanya dengan sedikit ragu disertai dengan kekhawatiran tersirat melalui pendar matanya.

"Setelah tadi sore kami berunding, kami sudah memutuskan. Kami rasa penawaranmu itu hanya akan berlaku jika kau memang benar-benar memiliki kekasih dan masih terikat dengan kekasihmu itu. Atau mudahnya, jika kau berbohong mengenai kekasih atau apapun itu maka jangan harap penawaranmu itu akan berarti sebab jika sampai kau ketahuan telah membohongi kami maka kami tidak akan pernah melepaskanmu dengan kekasihmu atau mungkin kekasih palsumu itu. Itu jika kau berbohong Mark." Apa-apaan ini, kenapa? Astaga,kenapa ayahnya Mark terdengar beribu kali lebih menyeramkan dibanding dengan istrinya.

Lihatlah betapa tajamnya tatapan pria itu. Tampak begitu tegas tanpa tersirat sedikitpun kebohongan dibaliknya. Mendadak ia merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku setelah memperhatikan mata pria itu. Netranya menengok ke samping pada Mark, dan ternyata keadaan pria itu jauh lebih baik dari dirinya, meski tidak bisa dikatakan baik sepenuhnya. Pasalnya setenang apapun wajah itu ia masih bisa sedikit menangkap rasa cemas yang terpancar melalui matanya.

Dan matilah ia sekarang. Dari yang ia dengar barusan, sepertinya ia akan semakin terseret ke dalam arus mahligai kehidupan di keluarga ini. Jika mereka ketahuan telah berbohong maka bukan hanya Mark saja yang akan berada dalam masalah, dirinya pasti juga akan ikut terseret.

"Sekarang yang kedua, penawaran itu akan hangus jika kau dan kekasihmu ini putus. Dan penawaran itu juga tidak akan berguna jika kau memiliki kekasih lagi. Karena menurut ayah, penawaran yang kau berikan itu hanya untuk menguntungkan dirimu sendiri, serta hanya akan disepakati oleh satu pihak. Ayah mana mungkin mau menyepakati penawaran seperti itu. Itu sangat tidak berimbang sekali. Setidaknya jika kau hendak memberikan penawaran, kau harus memikirkan tentang kedua belah pihak. Bukan malah mencari keuntungan demi diri sendiri." Sempat jeda sejenak, sebab ayah Mark sedang saling bertatap mata dengan putranya itu. "Jadi ayah ingin kembali mengambil alih segalanya setelah kau putus dengannya. Bukannya ayah berharap kalian cepat putus, sebaliknya malah. Ayah berharap kau bisa menjaga hubungan kalian dengan baik. Setidaknya dengan itu kau bisa serius dengan perkataanmu." Astaga, meski opsi yang kedua ini berisi ancaman yang hanya diperuntukan untuk Mark seorang, entah mengapa ia juga merasa takut.

"Ya baiklah. Setidaknya itu mungkin bisa menjadi penyemangat untukku semakin menyayanginya." Sebenarnya otak dari pria ini terdiri dari unsur apa? Mengapa ia masih bisa setenang dan sedatar itu menanggapi segala ucapan ayahnya. Setidaknya paling tidak Mark itu harus memberi beberapa bantahan atau argumen untuk membalas ucapan dari ayahnya. Bukan malah menyetujuinya dengan mudah. Dan bagaimana orangtua Mark itu bisa dengan mudahnya menerima dirinya sebagai "kekasih"-dalam tanda kutip, padahal sudah jelas jika dirinya ini juga lelaki. Apa mereka tidak keberatan jika putranya menjadi homo.

"Bagaimana denganmu Donghyuck-ssi? Apa pendapatmu mengenai kesepakatan ini?" Ia disodori pertanyaan oleh ayahnya Mark. Sempat bingung harus membalas apa, namun beruntunglah ia sebab otaknya mampu memproses segalanya dengan cukup cepat.

"Ayah jangan menganggil namanya seakan ia ini orang asing. Aku harap ayah mampu memanggilnya dengan akrab supaya dirinya semakin cepat dekat dengan keluarga kita." Ucapan yang hanya omong kosong itu terlontar dari mulut Mark, mendahuluinya yang belum sempat menjawab pertanyaan dari ayahnya. Dasar pembual. Akrab? Supaya cepat dekat dengan keluarga? Kau makan saja semua kalimatmu itu hingga kau kenyang Mark.

"Tidak apa-apa hyung. Mungkin semua memang butuh proses." Menjijikkan sebenarnya berkata seperti demikian. Namun mau bagaimana, ia tidak tega untuk tidak membantu Mark. Sejahat dan setidak peduli apapun dirinya, ia tetaplah seseorang yang memiliki hati nurani. Jiwa kesusilaannya senantiasa membimbingnya untuk selalu membantu sesama. Meski itu akan merugikan dirinya sendiri sebenarnya.

"Kau bisa berkata semanis itu di depan suamiku. Apa kau sudah lupa bagaimana sikapmu padaku tadi?" Fokusnya teralihkan oleh suara dari ibunya Mark. Padahal sejujurnya ia tadi hendak menjawab pertanyaan yang telah diajukan oleh ayah Mark.

"Setidaknya bukan akulah yang memulainya terlebih dahulu. Aku meminta maaf jika aku telah melukai perasaanmu. Namun jujur saja, aku melakukan semua itu sebab untuk melindungi diriku. Aku begitu takut tadi sore, ketika mendadak ada begitu banyak pria besar-besar yang menarik dan menyeret badanku lalu berakhir dengan diriku yang dipertemukan denganmu. Lalu setelah itu anda terus saja mencercaku, hingga mau tak mau hal tersebutpun membuatku harus bersikap seperti demikian. Sekali lagi maafkan aku." Bagus sekali, ia ikut membual dan mengudarakan omong kosong sialan di hadapan kedua orangtua itu. Dan di akhir dari kalimatnya, ia menyempatkan diri untuk mebungkuk sopan bersikap seolah ia sedang dirundung penyelasan yang begitu luar biasa.

"Sudahlah sayang. Yang kau lakukan tadi siang itu memang benar. Terkadang ibuku memang suka keterlaluan dalam bersikap. Dan sikapmu itu hanyalah reflek terhadap pertahanan diri." Sialan, kenapa semakin lama semakin banyak omong kosong yang berenang-renang di seluruh penjuru ruangan ini. Dan ia berani bersumpah jika hal ini disebabkan oleh si Mark sialan itu.

"Tapikan, tetap saja apa yang aku lakukan pada ibumu itu tidak sopan hyung." Ia memperlihatkan wajah menyesal super memelas.

"Aku mengerti itu. Aku sudah tahu semua yang telah terjadi tadi siang antara dirimu dan istriku. Tidak apa-apa, aku memakluminya. Jadi bagaimana jawabanmu untuk pertanyaanku yang tadi?"

"Aku tidak terlalu memperdulikannya, jujur saja. Bagiku kesepakatan tadi tidak akan terlalu berpengaruh pada hubungan kami. Karena aku yakin tanpa kesepakatan tadipun kami juga akan tetap bersama." Hatinya tertawa miris mengucapkan untaian kalimat-kalimat tadi. Tetap bersama? Tetap bersama pantatmu!

"Baguslah. Akupun juga begitu, bagiku tidak masalah apakah Mark itu seorang penyuka sesama jenis. Selama ia bisa bertanggung jawab dan tidak menyakiti pasangannya itu sudah cukup untuk membuktikan jika tidak akan ada bedanya dengan mencintai sosok sesama pria ataupun gadis sekalipun." Ayah Mark membalas dengan sangat bijak sembari tersenyum manis. Baguslah pak, kau telah termakan oleh tipu muslihat dari putra kebanggaanmu yang ternyata adalah seorang bajingan pembohong.

"Lalu bagaimana dengan ibu? Apa ibu keberatan aku berpacaran dengan Donghyuck?" Mark bertanya pada sang ibu yang masih nampak menahan amarah serta kekesalan.

"Aku keberatan serta tidak sukapun kau juga tidak akan pedulikan. Jadi untuk apa aku memberitahumu." Ibu Mark membuang muka dan malas memandang wajah putranya sendiri. Dan bagi Haechan hal ini adalah pemandangan terbaik yang pernah ia lihat. Baik sekali bu, setelah kau buang wajahmu seperti itu selanjutnya kau harus menendang wajah putramu itu dan jangan pernah sudi untuk memandang wajah kurang ajarnya itu lagi ok.

Sejenak suasana menjadi hening dan suara dari bel apartemenlah yang memecahkan keheningan tersebut. Mereka berempat sempat heran dengan siapa yang bertamu di malam hari seperti ini. Terlebih dengan Mark yang nampak sangat heran, pasalnya ia tidak pernah memberitahu siapapun memgenai alamat apartemennya selain pada kedua orangtuanya. Lalu siapa yang berkunjung malam-malam begini.

"Biar aku saja yang buka." Mark memutuskan untuk memastikan sendiri siapa yang berkunjung tersebut.

Ketika ia sudah sampai di depan daun pintu, di dalam hatinya tidak tersemat sedikitpun perasaan aneh ataupun apa. Ia tetap santai dan tidak akan terlalu peduli akan siapa yang datang. Ia hanya masa bodoh saja, namun sesaat setelah ia membuka pintu dan bertemu tatap dengan seorang wanita berpakaian elit dan bersikap anggun ia langsung dibuat kaku dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Di mana putraku?" Dan semakin banyaklah masalah yang akan ia terima. Pasalnya sosok wanita yang ia bicarakan tadi adalah ibunya Donghyuck yang secara tidak sengaja berpapasan dengannya di koridor tadi.

"Cepat suruh dia keluar!" Dan suara teriakan yang sangat memekakan telinga itu terasa telah menjadi pembuka lembaran penderitaan barunya.

.

.

.

TBC

.

.

.

Senin, 22 Agustus 2016.

FF ini sebenarnya FF panjang pertama yang sedang saya coba untuk buat. ff ini saya buat sebelum rencana bikin Bad dark sama cinderella Haechan, tapi baru akan saya post sekarang sebagai selingan nunggu Bad dark chap 2 keluar entah selasa atau besok.

Selalu, saya tidak terlalu berharap banyak. Semoga ada yang baca dan bersyukur jika ada yang memberi review serta dijadikan sebagai fav.

Sekian, ketemu lagi di next chap, kalo ada yang baca lho ya. Jadi mohon dukungannya.