Hajimemashite, Minna…
Watashiwa ~ Ruki ~ desu
Disclaimer : Taito Kubo
Warning : OOC, AU, Typo(s), Ichigo's POV
Pairing : IchiRuki
Rate : M
HARI-HARI SURGA
== Ruki ==
Chapter 1
"Ini, Tuan. Silakan," katanya sambil menyodorkan sesuatu tepat di atas etalase berkaca transparan—yang memamerkan perhiasan mewah di dalamnya. "Bagaimana? Apakah sesuai, Tuan?" lanjut seorang pramuniaga sambil menyodorkan sebuah cincin kepadaku, sebuah cincin dengan ukuran yang sangat kecil—kurasa lebih kecil dari jari kelingkingku.
Aku terdiam sejenak, mengamati baik-baik lingkaran berkilau yang kini berpindah ke tanganku. Aku tidak menyangka akan benar-benar melakukan hal ini. Membeli sebuah cincin pertunangan dan sebentar lagi akan menemui wanita yang mungkin akan menjadi istriku—tepatnya calon istri.
Aku tidak percaya akan benar-benar menuruti keinginan si baka oyaji untuk segera melamarnya. Tapi Karin dan Yuzu pun menginginkan hal yang sama. Memang, aku juga tidak memiliki pikiran sedikit pun untuk mencari wanita lainnya, karena percaya atau tidak, aku masih belum berminat untuk mencari 'wanita' yang benar-benar bisa kumiliki. Dan bukannya aku menolak untuk melamarnya, hanya saja aku masih belum yakin dengan keputusan ini.
Dia adalah wanita yang baik, bukan baik, malahan sangat baik kepadaku begitu juga kepada semua orang di sekitarku. Ramah dan murah senyum. Baka oyaji sangat menyukainya begitu pun Karin dan Yuzu—mereka tampak lebih menyukainya daripada aku sendiri. Haaahhh...
"Bagaimana, Tuan?" perkataan pegawai toko itu belum mampu membuyarkan lamuananku—aku masih terlalu asyik dengan segala hal yang memenuhi otakku.
Aku mengacuhkan wanita paruh baya dengan name tag Iwase Rei tersebut. Aku masih melamunkan segala hal sambil memandangi cincin di dalam genggamanku. Mulai dari bagaimana aku dan dia bisa bersama seperti ini, hingga saat dimana ia menyatakan cinta padaku sambil berlinangan air mata beberapa tahun silam.
Jujur, saat itu aku hanya mengaggapmu sebagai sahabat, tidak lebih. Tapi...
"Ya, aku ambil yang ini. Tolong bungkus," kataku asal dan berbalik badan—berjalan santai melihat-lihat perhiasan lainnya di bagian terdalam sisi ruangan.
...tapi aku tidak bisa menolakmu, karena kita adalah sahabat. Itulah alasanku.
"Tuan!"
Aku menghampiri wanita muda yang baru saja memanggilku. Ia menyerahkan sebuah bingkisan—yang di dalamnya berisi sesuatu yang memang kupesan beberapa saat yang lalu. Kujinjing bingkisan itu, sangat berat—terasa berat meskipun kenyataannya terlalu ringan untuk kubawa. Kenapa menjadi seperti ini?
Kupandangi bingkisan yang kini berpindah tangan padaku. "Sepertinya... aku melewatkan sesuatu, tapi apa?" tanyaku pada bingkisan itu—seakan sesuatu itu bisa menjawab pertanyaanku.
Sebenarnya aku ingin mengulur-ngulur waktu jika aku bisa, namun aku harus benar-benar yakin akan keputusan konyol yang kini telah kuambil. Aku harus cepat-cepat meninggalkan toko ini dan segera pergi menuju restoran italia yang terletak tepat di pusat kota. Dia pasti sedang menungguku sekarang. Pasti menunggu dengan wajah penuh harapnya.
xXx
Aku berjalan menelusuri sisi jalanan malam Tokyo. Masih dengan menjinjing sebuah bingkisan yang kini terkantung-kantung di sisi kanan tubuhku. Jam di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul sembilan malam—sepertinya aku tidak terlalu terlambat jika sudah mencapai tempat itu.
Kutoleh ke berbagai sudut kota. Sejauh mata memandang... ramai. Bunyian di sisi jalan raya, ataupun pertokoan di sepanjang trotoar jalan—benar-benar kontras berbeda jika dibandingkan dengan kota kelahiranku, Karakura. Entah kenapa, aku jadi merindukan kota kecil itu saat ini, terlalu banyak kenangan yang terekam di sana.
Sejenak aku berpikir, jika aku boleh mengingat-ingat kembali, awal diriku mengenal seorang wanita yaitu saat aku bertemu dengan Arisawa Tatsuki, wanita tomboy yang selalu mengalahkanku. Teman sejak kecil yang hingga sekarang pun kami bekerja di instansi yang sama—rumah sakit umum di bagian selatan Tokyo. Aku tidak menyangka, kami akan selalu bersama seperti ini.
Dan yang kedua adalah Orihime Inoue yang selalu salah tingkah saat memperhatikanku. Warna rambutnya mengingatkanku akan ibu. Oh iya, dia begitu dibenci saat di sekolah dasar, tapi saat kami duduk di sekolah menengah atas dia menjadi primadona sekolah. Sikapnya selalu berbeda saat di dekatku. Tapi memang sudah dasarnya, aku tidak terlalu memperhatikan hal seperti itu sejak dulu. Namun sekarang tentu saja aku tahu alasannya.
Dan yang terakhir...
"Ru... Ruk...Ruru...?"
Oh, Tuhan! Kenapa aku bisa melupakan nama gadis cebol itu? Oh, mungkin karena saat itu aku benar-benar ingin melupakannya. Benar-benar wanita galak dan menyusahkan. Aku tersenyum miring saat mencoba mengingatnya lagi.
"Aaah... Rukia. Rukia Kuchiki!" ujarku lantang saat aku berhasil mengingat namanya—aku tersenyum lebar sedikit terkikik untuk diriku sendiri, kenapa?
Kugaruk kepalaku yang dulu selalu saja dijitak olehnya. Maafkan aku, namamu sempat terlupakan olehku. Tapi tentu saja hal itu ada alasannya kan?
"Bagaimana kabar si cebol itu sekarang? Apakah dia tetap tak dapat tumbuh tinggi? Atau bahkan tetap galak dan cerewet seperti nenek-nenek? Ceh! Wanita seperti itu, benar-benar membuatku ingin..."
Aku menghentikan langkah kemudian berpikir hingga kerutan di dahiku kembali ketara jelas dan dalam. Ingin apa? Ingin memeluknya? Ingin membalasnya? Oh, Tuhan, seandainya sekarang ia berada di depanku, apa yang akan kulakukan?
Sebuah kupu-kupu berwarna hitam legam melayang-layang di balik pepohonan. Seakan berusaha untuk bersembunyi dari penglihatanku—seperti seseorang yang sedari tadi diam-diam mengawasiku, tanpa kutahu, tanpa bisa kulihat.
Seorang wanita berdiri tegak di atas tiang listrik di pusat kota, memandangiku dengan tatapan sayu—ia terlihat sangat sedih, begitu sedih.
xXx
Wanita dengan drees ivony yang begitu vulgar menampilkan lekuk tubuhnya—Orihime Inoue—tengah duduk berpangku telapak tangan di atas meja di sisi terkanan ruangan. Dia adalah kekasihku... yang kutahu, wanita yang sangat cantik, sempurna... tapi bukan itulah yang kucari. Bukan.
"Ah! Kurosaki-kun! Se—selamat malam!" sapanya senang, bahkan sangat senang, terlihat saat ia menyadari kehadiranku, wanita itu langsung berdiri dan tersenyum begitu lebar kepadaku.
"Maaf, telah membuatmu lama menunggu," tukasku datar, seperti biasa.
Wanita itu tetap tersenyum sambil menggibas-gibaskan kedua tangan di depan wajahnya sendiri—meyakinkan diriku bahwa ia tak keberatan menungguku selama apa pun. "Ah, tidak, tidak! Aku tidak keberatan menunggumu."
Aku hanya menanggapinya dengan senyum datar, harus seperti itu karena jika aku tersenyum riang sepertinya, ia malah akan menganggapku sedang menyembunyikan masalah. Dan dia akan dengan tergesa mendesakku untuk menceritakannya—apakah aku semudah itu ditebak?
Aku mengamati wanita di hadapanku ini dengan seksama. Apa benar, wanita inilah yang akan menjadi pendamping hidupku untuk kedepannya nanti? Apakah benar, dengan menikahinya aku akan bahagia? Keluargaku juga akan bahagia menerimanya?
"Kurosaki-kun, apa yang ingin kita bicarakan? Bukankah kau mengajakku kemari untuk membicarakan sesuatu?"
Aku menghela napas sejenak, sebetulnya aku bukanlah seorang pujangga yang pintar merangkai kata-kata. Lagi pula hal ini kulakukan mendadak tanpa persiapan yang matang. Mungkin... ini yang terbaik untukku, itulah keyakinanku. Mungkin?
Aku menarik napas sejenak lebih dalam, "Aku ingin hubungan kita menjadi lebih serius dari ini, jadi..."
Kurogoh saku celanaku dan dengan perlahan kusodorkan sebah kotak kecil berwarna kecoklatan mendekat ke sisi mejanya. Kulihat kedua mata Inoue berbinar, seakan sudah tahu, kalimat apa yang sebentar lagi keluar dari mulutku, ia menjawab sebelum aku menanyakannya.
"Aku bersedia Kurosaki-kun. Aku bersedia... terima kasih," ungkap Inoue menunjukkan kedua matanya yang berkaca-kaca—menatap langsung ke lensa mataku. Seakan meyakinkanku bahwa ia sangat menunggu-nunggu hal ini terjadi.
Aku tidak menyangka ia akan segembira itu. Dengan cepat ia berdiri dan menghampiri tempat dudukku. Dengan tanpa ragu sama sekali ia memeluk leherku. Oh, Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Ia menangis.
"A—aku... sangat senang! Sa... sangat senang!" ucapnya dengan nada meninggi dan haru.
Aku hanya tersenyum kaku dan mengelus punggungnya. Kulihat semua orang di sekitar kami kini melihat ke arahku. Memang sih mereka hanya tersenyum maklum, bukannya mengejek, tapi... oh, ayolah, jangan berlebihan!
Akhirnya aku terlepas juga dari pelukan eratnya. Sebagai seorang pria, dengan sikap lembut aku menuntunnya kembali untuk duduk di tempat duduknya. Setelah itu, aku sendiri pun kembali ke tempat dudukku. Kuangkat sebelah tanganku untuk meraih salah satu tangan Inoue yang berada tepat di seberangku.
"Kemarikan tanganmu, aku akan memakaikannya," ucapku lembut sambil tetap melihat ekspresi tersipunya.
Dia memang sangat cantik, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang kulupakan... sejak tadi, tapi apa?
"Ano... Kurosaki-kun... sepertinya... terlalu kecil untuk jari manisku," perkataan Inoue mengaburkan lamunanku yang masih saja belum memasukkan lingkaran dengan kilauan itu ke jari manisnya.
"Ah, apa? Tidak muat? Mana mungkin?" elakku bersikeras dan kini mulai memasukkan cincin tersebut agar bersatu dengan jari manis lentiknya.
Benar-benar payah. Aku meringis saat perkataan Inoue terbukti benar adanya. Sebenarnya apa yang kupikirkan tadi hingga membeli cincin dengan ukuran sekecil ini? Benar-benar memalukan.
Inoue tidak menunjukkan wajah kekecewaannya. Wanita itu lebih memilih tertawa pelan dan kembali tersenyum padaku. Inoue memang selalu bersikap baik saat berhadapan denganku, seakan-akan takut kehilangan diriku jika ia membuat satu saja kesalahan. Aku yakin, wanita ini begitu mencintaiku. Membuatku merasa bersalah karena tak mampu membalas cinta itu.
"Sebaiknya kusimpan saja dulu. Karena menurutku, di jari kelingking pun tidak akan muat," bujuknya sambil menggenggam tanganku.
Sontak aku menggeleng cepat. "Tidak perlu, biar aku membeli yang baru besok. Kau tidak keberatan kan?" ucapku sedikit berharap bahwa ia takkan kecewa. Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya.
Inoue hanya tersenyum lagi dan mengangguk, "Terserah kau saja. Tapi terima kasih, aku sangat menghargainya," ujarnya ditutup dengan kikikan—sedikit mengejekku.
Aku hanya memandangnya tanpa ekspresi, karena kini anganku telah terbang pada sesosok kupu-kupu berwarna hitam pekat yang melintas begitu saja di depan mataku. Aku terkejut bukan main, namun saat kukerjapkan kedua mataku, tak ada sesuatu yang aneh di depan mataku, yang kulihat hanya wajah Inoue yang menatapku heran.
"A—ada apa, Kurosaki-kun? Kau seperti baru saja melihat hantu?" tanya Inoue sambil memiringkan sedikit kepalanya.
Aku menggelengkan kepala kencang, seakan menolak hayalan yang terasa begitu nyata di depan mataku. Kuhela napasku pelan kemudian berkata, "Aku... aku hanya melihat sesuatu yang sangat kurindukan,"
Inoue mengerutkan dahinya, "Apa itu?"
Aku memandang keluar ruangan dan menggenggam erat cincin di telapak tanganku. Cincin berukuran kecil yang telah kupilih salah dengan cerobohnya. "Aku melihat..."
Aku terdiam sejenak, sebenarnya aku ingin jujur, bahwa tiba-tiba saja aku merindukan sosok Rukia di depan mataku, namun aku ragu mengatakannya, "... aku melihat kau. Aku rindu padamu," dustaku tulus, dan Inoue pun tersenyum.
"Aku juga merindukanmu, Kurosaki-kun. Selalu..."
xXx
Sepanjang perjalanan pulang, Inoue tak henti-hentinya mencurahkan kebahagiaannya padaku. Sebelah tanganku bahkan sama sekali tak dilepaskannya, masih tetap didekap kuat. Hari ini mobilku absen dari kewajibannya menemani aktivitasku 24 jam penuh, maka dari itu, aku dan Inoue memutuskan untuk pulang berjalan kaki saja.
Jas yang kupakai tadi kini telah berpindah bahu pada tubuh Inoue. Bagaimanapun juga aku harus menjaganya dari kejamnya udara musim dingin di Tokyo saat ini. Maka dari itu kuberikan saja jas milikku padanya.
"Inoue, apakah kau pernah melihat kupu-kupu di musim dingin seperti ini?" kataku sambil menerawang jalan di depan mata.
Inoue mengeratkan pelukan tangannya pada lenganku dan menjawab, "Belum, aku belum menemukannya. Bukan berarti tidak ada bukan?"
Benar juga, yang belum kulihat belum tentu tak akan pernah kulihat selamanya. Seandainya itu berlaku untuk semua hal, aku ingin...
"Kurosaki-kun, kita sudah sampai!" teriak Inoue tepat di telingaku.
Aku sedikit terkejut dengan aksinya itu. Entah apa lagi yang diinginkannya sekarang. Kedua tangan Inoue menarik tangan kananku untuk mengikuti langkahnya memasuki gedung apartemen. Awalnya aku diam, mungkin ia hanya ingin menyeretku hingga resepsionis, tapi ini... ia menarikku hingga lift? Apa lagi maunya?
"Tunggu, kenapa kau menarikku hingga ke mari?" tanyaku sambil mengernyitkan sebelah alis pertanda heran.
Inoue tiba-tiba saja terdiam, ia tidak menjawab pertanyaanku. Aku yang semakin bingung hanya terus memandanginya, menunggu jawaban logis dari bibir basahnya. "Ini sudah malam, kau harus beristirahat. Besok kita bisa bertemu lagi kan?" bujukku sambil mencoba melepaskan genggamannya saat kami sampai di lantai lima gedung apartemen.
Inoue tampak sangat ragu saat ingin mengucapkan sesuatu yang masih tercekat di tenggorokannya. Rupaya ia ingin mengatakan hal yang penting padaku. Untuk menguatkanya, aku menepuk kedua bahunya dan mengangkat wajahnya yang masih tertunduk.
"Katakan saja, aku tidak akan marah. Ada apa, Inoue?" tanyaku mencoba sabar menghadapinya.
Dia menarik tanganku dan berbisik lirih sampai kami memasuki apartemennya, "Aku ingin memberikan sesuatu padamu. Tinggallah di sini."
Aku membelakkan mata. Apa maksudnya ini? Apakah...
xXx
Apartemennya begitu gelap gulita, bahkan hanya secuil lampu yang sejenak dihidupkan oleh Inoue sehingga suasananya kini berubah temaram. Aku mengawasinya yang terus melambai, menuntunku ke arah sofa.
Aku sebenarnya ingin berpamitan pulang. Tapi ada sesuatu di dalam hatiku yang bergejolak liar—penasaran dengan hal apa yang akan terjadi setelah ini. Inoue duduk manis di sana—tepat di sofa ruang tengah, kemudian disusul denganku.
Wanita itu mengusap-usap dadaku kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Aku ingin bersamamu malam ini. Aku menyerahkan diriku sekarang. Hanya untukmu, Kurosaki-kun."
Wanita itu mengecup bibirku dan perlahan melumatnya. Sebelah tangannya menggapai bahuku. Tak lama setelah itu ia berpindah duduk di atas pangkuanku tanpa melepas lumatan lembut di bibirku.
Aku masih belum menunjukkan reaksi apa pun. Pikiranku masih penuh akan segala hal yang entah kenapa masih kucoba untuk tetap mempertahankannya. Inoue merapatkan tubuhnya hingga menggesek sempurna tubuhku, menekankan perut datarnya hingga memberi sensasi geli pada saraf bawahku. Sebelah tangannya menjalar mencari tanganku, menuntunnya—membawanya dan diletakkan tepat di atas payudaranya sendiri, ia menuntunku untuk meremasnya.
"Enghhh..."
Astaga, dia mengerang. Aku baru kali ini melakukan hal seekstrim ini bersamanya. Awalnya aku ragu, tapi begitu terdengar alunan aneh dari bibirnya yang masih menyesap lapar bibirku—tanganku tersihir untuk meremasnya lebih keras lagi.
Kuluman bibir yang sebelumnya tak kugubris kini kulumat kuat hingga ia pun kewalahan mengimbanginya. Hanya satu hal yang perlu kau ingat, Inoue. Bukan aku yang memulainya. Tapi kau.
xXx
Aku menindih sesuatu yang terasa lembut dan hangat. Aku menekan sempurna tubuh polosnya. Mataku terpejam sempurna seakan buta akan apa yang kulakukan pada Inoue—buta bahwa ini adalah tindakan yang tak benar. Jangan salahkan aku, karena aku hanyalah pria normal biasa.
Sejenak aku semakin gila dengan erangan erotis yang berulang kali sengaja ia perdengarkan padaku dengan nakalnya. Aku tidak menyangka Inoue berani memperlakukan aku seperti ini, membuatku bergairah seperti ini. Kutekan semua yang kurasakan nikmat, kukecup segala hal yang menurutku menghangatkan. Aku tidak sadar hingga...
"Ahhh... Ichigo,"
Ichigo? Dia memanggilku Ichigo?
Perlahan aku membuka mata. Kutopang tubuhku yang sudah setengah telanjang agar tak lagi menindih tubuh sintalnya. Aku menggeleng heran dan menatap ke seluruh ruangan. Sejak kapan aku berada di atas tempat tidur? Dan... dan kenapa Inoue telanjang bulat di bawahku?
Aku masih tetap bingung, mengawasi intens diri Inoue yang kini menatapku malu. Aku bangun dari tempat tidur tersebut dan kini mengambil duduk tepat di ujung ranjang, menyangga kepala dengan sebelah tangan.
"Ku... Kurosaki-kun... Ada apa? Ada yang salah?" sedikit nada kekecewaan terdengar dari kalimat tak beraturannya.
Aku tak berani menatap wanita itu, "Aku hanya sedikit pusing," dustaku padanya.
Inoue nampak panik, ia berusaha turun dari ranjang dengan membelitkan selimut ke tubuh vulgarnya. Namun dengan cepat aku menghentikan tindakan itu.
"Tunggu, aku tidak apa-apa, kembalilah tidur." ucapku datar.
Dengan cepat aku memakai kemeja yang sudah kubuang ke lantai, kupakai celana pajang yang tadi pun tanpa tersadar sudah kulucuti sendiri hingga berserakan tak berdaya. Setelah kurasa pantas untuk kembali menatapnya, dengan cepat aku tersenyum lebar dan berkata, "Aku ingin jalan-jalan sebentar. Kau tidur saja, jangan menungguku."
Aku tahu, mungkin saat ini timbul pertanyaan besar dalam otaknya. Apalagi jika kututup dengan senyuman seceria itu. Aku hanya tidak bisa menyembunyikan kebiasaanku ini. Aku hanya bersyukur, hal itu tidak benar-benar kulakukan dengan Inoue.
Namun satu hal yang pasti, sesuatu mengganggu kerja otakku sekarang, tapi aku tidak ingin mengakui apa penyebabnya. Aku menghindari apa alasannya, karena alasan itu hanya menimbulkan sakit tepat di dadaku.
Kenyataan bahwa aku sama sekali tidak mencintai Inoue, dari dulu aku hanya mengharapkan satu orang yang akan terus berada di sisiku. Aku tidak tahu itu cinta atau ambisi. Sesorang yang ingin kulupakan. Karena aku tahu, aku takkan mungkin bisa melihatnya lagi. Karena kami hidup di dua dunia yang berebeda. Kenyataan itu membuatku sakit.
xXx
Tak terasa aku telah melangkahkan kaki menjauh dari apartemen Inoue. Kuakui, aku sempat terangsang oleh aktivitas yang sepuluh menit lalu kami lakukan. Bahkan milikku sudah sangat tegang saat itu. Aku sempat benar-benar ingin bercinta dengannya—lebih tepatnya bernafsu dengannya bukan bercinta.
Jika dipikir-pikir kembali, sebagian kecil hatiku ingin kembali ke sana dan melanjutkan aktivitas itu, namun begitu kupikirkan larut-larut, aku masih ragu. Jika aku sudah melakukan hal itu, maka aku harus bertanggung jawab kan? Tunggu! Bukankah aku akan menikahinya? Lalu apakah aku bermaksud untuk tidak melakukan pernikahan itu? Bukankah ini aneh? Tak masalah kan jika kulakukan sekarang? Ini hanya masalah waktu.
"Ahhh... aku lelah," gumamku yang kini duduk santai di halte bis terdekat.
Jika dipikirkan berulang kali lagi, seandainya Rukia menggantikan posisi Inoue sekarang, apakah bisa wanita seperti dia membuatku bergairah? Atau apa mungkin ia mampu bertahan jika kutindih seperti itu? Apakah bibir mungilnya mampu mengimbangi lumatanku? Dan apakah mungkin tubuh itu terasa nyaman saat kukecupi?
Ahahaha, mungkin ia takkan mampu menahan berat badanku. Tubuhnya sangat kecil dan pendek. Lagi pula dadanya juga sangat kecil, mana mungkin aku bisa memerasnya? Mungkin ia takkan mampu membuat milikku menegang. Tunggu! Fantasi liar ini? Sejak kapan aku bisa berpikiran sejorok ini?
"Akkkhhh! Yang benar saja? Sial!" makiku sambil meremas kepala yang mendadak ingin kuhantamkan dengan benda tumpul sekarang juga.
xXx
Pagi ini aku bangun dengan keadaan pegal-pegal hampir pada seluruh tubuh. Dan sialnya lagi, aku harus mengalami mimpi yang tak senonoh gara-gara aksi gila Inoue semalam. Kini aku terdiam sejenak, semalam aku tak kembali lagi ke apartemen Inoue. Aku hanya mengiriminya sebuah pesan singkat agar ia tidak menungguku. Hanya itu saja.
"Ahhh... kenapa aku merasa bersalah seperti ini?" ujarku sambil berjalan menuju kamar mandi. "Aku harus meminta maaf padanya nanti," sambungku sambil menyambar handuk tepat di balik pintu.
Aku harus segera ke rumah sakit sekarang—hari ini adalah hari pertamaku kerja setelah cuti dua minggu untuk mengunjungi Yuzu dan Karin. Aku rindu pada pasien-pasienku.
xXx
Kulangkahkan kaki dengan semangat pagi menuju ruang kerjaku yang terletak tepat di lantai tiga gedung utama. Aku bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit ini, lebih spesifiknya rumah sakit milik keluarga Ishida. Sial! Dulu aku sempat menyesal telah melamar pekerjaan di sini, tapi apa boleh buat?
Sapa dan senyum kuterima baik dari setiap staf, perawat ataupun dokter lainnya yang kini juga berdatangan cepat memenuhi setiap sisi gedung berlantai empat ini. Ceh, aku harus mengakuinya, keluargamu pasti sangatlah kaya kan, Ishida?! Pantas saja kau berlagak bak profesor setiap kali berada di hadapanku. Sejak dulu selalu begitu.
Pikiran ngelanturku segera lenyap saat kubuka pintu ruang di depan wajahku, ruangan kerjaku sendiri. "Yo, Ichigo!" sapa seseorang sebelum aku sempat memutar kenop pintunya.
Aku berbalik badan dan terkejut sekejap saat kulihat sosok wanita tomboy yang dulu selalu menyiksa dan mengejek setiap tindakanku. Tunggu, kenapa Tatsuki bisa ada di sini? Bukankah ia tidak di tempatkan di lantai tiga?
"Kau? Kenapa kau ada di sini?" tanyaku heran dan menunda terlebih dahulu keinginanku untuk segera masuk ke dalam ruangan.
Ia mengulurkan sebelah tangannya, bermaksud ingin menjabat tanganku. Aku yang tak mengerti masih menunggu sepatah-dua patah ucapan dari bibirnya yang mampu memberiku penjelasan atas tangannya yang terangkat begitu saja.
Ia yang seakan mengerti dengan membaca ekspresi wajahku pun mulai angkat bicara. "Mulai hari ini aku dipindahkan seruang denganmu. Kau tahu kan, aku masih baru di sini, jadi ya begitulah... belum tetap."
Aku mengangguk mengerti dan segera meraih tangannya—menjabatnya, "Aku mengerti, bekerjalah yang benar jika kau di sini. Aku tidak suka wanita pemalas," ejekku basa-basi.
Tatsuki hanya tersenyum miring dan mencengkram kuat tanganku. Sungguh, cengkraman tangannya mampu membuatku kesakitan hingga aku mengernyit sejenak.
"Tentu saja, Dokter Kurosaki Ichigo. Mohon bantuannya," ucapnya mulus sambil tersenyum miring dan memandangku tajam.
Oh, sial. Aku tidak bisa membalasnya. Aku harus menjaga sikap. Sekali lagi, sial!
xXx
Ruang Interna Kelas I—sebut saja seperti itu. Disini aku menjadi dokter tetap sekaligus satu-satunya pria termuda dari keseluruhan karyawan Kelas I di lantai tiga—khusus menangani penyakit dalam.
Maklum saja, hanya aku karyawan baru yang diterima mudah di salah satu rumah sakit umum terbesar di Tokyo ini, tak khayal di rungan ini hanya aku saja pria yang masih membujang. Maka dari itu tak sedikit dari beberapa perawat wanita yang diam-diam mencoba menarik perhatianku. Maklum saja, mungkin mereka tidak tahu menahu soal Inoue.
"Aaahhh... aku sangat rindu dengan pasien-pasienku," gumamku sambil duduk di meja kerja sambil membuka beberapa berkas yang tertata rapi di depan mata.
Setelah kubaca beberapa menit, "Oh, ternyata ada satu yang berkurang..." tukasku pelan dengan nada penyesalan yang dalam.
Aku mengingat benar gadis kecil itu. Gadis kecil dengan kelainan jantung yang mengharuskannya berada di atas tempat tidur selama berminggu-minggu. Sebenarnya aku tahu, keadaannya tidak semakin membaik saat dua minggu terakhir yang lalu aku mengeceknya. Dan benar adanya, aku terlambat menemuinya untuk yang terkhir kali.
Di ruang ini begitu banyak menyimpan kenangan akan aku dengan para pasienku. Penyakit dalam yang mengharuskan mereka menjalani rawat inap yang tak sebentar, membuat hubungan kami terjalin cukup erat. Malah kebanyakan dari mereka memintaku untuk selalu menjenguknya, terlebih anak kecil.
Dulu dengan wajah dan rambutku yang seperti ini, kebayakan membuat anak kecil takut untuk sekedar berbicara padaku. Tapi aku tak tahu, sekarang kalangan mereka justru sangat menyukaiku dan ketagihan mendapatkan ucapan selamat pagi dariku.
Malah ada seorang gadis kecil yang memintaku untuk menunggunya hingga dewasa kelak, dan juga memintaku untuk menikahinya jika saat itu sudah tiba nanti. Benar-benar, apakah wajah menyeramkanku telah lenyap? Mungkin semua angan yang ia lontarkan hanya dusta, karena gadis itu telah meninggalkanku sebelum aku sempat menjawab permintaannya dua minggu lalu.
"Amane-san, gadis kecil dengan penyakit jantung koroner di ruang lima apakah benar sudah keluar?" tanyaku pada salah satu perawat wanita yang kini tengah berlalu lalang di depan mejaku.
Wanita dengan tinggi semampai dan rambut berwarna ke abu-abuan itu kini mendekat padaku dan tersenyum ramah, "Benar, Dokter. Dua hari yang lalu tepatnya. Anak itu meninggal."
Aku hanya tersenyum miring. Hampir semua pasienku harus meninggal di ruang rawatnya sendiri. Bukannya sembuh, mereka harus berada di dalam ruang membosankan dan meminum berbagai macam obat yang memang harus terpaksa mereka lakukan. Sebenarnya sih berharap untuk sembuh, tapi apa? Nyatanya tidak. Mereka menyia-nyiakan waktu berharga mereka hanya untuk tinggal di rumah sakit.
"Oh, begitu..." jawabku malas.
Tatsuki berjalan pelan ke arahku dan menyodorkan map merah tepat di depan wajahku. Dasar tidak sopan.
"Ini, daftar pasien baru kita. Semalam ia dirujuk kemari dengan diagnosis sirosis hati. Sebenarnya sudah ada pendonor yang cocok untuk pelaksanaan pencangkokan hati, tapi ia menolak," cerocos Tatsuki sambil terus menatapku.
Aku bepikir sejenak. Ini lagi, kenapa dia harus menolak? Padahal cukup sulit menemukan pendonor yang tepat untuk pencangkokan organ vital seperti ini. Apakah dia sudah bosan hidup?
"Bagaimana dengan keluarganya? Jika pasien menolak prosedur itu, setidaknya pihak keluarga pasti bersedia bukan? Mana mungkin jalan mudah di depan mata seperti ini harus disia-siakan? Kulihat kerusakan organnya pun sudah cukup parah, kau sudah mengeceknya bukan?" ocehku tak terima.
Tatsuki diam seribu bahasa, membuatku menjadi bertanya-tanya dalam hati. Sejak kapan wanita ini menjadi bisu?
Tatsuki menghela napasnya dan berucap, "Dia hanya seorang diri, membawa dirinya sendiri kemari. Dia tidak memiliki keluarga sama sekali."
Aku terngaga tidak percaya, "Jadi dia merujuk dirinya sendiri ke sini?" ulangku seakan benar-benar tuli.
Rupanya Tatsuki lebih senang menjawab pertanyaanku hanya dengan anggukan kecil. Aku berdiri dan berjalan ke arahnya, "Temani aku menemui wanita ini," perintahku sambil terus membaca berkas di tanganku, sungguh bodoh orang ini.
xXx
"Oh iya, siapa nama pasien yang kita tuju sekarang?" tanyaku saat kami berdua hampir sampai di kamar rawat inapnya.
Tatsuki tak lantas cepat menjawab malah menyahut berkas yang sedari tadi kutenteng. "Apa kau tidak bisa membacanya? Seharusnya berkas ini kau buka dari halaman depan!" amuknya kalem masih dengan suara rendah.
Ya, ya, ya. Memang kebiasaanku sejak dulu. Dokumen rekam medik selalu kubuka langsung di bagian tengah dan membaca tepat di kolom diagnosis dan setelah itu... selesai.
Aku hanya memandang Tatsuki sinis dan memilih berjalan cepat saat ia masih mencari nama wanita yang akan kami temui. "Ceh, bukankah kau sendiri pun juga tak tahu. Jangan hanya menyalahkanku," belaku tetap keras kepala seperti biasa.
Aku sudah berada di depan pintu kamar bernomor tujuh. Dengan santai dan disertai perasaan biasa-biasa saja aku mulai memutar kenop pintu di depanku. Dan pintu itu pun terbuka perlahan. Menampakkan ruang putih bersih dan rapi, angin sepoi menyambut kehadiranku di sana.
xXx
Wanita... dia seorang wanita. Wanita yang mungkin setahun—dua tahunan di bawahku. Surai lurusnya jatuh tepat menutupi seluruh punggung ramping miliknya—berwarna hitam pekat dan berbayang keemasan saat cahaya matahari menembus serat-serat rambutnya.
Wanita yang mungkin setinggi perpotongan dari leherku—cukup tinggi dengan telapak kaki tanpa alas. Wanita itu berdiri normal membelakangi posisi berdiriku karena ia tengah memperhatikan angkuhnya matahari yang kini menyinari duniannya melewati jendela yang berlaku transparan bagi kedua lensa miliknya.
Aku merasa pernah bertemu dengan wanita ini. Tapi dimana? Suara langkah kaki Tatsuki berhenti tepat di belakangku. Ia berucap begitu saja, "Namanya Yoshida Ru..."
Aku mendengarkannya sambil tetap memperhatikan tubuh wanita yang masih tak menyadari kehadiran kami. Aku masih menunggu kelanjutan dari perkataan Tatsuki yang tertunda. Namun karena terlalu lama, dengan enggan pun aku menoleh ke arah Tatsuki yang kini mensejajarkan tempat berdirinya dengan diriku.
"Katakan yang jelas," pintaku mendesak dan entah kenapa seakan tak sabar.
Tatsuki memandangi wanita itu dengan cara yang sama denganku, sedangkan diriku sendiri masih menuntut jawaban dari Tatsuki dengan masih memelototi wajahnya yang mendadak tak terbaca, "Yoshida... Rukia."
Bertepatan dengan kata terakhir itu, bersamaan dengan nada terakhir itu—jantungku berdetak sangat kencang—secara mendadak. Hanya dengan mendengar nama itu.
Belum sempat aku tersadar, belum sempat aku kembali melihat sosok wanita itu—aku mendengar sebuah suara, suara seseorang yang kurindukan... yang mungkin terdengar lebih merdu, namun samar-samar aku masih mengenalinya. Dia...
"Ya? Anda memanggil saya?" wanita itu membalik badan dan memandang ke arah kami.
Aku terpaku, sungguh, kedua kakiku tak mampu melangkah cepat untuk menghampiri wanita itu. Wanita yang kini menatapku dengan pandangan yang lembut, sangat lembut. Kedua mata dengan warna indigo yang indah, tatapan yang tetap kuingat hingga kini. Tatapannya membuatku membeku.
"Kau bilang... Rukia?" tanyaku tak percaya pada Tatsuki.
Kurasa Tatsuki bereaksi sama kagetnya seperti diriku. Ia tetap diam tak menjawab pertanyaanku.
Aku tidak menyadarinya. Kedua mataku telah berpendar sayu saat menatap sosok dewasanya. Seluruh sel otakku seakan memerintahku tegas untuk segera berlari dan memeluknya erat, tapi akal sehatku menolaknya. Bukankah Rukia adalah roh yang selamanya takkan bisa kulihat lagi di dunia nyata? Seorang shinigami yang takkan pernah bisa kutemui lagi?
Selangkah, aku berhasil mengambil kesempatan untuk meraihnya. Benarkah kau Rukia Kuchiki? Rukia-ku?
Aku tidak bisa mendekatinya. Karena ia terus menatapku dengan pandangan yang sama. Apakah aku bisa memeluknya? Sedangkan kebetulan ini sangat sulit untuk kuterima.
Dua langkah, aku tidak ragu lagi. Bedebah, aku tidak peduli dengan kebenaran ia Rukia Kuchiki atau bukan. Aku sangat, sangat rindu padanya.
"Kenapa? Anda dokter yang akan memeriksaku?" ucapnya datar dengan pandangan yang tiba-tiba saja mengosong.
Aku terhenti, dia tidak mengenaliku? Jadi...
"Rukia, kau tidak mengenaliku? Ku benar-benar Rukia kan?"
BERSAMBUNG
Kira-kira pantas dibaca gak ya? Soalnya udah lama gak pernah nulis nih. Hehehe, harap maklum. Boleh saya minta pendapatnya? Soal fic ini. Itung-itung saya buat fic ini buat ngisi kengangguran saya. Settingnya diambil beberapa tahun setelah Ichigo kehilangan kekuatan supranaturalnya itu lhooo. Happy reading please!
Arigatou An' Mata Ashita
.^_^.
RP
EL
VE
IA
ES
WE
