I never knew that my life is very happy and colorful. Then I realized that it was too late.

DISCLAIMER: Vocaloid itu bukan milikku. Vocaloid itu milik Yamaha, Crypton Company, dan pihak-pihak lainnya yang bersangkutan.


Chapter 1: The Happy Times


Teng… teng…

Bel sekolah Vocaloid Academy berbunyi nyaring, pertanda bagi para murid untuk siap memulai hari. Megurine Luka menegakkan punggungnya begitu mendengar bel tersebut. Ia sudah bersiap berdiri untuk menyuruh teman-temannya tertib saat ia melihat cowok di bangku sebelahnya masih asyik-asyiknya bermain dengan para fangirls-nya.

"Kyaaa! Gakupo!"

"Gakupo, aku pakai parfum baru hari ini, wanginya wangi stroberi. Bagaimana, apakah kamu suka?"

"Gakupo, istirahat nanti, makan siang denganku, ya!"

Luka hanya bisa menghela nafas mendengar paduan suara dari gadis-gadis itu. Mereka semua berteriak-teriak dengan nada tinggi, benar-benar mengganggu konsentrasinya yang sedang membaca buku. Sementara Kamui Gakupo, subyek yang bersangkutan, orang yang telah bertanggung jawab karena sudah mengganggu pagi hari Luka yang tenang – hanya terkekeh.

"Iya, wangi. Aku suka wangi parfum ini," ujar Gakupo sambil tersenyum. Melihat senyum dari cowok pujaan mereka itu, gadis-gadis penggemar Gakupo langsung berteriak-teriak heboh.

"KYAAA! GAKUPO!" teriak gadis-gadis tersebut dengan muka bersemu merah.

Kalau sudah begini, Luka sudah tidak bisa lagi pura-pura tidak peduli. Suara gadis-gadis itu sudah terlalu berisik bahkan sampai sudah tidak bisa ditoleransi oleh telinga dan tingkat kesabarannya sendiri.

"Ehm, maaf mengganggu waktu kalian yang menyenangkan ini. Tapi, bisakah kalian melanjutkan obrolan kalian nanti saat jam istirahat? Karena sekarang sudah bel dan sensei bisa datang kapan saja. Aku bertanggung jawab soal keadaan kelas ini, bukan?" ujar Luka dengan nada dingin, tapi tetap berusaha untuk tidak terkesan seperti seorang diktator.

Saat Luka mengucapkan kalimat yang agak panjang itu, gadis-gadis tersebut berhenti berteriak. Mereka malah menatap Luka dengan pandangan tidak suka sambil melipat tangan mereka di depan dada. Ada juga yang melihat Luka sambil berkacak pinggang. Gestur apapun yang mereka keluarkan – jelas terlihat mereka tidak suka dengan nasihat Luka barusan. Luka menggigit bibir, bersiap untuk segala kemungkinan lain yang mungkin akan terjadi.

"Hei, ketua kelas!" ujar seorang gadis berambut pendek – yang Luka ketahui bernama Gumi – sambil berkacak pinggang. "Apa kamu tidak melihat kami sedang bersenang-senang?"

Satu kelas itu langsung hening. Mereka semua melihat ke arah bangku Luka dan Gakupo, takut dengan kemungkinan buruk lainnya yang mungkin akan segera terjadi pada Luka. Mereka memang sudah tahu dengan tabiat Gumi. Gumi akan menghalalkan cara apa saja untuk meraih hati orang yang disukainya. Apa saja. Bahkan, Gumi pun tidak keberatan untuk menindas orang yang berani mendekati orang yang disukainya selain dia dan teman-temannya. Dan bukan tidak mungkin perang mulut terdahsyat hari ini bisa terjadi beberapa saat lagi hanya karena sebuah nasihat kecil.

"Tentu saja aku melihat – tetapi…" Luka berusaha untuk memilih kata-kata yang baik. "…sekarang bukan waktu yang tepat." Luka menghela nafas lega karena akhirnya bisa menemukan kata-kata yang benar dengan cepat.

Gumi menatap Luka dengan kesal sebelum akhirnya berbalik. "Ya sudah, ayo kembali ke bangku! Rencana kita harus kacau dan berantakan!"

Gadis-gadis lainnya menuruti Gumi dan duduk di bangku mereka masing-masing. Bangku Gumi hanya berjarak dua baris dari bangku Luka, jadi Luka bisa melihat bagaimana Gumi menggerutu dan mendecakkan lidahnya karena kesal. Luka menggigit bibir, dalam hati lega karena berhasil menyuruh Gumi dan kawan-kawannya duduk, tetapi di sisi lain juga khawatir. Entah kenapa.


Teng… teng…

Bel istirahat berbunyi nyaring. Gumi sudah memasang muka ceria dan membujuk Gakupo untuk makan siang bersamanya. Rasanya insiden pagi hari tadi tidak pernah terjadi bagi Gumi. Ia melangkah dengan riang dan ceria, tetapi Luka yakin masalahnya belum selesai begitu saja.

"Luka! Luka!"

Luka mendengar ada yang memanggil namanya dari meja yang terletak di sebelah kirinya. Benar saja, begitu Luka menoleh, Luka melihat si kembar Kagamine – Kagamine Rin dan Kagamine Len – sudah tersenyum kepadanya.

"Ada apa?" tanya Luka sembari mengeluarkan kotak bekalnya.

"Mau makan siang sama-sama?" Tawar Rin sambil tersenyum.


"Wah, indah yaaa…"

Luka, Rin, dan Len sekarang sudah ada di pekarangan belakang sekolah. Di sana ada sebuah bangku panjang. Tempat ini adalah tempat favorit bagi mereka bertiga, karena selain tidak banyak murid yang berkunjung ke pekarangan itu, suasananya juga damai dan pemandangannya indah. Dari pekarangan ini, pohon-pohon sakura yang sedang bermekaran di musim semi ini terlihat jelas, dan mereka sedang memakan bekal masing-masing sambil melihat bunga-bunga sakura itu.

"Iya, indah." Len tersenyum. "Aku juga bingung, kenapa tidak banyak orang yang berkunjung ke sini."

"Entahlah. Mungkin karena letaknya terlalu ke belakang sekolah?" Luka berasumsi sambil memakan ikan tuna kesukaannya.

"Hmm, mungkin. Aku sih tidak terlalu merisaukan hal itu. Bukankah bagus kalau pemandangan indah seperti ini bisa kita nikmati secara gratis bertiga saja?" tanya Rin.

Luka dan Len mengangguk-angguk. "Iya, benar juga."

Angin berhembus pelan, berdesir lembut di wajah Luka. Rambutnya yang berwarna pink sama dengan kelopak bunga sakura yang berguguran. Iris biru muda Luka memproyeksikan pemandangan indah tersebut di dalam otaknya. Luka sama sekali tidak ingin momen damai seperti ini berakhir.

"…Luka. Kenapa tadi kamu berani melawan Gumi?" tanya Len akhirnya.

"Lho, sebagai ketua kelas, aku bertanggung jawab untuk mengkondisikan kelas! Bagaimana jika sensei datang dan mereka masih seperti itu?" Luka membela diri.

"Tapi, kamu tahu tabiat Gumi, bukan? Dia sama sekali tidak suka apabila waktu bersenang-senangnya dengan Gakupo dipotong begitu saja." Ujar Len. "Kalau kamu berkata seperti itu, sama saja kamu sedang mencari masalah."

"Apabila kamu berhadapan dengan anak yang seperti itu, lebih baik kamu menjadi tidak terlihat oleh mereka. Jangan mencari masalah dengan mereka. Kamu malah bisa membuat masalah semakin runyam, bukannya menyelesaikannya." Rin ikut-ikutan menasihati.

"Kenapa, sih, kalian ini? Toh itu salah dia juga. Masa sih aku jadi bulan-bulanan hanya karena menasihatinya? Aku berhak untuk menasihatinya, bukan? Aku ini kan ketua kelas!" ujar Luka, bersikeras.

Rin dan Len hanya menghela nafas, sementara Luka masih mengunyah ikan tuna kesukaannya dengan perasaan tidak setenang dan sesenang tadi.


Srek. Srek.

Luka menulisi buku tulisnya dengan tulisan-tulisan tidak jelas dan tidak ada hubungannya dengan pelajaran yang sedang diterangkan di depan oleh guru mata pelajaran saat itu. Yang jelas, Luka sedang tidak berminat untuk menyimak pelajaran di depan.

Pluk. Tiba-tiba, sebuah remasan kertas berbentuk bola mendarat di mejanya. Luka mengernyitkan alis saat melihat jertas tersebut. Siapa yang melemparnya ke mejanya? Luka memperhatikan sekelilingnya. Rin dan Len sedang berbisik-bisik dengan satu sama lain, tidak mengerti dengan pelajaran yang sedang diterangkan itu. Gumi sedang asyik memainkan gelangnya. Selain karena letak bangku Gumi yang cukup jauh, mengingat insiden tadi pagi, rasanya tidak mungkin Gumi akan mengirimkannya surat. Lalu, siapa lagi? Bahkan Gakupo pun sedang sibuk membuka-buka halaman buku teks pelajarannya. Penasaran, Luka akhirnya membaca surat itu. Tampak sebuah tulisan rapi dengan tinta biru terpeta di kertas itu.

"Ada apa, bidadariku? Kamu tampak murung.

Kamu tidak tampak cantik apabila kamu cemberut seperti itu. Ayo, tersenyumlah!

-Kamui Gakupo."

"Dasar gombal," bisik Luka dengan frekuensi suara yang sangat rendah. Luka akhirnya menulis balasan walaupun dengan perasaan malas.

"Aku baik-baik saja, baka!

Kukira kamu sedang konsentrasi ke pelajaran. Ternyata tidak. Kamu malah mencuri kesempatan untuk mengirimkan aku surat. Apa maumu, sih?

-Megurine Luka"

Begitu surat balasan dari Luka sampai, Gakupo membacanya sampai akhir, lalu tersenyum tipis. "Dia memang nggak main-main, langsung to the point," batin Gakupo dalam hati. Gakupo lalu menuliskan jawaban.

"Begitukah? Apa ini ada hubungannya soal insiden tadi pagi? Aku juga kaget waktu kamu berani membentak Gumi, lho. Hahahaha… :p

-Kamui Gakupo."

Darah Luka langsung naik ke kepala. Setelah si kembar Kagamine, sekarang cowok playboy ini juga mengingatkannya tentang masalah tadi pagi? Memangnya itu salahnya? Itu salah Gumi juga, kan? Luka sama sekali tidak mau disalahkan!

"Hei, baka! Aku tidak membentak! Aku hanya menasihatinya! Memangnya apa salahnya, sih? Aku kan hanya memberi nasihat saja! Semuanya mengingatkan aku tentang insiden tadi pagi itu! Aku saja tidak tahu letak kesalahanku di mana! Aku kan sudah melakukan hal yang benar sebagai ketua kelas! Kalian ini terlalu berlebihan!"

"Wow." Gakupo melongo begitu melihat sederetan kata penuh amarah tersebut. Mungkin amarah gadis itu terlalu tidak terkendali sampai jadi seperti ini.

"Ya sudahlah. Tapi jangan bebani pikiranmu lagi dengan hal-hal yang hanya bisa membuatmu marah, ya? Kamu sangat cantik kalau kamu tersenyum. Makanya, tersenyumlah!

-Kamui Gakupo."

Tiba-tiba hati Luka berdesir begitu membaca surat itu. Kata-kata itu tampak begitu tegas dan jujur. Benarkah aku cantik? Batin Luka dalam hati. Luka tidak pernah menemui orang yang bisa membuat hatinya sebahagia ini hanya karena sebuah surat gombal.

Tetapi, Luka langsung sadar.

Seseorang di masa lalunya telah membuktikan bahwa cowok playboy hanya bisa memberi harapan kosong.

Mereka tidak bisa dipercaya.