Leere (Germancest)

Disclaimer : Hetalia Axis Power / Hidekaz Himaruya

Warning : Mystery ?

Pairing : Prussia X Germany

"West, aku akan pergi."

"Eh? Bruder? Apa yang kau katakan?"

"Auf wiedersehen.."

"Bruder? Bruder?"

XXX

Ludwig terbangun di tengah malam yang sunyi. Mimpi buruk apa itu? Itu tidak mungkin terjadi. Itu hanya mimpi! "Ya.. hanya mimpi.." ulangnya.

Laki-laki berambut pirang tersebut melihat ke sampingnya, terlihat Gilbert yang masih tertidur dengan pulasnya. Ia menghela napas lega, tetapi masih terlihat khawatir.

Tidak mungkin Gilbert mengatakan hal seperti itu. Lagipula kalau iya, pasti dia hanya pergi untuk liburan atau semacamnya. Tidak mungkin ia mengucapkan selamat tinggal.

Ia membaringkan tubuhnya kembali ke ranjang yang empuk, mencoba memejamkan matanya. Tidak bisa. Ia tidak bisa tidur kembali. Rasa penasaran akan mimpinya itu tetap mengganjal di hatinya.

Ludwig duduk di tepi ranjangnya, mencoba memikirkan apa maksud dari mimpi itu.

Gilbert akan pergi? Ia mengucapkan selamat tinggal? Untuk apa?

Pertanyaan yang sukar terjawab itu terus mengganggu benaknya.

Apa yang ia maksud? Laki-laki yang masih terjaga itu tidak ingin mimpi aneh tadi terpikir kembali. Ia merebahkan tubuhnya kembali, memejamkan matanya. Dalam hitungan menit, ia tertidur.

Kembali mimpi itu mengganggu tidurnya.

Ia berada dalam ruangan yang besar dan terang. Tidak ada satupun titik hitam. Ruangan itu sangat luas, tidak ada ujungnya. Ia berlari kesana kemari. Mencari jalan keluarnya.

Tiba-tiba ia mendengar suara dan wujud kakaknya.

"Es tut mir leid, West.."

"Bruder! Kenapa kau disini? Dan.. Minta maaf untuk apa?"

"Aku.." Ludwig melihatnya tersenyum pahit dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa.. Aku minta maaf.."

"Kau belum menjawab pertanyaanku! Mengapa kau meminta maaf?"

Ludwig berlari ke arah Gilbert yang berada lumayan jauh darinya.

Laki-laki itu mendapatkan apa yang dikejarnya, tetapi perlahan tubuh Gilbert mulai menghilang. Berubah menjadi debu.

"B-bruder? A-ada apa ini? Dimana kau, Gilbert?"

Ia terus mencari kakaknya, mondar-mandir di ruangan putih itu. Tetapi hasilnya nihil, ia tidak menemukan siapapun disana kecuali dirinya sendiri.

XXX

"..T.. Est.. West! Bangun!"

Ludwig tersentak bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, melihat sosok Gilbert di depannya.

"U-uhh.. Gilbert?" ia bertanya, masih setengah mengantuk.

"Ja, hari ini aku bangun lebih pagi darimu! Kesesesese ~!" Gilbert membalas omongan Ludwig sambil menyengir lebar.

Ludwig melihat kakaknya yang bertindak seperti biasanya, tidak ada tanda-tanda ia akan pergi seperti mimpinya barusan. Ia menarik napas lega dan memeluk erat kakaknya.

Membuat Gilbert tersentak kaget, wajahnya sedikit memerah. "W-west?"

Laki-laki bermata biru langit itu melepaskan pelukannya, tersenyum lembut pada kakaknya tercinta. "Tidak apa.."

Gilbert merasa ada yang aneh dengan adiknya. "Ada apa? Kau dapat mimpi buruk?"

Ludwig hanya tersenyum kecil dan mengangguk.

Sejenak mereka terdiam. Lalu Gilbert mengecup lembut dahi Ludwig agar ia merasa lebih baik. Laki-laki berambut pirang itu menatap kakaknya sejenak dengan wajah tersenyum. "Aku baik-baik saja kok.." Ia berdiri, berjalan menuju kamar mandi yang masih berada dalam kamarnya. Gilbert berjalan turun ke lantai bawah, duduk menunggu di meja makan.

Laki-laki bertubuh kekar itu melihat ke cermin. Membasahi wajahnya dengan air dan menggosok gigi. Lalu mengelap wajahnya dengan handuk yang berada di dekatnya. Ia melihat dirinya lagi dalam cermin.

"Ludwig, tidak akan terjadi apa-apa terhadap Gilbert." Ia bicara ke dirinya sendiri lewat cermin yang memantulkan bayangan wajahnya.

Ia pergi ke lantai satu, dimana Gilbert sedang duduk di meja makan, memintanya untuk segera membuatkan sarapan.

"Kau mau sarapan apa, bruder?" Ludwig bertanya sambil berjalan ke arah dapur, dekat meja makan dimana Gilbert berada sekarang.

"Umm.. Pancake?" Laki-laki albino itu menyarankan apa yang diinginkannya.

"Ja, tunggu sebentar." Adiknya itu membuatkannya beberapa potong pancake, menyirami sirup maple diatasnya. Sedangkan ia hanya membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri.

Gilbert menatap pancake yang sudah disediakan oleh adiknya itu. Wanginya harum, sepertinya enak. Laki-laki bermata merah darah itu mencicipi sarapannya. Dan benar, pancake itu sangat lezat. "Pancake buatanmu selalu enak ya, West!" ia berkata sambil mengunyah makanannya.

Ludwig hanya tersenyum di balik secangkir kopi yang sedang ia teguk. Sementara Gilbert menghabisi sarapannya, Ludwig melihat ke arah jendela, tepat di sebelahnya. Ia memandang jauh, mungkin sedang memikirkan kembali mimpi itu.

"Aku selesai!" Gilbert mengembalikan piring kotornya kembali ke wastafel. Ia melihat adiknya sedang melamun, menatap ke luar jendela.

"Hoi! West!" Laki-laki berambut perak itu menepuk pundak Ludwig, ia pun tersentak kaget.

"A-ah.. Maaf aku melamun." Adiknya itu menjawab sambil mengalihkan pandangan mata kakaknya.

"Belakangan ini kau aneh, West.." Gilbert berbicara dengan nada khawatir.

"Tidak apa.. Jangan khawatirkan aku, khawatirkanlah dirimu sendiri." Laki-laki berambut blonde itu tersenyum lembut dan mengusap kepala Gilbert.

Laki-laki albino dan adiknya itu saling bertemu pandang, "Baiklah." Kata Gilbert.

XXX

Ludwig segera bersiap-siap untuk menghadiri rapat dengan anggota Axis lainnya. Sedangkan Gilbert hanya berdiam di rumah. Kadang bermain-main dengan Gilbird, atau meng-update blognya yang awesome. Ia bosan berada di rumah terus-menerus, dan akhirnya ia memutuskan untuk pergi menyusul Ludwig di kantornya.

"Kesesese ~ aku akan membuatnya kaget dengan kedatanganku yang awesome ini! Sekalian ingin menyapa Feli-chan dan Kiku juga ~"

Gilbert pergi kesana menggunakan kereta yang penuh sesak. Ia terhimpit di antara ratusan orang yang juga menaiki kendaraan tersebut. Tempat kerja Ludwig cukup jauh, dari rumah mereka ke kantornya memakan waktu 1 jam. Gilbert harus tahan berdiri di antara banyak orang. Kadang jika ia beruntung, ia bisa mendapat tempat duduk yang kosong.

Dalam kereta, ia melihat seorang pria sebayanya yang berdiri tepat di depannya. Orang itu bertubuh tinggi, berbadan besar, dan wajahnya yang seperti seorang malaikat. Ia tersenyum pada Gilbert yang memandanginya sejenak. Laki-laki yang lebih pendek itu segera membalas kembali dengan senyuman.

Saat Gilbert sudah sampai di stasiun tujuannya, ia segera keluar dari kereta yang ia tumpangi. Melaju ke tempat dimana Ludwig berada sekarang, kantornya.

Kantor Ludwig terletak di pojok-pojok kota, sehingga jarang ada orang yang pergi kesana.

Laki-laki berkulit pucat itu merasakan ada yang sedang mengikutinya.

Pertama ia masih berjalan seperti biasa, ia mendengar suara langkah kaki yang makin mendekat.

Menoleh ke belakang, tidak ada siapapun.

Ia meneguk ludahnya, menyeka peluh yang keluar dari dahinya.

Pria itu sekarang berjalan sedikit cepat, masih merasakan langkah kaki seseorang dari belakang.

Langkah kaki itu terdengar makin jelas.

Tap tap tap tap.

Bayangan orang yang sejak tadi mengikutinya makin mendekat. Ia menoleh ke belakang lagi, terlihat pria besar yang ia temui di kereta tadi. Pria itu membawa pisau kecil di tangannya. Apa yang akan ia lakukan? Gilbert yang terpaku melihat orang itu tidak dapat kabur, kakinya seperti ditahan oleh bayangannya sendiri. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Pria aneh tadi segera memukul perut Gilbert, ia pun tidak sadarkan diri dan dibawa kabur oleh pria tersebut.

XXX

Malam itu, saat Ludwig pulang dari kantornya..

"Aku pulang, bruder. Haah.. Capek sekali hari ini." Keluhnya sambil berjalan dari pintu depan dengan terhuyung-huyung. Segera ia menghempaskan tubuhnya ke sofa yang empuk. Mengistirahatkan dirinya sejenak disana.

Tidak terdengar suara Gilbert, biasanya ia langsung menghampiri Ludwig yang sudah pulang dan mengucapkan "Selamat datang kembali.". Tetapi sekarang suara ataupun wujud laki-laki albino itu tidak muncul.

Ludwig mengerutkan dahinya, "Dimana dia?" Ia pergi ke lantai dua, dimana kamar Gilbert berada. Ia menemukan kamar gelap yang kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Hanya terdengar suara angin yang masuk lewat celah-celah jendela.

Ia mulai khawatir. Apa terjadi sesuatu padanya?

Tiba-tiba ia teringat pada mimpinya semalam. Tidak! Itu tidak mungkin terjadi! Pikirnya.

Ia terus mencari Gilbert di seluruh ruangan. Dari kamarnya, kamar Gilbert, kamar mandi, hingga taman belakang. Sosok Gilbert tetap tidak ditemukan.

Ia kembali menenggelamkan dirinya di sofa, mencoba berpikir sejenak.

Blam!

Ia tersentak kaget. Bunyi apa itu?

Segera ia pergi ke pintu depan yang tak terkunci, tetapi masih tertutup rapat.

Tidak ada siapapun. Lalu ia melihat sepucuk surat di lantai.

Ia membukanya, membaca isinya.

Sore tadi, saat matahari hendak terbenam

Langit sore terbentang luas berwarna kemerahan

Seperti darah yang mengalir deras di atas sana

Aku telah menjadikan apa yang berharga bagimu

Menjadi milikku

Tidak akan kukembalikan lagi

Kecuali kau setuju dengan permainan yang kubuat

Bagaimana?

Ingin ikut dalam permainanku?

Peluh bercucuran dari dahinya, tangannya gemetaran memegang kertas tantangan itu.

Amarahnya naik, ingin sekali ia meninju orang yang telah menculik Gilbert.

Dalam surat itu, terdapat satu kertas lagi.

Dibacanya dalam hati.

Tebaklah tempat persembunyianku ini!

Aku berada dalam kekosongan

Kau akan sulit untuk mencariku

Menyelusuri kotak-kotak hadiah yang besar

Disana ada kotak yang paling kecil

Kau bisa melihatku di kebalikan kanan

Kutunggu kau dimana ku bisa melihat langit kelam ini dengan jelas.

To Be Continued

(sorry, this is my first time making mystery fic ==)