Min Söta Alskling [My Sweet Love]
Disclaimer: Hidekaz Himaruya untuk semua karakter APH. Anne Gracie untuk plotnya, FF ini diambil plot dari novel romance yang berjudul An Honourable Thief (saya cuma baca manganya dan udah lupa juga sama cerita persisnya kayak gimana)
Warning: OOC, AU. Sweden x fem!Finland pairing. Perbedaan usia juga demi plot cerita. Jangan flame saya -_-
Guangzhou, China 1816
"Papa! Kumohon jangan mati!" seru gadis muda itu pada ayahnya yang terbujur kaku di tempat tidur. "Aku akan menuruti semua permintaan Papa. Tapi kumohon Papa jangan mati!"
Gadis muda itu terisak-isak dan menangis tersedu-sedu. Ayahnya adalah seorang pencuri dan selalu berkelana ke seluruh dunia untuk menemukan benda-benda berharga untuk dijual dan selalu dilakukan olehnya sejak gadis itu berusia tujuh tahun.
"Tiina," hibur Elizaveta Hedrevary sambil mengelus-elus pundaknya. "Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa."
Tiina menoleh dan memandangi Elizaveta dengan mata bengkak karena menangis terus menerus. "Bagaimana mungkin aku tidak menangis tersedu-sedu sementara Papa terbaring sakit seperti ini. Aku benar-benar bodoh."
Mau tak mau, Elizaveta merasa kasihan pada gadis yang telah diasuhnya sejak Tiina berusia sepuluh tahun. Tiina terlalu baik untuk menjadi seorang pencuri. Ayahnya sama sekali tidak menginginkannya sebagai seorang anak perempuan dan malah menjadikan Tiina sebagai pencuri. Sesuatu yang sangat disayangkan bagi gadis secantik dan selugu Tiina.
"Kamu benar-benar bodoh," ujar ayahnya terbata-bata. "Setelah aku tidak ada, tinggallah bersama keluarga Kohler."
Tiina tersentak. "Siapa itu keluarga Kohler?"
"Jangan banyak tanya, dia kenalanku dan dia berasal dari Denmark yang kini berdomisili di Swedia. Tinggallah bersamanya," ayahnya berkata lagi. "Dan tolong ambil kembali barang-barang yang dicuri oleh keluarga Kirkland yaitu catur yang terbuat dari emas, keluarga Rybak yaitu lukisan mitologi Norsk, keluarga Braginski yaitu tiara emas yang sebenarnya milik keluarga kita."
Tiina terkejut, dia sudah tidak ingin mencuri lagi. Tetapi mengapa ayahnya menyuruhnya hal seperti itu lagi. Ya Tuhan, dia sama sekali ingin berhenti dari itu semua.
"Apa ini tidak terlalu berlebihan, Papa?" tanya Tiina gemetar. "Aku sudah tidak ingin melakukan hal seperti ini lagi."
Untuk pertama kalinya, sang ayah tersenyum lembut terhadapnya. "Mereka iri pada Papa dan itu semua barang milik Papa. Kumohon, hanya satu-satunya yang bisa kupercaya adalah kamu."
"Baiklah," jawab Tiina mantap. "Akan kulakukan."
"Anak baik," jawab ayahnya pelan dan perlahan-lahan ayahnya menutup mata untuk selamanya. Meninggalkan Tiina yang masih menangis meraung-raung di sana.
"PAPA! PAPA!"
Malam hari, seluruh penghuni kota Stockholm sudah tertidur lelap. Bahkan bar-bar yang ada sudah menutup jualannya. Yang ada hanyalah suara anjing mengonggong di sekitar jalan.
Sesosok bayangan hitam melesat naik ke suatu perumahan mewah. Bayangan hitam tersebut mengenakan topeng hitam dan pakaian pun serba hitam. Pelan-pelan sosok itu masuk ke dalam rumah tersebut dan mengambil sesuatu di dalam sana.
"Sebuah tiara emas," desisnya. "Tiara yang papa inginkan selama ini."
Dan sosok tersebut menghilang dengan cepat dari rumah tersebut dan meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan "phoenix" dalam bahasa Mandarin tetapi sayang aksinya diketahui oleh pria berambut pirang pendek yang mengenakan kacamata dengan wajah menyeramkan dan tatapan tegang.
Sosok itu terkejut. Rupanya ada yang mengawasinya sejak tadi. Pria itu mengejar sosok itu tanpa banyak bicara dan akhirnya berhasil menangkap sosok itu.
"Kau mau lari kemana?" tanya pria itu dengan nada patah-patah dan membalikkan sosok itu berhadapan dengan pria itu.
Sosok itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan pria itu. Ketakutannya semakin menjadi dan akhirnya sosok tersebut menendang perut pria itu hingga terjembab.
"Aduh," desisnya. Dia sepertinya adalah orang China tetapi mana ada orang China bermata violet seperti itu. Baiklah, akan kuselidiki keberadaannya.
Stockholm, Swedia 1817
Di pagi-pagi buta seorang gadis muda berambut panjang bergelombang dan bermata violet berjalan menuju ke rumah bergaya pedesaan dengan langkah gontai sambil membawa satu kotak berisi tiara bersama dengan pengasuhnya yang juga cantik. Gadis itu bernama Tiina Vainamoinen, ayahnya adalah Rasmus yang terkenal sebagai pencuri di belahan bumi. Ibunya sudah meninggal sejak Tiina berusia tujuh tahun dan Tiina terpukul karenanya. Hanya ibunyalah yang menyayanginya dan bersabar menghadapi kelakuan ayahnya yang aneh tersebut. Dalam hati Tiina merasa sedih karena ayahnya kecewa dirinya adalah anak laki-laki dan sejak saat itu, Tiina berpenampilan seperti anak laki-laki sampai Tiina berusia empat belas tahun.
Kini Tiina sudah berusia enam belas tahun dan kecantikannya mulai terlihat. Seharusnya di usianya dia dapat mengenal banyak pria yang berpotensi untuk menjadi teman dekatnya tetapi tidak mungkin dalam keadaan seperti ini.
"Kamu bisa mencari suami nanti di sini," kata Elizaveta dengan nada riang. "Di Swedia banyak lelaki tampan dan menarik yang bisa kamu pilih."
Tiina memerah. "Usiaku masih sangat belia untuk memikirkan itu. Apalagi ada misi yang harus kuselesaikan sebelum semuanya terlambat."
"Kau yakin ingin melakukan hal ini sendirian?" tanya Elizaveta, kini dengan nada cemas. "Jangan turuti kebiasaan konyol ayahmu lagi."
Tiina memang tidak mau melakukan hal itu lagi. Tetapi mau bagaimana lagi. Adakah cara untuk menghindar? Jika dia menghindar sama saja dia adalah anak durhaka yang tidak mau mentaati perintah orangtuanya. Tiina tidak mau hal itu sampai terjadi lagi.
Tiina menggengam tangan Elizaveta dengan erat. "Kumohon, bantu aku," pintanya dengan tatapan memelas. "Hanya kamu yang bisa kupercaya."
Elizaveta hanya menghela nafas melihat Tiina yang selalu seperti itu. "Baiklah, tapi kalau ada apa-apa jangan segan meminta bantuanku."
Sesampainya di rumah keluarga Kohler, Tiina terlelap hingga pukul satu siang. Mathias Kohler, pemilik rumah yang sangat flamboyan yang berusia empat puluh tahun. Rambut pria itu sedikit berantakan tetapi terlihat tampan dan muda walau tidak sesuai usianya.
"Miss Hedrevary, mana Tiina?" tanya Mathias pelan. "Aku tidak melihat dia sejak tadi."
"Oh, Tiina kelelahan karena pagi-pagi buta tadi berkuda," tutur Elizaveta dengan nada berbohong. "Dia memang selalu seperti itu."
Mathias menghela nafas panjang. "Sayang sekali," ujar Mathias. "Malam ini aku ingin mengajaknya ke pesta para bangsawan dan aku ingin memperkenalkan Tiina sebagai keponakanku."
Elizaveta tersenyum. "Itu ide bagus."
"Apa!" seru Tiina terkejut. "Akan ada pesta dansa nanti malam?"
Mathias terkekeh pelan melihat ekspresi Tiina yang seperti itu. "Tentu saja kamu akan datang ke sana karena kamu adalah keponakanku. Sekalian mencari calon suami di sana."
Tujuanku ke sana bukan untuk mencari calon suami tetapi menuruti permintaan mendiang Papa. Duh, paman Mathias ini. Bagaimana aku bisa menolaknya?
"Kurasa itu terlalu cepat, paman Mathias," kata Tiina sopan. "Aku masih berusia enam belas tahun."
"Seharusnya kamu percaya diri karena ayahmu memiliki tambang berlian di seluruh Skandinavia. Dengan fakta seperti itu, kamu harus datang ke pesta dansa nanti malam."
"EEH! Paman tidak sedang bercanda kan?" tanya Tiina dengan nada terkaget-kaget. "Mengapa Papa bilang seperti itu?"
Mata Mathias mendadak sendu seolah-olah teringat kenangan lama. "Papamu memang sedikit aneh tetapi tidak sopan membicarakan hal-hal buruk tentangnya. Ah sudahlah-"
Saat itu Tiina memang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi tetapi Tiina tahu ada sesuatu yang terjadi padanya enam belas tahun lalu. Tetapi seharusnya Tiina tidak ambil pusing karena Mathias teman lama ayahnya.
Untuk pertama kalinya, Tiina menghadiri pesta dansa kalangan bangsawan. Baju yang dipilih Tiina adalah gaun terusan berwarna putih berenda-renda yang sangat sesuai dengan tubuh Tiina yang mungil. Rambut pirangnya dibiarkan terurai. Penampilan Tiina yang seperti itu cukup membuat menarik perhatian pria-pria bangsawan yang ingin berdansa dengan Tiina.
"Tuh," Mathias mengerling pada Tiina. "Bukankah kamu cantik sekali."
Wajah Tiina memerah dan terlihat gugup. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tahu-tahu, para pria sudah mengerubunginya untuk mengajaknya berdansa.
"Berdansalah denganku, Miss Vainamoinen!" pinta salah satu pria berdarah Latvia dengan tatapan penuh harapan.
Eh, darimana mereka semua tahu namaku.
"Jangan!" seru Eduard von Bock sedikit memaksa sehingga Tiina terkejut. "Bersama aku saja."
"Aku saja!" seru Ludwig Beildschmidt keras. "Aku yang pantas berdansa dengan Miss Vainamoinen."
Tiina menghadapi situasi yang membingungkan karena banyak sekali pria yang mengajaknya berdansa. Tentu saja Tiina tidak bisa menolak mereka satu per satu. Sampai pada akhirnya sesosok pria tinggi besar memegangi tangan kanannya dengan erat. Pria berkacamata kemarin malam yang memergoki dirinya.
"Biar gadis ini yang berdansa denganku," kata pria itu serak dan mencengkram bahu Tiina dengan keras. "Mungkin gadis ini baru pertama kali datang ke pesta dansa seperti ini."
Semua pria yang ingin mengajaknya berdansa buru-buru kabur dari tempatnya saat ini. Mereka semua tahu berhadapan dengan siapa, Berwald Oxenstierna, sang pembuat furnitur ternama di dunia sekaligus mantan bajak laut. Usianya berkisar tiga puluh enam tahun. Banyak orang yang takut kepadanya karena hal tersebut sekaligus incaran wanita-wanita muda dan lajang. Berwald dikenal sebagai pria dengan tatapan menakutkannya dan hal itu kerap kali membuat orang-orang menakutinya. Selain itu, berdasarkan desas desus yang ada, Berwald merupakan pria yang sangat berbahaya.
"Aku permisi dulu, Mr. Oxenstierna," kata pria lainnya dengan nada takut-takut. Lalu pria lainnya kabur entah kemana. Tiina menoleh dan memandangi pria tersebut dari atas ke bawah. Astaga, pria ini adalah pria yang memergokiku ketika sedang di rumah keluarga Braginski. Dia tampaknya pria yang sangat berbahaya.
"Mengapa gugup, Miss. Vainamoinen?" tanya Berwald pelan.
"Tidak ada apa-apa," jawab Tiina canggung dan menjaga jarak dari Berwald. "Boleh aku tahu siapa nama Anda?"
"Berwald Oxenstierna."
Jadi nama pria ini adalah Berwald Oxenstierna. Aku heran apa yang istimewa dari pria ini sehingga banyak pria mundur teratur. Memang tatapan mata pria ini sangat menyeramkan tetapi aku sama sekali tidak memiliki alasan untuk takut kepadanya kecuali kejadian di dekat rumah keluarga Braginski.
"Senang berkenalan denganmu, Mr. Oxenstierna," ujar Tiina dengan nada ceria yang dibuat-buat. "Aku baru pertama kali berkunjung ke Swedia. Namaku Tiina Vainamoinen."
"Aku sudah tahu namamu," ujar Berwald. "Bagaimana kalau aku mengajakmu berdansa?"
Pria ini pasti sedang memiliki tujuan-tujuan tertentu tetapi tidak ada salahnya mengikuti kemauannya. Aku merasa dia mencurigaiku atas kejadian tadi malam.
"Baiklah, Mr. Oxenstierna."
Berwald berpikir sejenak mengenai gadis itu. Tampaknya gadis yang berada di depannya masih sangat muda. Bahkan usia dua puluh pun belum sampai sama sekali. Tetapi dia melakukan ini atas permintaan keluarga Beildschmidt yang merupakan saudara jauhnya, sekaligus adik tirinya yang masih berusia dua puluh delapan tahun. Apalagi Berwald mendengar desas desus bahwa ayah Tiina memiliki tambang berlian di seluruh Skandinavia.
Sementara Tiina merasa gugup di depan pria itu. Mereka baru pertama kali bertemu tetapi Tiina merasa ditelanjagi oleh pria itu. Tiina tidak mengerti sebabnya.
"Ayo," kata Berwald sambil menarik tangan Tiina. "Musiknya sudah mau dimulai."
Mau tak mau Tiina menurut. Ketika musik waltz dimainkan, mereka mulai berdansa. Tanpa disangka-sangka Tiina berdansa dengan baik tanpa adanya cacat cela sedikitpun. Berputar, berayun, semuanya dilakukan oleh Tiina dengan indah bagaikan bidadari.
"Darimana kamu mempelajari itu, Miss Vainamoinen?" tanya Berwald dengan tatapan kagum. Sejak tadi mata Berwald tidak bisa lepas dari sosok Tiina yang di depannya. "Aku tidak tahu."
Tiina bersemu merah. "Ayahku dulu sering mengajariku berdansa waltz. Ya begitulah," katanya gugup.
Mereka terus berdansa dengan wajah yang tampak muda dan bahagia. Tiina mulai merasa nyaman berada di dekat Berwald, sesuatu mengusiknya dan matanya memandangi pin burung phoenix yang tersemat di dasi panjang Berwald.
"Phoenix," gumam Tiina dengan tatapan kekaguman. "Burung yang sangat indah."
Sementara ada dua orang dari kejauhan mengawasi mereka dengan pandangan tidak suka. Pria Jerman yang bernama Ludwig Beildschmidt berada di sebelah pria berambut panjang yang mirip dengan Ludwig hanya bisa mengernyit padanya.
"Ayah ingin aku melakukan apa?" tanya Ludwig geram. "Ingin memanfaatkanku lagi!"
Ayahnya hanya bisa menghela nafas menghadapi anaknya yang cepat naik pitam tersebut. Jika dia mau, dia bisa membentak Ludwig saat itu juga tetapi tidak dilakukannya sama sekali. "Dekati Miss Vainamoinen. Jika kamu bisa menjadikan gadis itu istrimu maka kekayaannya akan menurun kepadamu. Lagipula kamu bisa memamerkannya kepada semua orang dengan penuh kebanggaan."
Ludwig mendengus, ayahnya benar-benar keterlaluan. Mengapa yang dipikirkan ayahnya hanyalah uang, kekayaan dan gengsi. Dia mencintai wanita lain, orang itu berada di ruangan yang sama dengan Ludwig. Tetapi Ludwig sama sekali tidak bisa mengatakannya.
"Ngomong-ngomong soal pencuri, tahukah Ayah bahwa kemarin keluarga Braginski kehilangan tiara emasnya?" tanya Ludwig untuk mengalihkan perhatian ayahnya.
Tak berapa lama musik waltz berhenti dan Berwald mulai melepaskan Tiina perlahan-lahan. "Aku permisi dulu, Miss Vainamoinen. Sampai bertemu lagi."
Tiina tersenyum gugup. "Senang bertemu denganmu."
Berwald meninggalkan Tiina yang masih berada di lantai dansa sementara mata Tiina menunjukkan tatapan aneh pada pria yang baru dikenalnya tersebut. Perlahan-lahan Tiina mengikuti Berwald secara diam-diam dan hati-hati.
"Bagaimana menurutmu mengenai Miss Vainamoinen?" tanya suara pria berambut dengan keras. "Kau sudah menyelidikinya, Berwald."
"Tampaknya dia cocok untukmu, Ludwig," kata Berwald lambat-lambat. "Sayangnya dia mencurigakan."
"Memangnya tipemu seperti apa, Berwald?" tanya Ludwig pada akhirnya.
"Asal bukan gadis bodoh yang bicara lambat-lambat."
Ludwig cukup terkejut mendengar kakak tirinya bicara seperti itu. Suatu hal yang ganjil melihat orang yang sehari-harinya kaku berbicara mengenai wanita. "Kamu tidak ingin mengincarnya?"
"Dia terlalu muda untukku."
Tiina terhenyak mendengar perkataan Berwald yang terakhir. Lebih terkejut lagi bahwa ternyata Berwald mendekatinya hanya untuk mengujinya. Bukan benar-benar tertarik padanya. Jadi pria itu mengajakku berdansa hanya untuk menyelidikiku semata. Dasar pria tua keji. Baiklah aku akan menjadi gadis bodoh seperti yang kau maksud agar kau segera menjauh dariku.
.
.
.
Hari itu, Tiina mulai merencanakan pembalasan terhadap pria yang bernama Berwald Oxenstierna. Pria itu ternyata hanya ingin memanfaatkan Tiina semata demi menjodohkan adiknya dengan Tiina. Dan katanya pria itu tidak suka dengan gadis yang suka berbicara lambat-lambat. Demi Tuhan, mengapa hari itu Tiina bertemu dengan pria seperti itu. Tidak adakah yang lebih buruk lagi dari ini.
"Hej," sapa Berwald ketika Tiina berdiri di dekat jendela. "Tidak bergabung?"
Ini dia, si pria menyebalkan yang menganggu hidup orang lain. Tiina merasa bersalah karena telah berpikir macam-macam mengenai Berwald, ia memang tidak begitu mengerti mengenai dunia pria dalam menghadapi wanita. Wajar jika ia sampai berpikir bahwa Berwald mengajaknya berdansa karena dikiranya Berwald benar-benar menyukai dirinya.
"A—aku.. tidak bisa," kata Tiina dengan suara yang dilambat-lambatkan. "Aku.. mencari.. seseorang—"
Berwald terheran-heran melihat sikap Tiina yang seperti itu. "Ada apa?"
"Ada.. apa?" tanya Tiina dengan ekspresi bodoh, memutarbalikkan pertanyaan yang tadi diajukan Berwald. Ia tentu tahu bahwa ia harus menjawab pertanyaan Berwald tetapi lebih baik ia berpura-pura sebagai gadis bodoh daripada penyamarannya terbongkar. Terlebih lagi, Berwald merupakan pria berbahaya. Jadi apa salahnya jika ia berlaku demikian.
Dalam hati Berwald berpikir, terbuat dari apa gadis yang berada di depannya. Ketika awal mereka berdansa, Tiina seperti gadis normal pada umumnya. Hanya usia yang menjadi perkecualian. Tetapi mengapa tiba-tiba Tiina bersikap seperti wanita bodoh yang tidak terhormat.
Menarik juga, pikir Berwald. Kurasa aku tidak akan bosan dengan dia.
"Er—bagaimana kalau kita—," kata Berwald pelan. "Berdansa?"
Tiina tersedak, bukankah Berwald membenci gadis bodoh yang berbicara lambat. Apa maksudnya ia mengajak berdansa? Yang benar saja!
"Dansa?" tanya Tiina dengan suara lambat. "Jelek ah!"
Tanpa Tiina bisa menduga, Berwald menarik Tiina dengan kasar dan menyeret Tiina ke arah lantai dansa. Tiina mengerang dan berusaha lepas dari Berwald tetapi gagal. Tangan Berwald dua kali lebih besar dari tangan Tiina dan Berwald cukup menyeramkan di mata Tiina. Pria itu tinggi besar dan sepertinya dengan ukuran tubuh itu, Berwald bisa menghajar Tiina saat itu juga.
"Lepaskan aku!" bentak Tiina sambil berusaha melepaskan tangannya, ia lupa bahwa sedang berpura-pura bodoh. "Kau jahat!"
Berwald tidak peduli dengan perkataan Tiina dan masih terus menyeret Tiina ke lantai dansa. Wajah Tiina memerah, seluruh tamu kini menatap ke arah mereka berdua dan musik sudah mulai dimainkan.
Selama dansa berlangsung, Tiina terus menginjak kaki Berwald dengan sembarangan. Karena dengan begitu Berwald akan kapok mengajaknya berdansa, apalagi berhubungan lebih dekat dengan Tiina.
Tetapi dorongan dari mana, Tiina mulai merasa nyaman berdekatan dengan Berwald. Perlahan-lahan gerakan tubuhnya lebih luwes dan memperlambat iramanya. Membuat mata Berwald terpana melihatnya dan hati Berwald berdebar-debar. Tiina sangat misterius dan penuh rahasia, ia bisa seperti gadis bodoh tetapi juga bisa seperti gadis yang sangat elegan. Berwald tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah mengenai diri Tiina. Seharusnya ia lebih dalam mengenal Tiina.
Apa yang kau lakukan. Dia masih dibawah umur dan dia juga gadis bodoh.
Ketika musik mulai berhenti, Tiina tidak sengaja terantuk sesuatu dan nyaris terjatuh. Ia berada dekat dengan Berwald. Berwald menahan tubuhnya agar ia tidak terjatuh.
"Kau tidak apa-apa?"
Tubuh Tiina serasa menegang, ia tidak mengerti mengapa dirinya seperti itu. Kedua tangannya memegangi jas Berwald. Mata violetnya menatap mata Berwald perlahan. "Eh?"
Berwald berpikir bahwa Tiina seperti bidadari ketika ia terjatuh di dalam pelukannya. Tiina terlihat seperti gadis polos dan lembut. Ia bisa merasakan gadis itu nyaman berada di pelukannya, mungkin tanpa Tiina sadari secara penuh.
—00—
Rencananya untuk mengerjai Berwald gagal total. Alih-alih berhasil, ia malah terjerat di dalamnya. Bahkan Tiina baru sadar bahwa Berwald merupakan pria yang mempesona. Ia ingin segera membicarakan hal ini pada Mathias mengenai betapa kesalnya ia terhadap Berwald. Lagipula ia tidak mau terjerat dengan pria yang nyaris seumuran ayahnya sendiri dan Berwald hanya ingin menjadikannya alat perjodohan dengan adiknya sendiri. Tentu Tiina tidak ingin berhubungan dengan pria semacam itu.
Sebagai hukumannya, diam-diam Tiina mencuri pin yang disematkan di dasi Berwald. Tanpa pria itu menyadarinya. Lagipula ia pasti lihai dalam melakukan hal semacam ini berkat ajaran ayahnya. Ia tersenyum penuh kemenangan sambil melihat-lihat pin phoenix itu.
"Ada apa, Tiina?" tanya Elizaveta ketika melihat ekspresi Tiina. "Sepertinya kamu sedang senang?"
Tiina terkejut dan menyembunyikan pin tersebut ke dalam tasnya. "Ah, tidak kok."
Elizaveta tersenyum melihat tingkah Tiina yang sepertinya tampak ceria dan memeluk Tiina perlahan. "Sudah menemukan pria yang cocok denganmu?"
Tiina diam saja dan wajahnya memerah. Pria siapa? Ia sama sekali tidak menemukannya dan malah bertemu dengan pria menyebalkan di pesta dansa tadi. Pria itu benar-benar seenaknya dan seperti om-om.
"Tidak!" sergah Tiina. "Tidak seperti itu!"
"Lalu apa?" pancing Elizaveta dengan mata berbinar-binar. "Pria di sana tampan-tampan tidak?"
Tiina melemparkan bantal ke wajah Elizaveta. "Kau itu!"
Elizaveta tertawa terbahak-bahak. "Sepertinya kamu memang sudah menemukan pria yang cocok untukmu!"
"TIDAK BEGITU!" serunya dengan nada lantang, tetapi wajahnya merah padam seperti tomat. "Aku belum pernah jatuh cinta—"
Elizaveta nyengir. Rupanya Tiina sudah mulai tertarik pada pria yang ada di sekelilingnya mengingat bagaimana Tiina ketika ayahnya masih hidup. Sama sekali tidak mengenal pria yang baik untuknya.
Malam harinya Tiina sama sekali tidak bisa tidur, pikirannya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam. Ia hanya disuruh mengambil peninggalan ayahnya yang dicuri tetapi ia malah mencuri sesuatu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ayahnya maupun dirinya. Ia mencuri pin phoenix milik Berwald hanya karena pria itu berlaku menyebalkan terhadapnya. Ia merasa seperti benar-benar pencuri tidak bermoral.
Tangan Tiina mengangkat tangannya sendiri dan berpikir betapa hina dirinya. Ia bukanlah bagian dari keluarga bangsawan Kohler, ia adalah anak dari pencuri dan ia adalah sampah. Ia merasa tidak layak bersanding dengan pria manapun.
Apa yang harus kulakukan sekarang ini? Tidak mungkin aku mengembalikan benda itu padanya langsung. Jika dia tahu, dia akan menyeretku ke penjara. Dan keinginan papa tidak akan bisa terkabul.
Jika ia berhasil melaksanakan misinya, ia bisa kabur ke negara lain untuk hidup baru tanpa bertemu dengan yang lainnya. Seorang diri di usia yang begitu muda.
—00—
Berwald minum-minum begitu banyak, ia merasa seperti orang gila sejak dua minggu lalu. Untung saja otaknya masih seperti orang normal tetapi itu mengundang banyak tanda tanya dari teman-temannya.
"Tidak sebanyak ini kau minum, Oxenstierna!" seru Alfred F Jones. "Kau kenapa?"
"Diam," jawab Berwald serak. Dia sendiri tidak mengerti mengapa hari itu ia ingin minum sebanyak itu padahal ia tidak terlalu suka minuman keras. Jika dibandingkan dengan Mathias Kohler, ia masih berada di taraf normal. Tiina Vainamoinen merasuki pikirannya sejak saat itu, gadis misterius yang berusia enam belas tahun. Berwald merasa seperti pria pedo setiap memikirkan Tiina, berusaha mengenyahkan Tiina dari dalam pikirannya tetapi ia gagal.
Mengenai pin phoenix. Berwald curiga Tiina yang mengambilnya, tetapi bisa juga pin itu terjatuh. Pin itu diberikan oleh seseorang terhadap jasanya ketika ia menjadi bajak laut pada sepuluh tahun lalu. Itu merupakan penghargaan terakhir untuknya karena setelah itu Berwald ingin berhenti menjadi bajak laut.
Gadis itu masih enam belas tahun. Dia tidak mungkin berbuat seperti itu.
—00—
Sekitar pukul empat pagi, Tiina memutuskan untuk pergi berkuda diam-diam tanpa sepengetahuan orang rumah. Hanya bermodalkan gaun tidur panjang saja. Ia berpikir bahwa dirinya akan aman-aman saja karena jalanan di Gamla Stan sangat sepi.
Tiba-tiba, sekelompok penjahat menyerangnya dan Tiina bingung apa yang harus yang dilakukannya. Ia sama sekali tidak mengerti. Ketika pukul dua pagi, ia baru saja mengambil catur yang terbuat dari emas milik keluarga Kirkland dan menyembunyikan benda tersebut di rumahnya. Lalu ia teringat dengan pedang yang ada sakunya dan mengeluarkannya dan menyerang para penjahat-penjahat itu dengan cepat.
"Berhenti mengangguku!" bentak Tiina, tangannya masih terus memegangi pedang dan melayangkan pedang itu ke arah mereka. Penjahat-penjahat itu semakin lama semakin ganas dan nyaris menjatuhkan Tiina dari kudanya.
Tiina tidak mau menyerah, baginya melawan penjahat sangat mudah. Bukankah dulu ia berani melawan penjahat sendirian dan jumlah mereka dulu lebih banyak yaitu sekitar sepuluh orang. Tetapi ini hanya tiga orang saja dan Tiina merasa kalut sekarang.
"Hentikan!" seru seorang pria di belakang Tiina dan memberikan tatapan menakutkan pada gerombolan penjahat yang menyerang Tiina barusan. "Pergi!"
Gerombolan penjahat itu ngeri mendengar ancaman pria itu dan buru-buru kabur dari Tiina, semua tahu siapa Berwald. Pasti semua yang melawannya tahu apa akibat yang akan diterimanya. Tiina menengok ke belakang dan mendapati Berwald juga sedang berkuda di belakangnya. Berwald hanya mengenakan baju tradisional bangsa Viking dan tidak mengenakan kacamata sedikitpun. Dan Berwald terlihat sangat mempesona bagi Tiina jika dalam penampilan seperti ini.
"Tidak apa-apa, Miss Vainamoinen?" tanya Berwald pelan dan mengarahkan kudanya untuk berdekatan dengan kuda milik Tiina dan mengelus bahu Tiina dengan lembut. "Ada yang luka?"
Tiina buru-buru menghindar dan mengarahkan kudanya untuk pergi ke arah lain. Sentuhan Berwald membuat tubuhnya menegang. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. "Tidak ada. Maaf aku harus segera pulang, Mr. Oxenstierna. Ini sudah pagi."
Kuda milik Tiina mulai berjalan pelan-pelan dan kuda Berwald mengejar Tiina dengan cepat. "Tunggu dulu!"
Tiina semakin mempercepat kudanya dan berbelok ke arah yang berlawanan dari rumahnya. Berbahaya jika Berwald sampai mengetahui hal-hal mengenai dirinya. Ia sama sekali tidak berani berhadapan dengan Berwald.
Tetapi Berwald mendapatkan pandangan baru mengenai Tiina. Tiina bukan gadis bodoh seperti sangkaannya semula. Tiina adalah gadis yang luar biasa dan pemberani. Berwald tidak menyangka di dalam sisi lembut Tiina ternyata Tiina berani melawan penjahat-penjahat itu sendirian walau pada akhirnya Tiina nyaris terjatuh dari kuda. Apa mungkin kebodohan gadis itu hanyalah topeng semata.
—00—
Seluruh tamu pesta yang diadakan oleh Mathias Kohler sedang ramai-ramainya membicarakan sesuatu mengenai pencurian catur emas milik keluarga Kirkland. Beberapa kaum tua membentuk grup sendiri untuk berdiskusi sementara kaum muda, terutama wanita mencari pasangan dansa yang berpotensial untuk dijadikan suami.
"Hej, Oxenstierna!" seru Van Anderson. "Mau bermain judi."
Berwald menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, aku ada urusan."
"Alah," gerutu Van Anderson. "Gak seru banget sih lu."
Berwald mengabaikan perkataan teman Belanda-nya itu dan duduk di salah satu sofa dengan wajah muram. Tiina selalu ada di otaknya belakangan ini. Ia merasa rugi jika harus memberikan Tiina pada Ludwig. Mata Berwald berapi-api ketika melihat Ludwig dan Tiina sedang berdansa dengan ceria. Mereka berdua tampak seperti bahagia dan muda. Apalagi dilihatnya Tiina tidak kaku dibandingkan bersama dengan dirinya.
Benar-benar Tiina sudah merusak kewarasannya. Ia harus membantu Ludwig dalam menjodohkan Tiina untuknya. Tiina toh bukan siapa-siapa Berwald.
—00—
Setelah Tiina selesai berdansa dengan Ludwig, Tiina kembali ke tempat duduknya dan mendapati Felicia Vargas sedang menangis di sebelahnya. Kontan Tiina merasa kasihan terhadap Felicia dan memeluk gadis Italia itu perlahan. "Moi, ada apa?"
Felicia terisak pelan. "Mr. Bonnefoy mengajakku berdansa, ve—."
Mr. Bonnefoy, si pirang playboy itu. Dia memang tampan tetapi dia bukan tipeku, pikir Tiina. Dari awal sikapnya membuatku muak.
"Mengapa tidak menolak, sayang?" tanya Tiina. "Kamu bisa menolaknya jika mau, Miss Vargas."
Felicia menggeleng-gelengkan kepala. "Well, kalau aku menolak, tidak ada pria yang mau menjadi suamiku. Kak Lovina sudah mempunyai suami yang tampan, ve—."
"Jangan bilang begitu," kata Tiina tegas. "Aku tahu seseorang yang bisa menolongmu! Dan aku akan menggantikan kamu berdansa dengan Mr. Bonnefoy."
"Eh?" tanya Felicia bingung. "Siapa?"
Tiina meninggalkan Felicia sebentar dan menarik tangan Ludwig dengan erat. "Ah, ini Ludwig Beildschmidt dan dia ini temanku," kata Tiina pelan sambil memperkenalkan Ludwig pada Felicia. "Bisakah Anda membantu Miss Vargas?"
Ludwig merah padam ketika berhadapan dengan Felicia. "Apa yang bisa saya bantu?"
"Ajaklah Miss Vargas berdansa," tambah Tiina dan meninggalkan Ludwig dan Felicia yang ada di sana. "Dia takut bersama dengan Mr. Bonnefoy. Aku yakin Anda pasti bisa membantunya!"
Ludwig dan Felicia saling menatap satu sama lainnya. Wajah Felicia merah padam ketika berhadapan dengan Ludwig. "Apa tidak apa-apa, ve—"
Ludwig menyunggingkan senyuman tipis pada Felicia. "Dengan senang hati, Miss Vargas."
Wajah Felicia berubah menjadi cerah. "Terima kasih, Mr. Beildschmidt, ve—."
"Panggil aku Ludwig."
—00—
"Mana gadis Italia sayangku itu?" tanya Francis Bonnefoy ke sekeliling ruangan. "Dia ada janji denganku!"
Tiina mencolek bahu Francis pelan. "Maaf, Mr. Bonnefoy! Aku akan menggantikan Miss Vargas untuk berdansa dengan Anda."
Francis terkekeh sambil memeluk Tiina dengan erat. "Dengan senang hati, mon cheri. Semakin muda semakin baik."
Dalam hati Tiina tertawa miris mendengar perkataan Francis. Dasar om-om pedofil.
Selama Francis dan Tiina berdansa pun, Tiina sengaja berdansa asal-asalan untuk mengerjai Francis. Kakinya terus menginjak Francis berulang kali hingga Francis meringis kesakitan. Ketika berputar pun, Tiina mengangkat tangannya dan memundurkan tangannya hingga mengenai wajah Francis.
"Hej, Mr. Kohler, mengapa keponakanmu berdansa seperti itu?" tanya Erikur Steillson pada Mathias. "Biasanya ia berdansa dengan indah tetapi mengapa dia seperti itu sekarang?"
Mathias tersenyum miris mendengar pertanyaan Erikur. "Ah, mungkin Tiina tidak menyukai pria itu."
Berwald mendengarkan percakapan Erikur dan Mathias dengan seksama. Mereka ada benarnya, tidak biasanya Tiina bersikap seperti itu. Apa tujuan Tiina sebenarnya?
—00—
"Capek ya, Mr. Bonnefoy?" tanya Tiina polos dengan wajah tanpa dosa. "Lain kali kita berdansa bersama ya!"
Francis berjalan dengan terpincang-pincang dan meninggalkan Tiina sendirian di dekat meja. Matanya seolah-olah berkata bahwa ia tidak akan mau berdansa dengan Tiina lagi.
"Moi—selesai sudah semuanya," kata Tiina riang sambil berjalan ke arah kiri. "Aku ingin bertemu dengan paman Mathias dulu!"
Langkah Tiina berhenti, ia mendapati Berwald berdiri di depan Tiina dengan tatapan penuh pertanyaan panjang. "Apa maksud semua ini?" tanyanya. "Merencanakan sesuatu?"
Tiina membuang mukanya. Mengapa ia harus bertemu dengan Berwald di saat seperti ini?
"Tidak ada apa-apa," ujar Tiina dingin. "Kenapa?"
"Kurasa kamu, bukan gadis yang kukenal selama ini," kata Berwald lambat-lambat. "Siapa kamu sebenarnya?"
"Aku tidak mau jawab pertanyaanmu!"
Berwald mencengkram bahu Tiina dengan kasar dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Tiina. "Kamu punya kakak laki-laki?"
Tiina menggeleng pelan dan membuang wajahnya ke arah lain. "Tidak ada."
"Pria yang melindungimu?"
"Tidak ada juga."
Berwald melepaskan cengkramannya dan memberikan Tiina ruang yang sedikit longgar. "Aku akan melindungimu jika kamu mau. Jika kamu butuh sandaran," katanya dengan nada sungguh-sungguh. "Aku serius!"
Tiina tidak mempercayai pendengarannya. Selama ini belum pernah ada pria yang berkata seperti itu kepadanya. Tiina memang bertemu dengan berbagai macam pria tetapi tidak ada satupun pria yang pernah berkata begitu pada Tiina. Berwald memang pria yang berbeda dengan pria kebanyakan. Berwald sedingin es, terkadang sedikit kasar dan memaksa dan bila diibaratkan Berwald bagaikan gunung es. Tetapi ia tidak bisa menyangkali dirinya sendiri bahwa perlahan-lahan ia terpesona dengan Berwald.
"Maaf, kurasa Anda salah paham," ujar Tiina gugup. "Aku hanya membantu Miss Vargas."
Berwald menatap Tiina dengan tatapan penuh arti, tetapi tatapan itu merupakan tatapan kelembutan yang bisa diberikannya pada gadis muda itu. "Ludwig ingin bertemu denganmu," kata-kata itu yang keluar terlebih dahulu dibandingkan dengan perasaannya sendiri. "Hal penting?"
—00—
Berwald merasa cemburu pada Ludwig ketika melihat Ludwig dan Tiina mengobrol dengan santai. Ia heran apa yang merasuki pikirannya saat-saat seperti ini. Jika ternyata ia malah jatuh hati pada gadis yang akan dijodohkan pada Tiina, lebih baik dari awal Berwald tidak membantunya sama sekali.
"Kamu kenapa, Berwald?" tanya ayah Ludwig dengan tatapan bingung. Berwald memberikan death glare mautnya pada pria tua itu.
"Bukan urusanmu."
Pria tua itu tersenyum pada Ludwig dan Tiina. "Mereka adalah pasangan serasi, bukan. Jika Tiina bisa menjadi istri Ludwig bukankah kita bisa menjadi kaya!"
BRAK! Berwald memukul meja dengan suara keras sehingga pria tua itu terkejut dan ngeri. Mata Berwald berkilat-kilat dengan penuh kemarahan. "Kau pikir Tiina itu barang!"
Pria tua itu terkejut melihat Berwald seperti itu,"Kau cemburu?"
Cemburu katanya! Cemburu, siapa bilang aku cemburu pada Tiina. Dasar om-om tua penyuka harta orang.
"Kak Berwald," kata Ludwig gugup dan matanya mengarah ke ayahnya. "Tiina menolak lamaranku."
Berwald berusaha bersikap biasa ketika mendengar kabar ini tetapi dari dalam hatinya, Berwald menari-nari riang. "Mengapa?"
"Well, sebenarnya dia berkata bahwa dia tidak punya tambang berlian. Dan dia tidak berniat untuk menjadi istriku."
Ayahnya marah pada Ludwig. "Dasar bodoh!" semburnya. "Mengapa tidak merayunya!"
Telinga Berwald panas mendengar pertengkaran ayah anak tersebut. Tetapi ada sisi baiknya bahwa Tiina tidak berniat untuk menjadi istri Ludwig tetapi sisi buruknya adalah pertengkaran mereka yang semakin parah.
"Kurasa kamu tidak jujur, Ludwig," gumam Berwald lambat-lambat. "Seorang pria harus memilih orang yang dicintainya dengan keinginan sendiri. Bukan kehendak orang lain."
Ludwig terdiam mendengar perkataan Berwald, mencerna perkataan Berwald yang terdengar patah-patah, sedikit demi sedikit. Satu demi satu, dan ia menyadari siapa yang harus benar-benar diperjuangkannya.
"Yang kuinginkan bukan Miss Vainamoinen," kata Ludwig mantap. "Aku menyukai orang lain!"
"A—APA KAU BILANG! BERANI SEKALI KAU!" raung ayahnya dan mencengkram jas Ludwig. "ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG!"
Berwald berjalan ke arah pintu keluar dan mengucapkan kata terakhirnya. "Bagus kau sudah kembali ke jalan yang benar."
"BERI TAHU ADIKMU INI!" raungnya. "KAU BENAR-BENAR GILA!"
Berwald mendengus. "Maaf, aku tidak suka terhadap caramu pada Ludwig."
"Jangan banyak bicara padaku!" bentaknya. "Kau juga mengincar gadis itu kan?"
Berwald sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu dan bergegas pergi. Masih ada hal lain yang harus ia selesaikan terutama mencari tahu mengenai Tiina Vainamoinen. Siapa dia sebenarnya?
TBC
A/N ini fic saya yang tahun lalu, tanpa edit~Dan beneran saya kangen dengan penulisan ini ^_^ kayaknya lebih lancar dibandingkan sekarang. Anyway review please but no flame.
