Desclaimer: Hetalia masih tetap punyanya Hidekaz-sensei.
A/N: Hai! Saya kembali dengan fanfiction baru =D
Nini: Yeeeee *tepuk tangan*
Reader: Krik...krik...krik...
Rain: Hhahaha, fanfiction kali ini terinspirasi dari obrolan singkat saya dan temen-temen di sekolah. Terus, karena Yuuichi93 minta sequel dari 'Yogyakarta' yang menceritakan pasar malam yang diadain di Belanda, jadilah fanfiction gabungan dari dua macam ide ini. Yay! *tepuk tangan*
Reader+Nini: Krik...krik...krik...
Rain: Oh iya, cerita ini dari Indonesia POV! Kata terakhir dariku... SELAMAT MEMBACA!
xXx
Aku duduk seorang diri di salah satu deretan kursi yang ada di sini. Kulihat ke luar jendela, ke arah sang mentari yang baru saja terbit dari ufuk timur. Garis berwarna jingga yang membelah angkasa terlihat begitu indah. Rumah-rumah dan gedung-gedung bertingkat terlihat sangat kecil dari atas sini. Membentuk sebuah panorama indah yang hanya bisa kunikmati dari kursi pesawat ini. Sesekali awan-awan yang sedang bergumul itu menutupi pemandangan indah yang sedang kunikmati, seakan ingin menarik perhatianku. Kualihkan pandanganku sejenak untuk melihat sebuah jam tangan yang kukenakan di pergelangan tangan kiriku. Jam itu menunjukkan pukul 06.00. Tidak terasa sudah hampir 20 jam aku duduk di kursi pesawat ini. Sepertinya tidak lama lagi aku akan sampai di tempat tujuanku, Amsterdam, Belanda.
Sebenarnya, tujuanku datang ke Belanda untuk menghadiri acara pasar malam yang diadakan oleh duta besarku di Belanda. Acara itu akan dibuka mulai besok tanggal 1 april 2010. Acara yang sudah lama dinanti-nantikan masyarakatku.
Aku memandang ke luar lagi, melihat gumpalan awan yang masih berdiam di sana. "Ugh..." Tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhku. Keringat dingin mengalir dari keningku dan nafasku mulai terasa sesak. Kepalaku terasa sakit dan sekujur badanku terasa kaku.
Aku mengatur nafasku, mencoba menghilangkan rasa sakit yang bahkan aku sendiri tidak tahu dimana pusatnya. Rasa sakit yang akhir-akhir ini sering muncul dengan tiba-tiba, dan menghilang dengan sendirinya.
Penyakit ini mulai menyerangku beberapa bulan terakhir. Tapi baru beberapa hari yang lalu aku mengetahui sumber rasa sakitku ini. Rasa sakit ini berbeda dari rasa sakit yang biasanya kurasakan karena bencana alam yang manimpaku. Sebagai sebuah negara, aku tidak mungkin terserang penyakit biasa. Penyakit ini berhubungan dengan orang-orangku.
*Flashback mode: ON*
Pagi itu aku sedang berjalan-jalan di tengah kota. Mengamati orang-orang yang lalu-lalang di sepanjang jalan. Suara deru mesin sudah menjadi musik yang biasa kudengar setiap pagi. Dari kejauhan aku melihat sekelompok anak beseragam putih abu-abu berjalan ke arahku.
"Indonesia makin lama makin payah aja nih." Aku mendengar salah satu anak SMA itu mengeluh ketika mereka melintas di depanku.
"Mereka sedang membicarakanku?" tanyaku dalam hati. Aku memutuskan untuk mengikuti mereka. Aku ingin tahu apa yang sedang mereka perdebatkan.
"Ratih, Kalau kamu sendiri pilih tinggal di mana?" tanya seorang anak pada anak yang lain.
"Emm, mungkin Jerman!" jawab anak yang dipanggil Ratih itu.
"Kalo kamu Ni?"
"Inggris dong, jelas!"
"Eh, aku mau tanya nih sama kalian semua. Kalau misalnya kalian bisa milih mau lahir dimana, kalian mau pilih lahir jadi orang mana?" tanya seorang anak perempuan berambut hitam sebahu.
"Jepang!"
"Em, Korea?"
"PERANCIS!" teriak salah satu anak berjilbab putih.
"Woi, Tika, sabar Tik, nggak usah teriak-teriak juga kita denger kok!"
"Kalian tahu kan? Perancis itu, nggak cuma bagus, indah, negaranya juga... Eh, kok kalian pergi?"
"Habisnya kamu kalau udah ngomong nggak ada titik komanya sih, jadi males deh."
"Kok gitu? Eh, tungguin dong!"
Aku melihat anak anak itu berjalan menjauh dariku. Aku mendengar mereka menyebutkan nama negara satu-persatu. Tapi tak satupun dari mereka menyebutku. Tak satupun dari mereka memilih Indonesia. Aku terdiam, terus memandang anak-anak yang mulai tertutup kerumunan orang yang memadati jalan.
*Flashback mode: OFF*
Sejak saat itu aku menyadari sumber rasa sakitku. Semua itu bersumber dari hati orang-orangku. Mereka semua mulai melupakanku dan sudah tidak mencintaiku lagi, negara mereka sendiri. Mereka semua lebih memilih bekerja di luar negeri daripada memajukan bangsa mereka sendiri. Aku tahu bahwa itu semua juga merupakan kesalahanku, tapi tak ada gunanya menyesal sekarang.
Rasa sakitku tiba-tiba lenyap tak berbekas, tepat saat salah satu pramugari di pesawat ini mengumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat.
xXx
"Nesia!" panggil seorang pria begitu aku turun dari pesawat.
"Netherlands!" Aku menghampiri pria Belanda yang tadi memanggilku itu.
"Bagaimana perjalanannya?" tanya Netherlands.
"Tentu saja melelahkan. Bayangkan saja, aku harus duduk terus 20 jam lebih. Dan apa kau tahu, yang lebih parahnya lagi..." Belum selesai aku berbicara, tawa Netherland sudah menggema di sekitarku. "Kenapa kau tertawa?" tanyaku.
"Hahaha, tidak apa-apa. Sudah lama tidak bertemu, kupikir kau akan berubah. Ternyata, kau masih sama seperti yang dulu."
"Em, apakah itu hinaan atau pujian?"
"Hahaha, ini pujian kok, pujian," ucap Netherlands sambil mengacak-acak rambutku.
"Hei, berhenti mengacak-acak rambutku." Aku menyingkirkan tangan Netherlands
"Kenapa? Bukankah biasanya kau senang jika aku membelai kepalamu?"
"Itukan dulu, saat aku masih kecil!" bantahku.
"Oh ya? Jadi sekarang Nesia kecilku sudah besar?" goda Netherlands.
"Ah, maksudku... Sudahlah ayo kita segera menuju ke tempat persiapan pasar malam itu." Aku mengalihkan pembicaraan dan berjalan mendahului Netherlands. Aku membalikkan badanku untuk bicara pada pemuda itu. "Oh iya, aku perlu mengingatkan satu hal padamu. Aku bukan milikmu! Aku sudah merdeka! Ingat itu baik-baik," ucapku sambil membalikkan badan dan pergi meninggalkannya.
"Hei tunggu! Kenapa kau jadi meninggalkanku? Memangnya kamu tahu tempatnya?"
Aku menghentikan langkahku. "Iya juga ya? Aku kan tidak tau tempatnya," pikirku. "Memangnya dimana tempatnya?"
"Dasar kau ini, sudahlah, ikuti saja aku," ucap Netherlands sambil mendahuluiku. Aku pun hanya mengikutinya dari belakang.
xXx
"Ternyata persiapannya meriah sekali. Aku tidak sabar menunggu pasar malam itu dibuka besok," ucapku sambil merebahkan diri di sofa yang ada di rumah milik Netherlands ini. Aku baru saja pulang dari acara persiapan pasar malam itu.
"Ya, memang, orang-orangku juga sudah sangat menantikan acara itu." Netherlands berkata padaku sembari duduk di kursi yang ada di sebelahku.
"Kenapa rumahmu sepi sekali? Kemana adik-adikmu?"
"Yah, mereka semua sibuk. Tidak sepertimu yang hanya menganggur terus," ejek Netherlands.
"Enak saja, mana pernah aku menganggur. Kau tahu sendiri kan? Negaraku itu banyak masa..." Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, rasa sakit yang sama seperti saat aku di pesawat kembali menyerangku. Aku memegang dadaku, mencoba meredam rasa sakit yang kali ini terpusat di sana.
"Nesia? Kau kenapa?" tanya Netherlands. Aku bisa merasakan kecemasan dari nada bicaranya.
Aku mencoba mengatur nafasku sebentar. "Tidak, aku tidak apa-apa kok. Mungkin hanya terlalu lelah. Aku akan ke kamarku untuk istirahat"
"Perlu kuantarkan?"
"Tidak usah, aku tahu kok dimana kamarku," aku berusaha menolak tawaran Netherlands sehalus mungkin. Aku tidak mau dia tahu tentang penyakitku ini. "Ini kan bukan pertama kalinya aku menginap di sini." Aku berusaha memasang senyumku untuk meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Walaupun aku tahu, pasti senyumku terlihat sangat dipaksakan.
Aku berjalan ke arah lorong yang ada di sebelah ruang tamu ini. Kubuka pintu kamar ke-2 yang ada di situ, kamar yang selalu kutempati setiap aku menginap di sini. Di sudut kiri, kulihat sebuah kasur yang cukup besar. Kira-kira 2 kali ukuran kasurku di rumah. Netherlands memang cukup kaya, tidak seperti aku yang walaupun memiliki rumah besar, selalu memiliki hutang dimana-mana. Aku duduk di pinggir kasur itu, merasakan rasa sakit yang kini hilang tak berbekas.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa rasa sakit ini semakin sering terasa? Apakah itu berarti semakin banyak orang-orangku yang meninggalkanku?" Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulutku. Tapi tak satupun dari semua itu yang bisa kujawab.
"Nesia? Kau sudah tidur?" kudengar suara Netherlands memanggilku dari balik pintu.
"Belum, masuk saja," teriakku dari dalam kamar.
Netherlands pun masuk ke dalam kamarku sambil membawa sebuah koper yang sepertinya familiar di mataku.
"Ini, kau meninggalkan kopermu di ruang tamu," ucap Netherlands sambil menyerahkan koper yang sedari tadi dia bawa.
"Ah, iya, aku lupa!" Aku menepuk jidatku. "Terima kasih." Aku meraih koper itu dari tangan Netherlands.
"Kupikir, kamu tidak mungkin tidur berpakaian seperti itu kan? Makanya, kubawakan kopermu kemari." Neherlands menunjuk pakaian yang kukenakan. Sepasang baju dan celana khaki, baju yang tentu saja tidak nyaman untuk tidur.
"Kau benar," ujarku sambil melihat pakaian yang kukenakan. Aku membuka koperku dan mengeluarkan sebuah baju berlengan panjang dengan lambang garuda kecil di sebelah kiri. "Hei, mau sampai kapan kau terus berdiri di situ?"
"Hm, memangnya kenapa kalau aku berdiri di sini?"
"Apa kau tidak lihat? Aku mau mengganti bajuku."
"Ganti saja! Memangnya kenapa kalau aku di sini? Kamu laki-laki kan?"
"Tapi tetap saja, aku tidak suka jika ada orang yang menatapku ketika aku berganti baju!"
"Kenapa? Bukankah dulu aku sering membantumu berganti pakaian?" Netherlands kembali menggodaku.
"Itu kan dulu saat aku masih kecil! Pokoknya keluar!" teriakku sambil menendang Netherlands keluar dan membanting pintu kamarku.
"Dasar, kau masih tetap pemarah seperti dulu," gerutu Netherlands
Aku hanya diam saja, bosan meladeni orang itu.
"Selamat malam, Nesia!" ucap Netherlands sambil meninggalkan kamarku. Aku bisa mendengar derap kakinya yang semakin menjauh.
Aku melepas baju khakiku dan berjalan menuju cermin yang ada sudut kamar ini. Aku melihat bayangan seorang pemuda dengan tubuh penuh luka. Ya, inilah alasanku mengusir Netherlands. Aku tidak suka menunjukkan kelemahanku di depan orang lain. Bekas-bekas luka yang tak kunjung hilang ini adalah bukti nyata kelemahanku sebagai sebuah negara. Luka-luka karena bencana alam. Luka-luka akibat pemberontakan, terorisme, pembunuhan, dan tindak kejahatan lain yang juga tak kunjung usai. Bahkan sekarang, aku tidak bisa mempertahankan orang-orangku sendiri.
Angin dingin masuk melalui sela-sela jendela, menggelitik tubuhku yang masih belum mengenakan atasan apapun. Aku melingkarkan tanganku pada tubuhku, berusaha memberi sedikit kehangatan. "Meskipun sudah masuk musim panas, ternyata udara di sini tetap dingin," ucapku sambil mengenakan baju yang sudak kusiapkan.
"Oh iya, sebelum tidur, sebaiknya aku mengabari pak presiden dulu tentang persiapan acara pasar malamnya." Aku menuju sebuah telepon yang terletak di kamar itu. kutekan nomor istana negara, tidak lupa dengan kode negaranya.
Aku mendengar suara gagang telepon diangkat di seberang sana. "Ha..." Belum sempat aku mengucapkan salamku, aku mendengar suara bentakan dari seberang sana.
"WOI NYADAR, INI UDAH JAM BERAPA? KALO TELPON KIRA-KIRA DONG! SAYA BARU AJA MIMPI JADI PRESIDEN TAHU!"
Aku terpaksa harus sedikit menjauhkan gagang telepon itu dari telingaku. "Kenapa nih? Jangan-jangan salah nomor? Kayaknya enggak, aku kan udah hapal betul nomornya pak Presiden. Pak presiden yang biasanya kalem kok jadi galak banget? Jangan-jangan kesurupan? Atau pak presiden lagi mimpiin masa lalunya waktu masih jadi orang susah?" pikirku dalam hati.
"Pak, bapak kenapa? Bapak kan memang presiden." Aku mengingatkan pak Presiden yang lagi kumat.
"..." Tidak terdengar balasan apapun dari seberang sana.
"Pak? Anda masih di sana?"
"..." Masih tetap sunyi.
"Pak?"
"Ah, Indonesia, ada apa?" tanya pak Presiden dengan nada kalemnya seperti biasa.
Aku pun sampai berpikir, jangan-jangan pak Presiden berkepribadian ganda. Kok tiba-tiba jadi kalem gini. "Begini pak, saya hanya ingin melaporkan Pasar Malam yang besok akan diadakan di Belanda, pak. Semua persiapannya sudah siap pak, semoga saja besok acaranya bisa lancar."
"Oh, baguslah kalau begitu. Tapi Indonesia, lain kali kalau kau mau menelepon dari luar negeri, sebaiknya kau memperhatikan perbedaan waktu."
"Perbedaan waktu? Oh iya, saya lupa," Aku benar-benar lupa tentang adanya perbedaan waktu. Kulirik sebentar jam yang ada di kamar ini, jam 10 malam. "Memangnya sekarang di Indonesia jam berapa pak?" tanyaku.
"Jam 3 pagi," jawab pak Presiden datar.
"Jam 3 pagi? Pantes aja pak Presiden marah-marah," pikirku
"Kalau begitu maaf pak, selamat malam."
Aku segera menutup pembicaraanku dan naik ke atas kasur yang terdapat di kamar ini. "Sebaiknya aku segera tidur supaya besok aku tidak kesiangan." Aku pun melepas sebuah peci yang sejak tadi masih kukenakan dan meletakkannya di meja kecil disebelahku. Kurebahkan diriku di kasur untuk mengakhiri hari ini.
xXx
"Mau kau apakan dia?"
"Sudah biarkan saja, aku sudah tidak peduli dengannya."
"Benar, tinggalkan saja dia sendiri."
Aku mendengar suara orang bercakap-cakap di sekitarku. Tunggu, bukankah aku sendirian di kamar ini? Kenapa ada suara orang berbicara? Seingatku, tadi aku sedang tidur di rumah Netherlands. Perlahan, aku membuka mataku untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, tapi yang kulihat hanyalah kegelapan.
TBC
A/N: Fyuuh. Selesai juga chapter pertamanya *mengelap keringat*
Nini: Kok kayaknya aku ngerasa deja vu sama percakapan anak-anak SMA tadi.
Rain: Ya iyalah, itukan kita yang lagi ngobrol.
Nini: Eh, pantesan kayaknya pernah denger.
Rain: *Gubrak* Gimana reader? Apakah membingungkan? Menarik? Membuat penasaran? Aneh? Geje? Mambu? Sinting? Kere? Gembel? *lha kok ngelantur*Pokoknya jangan lupa R&R ya^^
