Scroll down.
Scroll down.
"Kali ini tidak boleh gagal-ssu."
Scroll down.
Scroll down.
"Tidak, Kise idiot. Jangan mengingatkanku pada ulang tahun Akashi."
Hening beberapa detik. Kemudian ada semacam enerji misterius yang membuat mereka pada akhirnya saling tatap, dan hanya butuh tiga detik untuk enerji misterius lain memicu ledak tawa Aomine Daiki berbarengan dengan Kise Ryouta.
Ulang tahun Akashi Seijuurou telah mereka catat sebagai sejarah paling mengerikan sekaligus menggelikan di tahun ketiga mereka di SMA yang sama. Untung saja si pemeran utama tidak ada di sana. Jika ada, mungkin Aomine Daiki dan Kise Ryouta telah melebur bersama sumpah serapah yang ia muntahkan.
"… jadi, Aominecchi, apa yang— HAHAHA."
Tawa Kise Ryouta kembali pecah untuk kedua kalinya.
"… kentut Midorimacchi bau telur busuk-ssu …"
Kali ini giliran tawa Aomine Daiki yang pecah untuk kedua kalinya.
"Sudah kubilang jangan mengingatkanku pada hari itu, Kise!" ujar Aomine sembari meluncurkan jitakan pada belakang kepala Kise yang kemudian disusul aduhan dari si kepala kuning.
Kemudian kembali hening. Enerji misterius membuat mereka kembali saling tatap, dan pada detik ketiga, mereka telah kembali memusatkan atensi pada layar datar komputer di dalam kamar yang didominasi warna biru muda, kamar Kise Ryouta.
Ah, warna biru muda. Warna itu memang selalu menjadi permasalahan serius, permasalahan kontroversial, terlebih kali ini menyangkut Kise Ryouta yang notabene seorang model terkenal. Jika tebak-tebak buah manggis Aomine benar maka ia yakin model berisik itu pastilah akan terkena skandal apabila permasalahan mengenai warna biru muda ini tercium awak media (pemikiran Aomine memang seperti itu, jika tidak terlalu maju maka akan terlalu mundur). Si jenius basket menduga bahwa speaker berjalan berwarna kuning ini mempunyai semacam obsesi tidak sehat pada Kuroko Tetsuya yang identik dengan warna biru muda. Namun, saat laki-laki tan nan tampan ini menginterogasinya (anggap saja latihan sebelum masuk kepolisian), ia berdalih bahwa ini adalah pilihan warna dari kakak kembarnya. Mereka bilang warna biru muda mempunyai banyak pengaruh positif (nafsu makan meningkat, misalnya). Jika ditelaah kembali, apa yang dikatakan kakak kembar Kise memang benar dan telah terbukti secara ilmiah. Iya, ilmiah. Aomine Daiki tahu bahwa warna biru muda memang mempunyai banyak pengaruh positif karena ia rajin membaca artikel mengenai sains, lebih-lebih bidang biologi mengenai reproduksi.
"Nah, Kise," Si jenius basket mulai bersuara. "Sepertinya ini semua sudah terlalu mainstream."
Kise Ryouta mengangguk-anggukkan kepala kuningnya, lalu beradu tatapan mata dengan Aomine Daiki. "Kupikir juga begitu, Aominecchi. Jadi—"
"Kita harus menyusun rencana sendiri—"
"Seperti saat ulang tahun Akashicchi—"
"Yang berantakan karena suara kentut Midorima brengsek—"
"Benar sekali-ssu."
Kemudian suara tawa kembali bergema.
.
.
.
A GRADUATION's Side Story
.
From Plan A to Plan E
by
sakhi
.
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
.
Cover Image © owner
.
Warning: slight AkaKuro/AoKi/AkaMido, possibly OOC, typo(s), nyerempet sho-ai
.
Selamat membaca!
.
.
.
Abandon
Berbicara kolaborasi, mungkin perpaduan antara idiot dengan kurang pintar bisa menghasilkan ide yang brilian. Alasan utamanya tentu saja karena keduanya berimajinasi di luar batas manusia normal. Akashi saja mengakui bahwa ia lelah mengikuti cara berpikir dua orang itu. Jadi, apa pun rencana yang mereka susun untuk ulang tahun Kuroko Tetsuya, Akashi Seijuurou setuju-setuju saja (karena ia sendiri sudah menyusun rencana khusus yang hanya ia dan Tuhan yang boleh tahu). Midorima Shintarou, sih, lagaknya tidak peduli, padahal hatinya sudah doki-doki saat mendengar ide brilian Kise Ryouta dan Aomine Daiki. Murasakibara Atsushi, ia siap memesan kue ulang tahun terlezat sepanjang masa—dengan catatan khusus harganya harus terjangkau dompet anak SMA—karena nantinya ia juga yang akan menghabiskan kue dengan brand yang masih disamarkan namanya.
"Rencana A!" Kise Ryouta berteriak dengan semangat perang (entah kenapa Momoi Satsuki malah teringat meme this is Sparta yang pernah populer beberapa waktu lalu). Aomine Daiki girang karena ia yakin kolaborasi rencananya dengan Kise akan berhasil, sementara tiga lainnya menunggu speaker kuning itu mendeklarasikan rencana yang katanya brilianitu.
"Rebut vanilla milk shake yang Kurokocchi minum dan buang ke keranjang sampah!"
"APA?! Yang benar saja, nanodayo?!"
Nah, nah.
Tahu sendiri, kan, bagaimana hubungan lebih dari teman Kuroko Tetsuya dengan benda cair dalam wadah cup bernama vanilla milk shake? Midorima Shintarou saja sampai kaget mendengar rencana hasil kolaborasi otak Kise Ryouta dan Aomine Daiki. Akashi Seijuurou, sebenarnya ia juga kaget, namun karena harga dirinya lebih tinggi dari Tokyo Tower, maka ia memilih stay cool saja. Murasakibara Atsushi hanya tersenyum simpul pada maibou rasa jagung bakar kesukaannya, mengabaikan orang-orang tidak waras dan terlampau waras di sana, yang penting kue ulang tahun kesukaannya sudah aman di tangannya. Mungkin satu-satunya yang ikut merasa bangga dengan rencana itu adalah Momoi Satsuki. Aneh, memang, tetapi mari abaikan saja karena jika tidak aneh maka julukan mereka bukan generasi keajaiban. Gadis gulali itu tersenyum-senyum senang karena ia yakin membuang vanilla milk shake yang tengah Kuroko minum akan memicu amarahnya.
Kise Ryouta mengintip dari balik gorden bermotif bunga sakura ruang kelas yang tak terpakai, yang kali ini mereka jadikan markas dadakan karena dekat dengan perpustakaan. Masing-masing dari mereka hapal bahwa Kuroko Tetsuya akan mengunjungi perpustakaan setiap hari dan akan melewati jalan ini.
"Target terlihat-ssu! Aominecchi, seperti dugaan kita, Kurokocchi sedang meminum vanilla milk shake-ssu."
"Benar, Kise."
"Wah, wah. Benar, Dai-chan!"
"Satsuki, jangan berisik!"
"Sssttt …"
Midorima (bisa dibuktikan secara ilmiah) terlihat penasaran dengan rencana Aomine dan Kise. Namun, karena ia telah menjadi penganut paham tsundere sejak dari orok, yang bisa ia lakukan hanya berlagak tidak peduli. Akashi tidak bergerak semili pun dari singgasananya, ia hanya memperhatikan sejauh apa pikiran tidak waras teman-temannya bisa mempengaruhi emosi Kuroko Tetsuya. Murasakibara, ia masih sibuk dengan maibou-nya.
"Aominecchi, laksanakan tugas-ssu!"
"Aye, aye! Roger, Sir!"
Oh, Tuhan. Mengapa aku harus ditakdirkan berteman dengan mereka, nodayo?
Aomine Daiki mulai menjalankan tugasnya yang demikian krusial. Pelan-pelan ia membuka pintu ruangan itu segera setelah ia yakin Kuroko Tetsuya telah agak jauh dari ruang kelas yang mereka jadikan markas, kemudian kembali menutupnya pelan-pelan agar tidak menimbulkan keributan. Ia berjalan cepat-cepat (namun tetap sesuai konsep; tidak menimbulkan gerakan yang mencolok, yang nantinya malah mengacaukan semuanya) menuju Kuroko Tetsuya, kemudian merebut vanilla milk shake-nya, dan tanpa aba-aba membuang benda itu ke keranjang sampah yang kebetulan sekali ada di dekat TKP (mungkin seseorang di antara teman-temannya yang masih mengintip dari balik gorden telah mengatur letak keranjang sampah karena ia tak ingat benda itu pernah ada di sini).
Kira-kira butuh lima koma lima detik untuk Kuroko mengartikan apa yang Aomine lakukan padanya. Ketika anak laki-laki pemilik wajah triplek itu mulai membuka mulut, Aomine mengira ia akan marah.
"Terimakasih banyak, Aomine-kun."
Hah?
Tidak, tidak. Memangnya kalimat itu yang diucapkan seseorang yang akan marah?
Dahi Aomine Daiki berkedut-kedut heran. "Apa?"
"Terimakasih karena telah membuang cup vanilla milk shake-ku. Itu sudah habis. Aku baru saja berniat untuk membuangnya, tetapi kau sudah mendahuluiku. Sekali lagi terimakasih banyak."
Aomine ragu, namun akhirnya menjawab juga, "Sama-sama, Tetsu."
Mission failed.
.
.
Badminton
Jadi, kebetulan saja hari ini ada mata pelajaran olahraga, dan agenda hari ini adalah bermain bulu tangkis di lapangan outdoor sekolah.
"Tetsuya—"
"Kurokocchi, aku berpasangan dengan Kurokocchi, ya?"
"Baiklah, Kise-kun."
Kemudian Kise Ryouta berbalik, mengedipkan sebelah matanya pada Aomine Daiki tanda ia berhasil memasukkan Kuroko Tetsuya dalam perangkap.
Akashi Seijuurou kebetulan saja memergoki kedipan misterius itu yang rupanya tidak disadari oleh si pelaku. Jadi ia memutuskan untuk tidak mencari pasangan, padahal jika ia mau, Midorima pasti akan bersedia menjadi lawan mainnya, tetapi ia tidak meminta jadi Midorima bermain bersama Murasakibara. Kalau Aomine Daiki, ia tentu saja bersama Momoi Satsuki. Itu sudah semacam peraturan tak tertulis (sama halnya dengan peraturan-peraturan yang kerap kali Akashi terapkan).
Akashi Seijuurou, yang ia lakukan sekarang hanya duduk di pinggir lapangan, memperhatikan teman sekelasnya saling bertukar pukulan.
Hanya butuh waktu kurang lebih sepuluh detik untuk seorang Akashi Seijuurou memperhatikan permainan anak-anak di kelasnya, selanjutnya seluruh perhatiannya ia pusatkan pada permainan Kise Ryouta dan Kuroko Tetsuya.
Pukul, pukul, lompat, pukul, aduh!
Kuroko Tetsuya mengabaikan bola yang tidak sempat ia pukul karena telah mendarat dengan agak keras di keningnya sebelum akhirnya meluncur mulus di lapangan. Ia mengusap-usap keningnya yang agak memerah karena ulah pukulan bola dari Kise Ryouta.
Akashi Seijuurou yang menjadi saksi tidak bisu kejadian itu langsung bangkit secepat kilat dari duduknya dan berjalan cepat-cepat menuju Kuroko Tetsuya yang masih mengusap-usap keningnya dan Kise Ryouta yang agak panik. Tadinya ia memang berencana untuk memukul bola ke Kuroko Tetsuya, tetapi ia tak menyangka pukulannya akan sekeras itu.
"Kurokocchi, maaf-ssu. Maaf, aku tidak sengaja-ssu."
Dusta sekali kau, Ryouta.
"Aku baik-baik saja, Kise-kun."
Ide ini memang muncul begitu saja saat guru olahraga mengumumkan bahwa materi hari ini adalah bulu tangkis (berhubung ini dadakan jadi mereka diperbolehkan memakai raket milik sekolah) dan murid-murid dipersilahkan mencari pasangan untuk pemanasan. Karena muncul begitu saja, Kise Ryouta hanya memberi tahu Aomine Daiki, dan tujuan mereka masih sama; mengerjai Kuroko Tetsuya untuk membuatnya marah atau apa saja yang sekiranya bisa menyulut emosinya. Namun, sepertinya mereka salah sasaran karena laki-laki bersurai biru muda itu tidak kelihatan marah sama sekali, malah sepertinya yang terpancing adalah yang bersurai merah. Berpikir akan mendapat ikan gurame, yang mereka dapat malah ikan piranha jelmaan iblis. Nasib, nasib.
Akashi Seijuurou, dari caranya melangkah saja sudah jelas bahwa ia datang untuk marah. Tahu sendiri bagaimana protektifnya Akashi yang ini pada Kuroko Tetsuya. Ia langsung menyikut Kise Ryouta yang berniat menyentuh kening benda kesayangannya.
"Menjauh dari Tetsuya atau kupatahkan lehermu."
Mau tak mau Kise mundur dan ia memang harus mundur karena amarah yang terpancing bukanlah amarah Kuroko Tetsuya, melainkan ikan piranha hasil persilangan dengan anaconda yang dilengkapi kemampuan membunuh siapa saja yang berbahaya bagi benda kesayangannya.
Mission failed.
.
.
Cajole
"Akashicchi—"
"Aku mempunyai rencana sendiri dan sekarang aku akan menjalankan misiku. Jangan ikuti aku."
Akashi langsung bangkit dari singgasananya menuju pintu markas mereka yang tertutup rapat.
Menyentuh gagang dingin kenop pintu, ia kembali berujar sebelum memutarnya, "Sekali lagi kukatakan, jangan ikuti aku."
Tak ada jawaban sampai Akashi kembali menutup pintu itu. Mereka semua sudah paham, jika Akashi mengatakan jangan maka mereka tidak boleh melanggarnya karena apa yang akan laki-laki itu lakukan pada mereka selalu abu-abu, tidak bisa ditebak.
Akashi Seijuurou mempercepat langkahnya, ia masih mempunyai waktu kurang lebih lima belas menit sebelum pelajaran selanjutnya dimulai.
Berbelok satu kali, ia sudah berhadapan dengan pintu masuk ruang ganti. Kuroko Tetsuya masih di sana, ia yakin, karena biasanya mantan pemain bayangan keenam itu menghabiskan waktu berbaring di lantai dingin ruang ganti sampai kurang lebih lima menit sebelum jam pelajaran selanjutnya dimulai.
Dan benar saja dugaannya (memangnya kapan ia salah?). Anak laki-laki bersurai biru muda itu tak lagi menggunakan training olahraga, bukan berarti ia tidak mengenakan celana sama sekali. Maksudnya, ia sudah berganti celana seragam sekolahnya, dan sekarang ia tengah mengancing kemejanya yang berwarna biru sedikit lebih gelap dari warna rambutnya. Penampilannya masih jauh dari kata rapi. Kemejanya masih di luar celana, dasinya masih di dalam loker, rambutnya agak berantakan dan masih basah oleh keringat. Akashi Seijuurou, ia sendiri tidak ingat kapan terakhir kali melihat penampilan benda kesayangannya yang seperti ini (karena biasanya Kuroko Tetsuya selalu terlihat rapi, hampir tidak pernah berantakan).
Kehadiran manusia yang—orang-orang bilang—masih diragukan kemanusiaannya itu bersamaan dengan saat Kuroko Tetsuya mengancing bagian paling atas kemejanya. Sepasang manik biru langit itu pun beralih ke arah pintu yang terbuka karena deraknya sempat menarik atensinya.
Oh, hanya mantan kaptennya.
"Akashi-kun?"
"Tidak. Ini Daiki yang meminjam tubuh Seijuurou."
Kuroko menghentikan kegiatannya memasang dasi karena, baru saja, ia seperti mendengar mantan kaptennya itu berniat meluncurkan semacam lelucon.
"Maaf?"
Sebut saja respon itu adalah respon dari Kuroko Tetsuya yang menanyakan apa maksud ucapan yang ia pikir oh-tidak-Akashi-kun-sekali.
Bukannya menjawab, Akashi malah mulai melangkah maju menuju si surai baby blue yang terpaksa, mau tidak mau, berhenti memasang dasi dan hanya membiarkan dua sisi itu bergantung di kerah kemejanya.
Lalu selanjutnya rasanya terlalu irasional. Pikiran warasnya kesulitan mencerna maksud perlakuan Akashi Seijuurou yang memaksanya berbalik menghadap sosok yang hanya sedikit lebih tinggi darinya itu, lalu mendorong tubuhnya ke belakang hingga punggungnya berbenturan dengan loker. Sakit, Kuroko mengaduh pelan. Selanjutnya lebih membingungkan lagi. Si rambut merah itu mengunci pergerakannya dengan mengepung dirinya yang memang lebih pendek itu di antara dua lengan tidak terlalu berotot milik mantan kaptennya.
Ekspresinya tak lagi datar, sekarang ia panik. Ia telah melupakan keisengan Akashi yang seolah ingin menciumnya beberapa waktu lalu (saat ia seorang diri menjenguk Akashi yang terserang flu dan tidak dapat hadir ke sekolah). Lalu sekarang, situasi irasional macam apa lagi ini?
"Akashi-kun—"
"Diam atau kumakan."
Deg.
Jika ini bukan alter ego Akashi, mungkin Kuroko Tetsuya masih punya nyali untuk menyela. Namun, kenyataan berbeda. Lantas pada akhirnya ia hanya diam saja di antara degup jantungnya yang mulai menggila. Sialan. Mengapa manik heterokromia itu terlihat keren sekali dari jarak sedekat ini?
Jauh lebih sial lagi, mengapa hanya mereka berdua yang ada di ruang ganti?
Kali ini, untuk pertama kalinya, Kuroko Tetsuya menyesali kebiasaannya berlama-lama di ruang ganti, sungguh.
"Tetsuya."
Panggilan yang sama, namun entah kenapa kali ini terdengar berbeda dan membuat jantungnya berdetak dalam ritme yang semakin gila. Rasanya kejutan aneh macam ini telah mengguncang sarafnya sepenuhnya.
Tidak ada jawaban. Akashi menggerakkan satu tangannya untuk menyingkirkan helai-helai biru muda yang menutupi dahi Kuroko, kemudian kembali berujar, "Apa dahimu sudah baik-baik saja?"
Dahi? Dahi? Dahi?! Akashi melakukan tindakan irasional ini hanya untuk pukulan bola yang tak seberapa yang kebetulan saja menyentuh dahinya? Oh, Tuhan. Kuroko mulai merasa bodoh karena panik berlebihan.
Akashi sama sekali belum mengubah jarak di antara mereka. Mungkin hal itu yang menjadi penyebab detak jantung Kuroko masih bertahan dengan ritme yang tidak beraturan.
"Baik-baik saja, Akashi-kun," jawabnya setenang mungkin namun sama sekali tidak kelihatan tenang. Percuma. Menjawab pertanyaan Akashi rasanya sudah seperti menunggu eksekusi mati. Sarafnya tak sanggup menanggung tatapan keren itu.
"Kalau begitu, sepertinya aku harus membatalkan niatku untuk mematahkan leher Ryouta," ujarnya lagi sembari mengembalikan tangannya ke posisi semula.
"Kau akan dipenjarakan jika benar-benar melakukan itu."
"Ayahku mempunyai banyak uang."
"Hukum tidak bisa dibeli."
"Ayahku bisa membeli apa saja."
Menghela napas pelan, Kuroko memilih mengalah saja. "Aku tahu."
"Nah, Tetsuya," Akashi mulai mengeleminasi jarak di antara mereka. "Apa kau juga tahu seperti apa rasanya … berciuman?"
Rasanya bagian terakhir yang menyentuh gendang telinganya terus bergema di dalam kepalanya, meskipun itu sama sekali tidak relevan dengan apa yang ia ucapkan, namun tetap saja ia tak bisa protes. Alih-alih menjawab pertanyaan Akashi, sebab laki-laki itu semakin mengeleminasi jarak di antara mereka.
Tinggal setipis selaput, manik heterokromia itu dapat melihat si surai biru muda di hadapannya mulai memejamkan mata, detik itu pula senyum tengiknya tersungging-sungging. Lantas ia berbisik di telinga mantan pemain bayangan keenam itu, "Mengapa kau memejamkan matamu, Tetsuya?"
Pupil biru muda itu melebar. Ia bisa merasakan pipinya menghangat.
Akashi Seijuurou tertawa. Entahlah, namun sebelumnya Kuroko Tetsuya yakin sekali ekspresi tawa seperti ini hanya bisa dilihatnya di dalam mimpi.
Mungkin benar ia terlalu berpikir berlebihan. Kenyataannya Akashi Seijuurou hanya mengerjainya. Bukannya marah, ia hanya tak tahu harus seperti apa setelah jelas-jelas ia memejamkan matanya karena mengira Akashi benar-benar akan menciumnya. Apa boleh ia berharap ada hujan meteor sekarang juga?
Akashi memutar haluan, berniat meninggalkannya, detik itu pula sepasang manik biru muda itu meredup. Bodoh.
"Tetsuya." Akashi berujar tanpa berbalik.
"Ya?"
"Rapikan dirimu. Otak kotor Daiki akan bekerja maksimal jika melihatmu seperti itu. Aku sudah melarang mereka mengikutiku. Tetapi aku tak begitu yakin. Daiki— kau tahu sendiri, dia bebal."
Kuroko Tetsuya mengangguk. "Baik."
Selanjutnya ia hanya bisa memandangi punggung Akashi yang menjauh dan menghilang di balik pintu ruang ganti yang tertutup perlahan.
.
.
Defalcate
Setelah semua rencana mereka yang andam karam (rencana milik Akashi dapat diabaikan karena inkonvensional) sebab, seperti yang sudah mereka tahu, bahwa emosi Kuroko Tetsuya tak gampang tersulut, mereka berharap yang kali ini dapat membuahkan hasil. Jika ini adalah proyek untuk menyulut emosi Aomine Daiki, maka gampang saja. Mereka hanya perlu merebut majalah Mai-chan-nya yang tengah ia baca di pojokan kelas, lalu mengoyak-ngoyaknya hingga bagian terkecil, maka akan meledaklah amarah laki-laki tan itu meskipun yang tengah ia baca adalah majalah Mai-chan edisi lapuk yang sudah sekian ratus kali ia baca ulang dan telah ia hapal di mana letak titik dan koma dalam redaksi majalah tersebut. Tetapi ini Kuroko Tetsuya, si emotionless yang berhati teduh.
"Begitu." Akashi Seijuurou mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia mengerti penjelasan dari Momoi Satsuki. "Jika tidak melukai fisik Tetsuya, aku setuju. Tetapi," ia melirik Kise Ryouta tajam yang sekarang malah berhehehe ria, "jika yang dilakukan Ryouta kembali terulang, aku tidak akan terima dan akan dengan senang hati menggagalkan semua rencana kalian meskipun mengatasnamakan kalian ingin mengerjai Tetsuya dihari ulang tahunnya. Jadi, bagaimana selanjutnya?"
Akashi memerhatikan teman-temannya satu per satu, tanpa Kuroko Tetsuya tentunya karena mereka tengah berdiskusi di lorong paling sepi di sekolah mereka tanpa sepengetahuan si mantan pemain bayangan keenam, dan ia menolak percaya bahwa yang ia lihat adalah tatapan bahwa tak satu pun dari mereka mempunyai ide apa yang harus mereka lakukan untuk menjalankan rencana yang Akashi pikir memang klasik namun ia yakin dapat membuahkan hasil. "Jangan bilang ini rencana dadakan dan kalian belum menentukan siapa yang akan menjalankan rencana ini?"
Tidak ada yang bersedia menjawab. Akashi berdehem keren setelah beberapa waktu tak ada yang meresponnya, yang selanjutnya ia artikan memang tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan untuk menjalankan rencana yang telah dijelaskan Momoi Satsuki. "Jadi, sekitar sepuluh menit lagi akan dimulai pelajaran bahasa Inggris. Kita akan ke lab bahasa. Disaat anak-anak di kelas sudah keluar semua, salah satu di antara kalian harus memindahkan dompet Satsuki ke dalam tas Tetsuya. Siapa yang bersedia menjadi sukarela?"
Aomine Daiki adalah yang pertama kali mendapat tawaran melalui tatapan mata dari Akashi, namun ia membuang muka ke sembarang arah karena sejujurnya, meskipun pembawaannya pongah begitu, ia tak tega, sungguh. Selanjutnya Kise Ryouta, dan responnya sama saja seperti sahabat sejati sehidup sematinya. Midorima Shintarou jelas menolak ikut campur. Momoi Satsuki— ah, tidak baik memerintah perempuan seenak jidat, lagipula ia sudah mempunyai peran tersendiri dalam sandiwara ini. Jadi, pilihan terakhir adalah—
"Aka-chin, Aka-chin, aku bersedia," ujar Murasakibara dengan nada malasnya, tangan kirinya masih sibuk memegangi kantung plastik berisi jajanan dan tangan kanannya terangkat ke atas seperti akan menjawab pertanyaan dari guru.
Akashi Seijuurou tersenyum bangga, "Aku tahu Atsushi akan bersedia. Tidak seperti mereka." Ia melemparkan tatapan sinis pada tiga lainnya yang masih berpura-pura tidak tahu apa-apa.
"Jadi, Atsushi," Akashi melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. "Apa kau siap?"
"Roger, Aka-chin!"
.
.
Barangkali yang menjadi faktor utama keberhasilan rencana mereka kali ini ialah faktor keberuntungan yang sebelumnya telah berkali-kali menentang mereka (Akashi, sekali lagi, termasuk dalam pengecualian). Murasakibara Atsushi telah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna, Akashi memujinya habis-habisan dan berjanji akan membelikan makanan ringan apa pun yang ia minta. Aomine dan Kise hanya bisa gigit jari karena misi mereka gagal total. Midorima Shintarou masih bertahan dengan ketsundereannya, pura-pura tidak peduli padahal ia mengamati semua aksi teman-temannya sejak episode perdana tadi. Selanjutnya adalah tugas Momoi Satsuki, dengan sedikit bantuan peran Akashi sebagai ketua kelas di sini.
Jadi, keberuntungan yang menyertai mereka ialah alat tulis Kuroko Tetsuya yang tertinggal di kelas. Kronologinya begini, Murasakibara Atsushi telah menjalankan perannya dengan rapi (tanpa diketahui siapa pun kecuali mereka yang menjadi dalang atas semua ini) dan kembali ke ibunya— maksudnya Akashi tanpa menimbulkan sedikit pun kecurigaan pada korban. Dan saat mereka mulai memasuki lab bahasa, di situlah keberuntungan datang, Kuroko Tetsuya mengatakan pada Akashi bahwa ia akan kembali ke kelas sebentar untuk mengambil alat tulisnya yang tertinggal. Sebenarnya Akashi sudah mempunyai rencana lain, ia sengaja meninggalkan absen kelas. Jadi sekalian saja ia meminta Kuroko untuk mengambil absen kelas yang katanya tidak sengaja ia tinggalkan di meja guru. Sejauh itu rencana mereka berjalan lancar.
Omong-omong, setelah ini adalah jam pelajaran terakhir. Jadi, bisa dibilang, berhasil atau tidaknya mereka mengerjai Kuroko Tetsuya dihari ulang tahunnya akan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya peran Momoi Satsuki dan pemeran pembantu lainnya.
Kuroko Tetsuya lebih dulu memasuki ruang kelas, disusul Murasakibara, Kise, Aomine, dan Momoi. Akashi baru saja berniat menyusul teman-temannya sebelum jari-jari Midorima yang dibalut perban menahannya. Atas dasar kesetiakawanan yang belakangan ia junjung tinggi-tinggi, Akashi Seijuurou menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menanyakan ada apa gerangan yang membuat mantan wakil kaptennya itu menahannya dengan cara yang—bisa dibilang—dramatis; memegang pundaknya.
"Ya, Shintarou?"
Si kepala hijau buru-buru memindahkan tangannya dari pundak Akashi, kembali memeluk boneka kodok yang ia panggil Kerosuke (lucky item-nya hari ini), kemudian berdehem keren sebelum menjawab pertanyaan Akashi dengan nada tidak peduli padahal ia peduli. "Apa kau yakin Kuroko akan baik-baik saja, Akashi? Bukannya aku peduli padanya, nanodayo. Hanya saja kupikir ini sudah keterlaluan, nanodayo."
"Ini hanya bagian dari pementasan, Shintarou. Setelah drama berakhir, semua akan baik-baik saja. Karena kulihat sepertinya kau peduli—"
Midorima buang muka. "Aku tidak peduli, nodayo."
"Kau peduli, Shintarou."
"Tidak, nanodayo."
Akashi menatap tajam meskipun Midorima masih betah membuang muka. "Kau peduli pada Tetsuya, Shintarou."
"Tidak—"
"Shintarou."
Si kepala hijau menatap Akashi kesal. "Ya, ya, terserahmu saja, Akashi. Sekarang kau ingin aku melakukan apa, nodayo?"
Akashi Seijuurou tersenyum tipis, setipis goresan pensil, "Temani Atsushi mengambil kue yang sudah dipesannya di gerbang sekolah setelah bel pulang berbunyi. Itu saja."
Mengeratkan pelukannya pada Kerosuke, ia berujar, "Baik, nodayo."
Saat Akashi Seijuurou berpura-pura melangkah setenang mungkin, rupanya Momoi Satsuki sudah menjalankan perannya. Ia sibuk membongkar isi tasnya dengan raut panik yang—bisa dibilang—tanpa cacat sedikit pun. Aomine Daiki sebagai teman dengan bangku yang paling dekat dengannya ikut—berpura-pura—panik. "Satsuki? Oi, Satsuki, apa yang kau cari?"
Dengan suara bergetar (Akashi tak tahu Momoi bisa bersandiwara sejauh itu), ia menjawab pertanyaan teman masa kecilnya, "D-dompetku, Dai-chan. Aku— aku harus membayar iuran OSIS. Aku sudah berjanji pada bendahara OSIS akan membayarnya setelah pelajaran bahasa Inggris."
Jika Akashi Seijuurou adalah ketua kelas, dan Midorima Shintarou adalah wakilnya, maka—untuk menghilangkan kekeliruan yang mungkin saja tercipta—Momoi Satsuki adalah bendahara kelas, dan seluruh uang kas kelas ada padanya dan sebagian disimpannya di dalam dompet karena hari ini sudah dijadwalkan untuk membayar uang iuran OSIS.
Semua isi tasnya sudah ia keluarkan, namun nihil, ia tak menemukan dompet berwarna biru muda miliknya (sepertinya Momoi Satsuki juga disinyalir mempunyai obsesi yang tidak sehat pada Kuroko Tetsuya, serupa Kise Ryouta).
Laki-laki tan itu bangkit dari duduknya, mencoba menenangkan teman masa kecilnya dengan nasihat klasik untuk seseorang yang telah kehilangan sesuatu. "Mungkin kau lupa membawa dompetmu, Satsuki. Mungkin kau meninggalkannya di rumah. Apa sebaiknya kita menelepon ibumu saja untuk menanyakan apakah dompetmu tertinggal di rumah atau tidak?"
Momoi Satsuki mendudukkan dirinya dengan kasar, kemudian menangkupkan tangan dan menutupi wajahnya, ia mulai terisak (bagian ini membuat Akashi berdecak kagum dalam hati, jika ada perlombaan pementasan drama maka ia harus mengikutsertakan Momoi Satsuki). "Aku membawanya, Dai-chan. Hari ini jadwal pembayaran iuran OSIS. Aku sudah mengatakan pada bendahara OSIS akan mengantarkan uangnya ke sekretariat mereka setelah pelajaran bahasa Inggris. Dan sekarang … sekarang … dompetku hilang. Sebagian uang kas kelas ada di sana."
Aomine Daiki mengalihkan atensi pada Akashi yang malah hanya melipat tangan di dada dan menonton saja dari depan kelas, kemudian berujar dengan suara naik beberapa oktaf, "Oi, Akashi, lakukan sesuatu!"
Manik heterokromia itu bergerak liar selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali fokus pada meja di mana Aomine Daiki berusaha menenangkan Momoi Satsuki.
Masih dengan gaya khasnya, ia mengedarkan pandangan ke seisi kelas, dan berhenti sepersekian detik pada Kuroko Tetsuya yang masih kelihatan tenang-tenang saja, kemudian berdehem keren dan mulai berujar, "Perhatian!"
Seisi kelas mendadak hening, hanya terdengar isakan-isakan kecil Momoi Satsuki.
"Seperti yang kita lihat di sini, dompet milik Satsuki yang di dalamnya terdapat uang kas kelas telah hilang. Jadi, hanya untuk keamanan kelas, aku, Shintarou dan Daiki akan memeriksa tas kalian semua."
Momoi Satsuki masih berpura-pura terisak dengan air mata sungguhan, sementara Akashi dan dua lainnya mulai berkeliling memeriksa setiap isi tas anak-anak di kelas dengan raut tegang seperti mereka saja sasaran dari semua sandiwara ini (sejujurnya ini di luar konsep, Aomine maupun Midorima tak tahu kalau mereka akan memeriksa tas anak-anak di kelas satu per satu seperti ini). Kise Ryouta lebih aneh lagi. Ia tak ikut berkeliling, namun terlihat pucat sampai-sampai Aomine harus menahan tawa melihat ekspresinya. Itu karena ia tak tega dengan adegan klimaks yang sebentar lagi akan menyapa indra penglihatannya.
Midorima Shintarou mendadak berdiri kaku setelah selesai memeriksa tas Kise Ryouta (tentu saja tidak ada dompet milik Momoi Satsuki di sana) yang duduk tepat di belakang Kuroko Tetsuya. Berarti selanjutnya— selanjutnya ia akan memeriksa tas korban?
Oh, Tuhan. Mengapa harus aku, nodayo?
Darahnya bagai mendingin dalam pembuluhnya saat ia mulai bergerak maju untuk memeriksa tas milik Kuroko Tetsuya. Dari awal ia sudah jelas-jelas tak tega—meskipun terkesan ditutup-tutupi. Lalu sekarang— oh, bodohnya ia telah mengambil barisan tempat Kuroko Tetsuya duduk untuk tugasnya yang seharusnya ia hindari.
"K-Kuroko—" Ia mendadak tergagap ketika tak sengaja manik hijaunya menabrak manik biru muda yang selalu terlihat tanpa dosa. Mengapa mereka bisa tega pada makhluk seperti ini?
"Silahkan, Midorima-kun," ujarnya sembari memajukan tasnya beberapa senti agar lebih dekat dengan posisi makhluk hijau itu berdiri.
Hati milik makhluk tsundere itu makin tidak karuan. Bahkan ia tak sadar tengah dikerjai, nodayo.
Aomine Daiki dan Akashi Seijuurou yang telah menyelesaikan tugasnya ikut-ikutan tegang, begitu pula Kise Ryouta yang menonton langsung dari belakang. Momoi Satsuki masih terisak (Akashi tak tahu Momoi mempunyai pasokan air mata sebanyak itu). Murasakibara Atsushi menonton saja tanpa berkomentar apa-apa. Motonya kali ini adalah keep calm and be a good spectator.
Midorima Shintarou menggeledah isi tas itu dengan gemetar, dan saat ia benar-benar menemukan dompet biru muda milik Momoi Satsuki (omong-omong warna dompet itu benar-benar matching dengan warna rambut Kuroko Tetsuya), rasanya lututnya mendadak lemas, dan dunianya mulai mengalami turbulensi. Sekelebat pemikiran bahwa ia telah salah membawa lucky item hari ini pun berlarian di benaknya.
Bisik-bisik dari segala penjuru kelas mulai menyentuh gendang telinga Kuroko Tetsuya. Ini terlalu tidak masuk akal. Kapan ia memasukkan dompet itu ke dalam tasnya? Ia tak ingat, sungguh. Rasanya seperti ada angin yang berhembus sekencang angin di stepa gersang, menerbangkan semua pemikiran rasionalnya sebab barang bukti sudah ada di hadapannya lengkap dengan sekian pasang saksi mata yang bisa dipertanggungjawabkan kevaliditasan pikiran warasnya.
Midorima mengambil dompet biru muda itu tanpa berujar apa-apa dan langsung berniat memberikannya pada Akashi yang masih berdiri di depan kelas (ia bahkan sebisa mungkin menjaga pandangannya agar tidak menatap sepasang manik biru muda milik Kuroko Tetsuya).
"Tunggu, Midorima-kun." Kuroko Tetsuya bangkit dari duduknya; Midorima Shintarou menghentikan langkahnya tanpa berbalik.
"Pasti ada kesalahpahaman di sini. Aku— aku tidak melakukan itu. Tidak mungkin aku mencuri dompet milik Momoi-san, terlebih ada uang milik kelas di sana," ujarnya dengan suara bergetar tanda ia menahan emosi. Kemudian sepasang manik biru muda itu beralih pada Aomine dan Akashi secara bergantian. "Akashi-kun, Aomine-kun, kalian tahu aku tidak mungkin melakukan ini, 'kan?"
Suasana dalam ruang kelas itu mendadak hening sedetik setelah ucapan Kuroko Tetsuya. Rasanya Aomine Daiki benar-benar ingin menjedutkan kepalanya ke tembok, begitu juga Akashi, lebih-lebih Kise dan Momoi.
Mengabaikan mantan pemain bayangannya, Akashi Seijuurou berujar, "Shintarou, berikan dompet itu pada Satsuki. Dan kau, Daiki, silahkan kembali ke tempat dudukmu. Masalah selesai. Pelajaran terakhir akan segera dimulai. Terimakasih atas kerjasamanya."
Akashi kembali ke tempat duduknya tanpa sedikit pun melirik Kuroko. Detik itu pula ia merasa perasaannya berat bagai dibebani timah. Ia pikir saat Kuroko Tetsuya diam-diam bersekongkol dengan teman-temannya untuk membohonginya adalah terakhir kalinya ia mengabaikan pemilik mata besar itu. Ternyata sekarang ia harus memainkan peran itu lagi (walaupun hanya sebatas sandiwara rasanya tetap saja berat).
Kise Ryouta tak berkomentar apa-apa. Ia agak bersyukur karena posisi duduknya adalah di belakang Kuroko Tetsuya, jadi ia tidak akan melihat wajah terluka itu (setidaknya untuk saat ini).
Kuroko Tetsuya dengan berat hati mendudukkan dirinya. Kuku-kukunya yang merah muda telah memutih karena kuatnya kepalan tangannya. Selanjutnya ia mengikuti pelajaran terakhir di hari itu dengan perasaan bercampur aduk yang tak bisa ia jelaskan meskipun ia yakin ia tak bersalah. Bahkan ia tak bisa menyebutkan apa-apa saja hal baru (mengingat belajar ialah proses dari tidak tahu menjadi tahu) yang ia dapat dari guru yang masuk agak terlambat tadi.
Hingga bel pulang berbunyi dan teman-temannya satu per satu mulai meninggalkannya pun ia masih bertahan dengan posisi duduknya, tanpa bergerak semili pun.
Pasti sekarang mereka membenciku.
.
.
End
Akashi Seijuurou bersandar pada dinding luar tepat di sebelah pintu masuk ruang kelas mereka yang masih terbuka, pertanda masih ada orang di dalamnya. Ya, memang, Kuroko Tetsuya masih betah berada di dalam. Ia tak tahu apa yang dilakukan mantan pemain bayangannya itu. Tugas terakhirnya hari ini ialah menunggu si surai biru muda keluar dan membawanya ke TKP yang semoga saja sudah rampung saat mereka datang.
Entah sejak kapan perhatian Akashi Seijuurou mulai sepenuhnya ia berikan pada awan-awan mirip gumpalan kapas yang berarak di langit biru, sehingga tidak menyadari bahwa sosok yang ia tunggu telah berdiri tak jauh darinya dan menatapnya setengah kaget namun tak bisa menyembunyikan tatapan penuh tanya dengan mata merah dan sesenggukan kecil.
"Tetsuya?" Sekarang giliran ia yang kaget ketika menyadari yang sedari tadi ia tunggu rupanya tengah menangis tanpa suara di dalam.
Akashi Seijuurou benar-benar harus menjedutkan kepalanya ke tembok setelah semua rangkaian acara hari ini selesai.
Ia meraih lengan Kuroko Tetsuya. "Ikut aku."
Namun yang ditarik hanya diam dan ia terpaksa memutar kepala. "Ayo."
"Ke mana?" tanyanya dengan ekspresi datar dan sedikit sesenggukan yang masih bisa tertangkap indra rungu Akashi.
"Ikut saja," jawab Akashi, kemudian menarik lengan itu lebih kuat dan yang ditarik terpaksa mengikut saja tanpa berkomentar apa-apa.
Mereka menuruni tangga menuju lantai dua, lalu menuruni tangga lagi menuju lantai satu, melewati koridor sepi dengan pintu-pintu ruang kelas yang sebagian besar sudah tertutup, melewati perpustakaan yang selalu dikunjungi Kuroko Tetsuya setiap hari yang memang lebih sering terlihat sepi pengunjung (kecuali mendekati waktu ujian), melewati ruang ganti untuk murid laki-laki, lalu ruang kelas tak terpakai yang pagi tadi sempat mereka jadikan markas dadakan. Setelah itu mereka melewati ruang ganti untuk murid perempuan. Selanjutnya Akashi menuntunnya berbelok ke kiri, melewati lapangan outdoor sekolah yang tadi mereka pakai untuk bermain bulu tangkis dan sekarang tidak ada satu orang pun di sana karena sepertinya hari ini tidak ada kegiatan klub. Satu belokan ke kanan dan mereka telah tiba di TKP terakhir yang ternyata beberapa bulan lalu pernah dijadikan tempat tragedi siksaan perih raket listrik oleh Yang Mulia Akashi Seijuurou di sana. Namun situasinya sekarang berbeda. Tidak ada teriakan mengaduh-aduh karena sengatan raket listrik, yang ada hanya kue ulang tahun dengan lilin menyala di atasnya, beberapa balon warna-warni, dua buah terompet berwarna ungu dan merah jambu yang masing-masing dipegang oleh Aomine Daiki dan Kise Ryouta, dan wajah-wajah ceria teman-temannya.
Sejenak Kuroko Tetsuya terdiam tanpa bernapas saat Akashi Seijuurou menghentikan langkahnya. Laki-laki bersurai biru muda itu hampir-hampir tidak memercayai penglihatannya. Lalu indra dan suaranya kembali pulih.
"Akashi-kun." Ia mengeratkan genggamannya pada genggaman tangan Akashi yang entah sengaja tidak melepaskannya atau ia memang lupa untuk melepaskannya dan membuat mereka (yang tinggi badannya nyaris sama) lebih mirip anak kecil yang tengah bergandengan tangan. "Ini … apa?" tanyanya nyaris berbisik.
Selanjutnya terdengar suara yang Kuroko yakini merupakan suara benda semacam terompet, disusul teriakan bernada ceria, yang mau tak mau membuat mantan kaptennya tersenyum sebab seluruh jiwanya tak sanggup menolak suasana ceria detik itu.
"Selamat ulang tahun, Kurokocchi/Tetsu/Tetsu-kun/Kuro-chin/Kuroko!"
Bagian Midorima bisa dipastikan agak dipaksakan. Ia tak pandai memanipulasi ekspresi. Wajahnya tetap terkesan judes padahal sesungguhnya ia tak bermaksud seperti itu. Ia dikhianati wajahnya sendiri.
Selanjutnya adalah giliran Akashi. Ia menggerakkan tangannya yang bebas untuk mengusap lembut surai biru muda itu, disusul ucapan lembut, "Selamat ulang tahun, Tetsuya. Maaf sudah membuatmu menangis."
"Akashi."
Oh, itu suara Aomine Daiki.
Yang dipanggil langsung mengalihkan atensi, menatap tajam manik biru tua milik Aomine Daiki. "Apa?"
"Bisa kau lepaskan tangan Tetsu? Sepertinya sudah terlalu lama."
"Oh, maaf." Ia langsung melepaskan genggaman tangannya.
"Akashicchi modus-ssu."
"Bisa kau ulangi, Ryouta?"
"Aominecchi, memangnya aku mengatakan apa?"
"Jangan berpura-pura bodoh atau kusumpahi kau benar-benar akan menjadi bodoh."
"Akashicchi hidoi-ssu!"
"Tunggu, Akashi. Memangnya menurutmu Kise tidak bodoh?"
"Ah, aku melupakan fakta itu, Daiki."
"Apa sekarang kalian berencana mengerjaiku-ssu? Ulang tahunku masih lama-ssu!"
"Apa kue ini dibeli untuk menjadi saksi perdebatan tidak penting kalian?"
Rupanya Midorima menjadi yang paling waras di sana.
"Nah, Kurochin langsung tiup saja lilinnya supaya aku bisa memakan kuenya," ujar Murasakibara sembari maju beberapa langkah menuju Kuroko Tetsuya.
"Tetsu-kun, jangan lupa make a wish!"
"Hai, Momoi-san."
Sepasang kelopak mata itu tertutup, menyembunyikan manik sewarna langit yang selalu terlihat menenangkan.
Aku tak tahu harapan yang mana yang harus kudahulukan, yang jelas untuk saat ini aku hanya ingin mengucapkan syukur karena mereka masih di sisiku dan mengingat hari lahirku. Terimakasih, Tuhan. Kumohon jaga mereka untukku.
Hanya butuh kurang lebih enam detik sebelum ia kembali membuka kelopak matanya dan meniup lilin-lilin di hadapannya dengan senyum yang kali ini kelihatan kentara.
"Tetsu-kun." Momoi Satsuki mengambil semacam bungkusan plastik berwarna biru muda dari dalam tasnya lalu menyerahkannya pada Kuroko Tetsuya. "Aku mewakili mereka semua mohon maaf karena, sepertinya, kau menangis setelah apa yang kami lakukan padamu. Apa acting-ku keterlaluan, ya?" Gadis gulali itu berhehehe ria sebelum kembali melanjutkan. "Ini kado untuk Tetsu-kun. Memang tidak seberapa, tetapi kami membelinya dengan uang saku kami. Jadi, kumohon agar Tetsu-kun mau menerimanya."
"Terimakasih banyak Momoi-san, Akashi-kun, Aomine-kun, Kise-kun, Midorima-kun, dan Murasakibara-kun. Kupikir kalian tidak mengingat hari ulang tahunku."
Kuroko Tetsuya memang sempat berpikir seperti itu, dan karena tidak ingin kecewa, ia mulai melarang dirinya untuk berharap mendapat ucapan ulang tahun dari teman-teman terdekatnya. Namun, sepertinya pemikirannya telah keliru. Nyatanya teman-temannya telah menyiapkan semua kejutan ini untuknya (termasuk sandiwara yang sempat membuatnya menangis karena saking takutnya ia dibenci teman-temannya).
"Omong-omong," Kuroko Tetsuya kembali berujar dengan ekspresi datar, "Aku jadi teringat saat kita mengendap-endap untuk memberikan kejutan dihari ulang tahun Akashi-kun namun malah ketahuan karena Midorima-kun tidak sengaja buang angin."
Krik, krik.
"HAHAHAHA."
"Apa kalian tidak bisa melupakan saja kejadian itu, nodayo?!" Midorima Shintarou murka ketika udara dipenuhi suara tawa teman-temannya.
"Sudah, sudah. Shintarou tidak sengaja dan aku sudah memaafkannya. Tetapi, sepertinya aku tidak bisa melupakannya."
"Akashi!"
FIN
