Ia mematut dirinya dalam lembar cermin itu, memperhatikan bayangan nyata yang ia tangkap melalui retinanya. Kemeja putih polos yang membalutnya begitupula dengan jas hitam kelam sebagai penutup semakin membuatnya tampak lebih tampan dari sedia kala.

Cukup lama jika hanya sekedar menatap bayang dalam cermin, sudut bibirnya saling tertarik membentuk kurva yang cukup indah. Ia terkekeh, sembari memperbaiki letak bunganya yang ia sematkan disaku. Membiarkan suara kekehannya menggema dan berputar-putar dikepalanya.

"Seandainya, aku dapat menahanmu lebih lama lagi…"

Memories

(I/II)

TaeHyung Kim; JungKook Jeon

(TaeKook; Vkook)

Angst; Sadness; Fluffy; Drama; Life

Bangtan Senyondan; Bangtan Boys; BTS

Proudly present a fanfic which is dedicated to our beloved bias

kaisooexo

Cahaya itu tertangkap oleh kedua retinanya, terasa sedikit perih sebelum mengerjab; membiasakan diri dengan biasan matahari. Ia mengeluh, berharap teman hidupnya untuk kali ini mengerti, setidaknya untuk tidak membuka helaian tirai itu terlalu lebar.

Taehyung membuka matanya perlahan, menyibakkan selimut tebal yang telah membekap dirinya hampir selama tiga jam itu. Yah, ia cukup mampu hanya untuk sekedar mengingat bahwa ia baru saja tidur sekitar pukul tiga pagi. Uapannya begitu terdengar jelas, begitu menderita karena rencana hibernasinya telah diganggu. Tapi, toh ia tak cukup peduli jika pemuda berparas kelinci itu yang terus menganggunya.

"Selamat pagi Hyung, dan kau tidak perlu bangun secepat ini juga. Kau lelah, tidurlah lagi. Aku akan membangunkanmu nanti." Sarat akan rasa bersalah, pemuda itu berbalik menatap pemuda yang satunya. Hazel coklat terang itu terus memandanginya.

Jika tidak ingin dibilang membual, Taehyung pasti tak henti-hentinya mengucapkan banyak pujian; betapa ia yang selalu terjebak didalam dunia lembut milik Jeon Jungkook— cih, pagi-pagi sudah bermain kata klise.

"Hyung tidurlah, Aku akan membangunkanmu nanti. Lihat kantung matamu sudah mulai terbentuk. Siapa yang harus aku salahkan disini? Pekerjaan editing mu atau dirimu yang keras kepala, hmm?" Jungkook berjalan menuju tempat Taehyung yang masih bersemayam, hendak menarik selimut Taehyung kembali namun sayangnya, ia ditahan oleh kedua tangan kekar Taehyung.

"Tidurlah bersamaku, sekedar memeluk?" Tawaran yang cukup menggiurkan sebenarnya; itu untuk Taehyung. Ia ikut tersenyum, membiarkan dirinya yang ikut terpesona kedalam senyum manis Jeon Jungkook. Tapi semua itu kembali meluntur, saat Jungkook yang dengan perlahan melepaskan tautan terhadap keduanya. Taehyung mendengus kesal, padahal niatnya ingin mencari kesempatan.

"No way, Aku harus menyiapkan sarapan untuk kita berdua Hyung, apa kau lupa jika hari ini kita akan melakukan fitting." Ingatkan Taehyung untuk hal yang satu ini, ia harus berterimakasih kepada calon suaminya. Senyumnya semakinmelebar, membentuk persegi.

"Aku hampir lupa, ah. Sebentar lagi Tuan Jeon akan menjadi Tuan Kim, duh senangnya." Ucapnya diselingi dengan tawa, ia cukup bahagia karena pada akhirnya ia akan melepas masa lajangnya sebentar lagi. Kedua tangannya ia eratkan memeluk Jungkook begitu sempit, hingga akhirnya terpaksa ia lepas karena Jungkook yang mengaduh.

"Maka dari itu, kembali tidur. Aku tidak ingin Hyung mengantuk saat menyetir nanti. Dan malah berakhir dengan kecelakaan tragis dimana salah satu mempelai meninggal, seperti drama picisan." Jahat sekali, Taehyung langsung meringis mendengar tuturan Jungkook, sedangkan sang penutur hanya tertawa setelah itu pergi meninggalkan Taehyung dalam lamunannya,

Sepertinya lebih baik melanjutkan tidur saja,

Taehyung meraih sarapannya, hari ini hanya ada nasi goreng kimchi. Ia memakannya dengan tenang, membiarkan dirinya yang terus terhipnotis dengan rasa yang diberikan oleh nasi goreng kimchi buatan Jungkook. Kedua matanya memejam, menikmati setiap sensasi nasi yang beradu didalam mulutnya, membiarkan lidahnya yang bergulat bersama setiap deretan gigi putihnya. Begitu manis,

"Selalu, masakan Jeon Jungkook yang terbaik." Serunya sambil mengangkat garpu dan sendoknya keatas, begitu kekanakkan. Jungkook hanya tersenyum sembari menikmati nasi goreng buatannya. Taehyung selalu seperti itu, selalu memberikannya frasa-frasa indah yang diuntai bersama manisnya gula kapas. Dan sejujurnya, Jungkook tak pernah bisa menolak jika dirinya cukup terhibur dengan kata-kata Taehyung yang begitu memanjakan.

"Hyung ingat berapa umurmu sekarang? Kau tidak cukup muda lagi untuk seperti itu. Setidaknya didepan yang lebih muda." Tekan Jungkook pada kalimat akhirnya, Taehyung hanya mendengus— main-main setelah itu kembali menyuapkan nasinya kemulutnya.

"Dua puluh delapan tahun lebih satu bulan, apa itu cukup tua bagimu, hmm?" Taehyung menarik-narik alisnya, memberikan kesan canda seperti biasanya. Benar-benar pagi yang indah, yang selalu ia harapkan untuk dapat dinikmati setiap hari. Oh jangan lupakan betapa manisnya sosok Jeon Jungkook sekarang, pipi gembul yang bersemu dihujani dengan sinar mentari pagi.

"Sebenarnya iya sih, tapi tidak apalah. Aku takut, Hyung akan jadi kakek-kakek jika tidak menikah denganku," Karena pada nyatanya memang seperti itu, Taehyung tanpa Jungkook adalah hari-hari tanpa rasa; Jungkook itu tempatnya berpulang, jika kalian ingin tahu. Karena Taehyung telah menjatuhkan dirinya kedalam Jungkook sejak lama.

Karena Taehyung benar-benar mencintai Jungkook, seumur hidupnya.

—o0o—

Mereka berdua saling memandang, Taehyung dengan kekagumannya dan Jungkook dengan ketidak puasannya. Ia menatap pakaian yang ia kenakan lekat-lekat. Sepertinya Jungkook memang tak puas.

Taehyung mendekat, menyibak surai hitam yang menutupi wajah kekasihnya. Hal apa yang menganggunya saat ini. Sedangkan Jungkook hanya diam, namun pandangannya tak henti melekat pada pakaiannya.

"Kau tak suka, dengan ini?" Jungkook hanya diam, sebenarnya ia ragu untuk mengiyakan pertanyaan Taehyung. Tapi, ia kemudian menggeleng perlahan. Taehyung tersenyum, melepas kancing pertama jas yang Jungkook kenakan.

"Apa ada sesuatu yang salah?" Tanya Taehyung lagi, kali ini Jungkook hanya mengangguk. Meremat ujung jasnya pelan. Masih ada keraguan ternyata, akhirnya Taehyung membawa Jungkook, menggiringnya perlahan ketempat duduk.

Taehyung menatap Jungkook lekat, menggenggam kedua tangan lembut itu lekat. Mengelusnya perlahan dengan ibu jari, berharap Jungkook akan tenang dan mulai bercerita. Inilah hal yang paling Taehyung benci sekaligus senangi dari sosok Jeon Jungkook. Taehyung benci ketika Jungkook yang sulit sekali memiliki rasa percaya diri ketika ingin mengajukan pendapatnya namun sekaligus senang karena pada saat-saat seperti inilah kadar menggemaskan Jungkook meningkat.

"Baju ini terlihat sangat mewah Hyung, Aku tidak suka. Mm, Aku ingin yang lebih sederhana saja." Dan alasan Jungkook saat ini, benar-benar membuatnya ingin tertawa tapi coba ia tahan, kedua genggamannya melepas tergantikan dengan pelukan hangat yang ia berikan pada Jungkook. Inilah alasan terpenting mengapa ia sama sekali tidak bisa melepas Jungkook dari hidupnya; Jungkook itu begitu polos dan sederhana, dan Taehyung menyukai itu.

Jika dilihat-lihat sepertinya memang benar; Jas itu terlihat sangat mewah sekaligus elegan. Bagaimana kain yang digunakan tak main-main, begitu berkilau laksana emas padahal pada kenyataannya kemeja itu berwarna biru laut namun sedikit gelap dengan dihiaskan beberapa batu saphire disisi kerah belum lagi dengan ukiran benang emas yang dirajut disetiap sisi jas membentuk motif yang cukup rumit, sebenarnya. Tapi salahkah Taehyung jika ingin memberikan yang terbaik bagi mempelainya?

Ia melepas pelukannya, setelah itu membuka jas yang Jungkook pakai perlahan, membiarkan Jungkook yang hanya diam sembari bertanya-tanya dalam hati, apakah Taehyung akan marah atau tidak padanya. Setelah itu ia melepas Jas yang hampir sama dengan milik Jungkook, bedanya hanya dengan motif yang ditorehkan sedikit lebih sederhana.

"Mari mencari lagi? Kali ini Aku akan membiarkan dirimu yang memilihnya, Sayang." Senyuman itu tak kunjung pudar, bahkan semakin tertarik ketika melihat kedua mata Jungkook yang berbinar layaknya seorang bayi. Dengan perlahan Jungkook menarik tangan Taehyung dan membawanya kestan pakaian yang lain, hampir membuat Taehyung tersedak karena jas yang dipilih Jungkook benar-benar teramat sangat sederhana.

"Aku memilih ini Hyung," Taehyung dapat melihat bagaimana biasanya jas yang akan ia kenakan nanti, hanya jas berwarna hitam kelam bersama dengan kemeja putih polos sederhana yang akan menggantung ditubuhnya. Tak apalah, jika ini yang Jungkook mau.

"Kau tahu mengapa aku lebih memilih ini, daripada yang tadi Hyung?" Otomatis, Taehyung menggeleng menunjukkan rasa penasaran yang amat dalam. "Karena, Aku tidak ingin orang-orang yang datang lebih memperhatikan pakaian kita tanpa mau tahu bagaimana raut wajah bahagia kita nanti. Itu benar-benar menyedihkan, Aku tidak mau Hyung."

Dan untuk kesekian kalinya, Taehyung telah terjatuh didalam dekapan hangat, sosok lembut Jeon Jungkook.

.

.

.

.

—o0o—

Taehyung ingat, saat itu hari benar-benar mendung. Bagaimana awan kolombus yang berteriak-teriak memberikan peringatan bahwa hari ini akan segera hujan. Dan kenyataan tak berpihak padanya hari ini. Ia harus buru-buru mengurus masalah kantor tanpa mau mengendarai mobilnya. Dan berakhirlah seperti ini, pulang dengan fasilitas transportasi umum. Ia mengeluh pelan, saat banyak kumpulan pegawai yang mendesak saling tak ingin terkena tetes hujan, nyatanya malah tidak memberikan hasil yang baik. Mereka tetap saja basah, mengingat halte ini tidak diperuntukkan untuk banyak orang.

Dengan susah payah ia menggulung jasnya, sekedar melihat pukul berapa sekarang, dan begitu terkejut karena Taehyung tak menyangka jika ini masih pukul setengah lima sore, padahal kenyataanya ini sudah terlihat seperti hampir pukul tujuh malam. Kalau tahu begini, ia lebih baik meminta tumpangan pada Jimin, daripada susah payah menunggu Bus yang tak kunjung datang.

"Payah sekali," Rutuknya, melihat laluan kendara yang melintas, mengabaikan keluhan yang sama dari sekitarnya. Wajahnya kembali mengeras saat bus yang ia tunggu-tunggu langsung direbut dengan bringas oleh pejalan kaki yang lainnya. Dan sekarang tinggallah ia sendiri, bersama dengan pemuda yang dari tadi hanya duduk, sembari menatapi para pejalan kaki tadi dengan senyum. Bajunya tampak basah setengah, tapi ia tampak santai sambil memeluk erat tas ranselnya.

Begitu manis, dimata Taehyung.

Akhirnya dengan rasa percaya diri, Taehyung mendekati pemuda itu. Sepertinya masih terlalu muda. Ia membawa dirinya perlahan duduk disamping pemuda yang sedikit lebih kecil darinya, menggesernya perlahan sampai jarak diantara mereka tak tersisa. Taehyung mendengus kesal, saat sadar jika celananya malah menjadi kain untuk mengelap bangku yang basah tadi.

Pemuda itu tidak bergerak juga,

"Kenapa kau begitu senang, saat melihat para pejalan kaki yang mengambil bus, apa kau tidak menaiki bus yang sama dengan mereka?" Cukup panjang, bagi orang asing yang sekedar ingin mencari teman bicara. Taehyung dapat melihat, pemuda itu yang tersenyum, gigi kelinci.

Pemuda itu mengangguk, "Ya, Aku menaiki bus yang sama. Tapi tak cukup tega, membiarkan mereka yang pasti sudah ditunggu keluarganya." Jawaban yang cukup sederhana, tapi cukup aneh. Selintasnya, Taehyung tampak berpikir sampai ia tersadar jika, "Apa orang tuamu sudah meninggal? Maafkan Aku, Aku tidak bermaksud seperti itu." Kali ini ia tampak lebih menyesal, setelah melihat senyuman pemuda itu semakin lebar. Pemuda itu menggeleng.

"Tidak, orang tuaku masih hidup. Hm, boleh Aku tau nama Hyung, Aku Jeon Jungkook." Kali ini Taehyung yang memberikan tatapan bingung, namun tatapannya kembali melebur ketika ia merasakan tangannya yang tergeletak disambar oleh tangan lembut nan dingin pemuda itu, ia menggoyangkan tangan Taehyung layaknya sedang melakukan perkenalan. Taehyung tampak salah tingkah sendiri, apa ia terlihat kaku sekarang? "Ah, i-iya namaku Taehyung, Kim Taehyung." Jawabnya diselingi tawa pemuda itu.

"Kau kaku sekali Hyung, teruslah tersenyum. Sangat disayangkan wajah tampanmu itu akan sia-sia jika tidak tersenyum." Alasan sederhana yang mampu membuat Taehyung mengulas senyumnya, hatinya perlahan hangat karena kehadiran sosok pemuda disampingnya tersebut.

"Benarkah? Sungguh sulit menjadi seorang direktur ketika kau masih terlalu muda." Apakah Taehyung sekedar membagi keluh-kesahnya? Tidak tahu, ia hanya— ingin saja. Pemuda itu melepas tautan mereka. Setelah itu Taehyung sedikit terjengat kaget ketika tangan dingin pemuda itu yang menyentuh tengkuknya perlahan, memijatnya.

"Dan kau akan segera mati, karena syarafmu terus menegang Hyung." Senyumannya tak kunjung lepas, sampai akhirnya pemuda itu menyadadari jika keduanya terlalu dekat, ia segera melepasnya.

"Ah, Aku masih kuliah Hyung, Jurusan Seni rupa, di Universitas Seoul. Berapa umurmu Hyung?" Taehyung terperanjat, ia cukup sadar jika dia bukan orang yang cukup terbuka, terlebih lagi dengan pemuda yang baru ia kenal sepuluh menit yang lalu. Tapi ia tidak bisa menolak, jika saat ini perutnya seperti tergelitik.

"Dua puluh lima tahun, sepertinya umur kita beda jauh. Kau masih semester awal, apa Aku benar?" Kalau dilihat-lihat memang benar, pemuda dihadapannya ini memang masih sangat muda. Lihat saja dengan wajahnya yang seperti anak bayi kelinci, walaupun dipenuhi dengan bekas air hujan.

Ia menggeleng, "Tidak Hyung, saat ini umurku dua puluh tiga tahun kurang dua puluh dua hari." Dan Taehyung tak dapat menghentikan senyumannya saat ini, setelah melihat pemuda dihadapannya.

Ia kelihatan lucu, dan polos.

"Hmm, Hyung jika aku inginmenawarkanmu cara tersenyum setiap hari, apakah kau akan mau terus bersamaku?" Pertanyaan yang tampak bodoh bagi Taehyung, karena pada nyatanya pertanyaan ini seperti main-main daripada menawarkan sesuatu. Dan bodohnya, Taehyung menganggukinya.

.

.

.

.

—o0o—

Dan saat ini ia masih bisa tersenyum,

Dunia itu hanyalah suatu fasilitas yang diberikan Tuhan untuk menjalankan kehidupan, sungguh tidak lucu jika kita saling bercengkrama didalam hitamnya galaxy yang berwarna –warni, bukan? Tapi bolehkah Ia mengaduh, jika ternyata kehidupan yang diberikan padanya tidak lebih seperti bayang semu nan maya?

Hari ini akan menjadi hari yang bahagia, tidak untuk keduanya mungkin salah satu.

Taehyung melihat lembar kalender yang ia lingkari, hari ulang tahunnya— dimana seharusnya ini akan menjadi hari yang terbaik bagi mereka berdua, karena pada dasarnya Taehyunglah yang menginginkan tanggal ini menjadi tanggal suci mereka. Dan entah mengapa Taehyung cukup menyesal sekarang, jikalau tahu akan berakhir seperti ini lebih baik ia membawa mempelainya itu menjauh dari dunia, walau nyatanya ia tak sanggup.

Maka dengan itu ia harus selalu tersenyum,

Mengabaikan segala rasa sakit yang terus bersemayam dan membara disudut hatinya, membiarkan dirinya yang kian terpuruk akibat ranjau yang ia pasang sendiri; membiarkan dirinya yang tertatih mencoba menyusun segala hal indah yang telah ia harap. Mengkais-kais terhadap kehidupan yang tak memihak. Nyatanya, ia harus mengubur itu semua dalam-dalam hanya karena kehidupan yang tak memberikannya ijin untuk mengecap keindahan itu lebih lama. Kalau tahu begini, Taehyung lebih memilih untuk bersakit-sakit dahulu dan atau mungkin ia akan dapat memetik kebahagiaannya saat ini,

Tapi sekali lagi, nasi telah menjadi bubur.

Ia tak bisa mengulang, atau bahkan menerka-nerka akhir bagaimana yang akan ia sematkan bersama mempelainya, pemudanya, Jeon Jungkook-nya.

Ia memandang sepatu yang tampak lebih kilat dari biasanya, apa ia menyemir terlalu banyak? Apa ia begitu bersemangat saat ini? Ia menggeleng, dan membiarkan dirinya yang melangkah tanpa tujuan. Membuka gerbang pesakitan , demi mempelainya yang akan bahagia. Ia harap seperti itu,

Ia membuka dompetnya, menatap poto yang tiga tahun ini selalu ia sematkan bersamanya. Menatap bagaimana indahnya dunia bersama Jungkook— kekasihnya. Selalu merapal doa yang terbaik pada Tuhan untuk Jungkook, agar dapat memetik kebahagiaan, walaupun nyatanya kebahagiaan itu bukan bersama dirinya. Ia kembali menutup sisi dompetnya, ia bertekad kali ini harus bisa terus tersenyum selama pernikahan berlangsung.

Bukan dirinya dengan Jungkook,

Bukan Kim Taehyung dengan Jeon Jungkook,

Melainkan Jeon Jungkook bersama mempelainya.

Begitu bodoh rasanya untuk terasa sakit sekarang, begitu tolol rasanya jika ia harus menangis sekarang. Mengapa ia tak bisa mempertahankan, atau setidaknya merubah keadaan dengan membawa pergi Jungkook bersamanya,

Tapi tetap saja tidak bisa,

Gema lonceng saling bersahutan, ditemani dengan suara paduan suara yang menyayat. Hari ini akan menjadi hari yang suci bagi keduanya. Taehyung mengigit bibirnya, seakan ikut terbayang betapa kasihnya ia pada Jungkook hari-hari itu; memberikan segala hidupnya hanya untuk Jungkook dan sekarang ia mungkin telah mati— bukan secara raga, namun hati dan pikirannya.

Taehyung dapat melihat, bagaimana dekorasi yang terbentuk saat ini. Tepat seperti yang ia rancang dahulu, namun bedanya bukan dia yang akan bersanding bersama pemudanya, kelinci kesayangannya saat ini. Jika ingin diberi kesempatan sekarang, rasanya ingin saja Taehyung menangis dan mendekap Jungkook yang tampak lemah dari dirinya.

Yah, dari kejauhan, Taehyung dapat melihat bagaimana seorang Jeon Jungkook yang selalu tersenyum menutupi kerapuhannya. Jungkook dengan jelas, bergetar layaknya orang bodoh. Tapi sepertinya yang paling bodoh saat ini adalah Taehyung, karena hanya ialah seorang yang mengerti bagaimana keadaan Jungkooknya.

Tatapan mereka bertemu, walaupun hanya barang sedetik Taehyung dapat melihat betapa hancurnya Jungkook saat ini, ia sadar jika dirinya juga hancur tapi Jungkooklah manusia yang terhancur diantara mereka. Keputusan terbodoh yang akan membuat Taehyung menyesal dan berdosa seumur hidup adalah; membiarkan Jungkook yang tertawa didalam tangisnya.

Suara itu kembali hening, menyisahkan kedua mempelai yang berdiri saling berhadapan dialtar, seakan membiarkan orang-orang yang menonton ikut menikmati kebahagiaan mereka; yang pada nyatanya tidak atau mungkin hanya Taehyung dan Jungkooklah yang tak merasakan kebahagiaan itu. Hatinya semakin terpukul, saat melihat Jungkook yang mengusap air matanya perlahan, tak ingin jika kebohongannya saat ini terbaca.

Bibir merah mudahnya kian memucat, dilapisi dengan bedak yang ikut berair. Keadaan tak kunjung sembuh jika salah satu dari mereka tidak berlonjak dan meminta kebahagiaan mereka, dan Taehyung tahu jelas jika hanya dialah yang harus bertindak memberanikan diri terhadap kejamnya kehidupan. Ia tak ingin melihat kesayangannya harus tersakiti; tenggelam oleh keegoisan takdir.

.

.

.

.

—o0o—

Hari ini tepat satu tahun mereka memadu kasih, walaupun nyatanya Taehyung harus mengigit jari karena ia merayakannya lebih dua hari karena pekerjaan yang tak kunjung selesai. Taehyung tahu jika Jungkook itu adalah tipikal yang amat sederhana, maka dari itu ia lebih memilih apartement mereka yang dirinya sulap sebagai tempat kencan. Ya, sudah hampir setengah tahun ini Jungkook dipaksa oleh Taehyung untuk tinggal di apartementnya, awalnya Jungkook menolak dengan halus dan karena takut merepotkan tapi akibat kekeras kepalaan Taehyung yang beralasan jika Jungkook akan dapat lebih menghemat waktu jika tinggal diapartementnya untuk pergi kuliah, maka akhirnya Jungkook mengiyakan— dimana berakhir dengan Taehyunglah yang lebih menyusahkan.

Jungkook tersenyum, mengingat-ingat perkenalan awal mereka. Tak disangka, hubungan mereka mungkin masih sebiji jagung, tapi rasanya sudah seperti beberapa tahun berhubungan saja. Kedua tangan Jungkook meremat tangan Taehyung yang menutup kedua matanya— menggenggamnya dengan lembut. Sebenarnya ini sudah benar-benar terlalu tempo dulu jika harus masih melakukan perayaan seperti ini; tapi mari kembali kita salahkan ide kolot seorang Kim Taehyung.

Dan Jungkook tak bisa untuk tidak terus menyunggingkan senyuman, saat khayalan dengan kenyataan yang berbanding terbalik. Jungkook berpikir akan ada semacam sebotol wine yang diikat dengan pita biru muda yang diikat disisi botolnya, atau mungkin gelas bertangkai yang menemani makan malam mereka; dan mungkin bisa saja ditemani dengan lilin ditengah meja mereka. Nyatanya tidak, yang ada saat ini hanyalah dua piring spagheti hampir gosong, ditemani dengan makanan cepat saji yang mengelilingi meja makan mereka dan beberapa minuman soft drink. Jungkook tak henti terkikik sembari memeluk Taehyung gemas. Ia tahu, Taehyung tidak cukup sempurna sama seperti dirinya tapi takdir malah berkata jika mereka berdua cocok.

Taehyung tersenyum lebar, menggaruki tengkuknya yang tak gatal. Jungkook dapat melihat Taehyung yang masih mengenakan celemek dengan noda hitam disela-sela kemeja putihnya. "Mungkin ini bukan yang terbaik atau malah tidak, tapi aku mencoba berusaha untukmu Jeon Jungkook. Selalu bersamaku yah?"

Tanpa syarat apapun Jungkook hanya mengangguk, semakin mengeratkan pelukannya terhadap lelaki yang lebih tua. Wajahnya ia istirahatkan dipundak Taehyung, mencium segala aroma yang saling tercampur; begitu memabukkan. Tak terasa air matanya mengalir, menangisi kebahagiaan yang tak kunjung pudar. "Terimakasih banyak Hyung, aku berjanji akan terus bersamamu. Kumohon peluk Aku."

Dan Jungkook dapat merasakan dirinya, yang jatuh kedalam rengkuhan Taehyung yang kokoh. Menjawab segala kegelisahan yang terjadi antar keduanya; mereka saling mencintai dan itu sudah lebih dari cukup.

"Kau adalah hidupku, Aku telah menyerahkan segalanya padamu, Jungkook. Kumohon, teruslah bersamaku. Apapun yang terjadi berbaliklah dan peluk Aku. Karena sejujurnya, Aku membutuhkanmu— sangat membutuhkanmu."

Apapun yang terjadi berbaliklah dan peluk Aku

…..

Bersambung*

…..

Baiklah, sebenarnya ini aku rencanakan untuk diselesaikan dalam satu chapter saja; tapi karena takut terlalu panjang, dipotong aja kali ya xD. Dan ah, apa ini kelihatan Angstnya? Kayaknya gak deh hahaha. Inginnya sih buat yang fluff tapi tetep sedih. Dan sebenarnya aku juga bener-bener gak tega buat TaeKook sedih, tapi mau gimana lagi; Aku itu manusia yang suka angst xD

Dan kalian mau ending yang gimana ini? Sedih atau Senang? Yang pertama aja kali ya? Kkk.

Maaf juga, kalau tulisanku nggak bagus-bagus amet, maunya sih menghibur.

Oh ya, berhubung membacanya gak ada bayaran, boleh kali ya klik button love atau follow dan Riview, hehehe…

Salam Fanboy,

kaisooexo