PROLOG

Aku berlari di seputar hutan pinus itu sembari mengejar kupu-kupu berwarna hitam keunguan yang sedang beterbangan. Kupu-kupu itu begitu indah, dan yang aku tahu ia memiliki warna yang cukup langka. Aku belum memilikinya, jadi aku harus menangkapnya!

Sedikit lagi tanganku bisa meraihnya di batang pohon yang kira-kira tingginya satu lengan orang dewasa di atas kepalaku. Baru saja aku berjinjit dan ujung jari tanganku menyentuh batang pohon yang dihinggapinya, aku tergelincir karena kondisi tanah awal musim gugur yang cukup licin karena air hujan.

Aku meringis kesakitan dan spontan menangis saat melihat luka yang sangat kecil di lututku. Meskipun itu luka yang kecil, tetapi ada darah di sana. Aku takut darah.

"Hey!"

Dengan perlahan aku mendongak karena tiba-tiba cahaya matahari yang mulanya menerpa wajahku terhalangi oleh bayangan seseorang. Aku menatap siapa gerangan yang berdiri seenak jidat di depanku. Sedikit terperangah aku dibuatnya. Rambut hitam yang agak mencuat ke atas, kulit seputih kapas, dan wajah tampan khas anak kecil itu membuat kedua pipi kecilku memanas. Kutaksir usianya kira-kira sama denganku.

Anak laki-laki itu mengulurkan tanganku sambil tersenyum. Ia bertanya, "Kau sedang apa?"

Aku menyambut uluran tangannya, berdiri, dan mengibaskan rok katun yang kugunakan agar tanah yang menempel terlepas dari sana sembari memandanginya dari atas ke bawah. Stelan jas dan kemeja, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang menghiasi kerahnya. Bisa kutebak ia bukan anak sembarang orang. Ia terlihat seperti 'pangeran kecil'.

"M-mencari kupu-kupu," jawabku dengan tergagaphampir-hampir tak bersuara sambil memandangi jam tangan hijau yang ia gunakan. Pandanganku tak dapat lepas dari benda, yang menurutku bagus, itu.

"Kupu-kupu? Kau suka kupu-kupu?" tanyanya sambil mengerutkan kening. Wajah putihnya terlihat tidak suka saat aku menyebutkan kupu-kupu. Dengan antusias, aku mengangguk dan mendongak ke atas, mencari tahu apakah kupu-kupu cantik itu sudah pergi, dan ternyata sudah. "Kau anak perempuan, 'kan?"

Aku menatapnya dengan terheran-heran. Apakah ia tidak bisa membedakan laki-laki dan perempuan? Dengan ragu-ragu, aku mengangguk. Kemudian ia menarik tangannya yang masih menggenggamku, sehingga jarak kami menipis.

Tiba-tiba, tanpa aku mengerti mengapa, ia mendaratkan bibir mungilnya pada bibirku. Spontan aku merasa terkejut dan segera membelalakkan mata. Namun tubuhku tak bergerak, seakan ciuman itu telah menyulapku menjadi seonggok kayu kering.

Setelah ia melepaskan ciumannya, ia tersenyum lebar padaku dan berkata dengan polos, "Jadi begitu rasanya ciuman."

"A-ah, m-mengapa kau m-menciumku?" tanyaku dengan kedua pipi memerah. Dapat kurasakan tanganku yang masih dalam genggamannya terasa dingin dan berkeringat.

"Aku hanya ingin tahu rasanya. Kemarin aku melihat Aniiki ku mencium seorang gadis. Saat kubertanya bagaimana rasanya, ia tidak menjawab dan hanya tersenyum sembari menjentikkan jarinya di dahiku. Seperti ini," katanya sambil menjentikkan jarinya di dahiku.

"Ah!" pekikku pelan karena kesakitan.

Anak itu terkikik geli, lalu mengusap dahiku sambil berkata, "Gomen. Kau ingin ini?" ia melepas jam tangan hijau dan dasi kupu-kupu yang ia kenakan, dan memberikannya kepadaku.

"A-apa ini?" tanyaku sambil memandangi benda di tanganku.

"Seperti kelihatannya, itu dasi dan jam tanganku," katanya dengan cuek, "Untukmu."

"U-untukku?" ulangku, dan ia hanya mengangguk.

"Usiamu berapa? Kau tinggal di mana?" tak seperti kelihatannya, ia ternyata adalah tuan muda kecil yang cerewet.

"A-aku t-tujuh tahun. Aku tinggal di sana," jawabku sembari menunjuk ke belakangku, "Agak jauh dari sini. Di belakang hutan pinus."

Anak itu mengangguk-angguk, lalu ia menarikku menuju arah yang berlawanan dari rumahku. "Aku delapan tahun. Hey, ikut aku ke rumahku," katanya tanpa berekspresi.

"D-di mana?" tanyaku sambil berusaha sekuat tenaga mengikutinya dengan berjalan tersaruk-saruk karena luka kecil di kakiku. Aku tak mau lagi melihat luka itu, karena akan membuat aku menangis.

"Di seberang hutan pinus. Tak jauh dari sini," jawabnya sembari tetap menggiringku ke rumahnya.

Aku hanya bisa mengikutinya tanpa bisa memprotes. Siapa anak ini? Aku mengetahui namanya saja tidak, tetapi bagaimana mungkin ia mengajakku ke rumahnya? Bahkan tadi ia menciumku dengan seenaknya. Tetapi ya sudahlah, mungkin ia bisa menjadi temanku.

Baru aku berpikir demikian, anak bemata hitam itu bertanya, "Kau ingin menjadi temanku, 'kan?"

Dengan antusias, aku mengangguk sambil tersenyum. Ia membalasku dengan senyuman yang sangat manis, lalu kembali menghadap ke depan. Kami tidak lagi berbicara dan hanya terus dan terus berjalan hingga kami sampai di belakang sebuah rumah besar dan mewah yang belum pernah kulihat.

"Itulah rumahku," katanya sambil tersenyum. Ia melepaskan genggamannya dan mulai berlari. Aku mengikutinya hanya dengan berjalan cepat karena luka kecil itu menusuk-nusuk kulitku. Tiba-tiba, ada seorang perempuan paruh baya yang mendatangi anak itu dengan terburu-buru. Ia mengatakan sesuatu, tetapi hanya kudengar adalah 'pindah'. Tak lama, ibu itu menarik tangan anak laki-laki tadi dan membawanya dengan cepat ke sebuah mobil besar di depan rumah. Anak tadi menoleh ke arahku dengan pandangan sedih sebelum ia masuk ke dalam mobil itu. Baru beberapa sentimeter mobil itu bergerak, ia melongokkan kepala dari jendela dan berteriak, "Namaku Sasuke!" dan mobil itu menghilang di tikungan jalan.


WARNING:
OOC, Typos, AU

DISCLAIMER:
Calm down, Kishimoto-sensei. Naruto always belongs to you ^^

PAIRING:
Sasuke Uchiha x Hinata Hyuuga

So this is it! Anonymous Hyuuga presents:

.

.

.

.

.

.

.

"THE MUSIC OF BUTTERFLY"

PART ONE


Aku terbangun dari tidurku dan mengusap mataku yang masih setengah terpejam. Dengan malas aku menoleh ke samping tempat tidurku dan melihat jam digital yang ada di atas meja kecil itu menampakkan angka 05:00 yang berarti aku harus segera bangun. Setelah menguap dan menggeliat, aku turun dari kasur dan melaksanakan ritual wajibku—mendatangi serangga peliharaanku yang kuletakkan di sebuah 'rumah' yang berupa laci-laci kecil yang kuberi lubang sirkulasi udara.

"Selamat pagi, Mikoto!" kataku pada kupu-kupu cantik berwarna putih dengan corak hijau yang menawan. Pandanganku teralihkan pada kepik berwarna merah tanpa totol-totol hitam, lalu kepada laba-laba kecil berkaki panjang, dan kepada belalang berwarna coklat tua; lalu menyapa mereka satu-satu, "Hai Miki, bagaimana tidurmu? Maru, kuharap kau tidak tidur sampai aku pulang sekolah. Oh astaga Mari, betapa kotornya 'rumah'mu! Aku berjanji akan membersihkannya nanti."

Aku mencintai serangga, dan tak ada yang bisa menghentikan itu sekalipun ribuan lebah menyengatku hingga beratku bertambah tiga puluh dua kilo karena tubuh yang membengkak.

Setelah menyapa serangga-serangga manisku, aku berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku dan segera membersihkan diri tanpa banyak bicara—tentu saja karena tak ada yang bisa kuajak berbicara. Seusai mandi dan mengenakan seragam SMU ala pelautku, aku berjalan ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk sepupuku, Neji. Ya, aku hanya tinggal berdua dengannya karena urusan pekerjaan Ayahku dan Ayahnya yang memaksa kami hidup sendiri di Jepang.

"Ohayou, Imouto-chan. Kau akan langsung berangkat nanti?" tanya Neji yang segera duduk di bangku meja makan.

"Ohayou, Neji-nii. Ya, aku akan berangkat sendiri nanti," sahutku sambil meremas-remas nasi kepal yang akan kusediakan untuk pagi ini dan juga untuk bekal makan siangku.

"Tak ingin kuantar?" tanya Neji sambil menenggak susu yang sudah kusiapkan lebih dahulu.

Ini adalah tahun pertamaku di SMU. Aku benar-benar tak sabar menjalani kehidupan SMU yang sudah pasti menegangkan. Lalu bagaimana dengan Neji? Ia baru melepas seragam SMU-nya sebluan yang lalu sebagai lulusan terbaik yang memborong tujuh dari sepuluh piala yang ada, dan sedang menikmati masa bebasnya sebelum tahun depan ia harus mendapat predikat sebagai mahasiswa.

Aku menggeleng sambil tersenyum dan berkata, "Aku ingin berjalan kaki saja."

"Ya sudah kalau begitu," timpal Neji enteng. Jelas sekali aku tahu ia sebenarnya tak ada niat untuk mengantarku, karena ia ingin malas-malasan sebentar saja. Sebenarnya tidak bisa dibilang sebentar, karena ia memang hampir selalu malas-malasan, atau berkutat dengan kertas-kertas raksasa dengan garis-garis arsitektur yang memusingkan di dalam kamarnya. Ia bilang, sebelum ia masuk kuliah jurusan arsitektur, ia ingin memperdalam pengetahuannya dulu agar ia tidak kaget nantinya.

"Ini," kataku sambil meletakkan piring besar dengan beberapa nasi kepal di atasnya, lalu duduk di depan Neji. "Itadakimasu!"

xxx

Aku berjalan pelan-pelan menyusuri hutan pinus yang masih dingin karena udara pagi. Sebenarnya aku bisa saja melewati jalan lain untuk sampai ke sekolah baruku. Namun aku suka tempat ini. Tempat di mana banyak serangga bersarang. Tempat dengan udara yang menyejukkan dan tempat di mana angin kadang berhembus untuk membelai rambut indigoku yang tergerai bebas.

Kabur-kabut tipis menggantung rendah hingga aku hampir bisa meraihnya dan kumasukkan ke saku kemejaku. Kuhirup udara awal musim gugur yang mulai dingin, tetapi masih ada sisa-sisa kehangatan udara musim panas. Tanpa terasa aku sudah hampir mencapai bibir hutan pinus ini. Aku tersenyum saat melihat batang pohon pinus yang sudah berpuluh-puluh tahun berdiri di sana. Aku merasa yakin itu sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun, karena sepuluh tahun yang lalu, aku menyebutnya pohon tua.

Tempat ini menyisakan banyak kenangan—setidaknya menurutku—dengan anak laki-laki yang memberiku sebuah dasi dan sebuah jam tangan berwarna hijau yang dulu sangat kusukai. Pohon inilah tempat di mana kupu-kupu bersayap hitam keunguan hinggap satu lengan di atas kepalaku yang saat itu masih sangat pendek. Aku tertawa pelan jika mengingat dulu aku sampai melompat dan berjinjit untuk meraih kupu-kupu itu. Padahal, kalau sekarang aku tinggal mengulurkan tanganku dan mengambilnya di depan dadaku.

Sembari menghela napas dan tetap mempertahankan senyum penuh kerinduan dan pendambaan, aku berjalan hingga keluar dari hutan pinus itu. Aku menatap ke depan dan mendapati rumah tua besar yang sepuluh tahun yang lalu sangat mewah dan terawat tetapi kini telah tertutupi tanaman merambat yang tumbuh dengan liar. Beberapa jendelanya sudah tampak pecah, dan dindingnya terlihat kotor. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu besar terlihat sudah rapuh dan mungkin dalam hitungan bulan akan segera roboh menimpa sesuatu di bawahnya.

Rumah itu rumah milik Sasuke, 'kan?

Dengan senyuman getir yang kini menghiasi bibirku, aku melanjutkan perjalanan, berusaha untuk melepaskan pikiranku dari rumah yang sampai saat ini masih menjadi misteri untukku.

xxx

Aku berjalan dengan takut-takut melalui pintu gerbang utama sekolah besar yang bernama seperti kota ini,

Konoha. Kuperhatikan sekelilingku, murid-murid dengan pakaian yang sama dengan yang aku kenakan tengah bersenda gurau, saling menyapa, dan tertawa keras-keras. Aku merasa iri dengan mereka semua karena memiliki teman. Sedangkan aku? Tak ada satupun orang yang aku kenali di sini.

"Sasuke-ku-u-u-u-n-n-n!"

"Waaaah, tampanya-a-a!"

Aku menoleh ke sumber suara. Ada beberapa hal yang menarik perhatianku.

Pertama, suara bising dari sebagian besar siswi Konoha yang berteriak-teriak heboh.

Dan kedua, nama yang mereka teriakkan.

Sasuke.

Tiba-tiba aku terlonjak saat menyadari degup jantungku menjadi semakin tak teratur. Tadi kubilang tak ada satupun yang kukenali di sini. Atau mungkin ada?

xxx

"H-hajimemashite, wa-watashi no n-namae wa Hyuuga Hinata desu. D-douzo yoroshiku," ujarku malu-malu di depan kelas saat memperkenalkan diri.

"Silakan duduk," ujar guru bernama Yamato itu dengan ramah kepadaku yang hanya membalas dengan anggukkan.

Murid-murid di kelasku pun satu persatu memperkenalkan diri. Beberapa dari mereka tentu sudah saling mengenal. Tetapi tetap saja, 'kan, ada yang semacam diriku ini?

Setelah sesi perkenalan diri, Yamato-sensei memulai pelajaran pertama kami di SMU, sosiologi. Dengan semangat aku mengikuti pelajaran tanpa sekalipun buyar konsentrasiku. Aku begitu bersemangat jika memikirkan ini adalah hari-hari pertamaku di masa SMU, dan jika mengingat Neji sudah memperoleh piala selemari pakaian atas prestasi akademik yang ia capai. Aku harus mampu menyaingi sepupu laki-lakiku itu!

Tak memedulikan pandangan di sekitarku, aku tetap memperhatikan Yamato-sensei yang bergerak ke sana-ke mari dengan kedua tangan terus menerus digerakkan untuk memberikan materi pertama sosiologi kami. Dengan giat pula aku mencatat tiap-tiap kata yang meluncur dari bibir Yamato-sensei. Beberapa siswa di belakangku memanggilku sambil berbisik dengan nada nakal yang sangat menjijikkan. Ya, tentu saja aku bukan gadis murahan, sehingga aku hanya diam dan—lagi-lagi—tetap memperhatikan pelajaran.

xxx

"Sasuke-ku-u-u-u-n!"

Lagi-lagi nama itu diserukan. Tidak sebelum masuk sekolah, tidak saat jam makan siang, selalu nama itu yang diserukan. Aku menjadi semakin penasaran dengan rupa seorang 'Sasuke' yang sedari tadi menjadi bahan teriakan anak-anak perempuan SMU Konoha. Aku berusaha memicingkan mata, seakan dengan itu pandanganku bisa menembus kerumunan siswi yang mengerumuni 'Sasuke' itu.

Akhirnya aku berjalan ke arah kantin melewati mereka dengan sekali-sekali mencuri-curi pandang ke arahnya. Dapat kulihat seorang pemuda berambut kuning jabrik tengah membubarkan kerumunan itu. Mungkinkah itu yang namanya Sasuke? Hah, berarti bukan Sasuke yang 'itu'! Aku pun berjalan dengan gontai karena kecewa, karena bukan 'tuan muda kecil' yang kutemui di hutan pinus-lah Sasuke yang ini.

"Minggir! Sasuke-teme ingin ke kantin!"

Teriakan itu menghentikan langkahku. Aku menghadap ke belakang, dan mendapati laki-laki berambut kuning itulah yang berteriak. Jadi intinya, ia bukan Sasuke! Masih ada harapan! Saking senangnya menunggu-nunggu sang empunya nama Sasuke, jantungku berdegup kencang, hingga akhirnya kerumunan itu terbelah, dan menampakkan sosok yang berkilauan.

Rambut hitam sedikit mencuat ke atas. Mata hitam. Kulit seputih kapas. Wajah tampan.

Tidak salah lagi.

Aku segera berlari menghampirinya dan berdiri tepat di hadapannya. Ia menatapku dengan kening berkerut, sedangkan para gadis yang tadi melihatku dengan kening berkerut yang jelas beda artinya.

"S-Sasuke-s-san! K-kau m-masih ingat aku?" tanyaku dengan mata berbinar-binar dan jantung berdebar-debar.

Ia membelalakkan matanya sebentar, memandangiku dari atas ke bawah, dan kembali ke atas—ke arah mataku. Ia kembali mengerutkan kening dan memicingkan matanya. Ia hendak membuka mulut dan aku berharap-harap cemas, tetapi ia kembali mengatupkan mulutnya.

"Aku tidak kenal," katanya kemudian dengan nada dingin yang membekukan seluruh denyut nadiku.

Hatiku mencelos mendengar itu. Detak jantungku yang semula berdegup kencang akhirnya seperti berhenti seketika sehingga aku yakin aku bisa mati dalam hitungan detik. Seluruh panca indraku seakan mati rasa. Pandanganku kabur—bukan oleh air mata, lidahku kelu, kulitku seakan tak bisa merasakan hawa dingin yang menyebar, hidungku tak mampu mencium wangi musim gugur yang aku sukai, dan indra pendengaranku hampir-hampir tak bisa mendengar derai tawa dari tiap-tiap bibir kaum hawa yang menatap sinis ke arahku.

"Sudah, jangan hiraukan mereka!" tiba-tiba sebuah suara mengembalikanku ke alam sadar. Suara perempuan. Ia menepuk pundakku, dan mengembalikan semua fungsi dari panca inderaku. Aku menoleh dan mendapati sepasang mata emerald green tengah menatap lembut ke arahku sembari tersenyum. Angin musim gugur yang bertiup menggoyangkan rambut merah mudanya yang cantik. "Aku juga sering ditolak, kok!"

Kalimat yang terakhir itu sukses membuatku sweatdrop.

xxx

Aku tak bisa menelan nasi kepal yang tadi aku buat dan kini berada di mulutku. Bahkan rahang bawahku tak mau melaksanakan pekerjaannya sebagai alat bantu kunyah. Ternyata tidak semua panca inderaku kembali pada fungsinya. Buktinya lidahku masih tak dapat mengecap rasa. Dengan kesal aku menelan hasil kunyahanku yang tak sempurna secara paksa, lalu menutup kotak makanku.

Aku menoleh ke arah jendela di samping tempat dudukku di kantin. Tak ada apa-apa di sana. Hanya ada lapangan luas berumput yang sepertinya jarang di datangi. Berarti ada banyak serangga di sana. Aku tersenyum jika memikirkan itu. Kutopangkan daguku di atas telapak tanganku dan kulayangkan pandang ke tanah lapang di sana.

Andaikan aku masih seorang gadis tujuh tahun yang bebas melakukan apa pun, aku akan berlari sekencang-kencangnya ke sana dan mencari serangga sambil tertawa-tawa. Namun kenyataan bahwa aku berumur tujuh belas tahun, membuatku menghela napas dan berkata 'tidak mungkin' dalam hati.

"Wah Teme, tempat kita sudah ditempati."

Sejenak lamunanku buyar. Aku menoleh ke arah kiri dan mendapati laki-laki berambut kuning tadi tengah celingukkan. Sial! Kalau ada dia, pasti ada Sasuke di sini! Aku belum siap bertemu dengannya!

Dan ternyata benar, seorang pemuda berambut hitam dengan wajah stoic muncul di belakangnya. Ia menatapku dengan dingin, dan aku rasanya akan membeku saat ini juga.

"Hey," ujarnya. Oh, itu adalah kata pertama yang disebutkan Sasuke-ku saat pertama kali bertemu, dan kini Sasuke yang palsu ini juga menyebutkannya. Aku mendongak menatap mata hitamnya sebelum ia berkata, "Minggir, ini tempatku dengan Dobe."

Aku mengangguk dengan gelagapan dan segera berdiri dengan kikuk sampai-sampai aku tersandung kaki kursi, tetapi tidak sampai terjatuh.

"Teme, kau jahat sekali! He adik kelas yang manis. Kau di sini saja, tetapi perbolehkan kami duduk di sini, ya?" kata orang yang dipanggil 'Dobe' oleh si Sasuke Palsu—begitu saja, ya aku menyebutnya?

Tanpa sadar aku mengangguk, namun segera menggeleng dan berkata, "T-tidak, ak-aku pergi saja."

"Jangan berisik," ujar si Sasuke Palsu singkat sambil menahan pundakku—agar duduk lagi—dan menempatkan diri di depanku.

Dengan mata terbelalak aku kembali duduk di tempatku semula. Aku memperhatikan ia membuka makanan kotak yang ia beli dari kantin. Ia mendesah keras saat melihat isinya. Entah mengapa pandanganku rasanya tak ingin lepas darinya. Aku ingin… selalu memandangnya.

"Ada apa melihatku?" tanya si Sasuke Palsu saat menyadari sedari tadi memandanginya dengan seksama.

Aku meneguk ludah dan menyangkal, "A-ah ti-tidak!"

"Kau jangan galak-galak pada adik kelas, Teme. Nanti ia tidak akan menjadi salah satu fans mu, lho!" kata si Dobe—aku tidak tahu namanya—dengan nada memperingatkan. Kemudian si Dobe melirik ke arahku dan berkata sambil tersenyum, "Atashi wa Namikaze Naruto desu!"

"A-ah. N-namaku H-Hyuuga Hi-Hinata. Yoroshiku!" sambutku ramah sambil tersenyum.

"Perkenalkan dirimu!" kata Namikaze Naruto sambil menyikut lengan si Sasuke Palsu. Si Sasuke Palsu yang mulutnya masih dipenuhi teriyaki pun melirik kesal ke arah Naruto yang duduk di sebelah kanannya.

Ia menelan makanannya, mengelap bibirnya menggunakan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku kemejanya dengan elegan, lalu berkata, "Bukankah gadis ini bilang bahwa ia mengenalku?"

Seketika itu juga wajahku memerah sempurna. Aku tak sanggup menatapnya dan melarikan diri dengan cara menundukkan kepalaku. Dapat kubayangkan si Sasuke Palsu menyeringai jahat di depanku, lalu ia berteriak hingga seluruh penjuru kantin mendengar, 'hey, gadis ini melupakanku!' dan seisi kantin tertawa terbahak-bahak. Dan tiap kali aku berjalan di depan mereka, mereka akan menertawakan aku hingga isi perut mereka keluar.

"Kau mengenal Teme?" tanya Naruto dengan nada heran, menghapuskan bayangan mengerikan tadi.

Aku tak menjawab ataupun memberikan tanggapan berupa gerakan. Yang kutahu saat ini aku mulai terisak—entah apa alasannya. Bodoh, mengapa menangis di tempat seperti ini? Mungkinkah feeling-ku yang mengatakan bahwa laki-laki di depanku adalah bocah delapan tahun yang selama ini kucari begitu kuat? Aku tidak tahu. Yang jelas aku merasa seperti orang bodoh sekarang duduk di depan seorang yang mempermalukan aku di depan berbelas-belas gadis SMU.

"Kau pundung?" tanya si Sasuke Palsu tanpa bersalah. Aku dapat merasakan ia memandangku dingin dengan satu alis diangkat. Tak lama, aku melihat di bawah daguku ada sebuah tangan putih dengan telapak tangannya menghadap ke atas. Tangan itu perlahan menyentuh daguku dengan jari-jari panjangnya dan mengangkat daguku hingga kini aku kembali menghadap wajahnya. Ia tampak sedikit terkejut melihat air mata yang masih menggenang di pelupuk mataku.

"Wah ternyata ia menangis! Sepertinya ia sedih kau berbuat kasar seperti tadi, Teme!" kata Naruto dengan tampang bodohnya. Ingin rasanya aku menghajarnya di sini karena seenaknya berkata seperti itu. Aku bukan menangisinya karena ia kasar! "Sepertinya aku harus pergi dan membiarkanmu memecahkan masalahmu sendiri, Teme. Heh, lihat gadis berambut merah muda itu! Cantik sekali ia! Ah, aku akan menghampirinya!"

Kulihat Naruto berdiri dan berjalan ke arah gadis yang tadi mengembalikan fungsi empat inderaku setelah sebelumnya ia menyambar kotak berisi makanan yang sepertinya juga ia beli bersama Sasuke.

"E-eh! Dobe!" si Sasuke Palsu berseru salah tingkah saat temannya meninggalkannya. Lalu karena menyadari Naruto tidak mendengar, si Sasuke Palsu menghela napas dan membanting punggungnya ke sandaran bangku yang keras.

Aku kembali menoleh ke sebelah kiri dan melihat gadis yang dihampiri Naruto tengah menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinganya sembari tersenyum malu-malu. Aku merasa Naruto sedang merayunya. Ah, dasar laki-laki.

"Kau ini kenapa, sih?" tanya si Sasuke Palsu, memaksa aku untuk kembali menatapnya. Kulihat keningnya berkerut semakin dalam. Jelas sekali ia kesal padaku karena telah membuatnya ditinggal berdua saja denganku.

Dingin sekali ia. Tak banyak bicara. Jarang tersenyum. Jelas sekali ia bukan Sasuke-ku. Itu kata otakku. Tetapi firasatku mengatakan yang lain.

"Ak-aku t-tidak apa-apa. G-gomen na sai, k-kalau aku mengganggu," kataku sambil kembali menunduk. Jari jemariku mencengkeram kotak makanku yang tak berdosa dengan sangat erat.

"Ya. Kau mengganggu. Sangat mengganggu," timpal si Sasuke Palsu, membuat aku terlonjak. Ingin sekali rasanya aku menangis. Namun kubatalkan semua air mataku turun dari mataku.

Sambil memaksakan senyum dan kembali duduk tegak, aku berkata padanya sambil bangkit berdiri, "K-kalau begitu, a-aku akan pergi."

"Jangan bertindak seenaknya," katanya sambil mencengkeram pergelangan tanganku. Ia tidak sedikitpun menoleh ke arahku, malahan ia menghisap minuman dingin di depannya menggunakan sedotan. "Kau pikir aku akan memaafkanmu jika kau pergi?"

Lagi-lagi hatiku mencelos saat mendengar nada tajam dalam bicaranya. Terlebih lagi kini kepalanya mendongak dan menatapku dengan mata hitamnya yang dingin—sama sekali berbeda dengan mata jenaka milik Sasuke-ku.

Akhirnya, untuk yang kedua kalinya si Sasuke Palsu membuat aku kembali duduk setelah berdiri.

"Aku harus mulai dari mana?" aku mendengar si Sasuke Palsu menggerutu pada dirinya sendiri. Oh, ternyata ia juga tukang penggerutu? Jelas sekali ia bukanlah anak berumur delapan tahun yang sudah merebut ciuman pertamaku!

Sambil menunggu ia—yang sepertinya sedang—memikirkan kalimat untuk memulai perbincangan, aku kembali membuka kotak makanku yang berisi nasi kepal, dan berniat memakannya meskipun aku malas makan—lidahku sudah kembali dapat merasakan. Tetapi lebih baik aku makan daripada merasa canggung dengan laki-laki sok elegan ini.

"Mengapa tadi kau tidak memakannya?" tanyanya. Sepertinya ia mendapatkan bahan untuk diperbincangkan. Tetapi sayangnya ini tidak penting.

"T-tidak apa-apa," sahutku cepat sambil menggigit nasi kepalku.

"Boleh kucoba?" tanya si Sasuke Palsu dengan nada canggung. Kurasa ia hanya bisa berkomunikasi dengan Naruto dilihat dari caranya meminta bekalku. Apakah ia tidak tahu kalau laki-laki dan perempuan memakan bekal bersama, terlihat seperti berpacaran? Ataukah ia dan Naruto sering berbagi makanan bersama? Bayangan yang terakhir itu membuat bulu romaku berdiri.

Tanpa sadar aku mengangguk dan membiarkannya mengambil nasi kepal di kotak makanku dengan sumpitnya. Lalu ia memakannya dengan sangat kusyuk. Seperti berdoa. Bodoh.

"Enak," komentarya singkat setelah menelan satu gigitan, "Mau bertukar makanan?"

Kali ini aku benar-benar tidak percaya. Apa-apaan ini? Si Sasuke Palsu mengajakku bertukar makanan? Yang benar saja?! Kali ini aku tidak akan membiarkannya. Dengan cepat aku memberenggut dan berkata, "Tidak!"

Si Sasuke Palsu menatapku dengan pandangan mengancam sehingga aku membelalak dan menurunkan kotak makan yang sedari tadi kuangkat untuk mencegahnya memakannya.

"Kau tidak mau, eh?" tanya si Sasuke Palsu dengan dingin sambil menatap tajam ke arahku.

"B-baiklah," bisikku sambil mendorong kotak makanku kepadanya, "T-tapi a-ada yang sudah kugigit!"

"Tak masalah," katanya sembari mendorong makanannya padaku, "Mungkin akan terasa lebih enak."

Dan seketika itu juga wajahku memerah seperti tomat. Dengan kesal aku memakan teriyaki yang semula menjadi makanan si Sasuke Palsu. Aku terperanjat saat merasakan rasa menjijikkan ini di dalam mulutku. Dengan cepat aku melongokkan kepala ke luar jendela di sebelahku dan memuntahkannya. Pantas saja si Sasuke Palsu terlihat kesal saat melihat makanan ini tadi. Aku menatapnya yang melihatku dengan pandangan berusaha-sok-tidak-peduli, tetapi jelas sekali bibirnya yang mengkerut dan pipinya yang agak menggembung membuktikan bahwa ia sedang menahan tawa.

"I-itu t-tidak lucu!" bentakku dengan suara minim dan wajah memerah. Kali ini si Sasuke Palsu tak dapat menahan tawanya. Ia tertawa meledak-ledak hingga seisi kantin menoleh ke arah kami dan memandang Sasuke Palsu dengan terkejut, seakan-akan inilah kali pertama ia tertawa.

Sambil mengusap air matanya dan berdeham keras—kembali sok elegan!—Sasuke Palsu berkata dengan diselingi sedikit tawa kecil, "Kalau begitu, makanlah bersamaku."

Bodoh bodoh bodoh! Aku merutuki diriku sendiri saat mendapati wajahku memanas mendengar itu.

"M-makan s-saja sendi—uph," seketika kata-kataku berhenti karena si Sasuke Palsu memasukkan sepotong nasi kepal ke dalam mulutku dengan sumpitnya. Dengan sumpitnya!

"Jangan berisik," ujarnya—kembali dingin—lalu kembali memasukkan nasi kepal ke dalam mulutnya.

Aku merasakan jantungku berdebar hebat saat ini. Entah mengapa kenyataan bahwa ia dingin, tak berperasaan, dan bermata tajam membuatku semakin yakin bahwa ialah Sasuke yang kucari.

xxx

"Mengapa sedari tadi kuperhatikan kau senyum-senyum sendiri?" tanya Neji yang tiba-tiba kulihat tengah bersandar di kusen pintu kamar sambil melipat tangannya dan memandangku datar.

Aku bergegas menyembunyikan kotak tempat aku meletakkan dasi dan jam tangan Sasuke-ku ke belakang punggungku, dan berkata sambil tertawa canggung, "O-oh a-ah t-tidak!"

"Jangan kau bilang kalau kau bertemu dengan anak umur delapan tahun, yang sering kau ceritakan, itu di sekolahmu," kata Neji sekan mengerti apa yang aku pikirkan di dalam otakku.

"M-mungkin ya, mungkin tidak," kataku sambil kembali memejamkan mata dan tersenyum dengan pipi memanas.

"Kurasa jawabanmu 'ya', karena pipimu memerah," kata Neji. Aku membuka mataku dan terlonjak saat mendapati Neji sudah duduk di depanku, di atas ranjangku. Cepat sekali!

"A-aku t-tidak tahu pasti," kataku dengan wajah semakin memanas karena wajah Neji yang sangat dekat denganku. Sekalipun ia sepupuku, tetapi tetap saja kenyataan bahwa kami berlainan jenis dan kami berada di atas ranjang membuatku merasa gugup.

"Maksudmu, kau tidak tahu ia benar-benar anak itu atau bukan?" tanya Neji lagi, kali ini sambil memainkan ujung rambut panjangku dengan jari-jarinya.

Aku mengangguk pelan-pelan, masih merasa gugup dengan kedekatannya saat ini denganku.

"Berarti kau harus mencobanya," kata Neji.

Dengan heran aku mengerutkan kening dan bertanya, "M-mencoba a-apa?"

"Mencoba menciumnya agar kau tahu ia sama atau tidak dengan yang merebut ciuman pertamamu. Seperti ini," kata Neji sambil mencium bibirku singkat. Aku membelalakkan mata dan tidak mampu bergerak saat Neji mencium bibirku. Kemudian ia melepaskannya dan terkekeh sambil berkata jahil, "Kena!"

Lalu ia keluar dari kamarku sambil tertawa-tawa.

Pervert brother!

xxx

Ini adalah hari kesepuluhku menjadi murid SMU. Dan saat ini aku hendak mengakhiri hari kesepuluh ini. Sampai saat ini perjalanan hidupku sebagai siswi SMU baru masih datar dan tidak menarik. Satu-satunya yang membuatku merasa beda adalah, sejak aku memakan nasi kepalku bersama si Sasuke Palsu, sekarang aku dekat sekali dengannya dan Naruto. Hampir setiap waktu aku berjalan di antara mereka berdua. Awalnya aku sempat menolak, tetapi Tuan-Sok-Elegan-Yang-Pemaksa-dan-Penggerutu memaksaku untuk ikut dengannya dan Naruto. Ia bilang, jika terlalu sering berduaan dengan Naruto, fans nya akan berkurang karena menganggapnya mengalami gangguan seksualitas.

Pandangan iri dari para siswi Konoha—baik kakak kelas maupun yang seangkatan—lah yang membuatku merasa semakin spesial. Ha-ha, akhirnya aku bisa membalaskan dendamku karena mereka sudah membuat aku malu setengah mati sata itu karena ditertawakan.

Aku berjalan menyusuri koridor lantai dua, tempat kelasku berada, saat hendak turun untuk pulang. Tiba-tiba pandanganku teralihkan pada sebuah ruangan musik yang biasanya gelap saat ini terang benderang. Jujur saja, aku belum pernah memasukinya, sehingga saat melihat sebuah grand piano berwarna putih di dalamnya, aku merasa takjub. Sudah lama aku tidak memainkan piano untuk serangga-seranggaku sejak pianoku rusak.

Sesaat kemudian, kakiku menuntun aku menuju ke depan pintu ruangan itu, sedang tanganku terangkat untuk menyentuh handle pintu. Namun sayangnya, itu terkunci. Dengan kesal aku berjalan menjauh namun segera terpikir olehku untuk meminta izin menggunakan ruang musik kepada Kurenai-Sensei, sang guru musik.

Dengan riang aku berjalan ke ruangan guru di lantai bawah. Setelah mengetuk pintu dan membukanya, aku yang segera menemukan Kurenai-sensei sedang berbincang-bincang dengan guru sejarah, Asuma-sensei. Sepertinya gosip yang beredar seputar hubungan mereka benar. Eh, fokus, Hinata.

"S-sumimasen, Kurenai-sensei," kataku dengan suara yang hampir hilang.

Kurenai-sensei berbalik badan dan tersenyum kepadaku sembari berkata, "Ada apa, Hinata?"

"A-ano, b-bolehkah aku m-menggunakan ruang musik?" tanyaku takut-takut.

Sepertinya Kurenai-sensei tidak ingin lama-lama diganggu. Ia segera menyerahkan kunci pintu ruang musik kepadaku, dan berkata, "Bertanggung jawablah dengan apa yang kamu gunakan. Setelah selesai, kunci kembali pintunya dan kembalikan padaku. Aku pulang pukul empat sore, mengerti?"

"H-ha'i," kataku sambil membungkuk, "A-arigatou gozaimasu!"

Aku pun setengah berlari ke ruang musik di lantai dua. Kurasakan jantungku berdebar-debar saat memasukkan kunci ke dalam lubang kunci di pintu. Aku pun memutarnya, mencabutnya, dan membuka pintu surga itu. Setelah aku memasukkan kunci itu ke saku kemejaku, kuhirup dalam-dalam harum pendingin ruangan di ruang musik itu, lalu kulangkahkan kakiku ke dalam, dan setelahnya kututup pintu itu. Dengan masih berdebar-debar, aku berjalan untuk menyentuhkan jari-jariku ke permukaan grand piano itu. Mulus dan indah sekali. Saat aku hendak mencolok kabelnya, ternyata sudah terpasang dengan sempurna dan siap dimainkan.

Aku duduk di belakang piano dengan gugup, seakan ini adalah konser piano perdanaku. Dengan tangan berkeringat aku mulai menekan satu tuts piano, dan dentingan merdu pun terdengar. Suara sederhana itu menyebabkan getaran lembut dalam organ pendengaranku, dan juga hatiku. Aku merasakan ketenangan saat mendengarnya. Jari-jariku pun mulai bergerak di atas tuts-tuts piano, memainkan nada indah yang kuciptakan sendiri. Yang ada di bayanganku saat ini adalah, serangga-seranggaku tertidur pulas mendengar ini, dan mereka bermimpi indah. Ah, mengapa harus serangga? Ya sudah, kalau begitu, aku membayangkan ada si Sasuke Palsu yang mendengarkanku sambil tersenyum dan berkata, 'kau hebat' padaku.

Bodoh.

Aku segera menghentikan permainanku dan merasakan jantungku berdegup kencang, dan napasku memburu. Mengapa aku membayangkannya? Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku dan mulai kembali memainkan nada-nada lain.

"Kau cocok dengan piano itu."

Aku bergegas menghentikan permainanku lagi, dan mulai mendongak menatap pintu yang sudah dibuka seseorang tanpa kusadari. Pemandangan di depanku lagi-lagi membuatku syok. Tebak siapa yang di sana. Ya, ia adalah Tuan-Sok-Elegan-Yang-Pemaksa-dan-Penggerutu. Ia bersandar pada kusen pintu sambil melipat tangannya. Aku bertanya-tanya, apakah kebanyakan laki-laki sok keren sepertinya dan Neji sering menggunakan posisi berdiri itu?

"S-Sasuke-senpai," bisikku dengan wajah memanas.

"Teruskan permainanmu," kata si Sasuke Palsu. Ia membalikkan badan membelakangiku untuk menutup pintu. Aku tidak bergerak dan justru menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip. Kemudian ia berjalan mendekatiku dan bersandar di tembok yang dilapisi karpet sambil memandangku dengan alis terangkat. "Mengapa diam?"

"A-ah, t-tidak a-apa-apa. A-aku merasa canggung j-jika dilihat orang," kataku sambil menunduk.

"Anggap aku tak ada," ujar si Sasuke Palsu dengan enteng. Bagaimana bisa, Bodoh?! Melihat aku yang tak juga memainkan piano, ia mengerutkan keningnya dan kembali mengeluarkan sosok pemaksanya saat berkata, "Kalau kubilang teruskan, ya teruskan!"

Dengan canggung aku mulai kembali memainkannya, dan lagi-lagi terhanyut oleh perasaan cintaku pada musik.

"Hentikan."

Seenaknya menyuruhku memainkan dan seenaknya memutuskan keasyikkan orang.

"Sekarang, bergeserlah. Kita main berdua," kata si Sasuke Palsu sambil duduk di bangku piano di sebelah kiriku tanpa aba-aba, sehingga kembali membuatku merasa gugup.

"M-memangnya S-Sasuke-senpai b-bisa?" tanyaku, terdengar meragukan karena aku benar-benar meragukannya.

"Meragukanku?" tanya si Sasuke Palsu sambil tersenyum tipis, "Aku mencintai Piano lebih dari apa pun."

Ia mengucapkan kata 'piano' seperti ia sedang mengucapkan nama seseorang, karena tersirat jelas bahwa ia benar-benar mencintai piano. Ia mulai menekan satu tuts, dan aku mengikutinya. Kami berdua akhirnya memainkan nada-nada yang luar biasa membuatku bergetar hebat. Nada-nada yang kami ciptakan sendiri. Saat ini, aku merasa bahwa ia bisa menjadi partner bermain pianoku yang paling hebat. Selama ini aku tak bisa mengajak siapapun bermain piano bersamaku. Ayah? Ia hebat dalam bermain celo, tetapi suara pianonya lebih mirip dengan suara gelas pecah. Ibu? Ya, ibu memang hebat, tetapi sayang ia sudah tak ada. Neji? Jangan harap, karena ia bisa menggambar pianomu dengan garis-garis arsitekturnya. Dan harapan satu-satunya adalah serangga. Bisa apa mereka dengan kaki-kaki kecil mereka?

Kami mengakhiri permainan kami dengan cukup sempurna. Aku bertepuk tangan dan berkata dengan wajah berseri-seri, "S-Sasuke-senpai hebat!"

"Berapa kali harus kukatakan, 'panggil saja namaku, Bodoh'?" tanya si Sasuke Palsu sambil mendengus kesal. Ada tambahan kata 'bodoh' pada setiap kalimat yang ditujukannya padaku. Ia tak pernah memanggil namaku, dan selalu memanggilku dengan 'Bodoh'. Sama seperti saat ia memanggil Naruto 'Dobe'. Yang ada di pikiran melanturku adalah, Naruto sahabat si Sasuke Palsu sehingga kata 'Dobe' membuktikan bahwa Naruto itu spesial. Bukankah itu artinya jika ia memanggilku 'Bodoh', aku spesial?

Ha-ha, aku terlalu berharap.

"G-gomen S-Sasuke-san," kataku sambil memainkan kakiku. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum sambil kembali mengatakan, "K-kau h-hebat sekali!"

Tanpa diduga-duga, Sasuke tersenyum. Senyuman lembut yang tak pernah ia perlihatkan kepadaku, membuat perutku seperti di aduk-aduk. Dengan tangan kirinya menyentuh permukaan piano dan tubuh menghadap ke arahku, si Sasuke Palsu mulai mendekatkan wajahnya pada wajahku. Ia memejamkan mata, dan aku nyaris pingsan saat ia mengecup bibirku dengan lembut. Cukup lama ia menciumku. Aku berani taruhan tubuhku bergetar saat ini. Untuk menjaga keseimbangan, jari-jari tangan kiriku terangkat dan mulai menggenggam kemeja bagian dada Sasuke. Tangan kanannya yang bebas menggenggam pergelangan tangan kiriku. Aku mulai bisa menikmatinya sehingga aku memejamkan mata.

Ciuman ini terasa sama seperti yang diberikan Sasuke-ku. Begitu murni dan tulus. Sepertinya inilah saatnya aku melepaskan embel-embel 'palsu' dalam menyebut namanya. Karena kini aku begitu yakin bahwa ialah orangnya. Ialah yang sepuluh tahun ini kudambakan.

To be continued.


Wooho~ I'm back with SasuHinaa! Ah, sebenernya aku post cerita ini bukan karena mau bikin 'Weird Triplets' jadi discontinue. Tapi lebih karena aku bosaaann \(-o-)/

Cerita ini bakalan aneh dengan disertai berbagai macam ke-absurd-an yang melebihi segala sesuatu yang ada di dunia iniii *teriak-teriak di depan rumah* *dilempar sendal*

Hah, langsung aja deh RnR-nya ditunggu~

Never stop trying to be better, and better.

-Anonymo... *ngilang* *ditarik readers* *dikecam karena ga lanjutin* *ngalah* *lanjutin nulis*

-Anonymous Hyuuga-

*beneran ngilang*