Summary: Perlu waktu empat bulan agar akhirnya Uchiha Sasuke mengenal namanya. Dan empat bulan lagi untuk mengenal pria itu. Dan empat bulan sisanya untuk Hinata memupuk keberanian menyerahkan sekotak cokelat pada pria pujaannya itu—Sasuke-kun. RnR please…

.

.

.


.

.

Disclaimer: I don't own Naruto

Naruto Masashi Kishimoto

This is just for fun. I don't take any material profit from it

.

.

Warning: AU, OOC (maybe).

.

.


.

.

Happy Reading

.

.


.

.

.

"I know your life can go on without me, that you can be happy without me, that you can survive without me.

But even if you turn me away, I will still choose to stay with you and be your sweetest stranger forever. "

.

.


.

.

February

.

.

Nama gadis itu Hyuuga Hinata. Dan kini ia tengah berada dalam puncak keberaniannya. Tangan gadis itu yang memegang sekotak cokelat tengah gemetar hebat, mukanya merah padam karena rasa malu padahal saat itu dia tengah sendirian.

Hinata meneguk ludahnya yang mulai terasa pahit—memantapkan tekadnya.

Ini adalah tahun terakhirnya di SMA, tepatnya dua bulan lagi Hinata akan lulus dari sekolah ini. Karena itulah, sudah tidak ada waktu lagi untuk melarikan diri.

Hinata menyentuh loker di depannya dengan gemetar. Dia sangat ingat nama dari pemilik loker ini, oh, dia tak akan mungkin pernah lupa.

Uchiha Sasuke.

Itu adalah nama pria yang menolongnya saat Hinata pingsan pada waktu upacara murid baru. Pria yang mampu membuat jantungnya bergetar hebat walaupun Hinata hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Pria yang dingin namun sanggup membuat wajahnya terasa panas kala mereka saling berpapasan di koridor sekolah—Hinata ingat bagaimana pandangan pria itu maju ke depan, tak menyadari kehadiran gadis itu di sampingnya, namun toh Hinata tetap memandangnya dengan tatapan malu nan rindu.

Hari ini adalah Valentine's Day. Ini adalah kesempatan terakhir Hinata untuk menyampaikan perasaannya pada Uchiha Sasuke—dengan berbekal cokelat buatan tangan dan sebuah surat dengan lima kalimat yang telah berulang-ulang kali dia pikirkan hingga kepalanya sakit serta tak lupa namanya sendiri.

Setidaknya, walaupun Uchiha Sasuke tidak pernah menyadari kehadirannya, setidaknya dia tahu ada seseorang di luar sana yang bernama Hyuuga Hinata pernah memberikannya cokelat Valentine dengan sebuah surat cinta terselip di dalamnya.

Asalkan pria itu tahu namanya, Hinata sudah puas.

.

.

.

.

.

.

.

Rencananya adalah, datang sebelum matahari terbit dan meletakkan cokelatnya di loker Uchiha Sasuke lalu bersembunyi di kelas sampai bel berbunyi. Jika keberaniannya masih tersisa, maka Hinata akan melongokkan kepalanya sedikit dan menatap Uchiha Sasuke yang berada di seberang kelas sambil bertanya-tanya apakah cokelat buatannya sudah diterima atau belum.

Namun rencana tinggal rencana. Karena saking gugupnya, semalam Hinata tidak bisa tidur sampai jam tiga malam, saat dia bangun, matahari telah bersinar malu-malu. Hinata memekik pelan, mengutuk dirinya yang lupa menyetel alarm.

Dia pun langsung bersiap-siap dan berlari ke sekolah tanpa sarapan, empat kali tersandung batu kerikil, lututnya cedera namun dia tak peduli. Sesampainya di sekolah, Hinata bernafas lega karena sekolah masih terlihat sepi. Langsung saja ia berjalan ke arah loker tujuannya.

Dengan keberaniannya yang datang entah darimana, Hinata membuka loker itu dan—

Braaaakkkkk!

Puluhan cokelat dengan bentuk beraneka ragam dan warna yang mencolok jatuh dari loker itu. Hinata panik. Dia pun langsung menutup keras tutup loker itu, namun sayangnya tangan kanannya malah terjepit di loker itu.

Hinata memekik pelan seraya mengusap tangannya. Dia melihat ke bawah dan berlutut, berusaha mengambil semua cokelat yang berjatuhan di lantai.

Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, otaknya kacau dipenuhi dengan pertanyaan 'Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini?' yang tak terputus.

Seharusnya Hinata sadar, jika bukan hanya dia yang menaruh perasaan pada Uchiha Sasuke. Bagaimana pun juga laki-laki itu sangat popular di sekolahnya.

Nyut.

Ditengah rasa pusingnya, dada Hinata terasa nyeri layaknya tertusuk duri. Hinata menggigit bibirnya berusaha kuat—entah mengapa semua hal yang dia lakukan selalu gagal.

"Mungkin Hanabi benar, a-a-aku me-memang lemah dan ta-tak bergu-guna." Mata Hinata mulai terasa panas. Dia merasa bodoh, hanya karena hal seperti ini saja, dia malah menangis di—

"Apa yang kaulakukan di depan lokerku?"

Hinata mendongak. Mata melebar kala melihat siluet di depannya.

Rambut raven dan mata Onyx itu.

Mulut Hinata terbuka namun suaranya tak keluar.

Pria di depannya menautkan alisnya, "Kau menghalangi jalanku."

"Uc-Uchiha Sa-sasuke?" kata Hinata dengan nada tanya yang tak terelakkan. Tuhan, mengapa di saat seperti ini pria ini harus datang?

"Hn."

Hinata lantas menunduk, memandang cokelat yang bertebaran di lantai, "Et-etto, ano …"

"Kau menghalangi jalanku."

Muka Hinata memerah. Ini kesempatannya! Orang yang dinantikannya kini ada di hadapannya! Yang harus dia lakukan hanyalah menyerahkan cokelatnya. Ayolah, Hinata! Sekarang atau tidak selamanya!

"A-aku… a-a-a…" Hinata menatap Sasuke. Kepalanya pusing lagi dan rasanya darahnya bukan hanya mengalir ke pipinya namun juga ke telinganya. "Aku… ingin… me-me-me-me—"

Bruk!

Tiba-tiba semuanya terlihat gelap.

.

.


.

mmmoooonnn

.


.

.

March

.

.

Pathetic.

Kata itu selalu menghantui hidup Hinata.

Hari ini adalah hari kelulusannya—hari dimana ia akan meninggalkan sekolahnya, kelasnya, dan juga bangkunya di sebelah jendela tempat ia selalu memandang Uchiha Sasuke yang tengah men-dribbel bola basket di lapangan jauh di depannya.

Toga kelulusannya terasa berat. Kenapa waktu bisa berjalan begitu cepat, sementara Hinata merasa hidupnya tak sedikit pun ada yang berubah? Seolah-olah hanya dia saja yang tak pernah melangkah maju ke depan.

Hinata menyeka pipinya. Gadis itu lantas membuka jendela di depannya dan menatap ke depan.

Dia tersenyum pelan seraya memandang Uchiha Sasuke dari kejauhan. Jantungnya berdetak layaknya lantunan musik.

Hinata merasa dunia tak adil—bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang selama tiga tahun tanpa pernah bertegur sapa dengannya? Bagaimana mungkin hanya dengan melihatnya Hinata bisa tersenyum sekaligus menangis?

Hinata tidak tahu apapun tentangnya, begitu juga dia. Lalu perasaan ini namanya apa?

Hinata membuka tasnya dan mengeluarkan sekotak cokelat dan sebuah surat yang tak pernah terbuka. Pada akhirnya dia gagal menyerahkannya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Pada akhirnya, Uchiha Sasuke tidak pernah mengetahui seorang gadis bernama Hinata Hyuuga.

.

.


.

mmmoooonnn

.


.

.

April

.

.

Tahun ajaran baru pun datang.

Hinata memilih untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang perguruan tinggi. Gadis itu memilih untuk menyewa apartemen dekat kampusnya dan bekerja paruh waktu di sebuah toko buku kecil agar bisa lebih mandiri.

Sejauh ini kehidupannya serasa berjalan lambat namun tenang. Hinata menyukai rutinitasnya saat ini—bangun pagi, menyiram bunga di balkon apartemen, sarapan, dan bergegas ke kampus, terkadang harus terjatuh di tengah jalan, namun Hinata telah terbiasa. Kehidupannya di kampus pun rasanya lebih baik dibandingkan di masa SMA-nya.

Hinata berteman dengan Haruno Sakura—gadis yang tinggal di apartemen sebelahnya. Sakura mengambil Kedokteran sementara Hinata mengambil Keperawatan. Letak kampus yang disatukan dengan kantin membuat mereka berdua selalu makan siang bersama. Sakura sangat berbeda dengan Hinata—gadis itu supel, kuat, dan suaranya juga sangat keras berbeda dengan Hinata yang masih tersendat-sendat jika berbicara.

Terkadang mereka akan makan di taman kampus yang dikelilingi Pohon Sakura.

"Kau masih ada kuliah, Hinata-chan?" tanya Sakura sambil menyesap minumannya.

Hinata menoleh, "Ah, ti-tidak. Tapi hari ini aku ada kerja paruh waktu."

"Yah, padahal aku mau mengajakmu karaoke-an, sekalian mau kukenalkan dengan temanku, Ino."

"Maaf, Sakura-chan," jawab Hinata lesu sambil menunduk.

Sakura melambaikan tangannya pelan, "Gak apa kok. Kau ini terlalu serius Hinata-chan." Sakura mendesah. "Hah, aku jadi malas pergi berdua saja nanti. Aku ajak siapa lagi ya?"

"Bagaimana kalau Namikaze-san?" saran Hinata.

Namikaze Naruto, Detektif kepolisian yang masih hijau—yang Hinata tahu, pria itu baru enam bulan bekerja sebagai Detektif. Namikaze Naruto adalah pria yang tergila-gila dengan Sakura. Pria itu selalu muncul di kampus minimal sekali dalam seminggu sambil berteriak-teriak memanggil Sakura dengan wajah berseri-seri. Terlihat jelas jika Naruto benar-benar menyukai Sakura.

Muka Sakura saat mendengar nama Namikaze langsung berubah kecut, "Lebih baik aku makan beling aja deh."

Tentu saja semua ajakan kencan Naruto selalu ditolak Sakura. Mereka berdua memang sama-sama keras kepala.

.

.

.

.

.

.

Hinata suka sekali tempat kerjanya. Walaupun kecil, toko buku itu sangat bersih dan rapi, selain itu bangunannya bergaya Jepang kuno—wangi kayunya masih dapat tercium jelas dan hitamnya warna kayu membuat toko itu terasa seperti rumah.

Rumah Hinata dapat dikatakan bergaya Jepang Kuno dan sangat besar. Bangunan itu kokoh dan langkahnya selalu diiringi oleh goresan kayu atau lembutnya tatami.

Selain itu, pemilik toko ini juga sangat murah hati—namanya Umino Iruka.

Orang yang murah senyum, itulah pendapat Hinata. Hinata selalu kaku jika berhadapan dengan pria, namun aura Umino-san benar-benar bisa membuat Hinata tenang dan rasa gugupnya menghilang.

Selain Umino-san, ada Haku-san—pria cantik yang selalu membantu Hinata jika dia melakukan kesalahan. Singkatnya tidak ada yang lebih sempurna dari tempat kerjanya—bangunan yang mengingatkan tentang rumah, bos yang murah senyum, dan teman sekerja yang siap membantunya benar-benar membuat Hinata kerasan.

.

.


.

mmmoooonnn

.


.

.

May

.

.

Hinata tengah memandang langit hitam di atas sana. Tak terasa musim panas akan datang.

Hinata mendesah, tak sadar pikirannya melayang pada laki-laki berambut raven. Dia menutup matanya berusaha menyelami perasaannya. Yang gadis itu tahu, Uchiha Sasuke mengambil Fakultas Ekonomi di Universitas yang sama dengannya.

Minggu-minggu pertama Hinata kuliah, perasaannya tak menentu—takut dan senang menjadi satu kala memikirkan ia dan Uchiha Sasuke yang tak sengaja bertemu. Namun kesempatan itu tak pernah datang dan lama-lama harapan Hinata pun menipis. Gadis itu tak memiliki keberanian untuk mencari pemuda itu.

Hinata memegang kotak cokelat itu dan memandangnya dengan pekat. Kotak itu sudah using dan suratnya telah lecek saking seringnya ia buka. Hinata membuka kotak itu dan melihat cokelat di dalamnya.

"Menyedihkan … Ji-jika saja aku bisa memberikannya, a-aku pasti tidak akan merasa menyesal seperti ini."

.

.

.

.

.

.

"Hinata, tolong gantikan aku sebentar di depan kasir. Bisa kan?" tanya Umino-san.

Hinata menoleh dan berjalan pelan ke arah kasir. "Hai."

Pekerjaan sebagai kasir tidak terlalu menyenangkan untuk Hinata. Karena harus bertatap muka dengan pelanggan, terkadang ada saja yang menggodanya karena mukanya yang gampang memerah dan perkataannya yang selalu tersendat-sendat.

Apalagi jika pembelinya adalah langganan toko ini yang bernama Hidan. Pria itu selalu membeli majalah dewasa dan perkataannya selalu dipenuhi sumpah serapah dan sangat vulgar, apalagi Hidan sangat suka menggoda Hinata. Jika pria itu yang datang, Hinata serasa ingin menangis di tempat.

"Hn."

Hinata mendongak dan melihat Uchiha Sasuke di depannya sambil meletakkan sebuah kamus tebal yang berbunyi bedebam pelan. Mata Hinata mulai melebar dan mulutnya terbuka layaknya ikan mas koki.

Pria di depannya lantas bergumam pelan dan menyadarkan Hinata. Langsung saja Hinata mengambil kamus di depannya dan mengetik sesuatu di mesin kasir, namun karena pikirannya sibuk pada orang di depannya, jarinya hanya bisa menekan tombol enter saja.

Mesin kasir itu lantas berbunyi ting ting ting berulang-ulang kali. Hinata jadi semakin panik, otaknya jadi susah digunakan.

"Ba-bagaimana ini?" tanya Hinata panik.

Tiba-tiba ada tangan terjulur ke depannya dan mematikan bunyi ting mesin kasir itu. "Kau harus memasukkan kode bukunya terlebih dahulu," kata Uchiha Sasuke dengan nada datar.

Hinata mendongak dan menyadari jika mereka belum pernah sedekat ini. Mukanya semakin memerah namun pandangannya tak teralihkan. "Ma-maaf."

Hinata dengan cepat langsung menyelesaikan tugasnya dan membungkus kamus itu tanpa ada kesalahan lagi.

"Te-terima kasih. To-tolong datang lagi…" ucapnya sambil membungkuk pelan dengan jantung yang terasa hampir naik ke tenggorokannya.

Jeda sejenak.

Bola mata Onyx itu tertuju lurus ke arah Hinata yang tengah menunduk. "Kau Hyuuga Hinata bukan?"

Punggung Hinata langsung tegak, "EH?"

"Gadis yang pingsan di depan lokerku?" tanya Uchiha Sasuke.

Muka Hinata tak bisa lebih memerah daripada ini. Sungguh.

"I-iya…," jawabnya lemah.


.

.

To Be Continued

.

.


Author Note:

Bikin multichap lagi deh. Tapi mudah-mudahan aku bisa bangkit dari hiatus-ku deh. Dan di sini aku buat di Naruto lebih tua dari pada Hinata dkk. Ehehehe.

Review plis! Kalau gak ada review aku jadi tambah males nulis neh.