Jeon Wonwoo (SVT) | Song Jia (OC)

Seventeen's members

AU | School Life | Hurt-Comfort | Drama | [T]


Notes

All Seventeen' members are in the same age and separated in three units/teams per class.


Disclaimer

17 belongs to Pledis Entertainment. And there will be some added cast(s).


There will be nothing seem as usual when we fall into someone and make a decision about to love them right away.

And, the usual things are gonna be different when we already realize how it feels sooner or later.


.

1stㅡ'The First Sight'

.


Pagi di hari yang memasuki bulan Maret bertemakan musim semi kali ini akan menjadi musim sebagai teman pembuka bagi Jeon Wonwoo, lelaki berbalut seragam SMA yang sedang berdiri di bawah pohon sakura dengan bunga berwarna soft pink, di halaman depan rumahnya. Wonwoo senang dengan suasana yang damai ini, merasakan udara pagi di awal harinya resmi menjadi seorang murid tahun ketiga. Dengan mata terpejam dia membayangkan akan seperti apa rasanya duduk di bangku kelas duabelas, akankah dia bertemu dengan orang baru, akankah dia terpisah dari ketiga sahabat setianya, akankah nilai-nilai sekolahnya baik-baik saja, dan, akankah pada akhirnya dia menemukan satu di antara sosok banyak gadis―yang seringkali dibahas oleh salah seorang sahabat bernama Kim Mingyu―menyinggahi dan memenangkan hatinya? Akankah semua itu terjadi? Wonwoo belum tahu pasti, dia sendiri mengaku kalau dirinya belum pernah sekalipun merasakan jatuh cinta atau sampai menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis. Di luar dari semua itu, bagaimana dia bisa mengenal atau menjalin hubungan? Kalau dia sendiri saja sangat dingin kepada teman-teman siswi di kelasnya, pasti selalu seperti itu.

Namun, berbekal ilmu pengetahuan yang luas, kecerdasan otak, plus wajah yang tampan menjadi keuntungan tersendiri bagi Jeon Wonwoo. Dengan wajah yang seperti itu, dirinya sudah menarik hati gadis manapun yang pernah menjadi teman sekelasnya, dari mulai kelas sepuluh, sebelas, bahkan tak jarang pula yang menjodoh-jodohkan dia dengan siswi yang juga terkenal di kelas-kelas terdahulu. Tapi bukan itu yang Wonwoo inginkan. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya akan mengencani satu di antara gadis-gadis yang mengejarnya. Mereka hanya mencari popularitas, begitulah kesimpulan yang iabuat. Penuh perhitungan.

Kembali ke pembahasan sebelumnya, di mana Jeon Wonwoo yang tadinya berdiri dengan mata terpejam, kini tak lagi berada di bawah pohon itu. Sudah sejak beberapa detik lalu dia melangkahkan kakinya ke arah garasi, di mana motornya terparkir. Tepat di sebelah mobil sang ayah, putra satu-satunya keluarga Jeon itu dengan cekatan membebaskan motor kesayangannya dari sana, menggiringnya ke halaman depan lalu memanaskan kendaraan beroda dua itu. Terlihat sebuah senyum tipis pada wajah pucatnya, seraya menunggu urusan dengan motornya selesai, dia melihat ke arloji di tangan kiri yang sudah berbunyi. Sudah hampir setengah tujuh.

Kembalinya dia dari halaman depan dan menyegerakan masuk ke ruang keluarga, Jeon Wonwoo hanya menemukan secarik kertas ditinggalkan di atas nakas kecil di pojokan. Diangkatnya kertas itu dan membaca isinya. Tertulis di sana, kalau sang ibu tidak sempat menyiapkan makan malam lantaran harus pergi mengunjungi rumah temannya. Dengan sebelah alis yang dinaikkan, lelaki muda itu menghela napas setelah selesai dengan surat kecil dari sang ibu. Otaknya menggemakan kalimat 'aku baik-baik saja' selama berulang kali hingga si pemilik kepala itu merasa bosan.

Oh, tunggu dulu. Dari segenap pertanyaan yang sudah dipikirkan sejak berdiri di bawah pohon beberapa menit lalu, tampaknya Wonwoo merasa ada yang kurang. Karena dia belum sama sekali menanyakan; apakah kehidupanku akan membosankan? Itulah yang akan dia tanyakan di setiap hari bila ia memang harus dilanda perasaan semacam itu.

Abaikan perasaan itu untuk sementara. Wonwoo menghela napasnya dalam-dalam hingga ia siap untuk berangkat ke sekolah. Sebelum waktunya bersantai di kelas baru tak sempat ia nikmati, lelaki Jeon itu memutuskan untuk segera berangkat.

Secepatnya.

.

.

Setelah selesai mengunci stang motor, ini adalah saatnya dia mencari kelas baru yang akan menjadi teman keduanya hingga ia lulus nanti. Wonwoo biasanya berangkat bersama Kim Mingyu, tapi untuk pagi ini sih tidak. Dikendalai oleh rasa malas Kim Mingyu, maka sejak semalam lelaki bertaring ganda itu sudah memberitahunya; bahwa dia akan berangkat ke sekolah sendiri. Dan Wonwoo dengan biasa hanya mengiyakan lantaran tak mau berlama-lama atau bahkan menyuguhkan banyak pertanyaan. Toh, dia merasa lelah sekali setelah semalaman menyiapkan segala perlengkapan sebelum paginya akan ke sekolah.

Hingga tiba di daun pintu kelas 12-A, Wonwoo membaca sederet nama, tertempel di sisi pintu. Yang ternyata ketika melihatnya, membuat hati si lelaki dilanda rasa lega―lantaran ketiga sahabatnya juga berada di kelas yang sama.

"Oy!"

Berbalik badan―masih dengan senyuman lega di wajahnya―senyum lebar Wonwoo seketika luntur saat melihat siapa yang sudah menepuk pundaknya. "Eh, Jun? Apa yang kaulakukan di sini?"

"Aish, aku tahu kok, aku memang bukan warga kelas ini," jawab lelaki bernama Jun yang sudah mengagetkan Wonwoo dari lamunan rasa bahagianya. "Aku berada di kelas 12-D, masih bersama si sipit Kwon Soonyoung, Xu Minghao, dan―"

"Lee Chan 'kan? Anak itu."

Jun tertawa ketika Wonwoo dapat menebak dengan sangat cepat. Bahkan dia sudah hapal betul bagaimana sifat Wonwoo jika masih pagi di sekolah; akan banyak berdiam dari pada bercandanya. Tipikal murid teladan.

"Baiklah Won. Aku ke kelas dulu. Sampaikan salam pada tiga orang lainnya ya!". Lalu setelah Jun melambaikan tangan, Wonwoo mengangguk sebagai respon kilat.

Di akhir perjumpaan pertamanya dengan Jun selang beberapa menit lalu, membuat dia merasakan ada satu beban lagi di dadanya. Beban itu hadir dan menjadi pekat setelah hanya berupa bayangan kelabu. Tentang; bagaimana jika dia tak bisa menghabiskan waktu bersama teman-temannya sesering dulu? Bertemu dengan Jun pagi ini membuatnya sadar kalau sebentar lagi ujian-ujian akan segera mendatangi mereka―para murid kelas duabelas―dan takkan bisa dihindari walau sekalipun. Pemikiran semacam itulah yang akhirnya memaksa Wonwoo agar bisa mengendalikan diri dalam kesehariannya, baik itu di sekolah ataupun di rumah, atau bahkan di tempat-tempat yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Seperti mengunjungi perpustakaan kota, bermain sekaligus mengerjakan tugas bersama entah itu di rumah Seungcheol, Mingyu atau di rumah Hansol. Semuanya takkan terasa seperti ketika mereka masih duduk di bangku kelas sepuluh dan sebelas, semuanya akan terasa berbeda dari hari-hari biasa.

Wonwoo menghela napas sepanjang-panjangnya.

Tak lama usai menghela napas dengan mata terpejam, suara seseorang habis terjatuh kali ini ditangkap dengan baik oleh telinganya. Bersiap menoleh, Wonwoo lagi-lagi terdiam. Bukan, yang kali ini membuyarkan lamunannya bukanlah orang yang sama. Bukan Wen Junhui yang tadi menyapa dan sedikit mengobrol dengannya, bukan Choi Seungcheol, bukan Kim Mingyu, bukan pula Choi Hansol; keempat temannya.

Ingin rasanya dia menyapa siswi yang terjatuh di depan pintu kelas sebelah itu, ingin rasanya dia menolongnya, ingin rasanya―ah, namun dia terlalu diam untuk melakukannya. Terlalu enggan untuk bergerak ke sana.

Padahal, gadis itu butuh bantuan seseorang lantaran semua tumpukan bukunya ikut terjatuh berantakan di lantai depan pintu, ditambah lagi, deritanya pagi ini lengkap dengan tak ada satu orang pun menghampiri. Padahal di kelas sebelah itu ramai akan calon murid kelas 12-B. Tapi mereka justru berbuat hal yang sama dengan Jeon Wonwoo; hanya terdiam dan sibuk melihat daftar nama yang tertempel di sisi pintu.

Hingga akhirnya pandangan Jeon Wonwoo harus teralihkan akibat seseorang berdiri menutupi gadis yang terjatuh itu, memenuhi sisa ruang di sekitaran depan pintu kelas sampai semuanya kebagian untuk melihat nama mereka.

Lupakan saja. Ucap Wonwoo membatin.

"Jeon Wonwoo," sahut seseorang lagi. Yang kali ini adalah teman sekelas sekaligus sahabat terdekatnya, si pria tinggi bertaring ganda dengan kulit yang agak gelap. Tangan kirinya disampirkan di sepanjang pundak Wonwoo sambil menggiring lelaki Jeon itu masuk kelas.

Tak dapat berpendapat ataupun menanggapi sapaan pertama Mingyu di hari pertama mereka sebagai murid tahun ketiga, tatap Wonwoo hanya sebatas tatapan datar dan tak ada maksud untuk balas menyapa temannya itu.

Rasanya agak canggung.

Barangkali dia lupa bagaimana caranya menyapa seseorang―ah, tapi tidak juga. Toh tadi dia bisa menyapa Jun, 'kan? Bahkan bisa mengobrol meski hanya sejenak.

"Kau kenapa? Belum sarapan? Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke kantin?"

Mingyu menawarkan sesuatu dengan baik sesuai gayanya yang biasa; acuh asal acuh. Kendati begitu, Wonwoo senang ketika sang teman tetap menjadi orang yang sama, gaya khas Mingyu yang berantakan dan terkadang menyebalkan, tidak akan bisa tergantikan oleh siapapun. Selagi mereka masih menjadi sosok yang sama seperti dari awal berteman, maka mereka akan tetap baik-baik saja.

"Oy, kenapa diam sih? Ayo ke kantin." Mingyu mengajaknya sekali lagi. Tas langsung diletakkan ke atas meja, ritsleting dibuka dan beberapa buku dikeluarkan. Perkataan Mingyu yang barusan mebuyarkan bayangan Wonwoo tentang kebiasaan sehari-harinya―bersama ketiga teman terdekatnya untuk dikemudian hari. Seperti tadi sebelum Mingyu datang menggiringnya ke dalam kelas, saat Wonwoo berspekulasi tentang kehidupan kesehariannya yang tak lama lagi akan berlangsung sebagai rutinitas yang berbeda dari biasanya. Semua itu seakan pecah dan berubah menjadi kepingan kenangan tak tergantikan. Alih-alih mengiyakan ajakan Mingyu atau menolak, Wonwoo lebih menyukai kesunyian kelas dengan rutinitas biasa mereka; duduk di sudut meja dan menghabiskan waktu pagi hingga pelajaran pertama dimulai.

"Aku bukannya lapar, Gyu. Hanya tak bisa berpikir saja."

"Omong kosong, kau 'kan murid cerdas kesayangan para guru, teladan pula. Masa di hari pertama menjadi senior kelas duabelas sudah menyerah?"

Wonwoo menelaah setiap perkataan Mingyu, yang kini sedang tertawa renyah akibat kalimat Wonwoo yang melantur. Memang benar apa yang dikatakannya bahwa Jeon Wonwoo, si murid teladan yang sangat disukai semua guru. Bukti bahwa Jeon Wonwoo adalah murid teladan, dapat dilihat dari segi; ketepatannya tiba datang ke sekolah, skill dalam bermain basket pada pelajaran olahraga, serta kecerdasan otaknya yang sudah pernah membawanya sampai ke olimpiade matematika saat dia duduk di kelas sepuluh. Agaknya mengejutkan bila Wonwoo bisa semudah itu berkata 'tidak bisa berpikir'. Lantas, apa yang sudah dia lakukan selama ini? Hingga hampir meraup segala pujian yang sampai tak ada habisnya dia terima. Bahkan hingga detik ini. Tidak bisa berpikir katanya? Oh, yang benar saja!

Saat memikirkan hal-hal yang mereka lalui di masa lampau, Mingyu juga tidak lupa, ketika dia menduduki jabatan sebagai wakil ketua Osis saat duduk di kelas sebelas―yang hanya sementara―bahkan mampu menggoyahkan imannya. Lantaran bukan dia yang menginginkan dirinya menjadi wakil, tetapi Wonwoo lah yang mengajukan permintaannya. Katanya 'sih, agar Kim Mingyu bisa belajar menjadi pemimpin untuk ke depannya. Lelaki bertaring ganda itu menyeringai ketika ingat kalau Jeon Wonwoo pernah menjadi ketua Osis dengan dia sebagai wakil. Oh, betapa Mingyu tak akan pernah lupa akan momen ketika mereka menjabat bersama.

Dia lalu melempar senyum yang dibalas sebuah senyum lebar oleh Wonwoo. Hingga lelaki Jeon itu menyadari sikap sang teman yang aneh untuk beberapa saat, "Mingyu-ya, kenapa kau tersenyum sendiri? Mencurigakan."

"Ah tidak. Aku hanya ingat waktu kau dengan tega meminta Pembina Osis untuk mengikutsertakan aku sebagai wakilmu. Dasar tak berperasaan."

"Oh yang itu. Kau juga pernah jadi kapten tim Basket 'kan?" ucap Wonwoo, lekas terbahak ketika temannya mengulas ulang momen menjabat berdua. "Tentu saja harus tega. Teman sepertimu, sayang sekali kalau kau menjadi idaman para siswi di sekolah hanya karena wajahmu. Kau harus berprestasi juga, Gyu."

Kelanjutan yang Wonwoo lempar kepada Mingyu berakhir dengan sebuah decak keras dari temannya, tentu saja Wonwoo tega bila alasannya seperti itu. Rupa-rupanya, Mingyu pernah menjadi lelaki populer lantaran wajah―ekhm―tampannya. Juga karena dia adalah kapten tim basket selama duduk di kelas sebelas.

Mingyu ikut terbahak, tangan kiri memegangi perutnya ketika Wonwoo menyerangnya hingga skakmat dan tak bisa membantah lagi. Di saat seperti ini lah, di mana mereka dapat dengan santai kembali mencairkan suasana yang hampir saja dipenuhi rasa kaku dan canggung akut. Hingga akhirnya, kedua lelaki yang tengah bersendagurau itu menyadari, bahwa ada ramai orang yang satu persatu memenuhi ruang kelas. Tak terkecuali dengan dua sahabat mereka yang sudah ditunggu-tunggu; Choi Seungcheol dan Choi Hansol. Mereka melempar tatap penuh gembira ketika mendapati dua teman lainnya sudah berada di dalam kelas lebih dulu.

Hansol menyegerakan untuk menyapa dua sahabatnya yang sudah menunggu. Tas yang tadi disandang kini telah diletakkan ke atas meja yang ia pilih, tepat di sebelah kiri Mingyu―yang kebetulan belum ada pemiliknya.

"Bagus sekali, aku suka ini," sahut Hansol, sesaat setelah merapikan meja belajar yang mulai detik ini sah menjadi meja setianya hingga lulus nanti. "Man, kami terjebak macet."

"Kenapa tidak terlambat sekalian, huh?" tanya Mingyu tak acuh, sebuah seringaian tipis tergambar di wajahnya. Lumrah rasanya mengetahui tanggapan asal yang seringkali diucapkan olehnya, toh, memang seperti itu perangai seorang Kim Mingyu. Ucapannya bisa saja terdengar ketus, sembarangan dan menyebalkan, tapi apapun itu semuanya hanya sebatas kata-kata yang tak mengandung arti khusus di baliknya.

"Tadinya sih hampir terlambat, tapi berterimakasihlah pada jalanan yang mendadak lancar kembali."

"Jadi, kalian berangkat bersama?" Kali ini Wonwoo yang mendapat giliran bertanya, mendengar cerita Hansol tentang mereka yang terjebak macet berdua, mengingatkan Wonwoo kalau semalam Mingyu menolak ajakannya untuk berangkat bersama.

Pertanyaan itu mendapat respon sebuah tawa sesaat dari Hansol, lelaki itu kemudian duduk di atas mejanya dan menjawab, "tentu saja. Bukankah kalian juga sering melakukannya? Kita berempat juga sering berangkat bersama 'kan?"

"Aku―Mingyu, kami tidak."

"Eh, kenapa?"

"Dia yang menolak ajakanku," tandas Wonwoo dengan jari telunjuk yang ditudingkan ke arah si pria bertaring.

"Aigoo, sejak kapan kau suka curhat, Won?" tanya Mingyu, ikut-ikutan menimbrung obrolan kecil antara Wonwoo dan Hansol. Namun, di tengah-tengah perbincangam singkat ketiga lelaki itu, Seungcheol menyusul mereka dengan kalimat pembuka, "apa kabar?"

Dan seketika itu pula Mingyu menoleh ke arah lelaki itu, sorot matanya tertuju dari bawah hingga atas seorang Choi Seungcheol. Mingyu tahu dengan sekali lihat saja, temannya itu sedang merasa gembira. Namun, tak tahu apa penyebab di balik kegembiraan itu. "Yang satu ini, malah menanyakan kabar," ledeknya, yang segera dibalas dengan sebuah tendangan kasar Wonwoo pada betisnya, "masih baik dia bertanya soal kabarmu, Gyu. Dari pada tidak sama sekali."

"Ya, ya, dasar murid teladan. Terserah kau mau bilang apa. Yang jelas, sekarang kita harus duduk di kursi masing-masing, dua menit lagi wali kelas akan datang."

Seolah tak menyangka kalimat yang dilontarkan Mingyu murni berasal dari mulutnya, ketiga teman yang kini kembali ke kursi mereka meledak dalam tawa lantaran terkejut mendengar teman yang paling beringas―di antara mereka berempat―dapat mengatakan hal demikian. Mengejutkan.

Sesuai dugaan, Guru Park―yang sudah pernah menjadi wali kelas keempat sekawanan itu―masuk ke ruang kelas, namun tak sendirian. Beberapa buku yang dibawa dalam dekapannya langsung diletakkan ke atas meja yang ada di depan, sebelah tangan merogoh spidol lengkap bersama sebotol tinta yang kemudian ikut diletakkan di sebelah buku-buku tadi.

Kembali diingatkan, bahwa sang guru masuk ke kelas 12-A tidak sendirian, bahwa sang guru membawa serta seorang siswi yang kalau tidak salah―

Bukankah itu, gadis yang tadi pagi? Wonwoo terus menggumam di tempat duduknya, lalu imajinasi yang terselip kian meluas saat dia menyadari kalau gadis itu seharusnya berada di kelas sebelah, 12-B. "Kenapa dia ada di sini?"

Lantas, menangkap ucapan yang lepas begitu saja dari mulut si lelaki Jeon, Mingyu menoleh ke belakang dan bertanya, "kau mengenalnya, Won?"

Wonwoo tak lekas menjawab pertanyaan dari teman yang duduk di depannya, alih-alih menyegerakan menjawab antara 'iya' dan 'tidak', Wonwoo malah tak tertarik untuk sekadar mengangguk sebagai pengganti jawaban lisan, ia hanya dapat terdiam dengan kedua netra yang terpaku pada wajah gadis di depan sana. Pada wajah gadis yang sesungguhnya belum sempat dia lihat ketika sang gadis terjatuh. Oh, agaknya Wonwoo merasa sedikit menyesal tidak menolongnya, merasa tidak enak lantaran terlalu enggan untuk menyapanya, merasa tak enak hati untuk bertatap muka―akibat rasa kepedulian ternyata dikalahkan dengan rasa enggan yang terlalu besar. Wonwoo menyesalinya, kendati sedikit.

"Baiklah, muridku sekalian." suara Guru Park menggema, beliau hendak memulai kalimatnya sembari mengetuk meja dengan spidol agar atensi para siswa terfokus hanya untuknya di depan kelas. Pria paruh baya itu tersenyum dan mempersilakan gadis itu untuk berkenalan lebih dulu. Dengan beberapa penjelasan mendasar, "Kita kedatangan seorang teman lagi. Tadinya, dia ada di kelas duabelas-B, namun karena ada kesalahan teknis, ternyata dia adalah warga kelas ini. Sama seperti kita."

Pada saat yang bersamaan, seluruh murid merespon kalimat milik Guru Park dengan baik, menyapa dengan kata 'hai' atau dengan 'selamat bergabung dengan kami', bahkan ada pula yang dengan cengiran di wajahnya berani mengatakan; "berapa nomor telepon mu?". Lalu berujung dengan sorakan keras dari teman yang lain.

Gadis itu dengan mudahnya larut dalam candaan teman-teman barunya, memperlihatkan senyum lebarnya yang manis, memperlihatkan keceriaan yang terpampang jelas di wajahnya, memperlihatkan rona merah di kedua pipinya yang bersemburat ketika dia melihat ke seluruh penjuru kelas.

Sampai-sampai, tanpa disadari Wonwoo lupa akan wajah bengongnya yang tak terkendali, Wonwoo lupa akan kesehariannya yang berlagak tak peduli, dia melupakan hal-hal semacam itu, hingga akhirnya saat gadis itu selesai bercanda dengan para murid kelas 12-A dan segera memperkenalkan diri, Wonwoo tak kunjung mengedipkan mata.

"Selamat pagi semuanya, namaku Song Jia. Semoga kita bisa berteman dengan baik ya, senang bertemu dengan kalian!"

.

.

Usai perkenalan diri di kelas, penentuan ketua kelas beserta jajarannya, hingga ke pembagian daftar piket―yang lumayan membosankan―keempat lelaki dari kelas 12-A itu kini sedang melangkahkan kaki bersama-sama, ke tujuan yang sama pula; kantin. Ya, mereka ingin sekali memulai hari pertama bersekolah sebagai murid tahun ketiga dengan cara yang sudah tak terhitung lagi sesering apa―makan di kantin bersama. Yang mengajak pertama kali adalah Seungcheol, lelaki yang tadi dinobatkan menjadi ketua kelas―lagi―setelah masa jabatan penuh dua kali berturut-turut saat duduk di bangku kelas sebelas bersama wali kelas yang sama; Guru Park. Dan tentu saja ketiga sahabatnya tak akan menolak, toh mereka akan memulai hal semacam ini lagi 'kan di kemudian hari? Benar sekali. Sambil bercanda di sepanjang lorong menuju kantin, Mingyu yang mendapat giliran melemparkan lelucon kini tak dapat membuat Wonwoo tertawa ataupun sekadar berkata; 'tidak lucu, Gyu.'

Tidak sama sekali.

Padahal, biasanya lelaki Jeon itu akan larut dalam candaan teman-temannya kendati sedikit saja―walau tak mudah―tapi yang kali ini 'sih tidak sama sekali. Bahkan belum sempat Mingyu membuat leluconnya, lelaki Kim itu menyikut dada Wonwoo, membiarkan temannya yang pendiam itu meringis kesakitan. Kendati begitu, yang disikut tidak memberi perlawanan apapun bahkan seusai meringis, dia menahan rasa sakit itu, dia mengabaikan tindakan Mingyu yang mencoba merebut perhatiannya, yang sesungguhnya tak mudah di dapatkan. Mingyu sendiri pernah berkata, "menarik atensi Wonwoo tak semudah kau membalikkan telapak tangan."

Dan tentu saja Wonwoo pernah membalas ulasan Mingyu, "tentu saja, berani bayar berapa kau untuk mendapat perhatianku?"

Lupakan saja, Wonwoo dan Mingyu adalah dua orang yang kerap kali memperdebatkan hal-hal kecil sampai hal besar sekalipun―meski yang mulai duluan adalah Kim Mingyu. Jadi tidak heran lagi mengapa keduanya sering kali bertukar pikiran yang amat berbeda, sedangkan dua teman lainnya seperti Seungcheol dan Hansol hanya bisa berdiam selagi kedua teman mereka tak berlarut-larut sampai bertengkar segala. Mereka sadar bahwa mereka sudah dewasa.

"Kau mau makan apa? Aku ingin kimbab." Ketika sampai, Mingyu yang dengan beruntung mendapat antrean paling depan langsung menyambar piring dan hendak memesan seporsi kimbab. Tipikal lelaki beringas. Lain dengan Seungcheol, lelaki itu lebih memilih untuk menimbang-nimbang makanan apa yang akan mengisi perutnya, atau barangkali dia hanya ingin makan cemilan? Well, Seungcheol suka apa saja asal itu bisa dimakan.

"Sepertinya aku pesan semangkuk ramyeon pedas saja, itu sudah cukup."

"Kalau kau?" tanya Seungcheol pada Jeon Wonwoo, meski yang ditanya sudah pasti menjawab 'burger' sebagai makanan pilihannya ketika sedang beristirahat di kantin.

"Aku sepertinya sedang ingin..,"

Mencoba untuk menebak dengan tepat, Seungcheol akhirnya memberanikan diri untuk menginterupsi kalimat Wonwoo yang terhenti, "burger 'kan?"

"Benar."

Lantas setelah semua selesai dengan pesanan masing-masing, kini giliran kebiasaan mereka yang kesekian. Yup, bermain gunting-batu-kertas untuk menentukan siapa yang akan memesan semua pesanan dan dua orang lainnya akan menunggu di meja yang akan ditempati. Begitulah segelintir keasyikan yang mereka ciptakan sebagai bentuk kesenangan dan kebiasaan. Cara sederhana yang tak pernah ada ujungnya.

Setelah Seungcheol menang melawan Mingyu, lalu Hansol kalah melawan Wonwoo, maka mereka sudah tahu siapa yang akan duduk manis dan siapa yang akan menjadi pelayan. "Huh dasar payah!" Ledekan Mingyu yang ditujukan kepada Hansol meledak di antara ramainya orang yang mengantre. Lelaki yang satu ini memang super berisik, di tengah keramaian pun dia tidak segan-segan untuk berteriak, tertawa dengan suara paling keras, melontarkan lelucon yang tak bermutu, hingga terkadang sampai berani mengagetkan penjaga kantin.

Beruntung banyak siswi yang menyukainya. Kalau tidak…

Seungcheol tersenyum penuh kemenangan, merangkul Wonwoo dan bersiap mencari tempat duduk favorit mereka seraya berkata, "Kalau begitu, kami duduk manis dulu ya. Daah~"

Jam istirahat makan siang sudah berakhir sekitar tiga jam yang lalu. Kini saatnya mereka melakukan random talk di dalam kelas sebagai pengisi kekosongan jam yang memang disengaja, lantaran belum waktunya untuk membagi jadwal pelajaran apalagi buku baru. Memang seperti itulah sekolah, segelintir kegiatan klasik yang sudah lumrah dilakukan kebanyakan murid di kelas bila tak ada guru, sudah pasti menghabiskan sisa-sisa jam kosong untuk mengobrol, bersendagurau, bermain permainan khas anak sekolahan, mendengarkan musik lewat iPod, memainkan game lewat laptop atau melakukan beberapa kenakalan kecil lainnya.

Dari mejanya yang berlokasi tepat di dekat jendela, Wonwoo mendengus ketika kejenuhan melanda lantaran suara keributan di kelas membuatnya tak bersemangat untuk melakukan hal berguna seperti; membaca buku. Tak ada yang lebih mengasyikkan selain ketenangan. Itu prinsip yang iapegang selama dua tahun terakhir ini. Namun terlepas dari rasa jenuh itu, sudut netranya mengamati seorang gadis yang duduk di sebelah kirinya, sedang asyik membaca sesuatu―yang tampaknya adalah sebuah novel. Menyadari kalau buku yang tengah dibaca oleh gadis itu adalah novel yang iaketahui, spontan si lelaki memberanikan diri untuk mengajaknya bicara, "kau suka, The Moonstone?"

"Ya?"

Tepat beberapa sekon sehabis gadis itu menoleh, pandangan Wonwoo seakan tak bisa terlepas dari wajahnya, seolah-olah wajah gadis itu lah yang kini menjadi objek hidup di matanya, hingga membuat dia lupa tentang keriuhan seisi kelas, lupa akan keributan yang tak lekas ada ujungnya. Semua bentuk kenakalan itu tak lagi membuatnya dapat berpaling ke lain arah.

Kecuali, ke wajah Song Jia.

"Maaf, siapa namamu? Aku 'kan baru saja pindah dari kelas sebelah, jadi belum begitu hapal meski tadi sudah―"

"Jeon Wonwoo."

"―Oh, Jeon Wonwoo ya. Salam kenal kembali, aku Song Jia."

"Hm."

"Ah, omong-omong tadi kau menanyakan soal ini, 'kan?" Jia bertanya seraya telunjuk kanan yang mengarah tepat pada sebuah novel yang ia genggam. "Aku menyukainya, apa kau juga suka?"

"Hm."

"Ohh, begitu. Apa yang kau suka dari cerita ini?"

"Entah."

"Lalu, mengapa bisa suka?"

"Entahlah."

"Eh?"

"'Eh'?"

Bodoh, ada apa denganmu Jeon Wonwoo?

"Kau kenapa Wonwoo-ya?"

"Tidak ada."

"Kalau begitu―uhm, baiklah." Dan Jia pun kembali berkutat dengan novel yang dibacanya. Abaikan Wonwoo yang sedang terbengong dengan wajah bodoh itu, memikirkan apa yang sudah dia buat selama beberapa sekon yang lalu, mengajak gadis itu mengobrol tapi sendirinya hanya menjawab pertanyaan dengan singkat. Sudah jelas bukan? Bahwa Jeon Wonwoo memang belum dapat mengenal siswi dengan baik.

Sigh. Wonwoo menghela napas dengan mata terpejam. Pikirannya seolah melayang entah ke mana lantaran ini adalah yang kesekian dia memiliki percakapan yang sangat singkat dengan seorang siswi. Ia jadi ingat ketika dulu pun pernah berbuat demikian; dia yang memulai obrolan namun sendirinya mempersingkat jawaban.

"Won, pulang nanti, kau ke mana? Apa langsung pulang?" Pertanyaan Mingyu menepis hal-hal yang tengah dipikirkannya selama beberapa sekon seusai obrolan tak jelas bersama Jia. Wonwoo kembali menghela napas dalam-dalam, kemudian matanya dibuka lebar spontan bersama jawaban, "hm."

"Mau bermain video game tidak? Sudah lama sekali semenjak kelas sebelas berakhir," ucap Hansol dari tempat duduknya, "rumahku lagi sepi. Ibu dan ayahku sedang pergi ke luar kota. Jadi kalian bisa menginap juga 'kan?"

Mingyu menjentikkan jari tanda setuju, "ide bagus! Aku ikut."

"Aku tidak."

Hansol dan Mingyu spontan menoleh, "Eh, kenapa?"

"Sedang tidak mood saja."

Bohong.

"Jeon Wonwoo," panggil Mingyu cepat.

"Hm?"

"Mau sedang mood atau tidak pun, kau selalu sama, man."

Alih-alih mengiyakan atau mengelak, Wonwoo mengedikkan bahu yang disusul dengan tawa renyah darinya. Kendati di dalam otak bukan tentang mood atau tidaknya. Tapi tentang konversasi singkat masalah novel beberapa menit lalu.

Hingga obrolan mereka harus berhenti ketika bel pulang berbunyi.

Wonwoo bangkit dari kursinya, memasukkan segala macam buku ke dalam tas dan bersiap untuk kembali pulang, "hari ini ibuku juga pergi ke rumah temannya, jadi aku akan tinggal bersama ayahku."

Hansol mengernyitkan dahi, "lalu? Apa yang akan kaulakukan di rumah?"

"Tentu saja membuatkan makan malam, jadi mungkin lain kali saja, oke?"

Hansol lekas mengiyakan dibarengi dengan Mingyu yang mengedikkan bahu.

.

.

Malam hari, pukul 09.45

Wonwoo sedang berteduh di dalam kamarnya. Seraya merebahkan tubuh di atas kasur mengamati langit-langit yang tampak monoton. Aku bosan. Sudah beberapa kali ia menggumamkan dua kata yang terikat jelas itu di dalam benaknya, sambil menyisihkan sisa-sisa kegiatan di sekolah yang sudah dia lalui sekitar sepuluh jam lamanya. Wonwoo mendengus. Kedua manik dilebarkan demi mengamati seisi kamar lalu kembali dipejamkan, benar-benar bosan.

Belum ada tanda-tanda kalau Tuan Jeon pulang dari pekerjaannya yang super sibuk, membiarkan sang anak laki-laki merasa seperti terdampar di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, tanpa orang-orang di sekitar. Wonwoo kembali mendengus. Ke mana ayahnya? Ke mana ibunya? Apakah mereka tak peduli dengan anak emasnya yang selalu berusaha demi membuat mereka merasa bangga? Ke mana mereka selama Wonwoo membutuhkan kepedulian masing-masing dari ayah-ibunya? Wonwoo tidak tahu. Belakangan semenjak dia menduduki peringkat umum di sekolah, ayah dan ibunya hanya bisa menghubungi lewat telepon. Memberinya selamat, kendati itu diucapkan melalui video call.

Wonwoo mendengus sekali lagi dengan kedua mata yang terpejam lantaran kedua manik hitamnya terasa panas dan berair. Mungkin dia bukan lelaki cengeng. Tetapi, Wonwoo sedang merasakan kehidupannya yang mulai terasa membosankan. Sudah sejak duduk di kelas sebelas, Wonwoo benar-benar merasakan apa itu kesepian, kendati dia selalu memiliki ketiga sahabatnya juga kesembilan teman lain yang masih peduli padanya. Namun, rasa peduli itu belum sepenuhnya ia dapat. Belum lengkap sampai ia mendapatkan kepedulian dari kedua orang tuanya, Tuan dan Nyonya Jeon. Dua orang yang menjadi idolanya sejak kecil. Berterimakasihlah atas kesuksesan mereka, berkat itu sang anak diberkahi kecerdasan otak lengkap dengan pribadi yang cukup baik sehingga selalu saja menjadi murid teladan. Wonwoo adalah anak yang sempurna. Namun, kesempurnaan yang ia miliki menjadi minus satu lantaran ia tak cukup mendapat perhatian penuh dari kedua orang tuanya―yang super sibuk.

Usai memejamkan mata, Wonwoo yang merasa air mata mengalir di kedua pipinya yang hangat, kemudian beranjak dari kasur. Sebelum berdiri dan membasuh wajah, ia duduk di tepi ranjang sambil melihat ke arah jendela. Menatap luasnya langit terbentang namun tak ada satu bintang pun menghiasi di atas sana. Sama seperti dia. Yang memiliki keleluasaan namun tak dapat mengisinya dengan keindahan. Wonwoo pun mengurungkan niat untuk membuatkan makan malam, ia merasa tak berkewajiban untuk melakukan hal semacam itu sekarang. Tinggalkan semua embel-embel 'teladan' dari setiap orang yang mengenal baik dirinya, Wonwoo tak sesempurna apa yang sudah orang lain bayangkan tentang dia. Mereka tidak tahu menahu.

Hingga Wonwoo ingat ketika dulu saat masih duduk di bangku SD, di mana Seungcheol pernah menanyakan soal keberadaan ayah-ibunya yang tak pernah menjemputnya sepulang sekolah, tentang di mana mereka ketika siang hari saat ketiganya bermain ke rumah Wonwoo, tentang di mana mereka saat malam hari menjelang makan malam dan sebelum tidur. Wonwoo hanya mampu mengedikkan bahu sebagai jawaban. Atau, balik bertanya seperti; "Apakah ayah dan ibumu selalu menjemputmu? Apakah mereka selalu mengobrol denganmu ketika siang hari? Apakah mereka selalu sempat membuatkan makan malam dan menyantapnya bersama di atas meja makan? Apakah mereka membacakan dongeng untukmu sebelum kautidur? Apakah orangtuamu menyayangimu?"

Bahkan ketiga temannya kerap sekali membalikkan pertanyaan Wonwoo menjadi pernyataan, "mereka melakukannya karena mereka peduli, dan tanpa diminta, Won. Mereka orangtua kita, bukan orang lain."

Atau bahkan tak jarang mereka menyanggah dan menganggap pertanyaan Wonwoo sebagai pertanyaan yang konyol; "jangan berlagak seperti kau tak punya orang tua, Won. Jika mereka tahu, mereka akan kecewa dan sakit hati padamu." Tipikal jawaban sederhana murni dari pola pikir anak-anak.

Wonwoo meremas seprai di ranjangnya diikuti sedikit gerakan menggores kasur dengan gusar. Wonwoo benci jika dirinya berada di tengah-tengah jembatan yang jika salah satu sisinya hendak rubuh, maka langkah kaki berikutnya akan merubuhkan semuanya. Wonwoo seakan sedang berpegang pada harapan yang sama sekali tak ada hasilnya, ia merasa bahwa dirinya sedang terseret ombak yang akan membawanya hanyut bersama mimpi-mimpinya.

Pernah saat dia menjadi siswa SMP, ketika acara kelulusan, kedua orangtua pun tidak menyempatkan diri untuk hadir dan sekadar menyaksikan anak tunggal mereka yang sebentar lagi tak memakai segala macam atribut SMP. Sampai-sampai, salah satu siswi yang pernah ditolak olehnya pernah mengatakan; "orangtuamu tak menyayangimu, Won. Itu adalah karma akibat kau menolakku."―sebagai bentuk balasan sang remaja perempuan lantaran ditolak oleh Wonwoo.

Karena jujur saja, Wonwoo tidak pernah dekat dengan siswi. Tidak sekalipun.

"Kalian tidak mengerti, kawan." Wonwoo menggumam dalam sepinya. Langit malam yang terbentang luas tanpa bintang itu seakan menjadi saksi bisu akan lelaki Jeon yang tengah dilanda rasa kesepian. Wonwoo beranjak. Langkah tungkainya sedikit gontai. Ia membasuh wajahnya dengan air kran sesegera mungkin ketika tiba di dalam toilet yang ada di kamarnya. Ia berkaca. Sembari memiringkan kepalanya dan menyeringai, di pantulan kaca itu dia kemudian menyadari kalau ada seseorang yang kini menjadi bagian dalam memori kepalanya, yang kini mencuri perhatiannya, yang kini mendapat sedikit tempat di catatan otaknya.

Dan orang itu sendiri, adalah si gadis ceroboh bernama Song Jia.

Kala mengingatnya, Wonwoo tersenyum lebar.

.

.

Seperti biasa, di hari kedua ia bersekolah, Wonwoo mengendarai motornya. Hingga ketika sampai di gerbang depan, ia―sudah pasti―mendapat pujian atau sorakan dari para siswi, mengingat kalau sang siswa teladan dengan julukan kutu buku itu adalah yang paling populer di sekolahnya, dengan Mingyu yang berada di posisi kedua. Wonwoo hanya membalas sorak sorai para siswi itu dengan tatapan datar, tak ada arti atau alasan jelas di balik tatapan itu. Tipikal Jeon Wonwoo, si lelaki dingin yang kerap sekali menolak perasaan para siswi yang kurang beruntung. Ia berjalan di korridor dengan membiarkan ransel yang disandang menggantung di bahu kiri. Ia berjalan tanpa perlu repot-repot membalas sapaan para gadis itu, bukan bermaksud sombong, tapi dia memang tak menyukai hal-hal yang berlebihan. Dia bukan Kim Mingyu yang dapat dengan mudah mengedipkan sebelah matanya pada para siswi. Dia bukan Choi Seungcheol yang suka membalas lambaian tangan para siswi. Dan dia juga bukan Choi Hansol yang selalu menebarkan senyum di sepanjang korirdor. Dia Jeon Wonwoo, siswa teladan penggarap buku perpustakaan berjuluk kutu buku―dan yang teramat pendiam di antara keempat sekawanan di sekolah. Menurutnya, "Aku adalah aku, kalian adalah kalian."

Hingga saking pendiamnya, dia bahkan tak peduli jika sewaktu-waktu ketika dia berjalan menyusuri koridor, akan ada kejadian semacam…

BRUK!

"Kyaaa, Jeon Wonwoo! Apa kau bisa menemaniku ke toko buku sore ini?" Seorang siswi yang baru saja terjatuh di hadapannya, malah berharap soal pergi ke luar bersama. Sore ini? Heol! Tidak mungkin Wonwoo menuruti permintaan iseng itu dengan senyum teramat lebar lalu lekas menjawab, "baiklah, dengan senang hati." Karena, nyatanya tidak seperti itu.

Balasan dari Wonwoo, hanya dengan tatapan datar dan berlalu pergi dari hadapan siswi itu. Benar-benar tega, huh.

Setibanya di kelas, dia akan melakukan rutinitasnya kembali sebagai murid tahun ketiga. Beberapa tumpukkan buku adalah benda yang mengawali paginya di sekolah, beserta beberapa alat tulis lainnya. Namun, beberapa sekon sebelum meletakkan pulpen ke atas meja, dia melihat gadis yang duduk di sebelah kirinya tengah menidurkan diri di atas kedua tumpukan tangan sebagai bantal―tampaknya ia sedang terlelap.

Tentu saja gadis itu adalah Song Jia.

"Wonwoo?" Suara sapaan itu terdengar tidak asing. Si pemilik nama yang terpanggil pun segera mengarahkan netranya ke hadapan sang teman. Seraya menatap langsung pada sang teman, ia terlihat celingukan ketika merasa ada yang mengganjal.

"Seungcheol-ah. Di mana Hansol?"

Yang ditanya mengangkat bahu, "dia berangkat dengan Mingyu. Semalam Mingyu menginap di rumahnya."

"Jadi, kau tidak―"

"Ya, aku tidak ikut. Park Sonsaengnim memberiku arahan kemarin. Jadi, aku memilih untuk berdiam di rumah."

"―Oh, begitu. Aku 'pun tidak ikut. Ibuku sedang di rumah temannya. Tak ada yang menyiapkan makan malam untuk ayahku."

Seungcheol membatin, ayahmu, Won?

"Ah, ya Hansol memberitahuku soal itu. Ah, apa kau sudah sarapan?"

Wonwoo mengangguk.

"Baiklah, aku mau ke kantin sebentar. Kau mau ikut?"

Wonwoo menggeleng.

"Oke. Atau, ingin menitip sesuatu?"

"Aniyeo. Kausarapan saja di sana dengan tenang."

"Baiklah, sampai nanti!"

"Hm."

Tinggalah dia dan segenap kesunyian pagi di dalam kelas. Oh tidak, enak saja dia beranggapan kalau di dalam kelas hanya sendiri, tentu tidak. Tidak sampai dia sadar bahwa di sebelah kirinya ada gadis itu, masih dengan kepala yang ditidurkan. Menilik seorang Song Jia yang tertidur pulas tanpa sekalipun bergeser atau mengubah posisi, Wonwoo menghela napas lega. Tandanya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama gadis itu tak terbangun.

Sudah hampir setengah tujuh. Ia menggumam.

Ia meraih sebuah novel dari dalam tas, ditariknya sebuah bookmark pada halaman yang iabaca terakhir kali. Satu tarikan napas panjang kemudian berakhir dengan sebelah sudut bibir terangkat. Ia sedang tersenyum tipis melihat novel yang ada di genggamannya, memproyeksi ulang pembahasan singkat tentang novel 'The Moonstone', yang kebetulan disukai oleh Jia.

Senyum pada wajah Wonwoo kian melebar.

"Eung―" terdengar suara seseorang habis terbangun dari tidur. Wonwoo menoleh.

Tepat di hadapannya, kedua mata Jia mengerjap seraya memperjelas pandangannya sehabis terlelap. Gadis itu memandang Wonwoo masih dengan mata yang disipitkan, ia menguap. "Kau, sejak kapan melihatku?"

Wonwoo terkesiap selepas Jia bertanya. Mencerna pertanyaan yang diucapkan Jia untuknya. Wajahnya dipalingkan sesegera mungkin, guna menghindari sederet pertanyaan yang menyusul.

"Jeon Wonwoo."

"Belum ada satu jam."

Jia menaikkan sebelah alisnya sembari mengubah pernyataan Wonwoo menjadi kalimat tanya, "pfft, 'belum ada satu jam'?"

"Apa menurutmu itu lucu?"

"Tidak juga sih." Jia tampak menyembunyikan tawanya di balik telapak tangan. "Aku hanya heran. Aku 'kan bertanya soal sejak kapan kau melihatku seperti itu. Bukan berapa lamanya kau melihatku."

"Oh, benar juga," timpal Wonwoo, kembali memberanikan kedua netranya bertatap langsung pada milik Jia. "Aku tak bisa berkonsentrasi."

Lagi-lagi Jia mentertawakan pernyataan lelaki Jeon itu, disusul dengan sebuah senyum lebar pada wajahnya yang memerah akibat terus-terusan tertawa. "Memangnya, butuh konsentrasi sepenuh apa untuk menjawab pertanyaan singkatku?"

"Entah."

"Aih, dingin sekali. Sudahlah, lupakan saja pertanyaanku."

Wonwoo merasa tak mengerti, sejenak sepasang bola matanya diarahkan ke pojok kanan atas, tampak berpikir, "dingin?"

"Ya terus terang saja, kau ini dingin sekali. Kalau megajak orang lain mengobrol, kau pasti menjawab dengan begitu singkatnya. Kecuali dengan teman dekatmu―"

"Aku tahu."

"―maaf, aku terlalu berterus terang." Jia mengakhiri kalimat penutupnya dengan seulas senyum. Meski di dalam hati dia merasa tidak enak karena harus mengatakan itu pada lelaki yang baru ia kenal. Namun, mau tidak mau hal itu harus ia katakan lantaran sejak obrolan soal novel kemarin terjadi begitu singkat, tak membekas kesan menarik apapun di antara percakapan mereka.

"Tidak masalah."

Jia kembali menoleh, ia bersiap untuk bertanya sebuah hal lagi namun gagal dikarenakan suara cacing di perutnya terus menuntut soal makanan. "Ah, omong-omong, apa kau sudah sarapan?"

"Sudah." Ya Jeon Wonwoo, kenapa kau tak bisa balik bertanya barang sekalipun, huh?

"Wah, tampaknya ibumu selalu membuatkan sarapan untukmu ya? Wah, kau beruntung sekali." Jia menopang dagunya dengan sebelah tangan, kedua matanya diedarkan ke arah papan tulis.

Sedangkan lawan bicaranya mendadak berhenti menatap bukunya. Wonwoo lekas menutup buku yang iapegang, memaku tatap pada permukaan meja.

Benaknya bekerja keras usai kalimat yang murni keluar dari bibir Song Jia. Otaknya bekerja dengan cepat untuk menghapus jauh-jauh kalimat yang tak sengaja ia dengar itu. Kendati dia memang mendengarnya. Ia ingin sekali mengakhiri obrolan dengan gadis itu sekarang juga. Ia ingin menepis semua ekspektasi yang dikatakan Jia padanya. Ia ingin―ah, kenapa jadi begini? Kenapa ucapan normal yang tak seharusnya menjadi masalah bagi Wonwoo justru membuat rasa sesak memenuhi dadanya?

Entahlah, Wonwoo benar-benar tak ingin membahasnya sekarang.

"Oh bagaimana ini, aku lapar sekali."

"Kau lapar?"

Jia mengangguk. Membiarkan Wonwoo menatap wajahnya yang kelaparan. Hingga akhirnya lelaki itu meraih tas bekal dari dalam lacinya lalu lekas meletakkan tas bekal itu ke atas meja milik Jia. "Kau boleh makan bekalku."

Jia merasa tak percaya, kedua maniknya dilebarkan ketika Wonwoo memberi izin si gadis untuk menyantap apa yang bukan miliknya. Seketika, hal itu terasa aneh. Pada awalnya Jia merasa biasa, memulai percakapan mereka karena kesukaan pada novel yang sama, kemudian beralih pada berbagi bekal.

Apa itu tidak terlihat aneh? Mungkin menurut sebagian orang, hal itu wajar-wajar saja terjadi. Tapi bagi Song Jia, berbagi kotak bekal setelah dua kali pertemuan saja, agak aneh.

Jia yang merasa tak enak hati, kemudian mendorong kembali kotak bekal itu kepada pemiliknya, Jeon Wonwoo. "Maaf, tapi aku―"

"Tidak baik menolak makanan yang ada di depanmu. Jadi lebih baik diterima saja."

"―b-baiklah jika menurutmu begitu. Gomawoyo, Wonwoo-ya."

10 menit sebelum istirahat makan siang berakhir…

"Hansol-ah, kau lupa membawa bukumu?" Mingyu menepuk pelan pundak sang teman ketika mereka selesai berurusan di dalam perpustakaan. "Heol, sampai kau rela meminjam seperti itu. Masih ada aku, Wonwoo dan Seungcheol tahu. Kenapa ke perpustakaan?"

Hansol menyikut dada temannya dan memaku tatap pada buku yang ia pegang. "Kita tidur kemalaman, Gyu. Aku jadi lupa membawa buku Bahasa Inggris-ku."

"Hei, asal kautahu saja ya, kita sudah biasa berbagi buku pelajaran di kelas. Kau sudah kenal baik kami bertiga, 'kan? Lalu, apa lagi yang kauragukan?"

Hansol terdiam sejenak lalu tertawa renyah. Ditatapnya kedua mata milik lelaki tinggi yang melangkah beriringan dengannya, "Mingyu-ya, aku bukannya ragu. Hanya tak ingin merepotkan saja." Mingyu menatapnya tak percaya, kemudian ia menepuk pundak Hansol sekali lagi dengan wajah sok pintar. "Yeah, kawanku ini tampaknya sudah menjadi duplikat seorang Jeon Wonwoo. Apa, namamu resmi diubah menjadi 'Jeon Hansol' saja?"

"Shit, apa-apaan kau Mingyu!"

Keduanya saling bertatap muka dan meledak dalam tawa di sepanjang koridor menuju kelas, sebelum jam istirahat makan siang benar-benar berakhir. Mereka berempat tadinya sudah makan bersama di kantin―berhubung bekal Wonwoo yang sudah habis, maka dia menyempatkan diri untuk makan dengan ketiga temannya. Lalu, ketika mereka hendak kembali ke kelas, Wonwoo-Seungcheol dan Mingyu-Hansol berpisah di tengah jalan. Dua orang lagi segera kembali ke kelas dan dua lainnya pergi ke perpustakaan―namun Hansol tak memberitahu untuk apa mereka ke sana.

Hingga tiba di kelas menyusul yang sudah sampai lebih dulu, Mingyu dan Hansol segera menimbrung dengan Seungcheol yang duduk di tepi meja milik Jeon Wonwoo, mengbrolkan hal-hal yang kemudian berakhir dengan candaan. "Aku belum pernah ke sana. Sekalipun tidak, Won." Mingyu menyeletuk ketika mendengar bahwa Seungcheol tengah membahas perpustakaan kota sembari merangkul kedua temannya; Seungcheol dan Hansol, "tak ada alasan jelas bagiku untuk sekedar berkunjung ke sana. Tempat itu tidak hanya dipenuhi jutaan buku, tapi juga tebal akan debu."

"Aih, kau belum pernah saja mengunjungi perpustakaan kota secara langsung!" timpal Choi Seungcheol tampak tak setuju, ia memandangi teman beringasnya sejenak lalu dengan kedua alis yang bertaut ia melanjutkan, "di sana banyak gadis cantik yang membaca, Gyu."

"Omong kosong! Kau boleh mengatakan mereka cantik, tapi mereka itu lugu dan kutu buku, haha." Mingyu melempar opininya yang mengandung unsur ledekan di sana, sama sekali tak segan-segan mengatakan hal yang mungkin bisa menyakiti perasaan orang lain. Ditambah lagi, tampang bengisnya menyuratkan rasa tak acuh yang kentara. "Ck, kalian ketinggalan jaman, man."

"Menurutku, kami tidak begitu kok," kali ini Seungcheol membantah cepat, bahkan terlalu cepat untuk disanggah. "Kau saja yang tak menyukai buku."

"Aduh," ucap Mingyu lagi-lagi meledek, "kau saja yang tidak tahu. Selama liburan sebelum masuk sekolah, aku menghamburkan lemari buku Wonwoo dan meminjam sekitar satu, tiga―ah, lima buku!" Mingyu membantah opini milik Seungcheol seraya menghitung dengan kesepuluh jari tangannya, yang berakhir dengan satu pukulan pada lengan kirinya dan pukulan itu adalah hadiah dari Jeon Wonwoo, sambil mengajukan pertanyaan, "Aih, ke mana bukunya kaubawa pergi?"

Mingyu mengacak rambut milik Wonwoo dan membalasnya dengan cengiran. "Di rumah. Lagi pula, kau sudah baca semuanya 'kan? Jadi, untuk apa buru-buru kukembalikan?"

"Aku tidak minta buru-buru dikembalikan. Aku hanya bertanya, apakah buku itu bersamamu, dan ke mana kau membawa mereka? Itu saja."

"Ya, ya, baiklah Tuanku Jeon Wonwoo. Bukunya aman bersamaku."

"Aish, sudahlah kawan-kawan. Lihat jam tangan kalian, sebentar lagi kelas kita akan kedatangan guru―" Hansol menggebrak meja milik Wonwoo yang sedang dijadikan tempat beradu argumen kecil-kecilan. Sembari menatap ke arah arlojinya, ia kembali duduk dan segera meletakkan buku ke atas meja. Lantaran di depan kelas kini sudah berdiri seorang guru laki-laki berkacamata. "―lihat, 'kan? Kubilang juga apa."

.

.

Bel pulang telah dibunyikan, suaranya yang nyaring ke seluruh penjuru sekolah membuat berbagai macam keributan terjadi di dalam kelas. Lantaran mereka sudah lama menanti bel yang ditunggu-tunggu. Usai memberi salam pada guru sebelum meninggalkan kelas, dan disusul dengan mengingatkan antar siswa untuk segera melaksanakan bagian piket mereka, Seungcheol kemudian berpamitan kepada seluruh rekan kelas 12-A. Ia menapakkan kakinya keluar kelas bersama ketiga sahabatnya. Seperti biasa.

Mereka melangkah bersisian di sepanjang koridor menuju parkiran motor. Selama berjalan di keramaian, waktunya pertunjukkan solo seorang Kim Mingyu. Lelucon? Sudah biasa. Dia adalah pelopor lelucon dan pencipta keributan di sekitar lorong-lorong kelas ketika waktu istirahat sedang berlangsung, maupun ketika jam pulang tiba. Hingga terkadang salah satu dari ketiga temannya menyeletuk atau bahkan terpaksa mengunci mulut milik lelaki Kim itu, sebelum menjadi wabah buruk yang besar―lantaran candaan yang ia buat tidaklah se-positif itu. Kalimat-kalimatnya mengandung unsur berbahaya, berbau dewasa, dan tidak jarang menyinggung soal―ekhm―gadis atau rencana gilanya tentang; bagaimana kalau mereka sewaktu-waktu memiliki pacar dan jika bosan lantas menggantinya dengan yang lain, atau mengencani lima orang gadis sekaligus dalam lima hari. Yang mana pada akhirnya, ide tak masuk akal itu ditolak mentah-mentah oleh si murid teladan, Jeon Wonwoo. Dengan mengatakan kalau Mingyu 'Gila', tak lekas membuat Mingyu takut atau peduli akan perasaan para gadis yang mungkin nantinya, akan dijadikan kelinci percobaan.

Lain lagi dengan Hansol. Ia tipikal lelaki sederhana yang mengikuti arus saja. Ia simple, dan tak banyak omong. Menebar senyum adalah prioritasnya. Jika ia sedang dalam mood untuk membuat jokes sederhananya, maka Hansol akan dengan senang hati melakukan hal itu. Namun jika tidak, ya tetap tidak. Dia berbeda―bahkan jauh―dari Kim Mingyu. Kenakalannya hanyalah segelintir kenakalan sewajarnya. Paling tidak seperti bermain video game sampai bosan, menginap di rumah teman sambil membuat kamar si pemilik berserakan, tidur di kelas, mengacau lelucon milik Mingyu atau hanya menjawab asal pertanyaan para siswi seadanya saja.

Jangan lupakan Seungcheol. Di sepanjang koridor jika hendak pulang, ketua kelas yang satu ini akan membalas lambaian tangan para siswi. Ramah dalam menjawab sapaan mereka, bahkan tidak melunturkan senyum lebarnya. Seungcheol mungkin bukanlah murid teladan seperti Jeon Wonwoo, namun rasa-rasanya ia sangat pantas jika diposisikan sebagai Jeon Wonwoo kedua. Kenapa? Ya tentu saja karena aura kepemimpinan berpotensi besar dalam diri Seungcheol. Wajar jika beberapa guru menyebutnya sebagai The Second Jeon Wonwoo.

Baiklah, cukup untuk personal description kali ini. Mengingat kalau mereka sudah tiba di parkiran dan sudah menstarter motor masing-masing.

"Apa besok kalian sibuk?" tanya Mingyu di sela kegiatan menstarter motor, bersamaan dengan yang lainnya. "Sepertinya aku ingin main, ke atap-atap gedung. Sudah lama sekali," lanjutnya. Mingyu menelan salivanya sesaat ketika belum ada respon sedikitpun. Dia melempar tatap kepada Seungcheol, lalu untuk beberapa detik ia alihkan pandangannya kepada Hansol. Mingyu merasa dirinya tak perlu bertanya pada Wonwoo, karena sudah pasti ditolak oleh lelaki itu. Namun seketika benaknya malah berubah pikiran, ia juga melempar tatap ke arah Wonwoo. "Hei, apa kalian ini bisu? Ck."

Seungcheol tergelak, sebelah tangannya memutar off pada kunci motor. "Besok ya? Uhm, jam berapa? Kalau setelah pulang sekolah, aku tidak bisa."

Yang ditanya bergeming sejenak, kepala dimiringkan dengan dua bola mata yang diarahkan ke kanan dan kiri secara bergantian. Dia menggigit bibir bawahnya lalu berdecak. "Kalau begitu, kita sekalian makan malam di luar saja. Berarti jam tujuh?". Seungcheol mengangguk, "baiklah, deal."

"Baiklah, kalau sekalian makan malam, aku bisa ikut." Ingin terkejut atau tidak, tetapi kenyataannya Mingyu merasa kaget saat Wonwoo bilang kalau dia mau ikut ajakan darinya.

"Aku tidak tahu harus merespon seperti apa, Won. Tapi, aku terkejut," ucapnya, kedua bola mata dilebarkan dan terpaku pada milik Wonwoo yang datar. Sebaliknya, Wonwoo memutar kedua bola matanya lalu berdecak.

"Ck, berlebihan."

Tinggal satu lelaki lagi yang belum menjawab, lelaki itu Choi Hansol. Ia masih sibuk berkutat dengan motornya, belum sadar kalau sudah dua menit atau lebih mereka berunding. Masih belum hingga saat ketiganya melempar tatapan mereka kepada Hansol, si lelaki yang masih bergeming justru mengabaikan mereka. Lalu ketika menyadarinya, yang ditatap malah menengadah, seolah tak ada pembahasan apapun di antara mereka. Tampaknya dia sedang tak acuh. "Apa?"

Ketiganya mendengus, tampang tak sabaran yang mereka tunjukkan tampak kentara sekali. "Ikut atau tidak?" Mingyu bertanya sekali lagi sekaligus menaiki motornya. "Kami sudah setuju semua. Tinggal kau."

Hansol mengerjap seraya bersiap-siap untuk memakai helm, "ke mana?"

"Ke atap gedung. Besok jam tujuh sudah berkumpul di pinggiran jalan dekat perpustakaan kota. Lalu kita makan malam di restoran terdekat. Bagaimana?" jelas Mingyu panjang lebar. Membiarkan yang dijelaskan untuk berpikir sejenak sebelum membuat keputusan.

Lalu Hansol mengangguk dua kali dengan mata yang disipitkan, "boleh juga. Aku ikut."

"Bagus!"

.

.

Hari ini adalah yang ketiga, di mana mereka akan melaksanakan janji sesuai yang telah disepakati keempat pihak yang bersangkutan. Pagi, siang, sore sudah dilewati di mulai dari kegiatan di sekolah, makan siang di kantin hanya bertiga tanpa Wonwoo yang tentunya sudah membawa bekal dan memilih untuk makan di kelas sekaligus membaca buku. Berikutnya ketika jam makan siang berakhir, saat ketiga lelaki tiba di kelas, namun mereka tak menemukan Wonwoo di dalam sana. Ada momen ketika Mingyu bertanya pada gadis yang sedang berbincang bersama Song Jia―gadis itu adalah Kim Nara, yang duduk tepat di sebelah kiri Jia. Lelaki itu menanyakan apakah keduanya melihat Jeon Wonwoo dan ke mana perginya. Mereka hanya menjawab dengan gelengan kepala seraya mengedikkan bahu.

"Shit." Adalah akhir kata dari Mingyu setelah mengatakan 'terimakasih'.

Namun setelahnya, ketika mereka memutuskan untuk mencari Wonwoo ke perpustakaan sekolah, yang dicari sudah berada di daun pintu sambil memasang wajah datar seperti tak bersalah. Toh, memang dia tak bersalah 'kan?

"Apa?" tanya Wonwoo.

"Apa?" Mingyu menyanggah, lidahnya berdecak keras ketika mendapati teman yang dicari dengan santainya menanyakan kata 'Apa' padanya. "Dari mana saja kau? Makan ke kantin tidak mau, lalu di kelas malah menghilang."

"Jalan-jalan," jawabnya santai. Wonwoo tak peduli apakah Mingyu akan kesal atau malah membiarkan si kutu buku itu terbebas dengan alasan klasik itu.

"Alasan," bantah Mingyu, mencibir Jeon Wonwoo yang jalan-jalan tanpa sepengetahuan ketiganya. "Kau pasti habis dari perpustakaan 'kan?"

"Kalau iya, lalu kenapa?"

Dan, keduanya berhenti beradu argumen saat Hansol mengingatkan pasal perjanjian mereka.

Ada pula saat hendak pulang sekolah, Mingyu hendak menentukan atap gedung mana yang paling asyik dan paling dekat dari perpustakaan kota. Di pinggir jalan saat sengaja memberhentikan motor masing-masing, lelaki bertaring ganda itu mulai menganjurkan teman-temannya untuk menentukan tempat yang akan mereka kunjungi. Ketika Wonwoo yang lebih sering mampir ke perpustakaan kota mengingat sesuatu, maka ia menyarankan untuk langsung ke atas atap perpustakaan itu sekalian. Ketiga temannya memberi respon berupa kalimat yang serupa; "tidak buruk, aku setuju."

Dan, kini adalah saatnya. Pukul enam lebih lima menit, adalah saat yang tepat untuk berkumpul di atap perpustakaan. Sesuai janji sepulang sekolah sore tadi.

Wonwoo, si pencetus lokasi sudah siap dengan pakaian sederhananya. Tubuh kurus-tinggi itu sudah terbalut dengan sweater abu-abu cerah dan jeans, beserta Converse High-Top putih yang seringkali ia pakai bila hendak jalan-jalan ke luar atau sekadar bermain dengan ketiga sahabat. Si lelaki memandang ke arah jendela kamarnya, kedua mata dilebarkan demi memaku fokus pada pemandangan di luar sana; jalanan yang penuh oleh pejalan kaki dan kendaraan beroda dua maupun empat. Tidak aneh lagi bila dia melihat pemandangan malam hari yang ramai akan manusia di bawah sana, lantaran kamar yang terletak di lantai dua dengan jendela besar mengizinkannya untuk menyaksikan indahnya jalanan dari atas, lengkap dengan cahaya lampu jalan yang cerah. Wonwoo menghela napas dalam-dalam, kedua tangan diletakkan pada dua sisi kusen jendela sambil melihat ke arah kanan-kiri-atas-bawah secara bergantian. Dia menyukai hal seperti ini. Tak hanya dapat membuang jenuh, tapi dia bisa merasakan sendiri bagaimana ramainya kehidupan di jalan, berbeda dengan kehidupannya. Bukan, Wonwoo bukannya tak bersyukur dengan kehidupan layak yang ia miliki. Ketiga sahabat setianya sudah lebih dari cukup, ditambah lagi kesembilan teman di lain kelas yang masih ada untuknya. Hanya satu yang belum begitu cukup―bahkan jauh dari kata cukup―yaitu, perhatian lebih orang tuanya.

"Memangnya kenapa kalau kau belum mendapatkan perhatian mereka, Wonwoo-ya?" Wonwoo memandang nanar ke arah langit malam yang terhampar luas di hadapannya sembari menghirup udara malam. "Memangnya separah itu jika tidak mendapat perhatian mereka? Ck."

Sejenak Wonwoo memejamkan kedua matanya, kembali menghirup oksigen dalam-dalam dan mengembuskan karbondioksida itu sekeras mungkin. Matanya mengerjap ketika ia sadar akan janji yang mereka buat. "Aih, hampir saja lupa!"

Hingga Wonwoo tiba di depan perpustakaan kota, ia segera mengunci stang motornya dengan langkah yang dipercepat untuk meraih tangga di belakang gedung. Bersamaan dengan itu, di tengah-tengah usahanya menaiki tangga yang amat panjang, sebuah pesan singkat baru saja masuk.

Bagus, Mingyu sudah datang lebih awal dariku. Gumamnya, geram.

Dan tibalah dia di atap, menyaksikan ketiga temannya sudah tiba lebih awal dari dirinya. Seakan memasang raut protes atas keterlambatannya sendiri, sebelah alis yang dinaikkan menjadi bukti kalau dia sudah dibuat heran oleh ketiga temannya. Ia rasa, kedatangannya sudah tepat waktu. Tapi, kenapa bisa jadi begini?

Wonwoo melirik arloji kulit yang melilit pergelangan tangan kirinya. Shit, sudah jam tujuh lewat duapuluh menit.

"Maafkan aku, kawan. Ada kendala di jalan. Seperti yang kalian tahu, malam ini jalanan macet―"

Mingyu mendadak berdiri dari kursi kayu panjang yang ada di atas sana seraya menginterupsi, "sudah pandai terlambat rupanya."

"―Mingyu-ya, ayolah, bukan seperti itu maksudku."

"Bukan itu? Klasik sekali," tandas Mingyu cepat seolah tak memberi celah bagi lelaki Jeon untuk memperjelas kesalahan yang ia buat. "Lalu apa kalau bukan itu, huh?"

"Baiklah aku salah," katanya. Saat berdiri di hadapan sang sahabat yang menatapnya penuh tanda tanya, Wonwoo menjadi bingung dan lupa akan dirinya. "Aku terlalu larut dalam udara malam, Gyu. Aku terlalu merindukan ketenangan di malam hari. Sampai-sampai aku lupa kalau akulah pencetus dari pertemuan di atas atap ini."

"Sudahlah," Seungcheol mencoba menenangkan kedua sahabatnya. Sebelum semuanya menjadi urusan yang lebih panjang atau yang lebih buruknya lagi, sampai meluas dan menjadi efek samping negatif bagi persahabatan mereka. "Wonwoo sudah menjelaskan alasan kenapa dia terlambat. Dan dia tak seterlambat itu, Gyu. Hansol-ah, bagaimana menurutmu?"

"Well, menurutku Wonwoo tidak sesalah itu. Kita semua lebih sering terlambat ketika ada janjian 'kan, Gyu?" ucap Hansol, mengikuti jejak Seungcheol dan menjadi pelerai kedua. "Jadi maafkan saja dia yang jarang-jaang terlambat seperti ini. Toh, selama kita sering melakukan hal yang sama, Wonwoo tak pernah marah kepada kita."


Pada akhirnya, Mingyu memaafkan Wonwoo. Di atas atap itu keempatnya berpelukan lalu saling mengucap kata maaf, juga mengobrolkan hal-hal yang akan mereka lakukan selama seminggu ini. Mereka merundingkan kegiatan seru apa saja yang hendak dilakukan ketika pulang sekolah, atau saat sedang istirahat makan siang. Semuanya seolah sudah tergambar dan tercatat jelas di buku rencana masing-masing. Namun bukan buku berupa wujud asli yang dimaksud, buku rencana milik mereka lebih seperti perjanjian bersama. Mirip seperti segulung kertas di dalam botol kaca, yang akan terus bersama meski mereka akan hanyut terbawa arus dan dilahap oleh gulungan ombak. Maka keempatnya mencoba untuk memperbaiki keadaan seperti semula. Mencoba untuk melakukan kegiatan gila-gilaan demi menghindari rasa jenuh di antara keempatnya. Menyusun sebongkah daftar tempat yang akan menjadi lokasi mampirnya mereka dan keseruan apa yang hendak dilakukan selanjutnya.


Enam hari berlalu dengan mengisi keseharian sepulang sekolah untuk sekadar mengunjungi atap perpustakaan. Atau di lain kesempatan, mereka juga berjalan menyusuri pinggiran Sungai Han dan bermain di sana. Sama seperti hari-hari lain yang mereka manfaatkan sebaik mungkin. Mengisi hari dengan masak bersama hingga makan malam tiba. Dengan mengandalkan Kim Mingyu―yang ternyata diam-diam memiliki bakat menjadi seorang chef―sebagai juru masak mereka. Choi Seungcheol sebagai leader atau pemandu yang cekatan. Choi Hansol sebagai salah seorang personil komedian bersama Kim Mingyu yang menghibur, juga andal dalam membantu. Dan Jeon Wonwoo, si teladan yang diibaratkan sebagai pemberi wawasan, selalu saja mengajarkan hal-hal baru kepada ketiga temannya lewat buku-buku yang iabaca. Enam hari yang berarti bagi empat lelaki berlalu dengan begitu cepat. Mengisahkan usaha mereka dalam memperbaiki keadaan. Persahabatan tanpa pertengkaran? Rasanya mustahil hubungan yang terjalin bertahun-tahun lamanya itu akan berjalan lurus, normal, atau aman-aman saja. Semuanya butuh perjuangan hingga menghasilkan akhir yang memuaskan.

Sejak malam di atap perpustakaan dengan keterlambatan yang iabuat, lalu keadaan membaik dan kian menyenangkan, Wonwoo yakin pada dirinya dan ketiga temannya. Enam hari yang sudah mereka lewati bersama, tak mungkin dilupakan oleh si lelaki lantaran momen seperti itu takkan terulang atau menjadi seasik yang akan datang. Kendati ia ingin sekali berkumpul lagi ketika sukses nanti. Bahkan jauh-jauh hari, dia sudah memikirkan apa yang kira-kira akan menjadi penghambat bagi mereka untuk bertemu, mengingat sebentar lagi begitu banyak ujian akan menyusul. Hingga nanti di hari kelulusan, apakah mereka akan berpisah dulu untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi? Atau ada hal lain yang belum mereka ketahui akan menjadi alasan kerenggangan sementara selagi mereka menuntut ilmu?

Entahlah. Gumamnya.

Di Hari Minggu ini ia sedang berbaring sendiri di atas single bed miliknya, merasakan ketenangan di malam hari seraya memutar ulang kegiatan seru nan gila yang terjadi sejak enam hari yang lalu. Tubuhnya berguling ke kanan mengarah pada jendela yang luas. Lagi-lagi ia memandang langit pekat yang kali ini dihiasi oleh bintang-bintang.

Seakan terhipnotis, Wonwoo tak henti-hentinya tersenyum melepas rindu pada ketiga sahabatnya. Padahal baru saja semalam mereka kembali ke rumah masing-masing―setelah empat malam menginap di rumah mereka secara bergantian. Pada kesempatan ini, langit yang tengah ia tatap, seakan memproyeksikan wajah ketiga sahabatnya dimulai dari Kim Mingyu, lalu Choi Seungcheol dan disusul oleh Choi Hansol.

Untuk yang kesekian kali, senyum di wajahnya kian melebar hingga membuat deretan giginya yang rapih terasa kering.

Namun, tak cukup sampai pada gambaran wajah Choi Hansol, proyeksi pada langit malam ini ditutup oleh wajah seorang Song Jia.

Bagaimana bisa? Padahal selama menghabiskan waktu bersama ketiga sahabatnya, tak sekalipun terlintas di benak Wonwoo untuk mengajak gadis itu bercakap-cakap. Baik di kelas, di lapangan basket ketika pelajaran olahraga berlangsung, ataupun ketika seluruh murid kelas 12-A belajar di perpustakaan. Tidak pernah satu kali pun ia berbicara pada gadis itu. Namun yang malam ini hadir lebih lama di luar jendelanya, justru senyum ceria milik Jia. Mau dihapus dengan usaha sekeras apapun, Wonwoo seperti tak berdaya ketika wajah gadis itu terpampang di langit malam kesayangannya. Ditambah lagi, senyum lebar pada wajah si gadis, seolah tak pernah luntur dari hadapan si lelaki. Membuatnya tersentak. Lantaran lamunannya mendadak melantur atau keluar dari relnya.

"Yaa Jeon Wonwoo. Kenapa dengan dirimu?" ia bertanya pada diri sendiri seraya mengucek mata dengan kedua tangannya, lalu mengerjap beberapa kali. "Jangan konyol, kau belum pernah tertarik pada gadis. Bahkan lewat senyum mereka sekalipun."

Tapi jika dipikir-pikir, Wonwoo justru terlihat seperti orang yang sedang berdusta pada lamunannya sendiri. Jauh di dalam benaknya, ia merasa tentram tatkala wajah Song Jia pun ikut menghadiri acara lamunan singkat yang kerap ia lakukan jika sedang melihat ke arah langit malam. Namun jika dilihat dari kelakuannya, Wonwoo tampak seperti orang yang berada di tengah-tengah neraca. Di bagian mana yang paling banyak menyita pikirannya, dan di bagian mana yang paling banyak menyita rasa penasarannya.

Wonwoo tengah dilanda kecemasan berbentuk penasaran yang sedang dialaminya sekarang. Dia tak tahu harus merespon apa terhadap lamunan yang tak biasa. Dia merasa baru saja tersihir oleh gadis yang ia pandang sedekat itu untuk kali pertama.

Benar, kali pertama memandang tiada henti pada seorang gadis. That time, was the very beginning for him to had the first sight closely.

.

.

To Be Continued

Annyeong, readers. Maafkan bahasaku yang mungkin bikin kalian ga suka―karena jujur aja ini adalah bentuk pembaharuan setelah ff yang lama sudah kuhapus. Jujur aja ini murni ideku sendiri waktu Seventeen jaman Love Letter, dan kebetulan aku juga suka dengerin lagu Seventeen ― Love Letter ^-^. Pas banget waktu dengerin lagu AKMU ― Last Goodbye, nadanya cocok ke adegan lamunan Wonwoo di beberapa paragraf terakhir /JWW : "Aduh Jia-ya, jangan sampe hari pertama sekolah jadi our last goodbye, ya!"/ /cieeee. Dan untuk next chapter, tergantung dari kalian, apakah ff ini layak untuk dilanjutkan atau engga? So, mind to review? ^-^

#Sena (gyumint)