Granted fate
.
.
.
.
Fiction Created by
Dark Eagle's Eye
.
.
.
Bubble March
HunHan Ff Project
.
.
.
.
Genre :
Romance, Drama, Hurt/Comfort, Angst
Rated :
M
Warn :
Messing EYD, typo ( s ), gaje, GS, OOC! Pasaran, Gak masuk di akal, menjijikan de el el.
Cast :
Lu Han
Oh Sehun
Pair :
HunHan
And Other.
.
.
.
.
Saat hanya ada sebuah janji, bolehkah aku sedikit berharap pada janji itu?
Happy Reading
.
.
.
.
Bermula dari memori kecil, berubah menjadi sesuatu berharga yang paling mengenang.
Satu sosok perempuan hanya terbaring lemah di bawah pohon rindang. Satu buah apel terletak tidak jauh dari tubuhnya, bekas gigitan masih basah di sana, dan dia jatuh terkulai.
Satu sosok lain berjalan tergesa dan dia jatuh terduduk di atas tanah melihat sosok itu hanya terbaring lemah. Mencoba menghampiri dan mengguncang tubuhnya, namun tetap sama kedua matanya tidak terbuka.
"Bangunlah... Aku mohon bangunlah!" Memegang tangannya erat dan mengecup tangannya berkali kali, namun tetap sama sosok cantik itu enggan membuka mata.
Sosok itu semakin tenggelam, gaun putihnya serta rambut hitam legamnya membuat sosok itu semakin cantik. Namun kecantikan itu membuat dia takut, takut apabila dia pergi dan di jemput malaikat. Meninggalkan dirinya, dan pergi selamanya.
Menggenggam tangannya erat, mencoba menyalurkan seluruh perasaannya juga ketakutannya. Memejamkan matanya sembari berhara bahwa waktu akan berhenti sejenak dan sosoknya akan tetap bersamanya.
Menatap sosoknya, melihatnya lekat. Memperhatikan kecantikan alami yang begitu indah. Rambut hitamnya, kulit putihnya juga, bibir meranya.
Dia terbuai dalam keindahan, tersihir dalam pesona. Hatinya terpaut, dan benang benang takdir mulai mengikat perasaannya. Lambat laun dia mendekat, wajah Damai itu semakin jelas dalam pandangannya. Kembali mendekat, saat hanya pucat yang dapat dia lihat. Mendekat sampai hanya ranum merah yang menjadi titik utamanya. Dan, dia mengecupnya. Membuainya lembut, membawa dalam lumatan lumatan hangat antara bibir dengan bibir dan lelehan saliva yang saling membaur.
Menumpahkan rasa cintanya. Mencurahkan kasih sayangnya.
Karena putri salju akan terbangun di saat pangeran menciumnya.
Melepas tautan bibirnya secara perlahan. Kembali terdiam dan memperhatikan.
Dia sudah putus asa apa bila sosok itu tidak membuka matanya. Mencengkram rerumputan dengan kencang, dia harap keajaiban akan datang.
Matanya sudah memanas, dan saat tetes itu jatuh dan mengenai wajah sosok itu. Sosok itu membuka mata, menampakan kilau jernih yang mengagumkan.
Memeluknya erat, dia tidak percaya bahwa keajaiban akan datang menghampirinya. Dan dia berjanji akan melindungi dan menjaga cintanya dengan baik.
Sementara sosok itu tersenyum tulus, dan mengecup bibirnya halus sebagai jawaban rasa resahnya.
Seperti inikah ceritanya bukan? Kisahnya akan berakhir bahagia, dan cintanya mampu dia jaga.
.
.
"Cudah Cehunnie! Cecak ichh! Pelukan Cehunni tellalu ellat!" Luhan mendorong Sehun dengan cepat, berusaha melepaskan dirinya dari pelukan maut Oh Sehun.
Sehun merenggut tidak suka. "Yak! Lulu tidak boleh membentak pangeran! Kau haluth nurut pangeran!"
"Chilleo!" Pekik Luhan. "Cehunnie mengguncang badan Lulu kelac kelac! Lulu tidak cuka. "
"Aku hanya memerankan pangeran dengan baik. Pangeran pathti panik melihat putri pingthan."
"Tetap caja! Oohhh... Lihat gaun balu Lulu.. "
"Cudah Lulu bilang jangan di citu, di citu kotol! Tapi Cehunnie memaksa Lulu tidulan di cana! Lihat gaun balu Lulu, kotol kan!"
"Itthh.. Aku kan hanya mencari tempat yang baguth! Kenapa tidak Lulu thaja yang cari!"
"Lulu cudah Cali tempat, tinggal Cehunnie yang belum! Cehunnie ini bicanya apa cih! Cali tempat caja haluc Lulu teluc!"
Sehun membernggut kesal. Dia memalingkan wajahnya dan membelakangi Luhan.
Keduanya saling diam. Tak lama, Luhan menoleh dan memperhatikan Sehun.
"Cehunnie." Panggil Luhan pelan. Matanya mengerjap dan memperhatikan Sehun yang mendiamkannya.
"Apa Cehunnie malah? Maafkan Lulu, Lulu tidak belmakcud cepelti itu."
Sehun kecil tetap diam dan kedua matanya sudah merah berkaca-kaca.
"Cehunnie maapkan Lulu. Cehunnie tetap pangelan Lulu, jangan malah eoh? Nanti Lulu main putli calju belcama ciapa."
Luhan mengedarkan tatapannya dan matanya berbinar saat melihat apel bekas bermain putri salju tadi. Mengambilnya mengelapnya dan membersihkan bekas gigitannya lalu menyodorkan ke arah Sehun.
"Cehunnie, ini apelnya macih baguc. Ini untuk Cehunnie caja, aku hanya menggiigitnya cedikit. Kka, makanlah."
Sehun sama sekali tidak menjawab, dia malah terdiam dan berkaca kaca. Perlahan air mata mengalir di kedua pipi gembul Sehun.
Melihat Sehun menangis Luhan panik. Dia gelagapan tidak tahu harus melakukan apapun. Dengan segera tangan pendeknya terlurur dan memeluk Sehun.
"Cudah cudah.. Cup... Cup... Jangan menangic, Lulu tidak malah kok... Cup.. Cup... Maapkan Lulu ndee? Cehunnie jangan menangic. Nanti kalau kita belmain lagi telcelah Cehunnie mau apa caja."
Luhan mengoceh sambil memeluk dan mengelus punggung Sehun dengan tangan pendeknya. Sesekali dia tertawa dan membuat Sehun diam dan tersenyum kecil.
Cup
Luhan mengecup bibir Sehun pelan. Sehun mengerjap dan Luhan terkikik pelan.
"Ini hadiah putli untuk uli pangelan." Sehun menatap Luhan, dan Luhan hanya tertawa kecil. "Telimakacih. Karena pangelan mau menyelamatkan hidup putli. Tanpa pangelan putli tidak bica bangun lagi."
"Dan Cehunnie Lihat," Tunjuk Luhan pada gaun putihnya. "Gaun Lulu macih baguc, Lulu hanya minta Hallmonie untuk mencuci belcih. Pacti baguc kembali."
.
.
.
Tapi kehidupan tidak selamanya di atas. Ada kalanya kau merasa bahagia dan memiliki segalanya dan ada kalanya pula kau berada di bawah.
"Sehunnie... Cepat kejal akuu.. "
Luhan berlari sambil tertawa kencang, sementara di belakangnya Sehun berlari mengejar.
"Ahh.. Tidak, uli seligala jangan kejal! Pelgi hushh! Pelgiii!"
Luhan memekik kencang saat Sehun menangkap tubuhnya. Keduanya akhirnya jatuh dan berguling-guling di atas tanah.
Luhan meniup poninya. Debu memenuhi tubuhnya dan beberapa luka bertengger manis di tangan dan kaki kecilnya.
Luhan melirik Sehun yang hanya diam dan menundukan kepalanya.
"Sehunnie?" Tanya Luhan. "Sehunnie tidak apa-apa? Apa Sehunnie telluka."
Tak lama Luhan mendengar suara isikan.
"Aigooo... " Pekik Luhan. "Mana yang sakit, sini bial Lulu obati."
Luhan menghampiri Sehun dan duduk di depannya. Memeriksa tubuh Sehun. Luhan memperhatikan luka yang ada di lutut Sehun. Menatap gaun kesayangannya dan dengan berat hati membersihkan luka Sehun dengan gaunnya.
"Apa ini telasa sakit?" Tanya Luhan. Dan Sehun mengangguk mengiyakan. "Maafkan Lulu. Lulu akan lebih hati-hati."
"Apa ada luka lagi?" Tanya Luhan dan Sehun mengangguk. "Sebelah mana?" Tanya Luhan. Sehun lalu memberikan tangannya pada Luhan.
Luhan dengan telaten membersihkan luka Sehun tanpa peduli dengan luka luka yang ada di tubuhnya. Dia terus berceloteh dan sesekali tertawa pelan. Setelah dirasa selesai Luhan lalu meniup luka Sehun dan mencium lukanya.
"Nah, uli pangelan sudah sembuh? Jangan sedih lagi allayo?"
Sehun mengangguk kecil dan tersenyum. Perlahan tangan gembulnya meraih tangan Luhan dan memegangnya erat.
"Kita main kembali. Kajja!" Usul Luhan, dia lalu menarik tangan Sehun dan bangkit berdiri.
"Tapi Lulu tidak mau belmain seligala lagi. Itu melelahkan dan kita akan jatuh lagi. Lulu tidak mau."
Dan mereka kembali bermain, hingga lembayung senja datang.
.
.
.
Berhari-hari berbulan-bulan dalam putaran masa.
"Sehunnie lihat! Rambut Lulu sudah panjang!" Luhan memamerkan rambut panjangnya dan tersenyum senang pada Sehun.
Sehun yang berdiri menyandarkan tubuhnya di pohon hanya tersenyum simpul.
"Apa kau senang?" Tanya Sehun.
Luhan megngguk penuh antusias.
"Apa aku terlihat cantik?" Tanya Luhan.
Sehun diam tidak menjawab. Luhan yang melihat itu hanya harap harap cemas. Sehun akhirnya berjalan mendekati Luhan dan mencubit gemas hidung Luhan.
"Kau." Tunjuk Sehun.
"Jelek." Lanjutnya lagi yang mendapat protesan dari Luhan.
Sehun tertawa senang. Dia terkekeh lalu mendekati Luhan, mengusap kepalanya dan mengecup lembut kening Luhan.
"Kau akan tetap menjadi putri cantik bagiku."
Mendengar itu bocah berumur tujuh tahun itu merona parah. Oh, sejak kapan Sehun menjadi pintar merayu seperti ini.
"Ah, apa kau mau pergi ke suatu tempat?" Tanya Sehun. Dan Luhan mengangguk setuju. Tanpa aba-aba Sehun pergi dan berlari.
Luhan terkesiap, dia melihat Sehun berlari menjauh darinya. Menggerutu kesal dan akhirnya mulai berlari mengejar Sehun.
"Sehunnie! Tunggu!" Teriak Luhan. Nafasnya tersenggal dan keringat memenuhi wajahnya. Kembali mengejar Sehun dan memanggilnya.
"Sehunnie!" Namun Sehun malah tersenyum jahil dan berlari semakin cepat. Luhan terus mengejarnya dan tanpa sadar dia terjatuh.
Luhan memekik pelan. Dia meringis merasakan sesuatu yang menyengat dari kakinya. Sejenak dia melihat Sehun yang datang menghampiri dengan wajah cemas.
"Apa yang terjadi!" tanya Sehun. " Kau tidak apa apa kan?" Tanyanya lagi.
Luhan hanya menggeleng pelan. Sehun membantunya berdiri tapi Luhan tidak bisa. Kakinya lemas dan dia kembali ambruk, oh sepertinya dia terkilir.
Sehun dengan hati-hati mengusap pergelangan kaki Luhan yang bengkak. Dengan segera dia berbalik berjongkok di hadapannya.
"Naiklah." Ucap Sehun.
Luhan tampak ragu-ragu. Namun akhirnya dia menaiki punggung Sehun. Memeluk leher Sehun erat, dan memperhatikan wajah Sehun yang semakin hari semakin tampan. Ah Luhan merona.
"Sehunnie." Panggil Luhan pelan.
"Hm."
"Maafkan aku. Aku merepotkan."
Sehun tidak menjawab. Dia hanya terkekeh pelan. "Aku yang biasanya lebih merepotkan."
Luhan tersenyum. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada leher Sehun.
"Oppa." Ucap Sehun. Luhan hanya mengerjap tidak mengerti.
"Nde?" Tanya Luhan.
"Kau harus memanggilku Oppa. Mulai sekarang kau panggil aku Oppa."
Luhan mengerutkan alisnya.
"Aniya, kenapa harus." Protes Luhan.
" Tentu. Karena aku lebih tua darimu."
"Jika Lulu tidak mau?"
" Maka aku tidak mau menjadi pangeran lagi."
Luhan tertawa. Tangan kecilnya terulur meraih wajah Sehun. Mengusapnya dan mengecup pipi Sehun.
"Oppa." Panggil Luhan. "Uri Oppa sudah besar ya.. " Kikiknya. Dan Sehun hanya tersenyum kecil. Tanpa sadar keduanya sampai di tempat yang Sehun tuju. Dengan hati-hati Sehun menurunkan Luhan.
Mereka berhenti di sebuah bukit dengan padang rumput yang luas, beberapa bunga liar tumbuh di sana, dan tidak jauh dari tempatnya ada sungai yang mengalir jernih dengan beberapa bebatuan yang memenuhi.
"Duduk di sini dan tunggu aku. Biarkan aku yang melayani."
Luhan mengangguk. "Nde Oppa." Goda Luhan. Sehun hanya terkekeh pelan. Dia mengacak rambut Luhan gemas.
Sehun lalu mengitari bukit, memetik beberapa bunga dan merangkainya. Menghampiri Luhan dan kembali bermain di sana.
Setelah merasa lelah, Sehun duduk di samping Luhan. Menyerahkan mahkota dari rangkaian bunga yang dia buat. Memang tidak terlalu bagus, tidak rapi dan berantakan tapi Luhan menerimanya dengan wajah berbinar.
"Aku berikan ini untuk putri. Maaf jika jelek."
Luhan menggeleng dan tersenyum pada Sehun.
"Aniya, ini bagus. Lulu suka."
"Kau suka?" Tanya Sehun.
Luhan mengangguk antusias. "Nde! Lulu sukaaaa... Tolong pasangkan di rambut Lulu ya. Wahhh pasti rambut panjang Lulu bertambah cantik dengan bunganya."
Sehun hanya tertawa pelan. "Ya memang cantik."
"Lulu." Panggil Sehun pelan.
Sosok kecil itu mendongak dan tersenyum.
"Hm."
"Bagaimana jika kita tidak selalu bersama?"
Luhan mengerutkan alisnya.
"Lulu tahu kan, kadang-kadang kita bisa melakukan apa yang kita inginkan, tapi terkadang takdir memisahkannya."
"Lulu tidak mengerti." Ucap gadis kecil berumur tujuh tahun itu.
"Maafkan aku tidak bisa selamanya berada di sini."
"Tapi kenapa?" Tanya Luhan penuh kecewa. "Bukankah Sehunnie berjanji pada Lulu akan ada di samping Lulu terus, tapi kenapa pergi?"
"Maaf." Sehun menundukan kepalanya. "Mungkin ini hari terakhir kita bertemu."
Luhan tertawa hambar. Matanya memanas dia sebisa mungkin mencegah air matanya turun.
"Kenapa, bukankah baru saja Sehunnie meminta untuk dipanggil Oppa. Bukan kah Sehunnie bilang akan menjadi pangeran Lulu selamanya. Tapi kenapa pergi?"
"Besok Umma dan Appa akan pergi pindah jauh dari tempat ini. Aku sudah melarang mereka, tapi mereka tidak mau mendengarkan. Aku juga tidak bisa hidup sendiri di sini."
Dan air mata Luhan tumpah. Jika Sehun pergi lalu dia bersama siapa?
"Aniya. Jika Sehunnie pergi Lulu bersama siapa?"
Sehun menghampiri Luhan dan merangkulnya. Mengusap pipi Luhan dan tersenyum lembut.
"Sehunnie tidak akan melupakan Lulu. Suatu hari jika aku sudah besar, aku akan menjemput Lulu. Seperti pangeran yang memjemput putrinya— otte?"
Luhan hanya diam saja.
"Aku janji tidak akan lama. Hanya sebentar saja, dan Sehunnie akan menjemput putri lalu hidup bahagia."
"Janji?" Tanya Luhan.
"Janji." Jawab Sehun. Dia kemudian mendekat pada Luhan dan mengecup sekilas bibirnya.
"—ini sebagai bukti janji ku." Terang Sehun.
"Sekarang Kka, naik kembali. Kita pulang."
Keduanya berjalan dengan Luhan yang berada di atas punggung Sehun.
Tapi percayalah. Bahwa itu semua hanya janji semua. Mereka hanyalah dua bocah yang bahkan tidak mengerti apa itu cinta. Keduanya hanya saling percaya dan beranggapan bahwa suatu hari nanti mereka akan hidup bahagiaseperti dongeng pangeran dan putri salju.
Tanpa tahu roda kehidupan terus berputar, dan meninggalkan kenangan kecilnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Luhan merapikan rumah sederhananya. Dia tersenyum, ini adalah dua tahun sejak kepergian Sehun. Dan Luhan tumbuh menjadi seorang gadis yang teramat cantik.
Luhan bersenandung, kira-kura bagaimana keadaan neneknya, tadi malam neneknya mengeluh sakit leher dan Luhan hanya bisa memberikan bantuan yang dia bisa.
Mereka hanya hidup berdua. Kedua orang tua Luhan sudah bercerai saat Luhan masih bayi. Dan Luhan dibawa ibunya, namun sayang tak lama setelah mereka bercerai ibu Luhan harus pergi meninggalkan dunia.
Luhan hanya hidup. Berdua dengan neneknya dalam keadaan pas pasan bahkan cukup memprihatinkan.
Luhan membawa nampan makanan yang akan dia berikan pada neneknya. Melangkahkan kaki kecilnya. Membuka pintu dan duduk bersidekap dekat neneknya.
"Hallmonie." Panggil Luhan pelan. Tapi tidak ada jawaban.
"Hallmonie." Panggil Luhan lagi namun sama tidak ada reaksi. "Ayo bangun sebentar, kita makan dan minum obat dulu."
"Hallmonie." Luhan mengguncang tubuh neneknya tapi dia sama sekali tidak bergerak. Dengan was was Luhan membalik tubuh neneknya dan Luhan melemas. Di sana hanya terlihat neneknya yang terbujur kaku, matanya terbuka dan sudah tidak bernafas lagi. Dengan tangan bergetar Luhan menutup mata neneknya dan jatuh menangis. Memeluk jasadnya yang kini sudah tidak bernyawa.
.
.
.
Dan hal baik yang aku alami justru memperburuk semuanya.
Luhan diam memperhatikan jalanan. Menyenderkan tubuh kecilnya pada bangku mobil.
Awalnya Luhan bingung dia akan hidup seperti apa setelah neneknya pergi. Tapi perkiraannya salah. Tepat pada hari pemakamannya seseorang datang dengan memgendarai mobil mewah. Seorang pria turun dan menghampiri Luhan memeluk tubuhnya dan menangis di bahu kecil Luhan, dia berkata bahwa dia adalah ayahnya. Dia meminta maaf pada Luhan karena selama ini mengabaikannya dan membuat Luhan menjalani kehidupan yang sulit.
Tidak lama, Ayahnya mengajak Luhan pergi kerumahnya dan hidup bersama. Dan Luhan setuju untuk tinggal bersama Ayahnya.
"Tidak tidur?" Tanya Yunho.
Luhan mendongak, tersenyum dan menggeleng.
"Tidak, aku ingin melihat-lihat sekitar."
Yunho merangkul tubuh Luhan dan menyadarkannya pada tubuh tegapnya.
"Istirahatlah, perjalanan masih panjang. Appa tidak ingin kau kelelahan."
Luhan tersenyum dan menggeleng kecil.
"Tidak apa-apa Appa. Lagpula ini menyenangkan dan aku bisa tahu banyak hal."
Yunho hanya tertawa kecil dan mengusap kepalanya penuh sayang. "Jika seperti itu, biarkan Appa memelukmu selama perjalanan ini. Appa sudah lama tidak bertemu, dan Appa sangat rindu."
Luhan mengangguk. Dia lalu merapatkan tubuh kecilnya pada Yunho. Dan tersenyum senang karena pada akhirnya seseorang yang tidak pernah berani ia bayangkan datang dan begitu dekat dengan Luhan.
"Appa menyayangi Luhan. Maafkan Appa."
"Hm. Luhan punya menyayangi Appa, terimakasih karena Appa mau menjemput Luhan di sana."
Yunho mencium pipinya dan semakin memeluknya erat. "Bukan masalah. Karena Luhan segalanya bagi Appa."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Fifteen years Later
.
.
Luhan mengenakan tuxedo hitam. Rambut pendeknya ia sisir rapih. Sedikit merapihkan dasinya dan mulai melangkah maju.
Melihat keadaan sekitar, dapat Luhan lihat beberapa gadis memekik senang melihatnya. Wajah mereka bersemu melihat bagaimana paras Luhan kali ini.
Luhan hanya mendengus sebal. Matanya melirik malas dan Luhan kembali mendengus.
Dia melirik sekitar dan menyeringai. Mengibaskan rambutnya dan menyisir kebelakang menggunakan jari-jari tangannya. Cahaya matahari menyorot terik, menyinari wajahnya membuat Luhan menyipitkan matanya. Tersenyum mematikan dan berbagai jeritan permpuan di sana terdengar memekakan telinganya.
"Aku tahu kau tampan. Tidak perlu tebar pesona seperti itu."
Suara bernada malas milik Chanyeol terdengar di sebelahnya, dan Luhan mencibir kesal. Merusak suasana saja batin Luhan dongkol.
"Sana pergi cepat, jangan sampai ayahmu menunggu lagi."
Luhan menyikut perut Chanyeol keras, berbalik lalu tersenyum simpul. "Tentu, terimakasih sudah mengingatkanku Hyung."
Chanyeol mendesis pelan. Ia berdecak kesal. Orang ini benar-benar, jika Luhan bukan sahabatnya sudah sedari lama Chanyeol menghabisi orang itu. Tapi sialnya Luhan adalah teman satu perjuanagnnya, meski Chanyeol malas mengakui tapi sedikit banyaknya Luhan membantu hidup Chanyeol terutama masalah asmaranya.
Chanyeol mendengus kecil.
"Pergi dan carilah perempuan. Berhenti tebar pesona dan mulailah sesuatu dengan serius. Aku bosan melihatmu mengganggu di acara kencanku."
Luhan berbalik dan mengangkatbbahunya ringan.
"Hatiku terlalu rumit Hyung. Aku tidak bisa membiarkan mereka menanggung nya." Luhan menampilkan wajah sedihnya.
Chanyeol berdecak sebal dan ingin melempar sepatu ke wajah itu. Mengetahui wajah kesal Chanyeol Luhan tertawa dan dengan segera masuk kedalam restoran.
.
.
Namun apa yang Sehun janjikan itu bohong.
Dia tidak pernah ada untuk datang dan menemui. Dia tidak pernah ada untuk datang dan mencari.
Sehun tidak ada di saat masa-masa sulitku. Di saat aku hanya hidup sendiri tanpa seseorang sekalipun.
Setelah kematian Hallmonie Appa datang. Saat itu aku pikir kehidupan ku akan membaik. Namun aku salah, Appa menyayangiku hanya sebagai anaknya, bukan sebagai Luhan. Dia menekanku, dan dia hanya menganggapku sebagai anak laki-lakinya.
Dia akan marah apabila aku bertingkah seperti perempuan, dia mendidikku dengan kejam dan memperlakukanku layaknya pria dewasa.
Kini aku faham, mengapa dulu ibuku memgambilku dan rela hidup susah bahkan hingga kematiannya.
"Maafkan aku terlambat, Appa."
Luhan duduk dan menghampiri ayahnya yang sudah duduk menunggu di meja restoran. Menundukan kepalanya dan mulai duduk di salah satu kursi.
Yunho— ayahnya, hanya tersenyum ringan.
"Tidak apa-apa, lagipula aku datang terlalu awal."
"Appa." Panggil Luhan,Yunho mendongak dan menyahut samar.
"Hm."
"Sebenarnya ada perlu apa, hingga aku harus datang kemari dan Appa langsung yang mengaturnya."
"Appa hanya ingin kau bertemu dengan seseorang, dia akan menjadi partner bisnismu kali ini. Kalian akan bekerja sama dalam mengelola suatu proyek. Dia adalah orang yang hebat, dan Appa harap kau belajar banyak darinya."
"Ingat, jaga sikapmu. Jangan banyak berulah dan buat Appa bangga." Ucap Yunho. Dan Luhan hanya mengangguk mengiyakan.
"Hm, seperti itu." Yunho mengacak rambut Luhan. "Kau memang putra kebanggaan Appa."
Luhan melirik sejenak, diam lalu tersenyum.
"Ya, aku memang putra kesayangan Appa." Lanjutnya.
Tak lama seseorang datang dan memberi salam kepada mereka. Luhan mendongak dan terdiam.
"Maaf aku terlambat." Seseorang itu berucap dengan suara bariton yang berat.
"Ah tidak apa lagipula kami baru saja datang kemari. Duduklah dan pesanlah makan terlebih dahulu." Yunho tersenyum dan menyambut dengan hangat.
"Ah terimakasih Mr. Jung, atas pengertian anda."
"Ah, tidak perlu sungkan. Duduklah, santai saja kita tidak sedang berdinas saat ini."
Sosok itu tertawa. Dan dia mengangguk. "Ah ya, anda benar. Sepertinya aku terlalu kaku di sini."
"Tidak tidak." Sanggar Yunho. "Aku menyukai pria sopan."
"Ah, anda terlalu memuji." Balas Sehun sambil tertawa.
"Hahaha tidak. Aku hanya berkata jujur."
Luhan diam. Tangannya mencengkram erat, dan Luhan sebisa mungkin mengontrol ekspresinya. Apakah dia—
"Sehun-ssi, aku senang mengetahui kau menyetujui proposal kami. Aku tidak menyangka aku bisa melakukan kerja sama denganmu."
Sehun?
Luhan bertanya dalam hati.
Apakah itu benar dia?
Tapi kenapa harus dalam keadaan seperti ini? Luhan menundukan kepalanya dan tangannya terkepal kencang.
Luhan merasa bahwa dia— menjijikan.
"Ah, anda terlalu merendah. Aku justru merasa senang karena bisa membangun kerjasama dengan anda. Anda adalah role model bagi kebanyakan pebisnis muda seperti kami. " Sehun kembali menimpali percakapan.
Tidak lama hidangan datang dan pramu saji itu mulai menata hidangannya di atas meja.
"Kau memang pandai memuji." Puji Yunho. "Aku merasa akan jadi masalah besar apabila terus berada di sekitarmu."
Sehun tertawa ringan. "Ah anda bisa saja Tuan Jung. Aku hanya berkata jujur."
Yunho kembali tergelak. "Anda benar-benar Sehun-ssi. Baru kali ini aku merasa tersanjung."
Sehun tersenyum kecil sebagai jawabannya.
"Ah ya, perkenalkan ini Luhan putra ku. Kau bisa bekerja sama dengan baik dengannya. Dia cukup pandai dan pekerja keras, aku harap kalian berdua mampu bekerja sama dengan baik."
Sehun meluruskan tatapannya, menatap Luhan dan pandangan keduanya saling bertemu. Diam sejenak, sehun mencoba memperhatikan setiap detail sosok di hadapannya.
Sehun tersenyum dan membuka suara.
"Salam kenal Luhan-ssi. Aku harapan kita dapat bekerja sama dengan baik."
Luhan masih terdiam, sesaat kemudian dia tersadar dan balas tersenyum. "Salam kenal juga Sehun-ssi. Aku harap aku tidak mengecewakan."
"Ah ya Sehun-ssi apa kau ke sini sendirian, aku pikir kau akan bersama seseorang." Tanya Yunho.
"Hem, ya. Aku bersama seseorang." Jawab Sehun. "Mungkin sebentar lagi dia kemari. Dia sedang ada urusan sebentar."
"Hem... Seperti itu." Yunho mengangguk paham.
Di lain sisi Luhan hanya diam. Matanya memanas, apakah Sehun masih mengingat janji lamanya? Apakah Sehun masih memgingatnya. Apa Sehun tidak jijik terhadap dirinya.
Luhan mengerutkan dirinya, mengambil garpu dan mulai mencengkramnya erat.
Tak lama seseorang wanita datang dan menghampiri mereka. Dia menunduk mengucapkan salam dan ikut bergabung.
"Ah maaf aku terlambat. Ada sedikit hal yang harus aku urus tadi." Ucapnya wanita itu. Dua tersenyum manis dan berperilsku anggun.
"Oh bukan masalah." Terang Yunho. "Jad kau bersama agassi ini. Jika boleh aku tahu, siapa perempuan yang cantik ini Oh Sehun-ssi."
Luhan menunduk. Cengkraman pada garpunya semakin mengerat, tidak Luhan pedulikan rasa sakit pada saat garpu utu mengoyak tangannya.
Bahkan ayahnya memuji wanita lain, tapi dia tidak pernah mau menatapku.
"Oh nde. Tentu Mr. Jung." Jawab Sehun. "Ah perkenalkan dia adalah Irene, dan dia tunangan saya."
Yunho tertaw dan mulai memuji betapa serasinya Sehun dan Irene. Sedangkan Luhan hanya diam memperhatikan. Tersenyum kecil namun tangannya mencengkram erat garpu, membiarkannya menusuk lebih dalam lagi dan membuat Luhan mencoba melupakan rasa sakitnya.
Luhan melepaskan cengkramannya. Dan rasa pening menyergap kepalanya, saat dia mencoba menahan rasa sakit di tangannya.
Luhan memejamkan matanya, mencoba menetralkan rasa sakitnya.
"Appa, maaf menyela." Ucap Luhan mencoba tersenyum.
"Hem tentu nak, ada apa?"
"Aku pergi ke belakang sebentar."
"Ya." Yunho menjawab.
"Apa kau sakit?" Tanyanya lagi, tangannya terulur mengusap keringat di dahi Luhan dan menatap penuh khawatir pada wajah pucatnya.
Luhan tersenyum.
"Ani apa. Aku baik-baik saja. Tidak perlu hawatir."
Luhan lalu beranjak dan berjalan menuju tempat tujuannya.
"Ah maaf Mr. Jung." Sela Sehun.
" Ya ada apa Oh Sehun-ssi?"
"Aku juga izin kebelakang sebentar."
"Oh, tentu. Silahkan."
.
.
.
Luhan memasuki rest room. Melihat sekitarnya dan menghela nafas saat mendapati hanya ada pria di sekelilingnya.
Oh, kapan kah dia bisa hidup normal?
Menyenderkan tubuhnya menatap bayangannya yang terpantul di cermin. Menghela nafasnya kasar dan Luhan mulai membasuh wajahnya menggunakan tangan kirinya.
"Aku pikir kau cukup menyeramkan juga." Sehun datang dan menghampiri Luhan meraih tangan Luhan dan menariknya.
Memperhatikan luka di tangan Luhan dan meringis pelan.
"Cukup dalam." Komentar Sehun.
Luhan menatap Sehun tidak suka. Dia berusaha menarik tangannya namun ditahan oleh Sehun.
Sehun hanya bersikap acuh, dia lalu meminta pada staff yang kebetulan lewat untuk membawa kotak obat.
Sehun menarik paksa tangan Luhan dan membasuhnya dengan air. Mengambil beberapa lembar tisu lalu mengeeingkannya.
"Jadi namamu adalah Luhan?" Tanya Sehun. Luhan hanya menggumam samar.
"Kenapa lakukan hal ini?" Tanya Sehun lagi.
"Bukan urusanmu."
"Apa kau seorang— masokis?" Tanya Sehun dan Luhan menatap Sehun tajam.
"Oh, sepertinya bukan."
Tak lama staff itu datang dan menyerahkan kotak obatnya pada Sehun. Sehun menerimanya dan mengucapkan terimakasih. Mulai membuka dan mulai mengobati luka Luhan.
"Tahanlah sedikit ini mungkin akan terasa sakit." Sehun lalu mengoleskan alkohol pada lukanya. Memberikan povidone iodine dan mulai meniupi tangan Luhan.
Luhan meringis pelan. Ih benar-benar, ini terasa sangat sakit.
Sehun mrmgambil kain kasa dan memasangkannya pada Luhan.
"Sudah. Aku harap kau tidak bertindak ceroboh lagi Luhan-ssi."
Luhan hanya mengangguk samar. Dan berucap terimakasih lalu dia melangkah keluar.
Sehun mengikutinya dia belakang dan saat mereka keluar Irene sudah menunggu mereka di depan pintu. Dia tersenyum lalu mengecup bibir Sehun.
"Sayang, mengapa lama sekali. Aku tidak enak hati pada Tuan Jung dan menyusulmu kesini. Tapi kau lama sekali aku pikir ada sesuatu yang terjadi padamu di dalam sana."
Sehun terkekeh pelan dia balas mengecup bibir Irene dan mengelus kepalanya sayang.
"Tidak apa-apa sayang. Aku hanya ada urusan sebentar tadi kau tidak perlu hawatir."
Irene merenggut tidak suka dan Sehun terkekeh pelan. Mencubit hidungnya gemas dan kembali tertawa. Keduanya lalu pergi meninggalkan Luhan yang hanya terdiam menatap interaksi mereka.
Aku hanya berharap kau mengingatku saja, apa itu terlalu berlebihan?
.
.
.
Sehun dan Luhan keduanya kini tengah berada di sebuah tempat makan. Membicarakan perihal proyek yang mereka jalani.
"Untuk masalah tempat, aku pikir kita tidak harus mencari tanah yang berada di kermaiaan kota. Mencari suatu tempat yang potensial juga lumayan. Kau tahu Distrik Y. Aku rasa tempat itu cukup potensial, tidak terlalu jauh dari jantung kota, masih luas dan aku dengar beberapa bagian lahan di sana sudah dibeli untuk pembangunan kampus."
Luhan menerangkan dan Sehun hanya diam mendengarkan.
"Ah untuk masalah lokasi, aku rasa kau yang lebih tahu mana yang berpotensi dan mana yang tidak. Aku percaya, kau juga tinggal di sini dan bisa mengamati pelaku konsumen kita seperti apa. Dan strategi apa yang harus kita lakukan."
"Hm." Jawab Luhan. "Aku rasa kau terlalu lama pergi dari negeri ini hingga melupakan beberapa hal."
Sehun hanya tertawa mendengarnya.
"Dan untuk masalah kontruksi bangunan aku rasa Oh Sehun-ssi yang lebih mumpuni dan tahu hal seperti apa yang harus dilakukan."
"Jadi kapan kita mengadakan rapa?" Tanya Sehun.
"Jangan terlalu terburu-buru. Kita harus meninjau lokasi dan melihat seperti apa medan disana. Mempertimbangkannya lalu kita adakan rapat."
"Ya." Sehun mengangguk setuju.
"Lalu kapan kita akan pergi meninjau lokasi?"
"Sekarang jika kau ada waktu juga boleh. Kita bisa langsung pergi ke sana."
"Tentu. Tapi jika Luhan-ssi tidak keberatan aku mengajak tunanganku apa itu boleh"
Luhan mengangkat bahunya ringan. "Tentu, bukan masalah." Ucapnya santai.
"Ah sebaiknya kita berangkat sekarang."
"Ya."
Keduanya berjalan menuju parkiran. Saat Luhan akan masuk mobil Sehun menahannya.
"Ah, Luhan-ssi bagaimana jika kau ikut mobiku saja. Karena aku tidak tahu lokasinya, selain itu kau bisa menunjukan arah kau juga bisa menjelaskan potensi apa yang ada di sekitar sana dan jalan alternatif apa yang bisa kita gunakan."
"Ya, kenapa tidak." Jawab Luhan. Dan Sehun tersenyum.
"Naiklah. Tapi tak apa jika mengikutiku sebentar, aku harus menjemput Irene terlebih dahulu."
"Hm bukan masalah."
Luhan menaiki mobil dia duduk dan memperhatikan jalan.
"Sudah berapa lama kalian berhubungan?" Luhan mulai memecah keheningan. Dan bertanya pada Sehun.
"Cukup lama, kami saling mengenal sebelum kami masuk Universitas."
"Kau terlihat sangat mencintai pasanganmu ya?" Puji Luhan.
"Ah tentu. Dia adalah perempuan yang aku cintai."
Luhan hanya diam dan meremas celananya.
"Kau beruntung mendapatkan wanita seperti dia."
"Ya. Aku sangat beruntung." Jawab Sehun sambil tersenyum. Binar-binar bahagia nampak terlihat di matanya. Luhan hanya memalingkan wajahnya.
Lalu mobil berhenti dan Irene membuka pintu. Namun dia cukup kecewa mendapati Luhan ada di kursi depan.
"Ah Irene-ssi kau tidak perlu ke belakang. Biar aku saja."
"Maaf merepotkan Luhan-ssi." Sesal Sehun. "Aku tidak enak hati kepadamu."
Luhan hanya tersenyum. "Bukan masalah besar. Aku mengerti perasaan Irene-ssi, lagipula bukankah kita harus mengalah pada perempuan?"
Sehun tertawa. "Ya. Ladies first."
"Ladies first." Ulang Luhan dengan senyum kecutnya.
Luhan naik ke bangku belakang. Dia menyandarkan kepalanya dan melihat interaksi antara Sehun dan Irene. Hanya diam dan sesekali menjawab saat Sehun bertanya jalan mana yang harus dia ambil.
Dan mereka sampai. Mereka tutup dan melihat-lihat keadaan sekitar.
"Distrik ini cukup luas. Dan proses pembebasan tanah di sini cukup mudah."
"Dan lihat di sebagian sana." Luhan menunjuk pada sebidang tanah yang ditutupi beberpa papan. "Di sana akan dibangun Universitas. Universitas ini cukup besar dan luas. Dan mungkin antara sebalah sana atau beberapa kilometer dari sini akan dibangun mall, melihat potensi yang ada di sekitar sini."
Sehun hanya mengangguk. Dia mulai berjalan dan memperhatikan keadaan sekitar. Melihat-lihat dan bertanya beberapa hal.
Irene yang berada di samping mereka hanya diam mengikuti sesekali merapatkan tubuhnya pada Sehun.
"Irene-ya, kau bisa istirahat di mobil saja jika merasa lelah. Aku dan Luhan-ssi mungkin masih lama. Tidak apa, tidak perlu menemaniku, aku tidak ingin kau kelelahan."
Irene mengangguk dia lalu memeluk Sehun mengecup pipinya lalu pergi ke mobil.
Dan setelah perjalanan panjang, melihat-lihat kedaan sekitar Sehun dan Luhan langsung masuk ke mobil.
Luhan langsung menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya sebentar.
Mereka berhenti di salah satu Mall, alasannya mereka perlu mengisi perut mereka dan Irene ingin mengambil gaun yang telah dia pesan di butik yang ada di sini.
Mereka memasuki salah satu restoran yang ada di sana, memesan makanan dan kembali berbincang.
"Kalian sangat serasi." Ucap Luhan.
Irene tersenyum malu dan memeluk lengan Sehun.
"Benarkah?"
"Ya." Jawab Luhan.
"Tentu, bukankah aku wanita satu-satunya yang kau sayangi kan Opaa?" Tanya Irene pada Sehun.
Sehun mengangguk. "Ya, hanya kau satu-satunya wanita di hidup Oppa."
Luhan melihat itu hanya mengernyitkan alisnya. Satu-satunya? Kau memang benar-benar melupakanku. Aku menyesal sempat mengharapkanmu datang lalu membantuku.
"Ah maafkan aku Luhan-ssi. Seharusnya aku bersikap profesional di sini dan tidak mengumbar kemesraan."
Luhan hanya tersenyum maklum. "Tidak apa-apa. Itu wajar. Aku mengerti perasaan kalian."
Makanan datang. Dan saat Luhan ingin memakannya, perutnya terasa sakit. Menggeram pelan, mencoba menetralkan rasa sakitnya dan Luhan tersenyum bertingkah biasa di hadapan Sehun dan pasangannya.
Mulai memakan makanannya dan Luhan harus menhan rasa mual melihat tingkah manja Irene pada Sehun.
Setelah selesai. Sehun meminta Luhan untuk menemaninya dulu ke butik tempat Irene mengambil pesanan.
Luhan diam mengikuti. Dia juga ikut melihat-lihat beberapa gaun yang terpajang di sana. Sehun sendiri hanya duduk menunggu Irene mencoba di kamar pass. Tak lama Irene keluar dengan gaun putih di tubuhnya.
Luhan akui dia sangat cantik, dan Luhan melihat betapa senangnya Sehun melihat Irene memakai gaun itu.
Luhan hanya diam. Memperhatikan beberapa gaun manis di sana. Sehun dan Irene mengajak Luhan pulang tapi Luhan menolaknya.
"Tidak apa-apa, kalian pulanglah dulu. Aku tahu kalian memerlukan waktu bersama. Lagipula ada suatu hal yang harus aku urus. Aku cukup meminta sopir untuk menjempitku."
"Terimakasih atas pengertiannya Luhan-ssi. Kami pergi terlebih dahulu. Maafkan kami."
Luhan hanya menggeleng. "Bukan masalah." Jawabnya.
.
.
.
Setelah mereka pergi Luhan masih diam lalu melihat-lihat. Oh sungguh ini sangat indah, jujur Luhan iri pada Irene yang bisa memakai apa saja yang disukainua. Sedangkan dia?
Luhan menghembuskan nafasnya kasar.
Dia lalu melihat-lihat dan memilih satu. Apakah tidak apa-apa bila dia memakai ini? Apakah akan terjadi masalah? Tapi bolehkah Luhan merasakan sesuatu hal yang normal walau sedikit saja.
Menatap sedih. Luhan lalu meminta pelayan untuk mengambilnya dan mengosongkan salah satu ruangan sebentar agar tidak ada siapapun yang melihat dia di sana dan meminta satu wig panjang. Berjalan menuju kamar pass dan mencobanya.
.
.
.
Baekhyun dan Chanyeol sedang mengadakan kencan. Chanyeol pusing mendengar ocehan Baekhyun tentang ini dan itu, belum lagi omelannya yang bilang jika Chanyeol pelit waktu juga uang.
Maka Chanyeol memyeret Baekhyun ke sini dan membiarkan dia bersenang-senang dan menguras isi dompetnya.
Baekhyun berjalan dengan senang. Dengan berbagai kantung belanjaan berada di tangan Chanyeol. Dia menikmati waktunya juga kesenangannya.
Saat mereka melangkah tanpa sengaja Baekhyun melihat Luhan di sebuah butik dengan satu gaun di tangannya.
"Yeol!" Panggil Baekhyun. "Bukankah itu Luhan?!" Tanyanya penuh antusias.
"Oh dan lihat itu, ada gaun ditangannya! Mengapa kau tidak bilang jika Luhan sedang dekat dengan seorang perempuan!"
Chanyeol hanya meringis pelan mendengar omelan Baekhyun.
"Dia saja tidak cerita kepadaku."
Baekhyun berdecak kesal. Si bodoh itu. Ucapnya dongkol. Dia lalu menyeret Chanyeol menuju tempat Luhan berada.
Saat akan masuk ke salah stu ruangan seorang staff di sana menahannya.
"Maaf tuan, nona. Anda tidak bisa masuk."
Baekhyun mengerutkan alisnya. "Kenapa? Aku melihat temanku masuk dan aku ingin ke sana."
"Tidak bisa nona. Dia meminta saya agar tidak ada yang masuk, siapapun orangnya."
"Dengar nona, dia adalah sahabat saya. Saya sudah mengenalnya lebih dari waktu pertemuan anda tadi. Aku yakin bukan masalah besar jika kami masuk. Lagipula aku bukanlah salah satu orang yang akan dia kejutkan. Jadi itu bukan masalah besar."
Wanita itu tampak ragu. Namun dia mempersilahkan.
Saat mereka berdua masuk mereka bertatapan dengan Luhan yang hati saja keluar dari kamar ganti. Luhan tersenyum senang, setelan armany yang dia pakai tadi kini menggantung di tangannya. Luhan mendongak dan pandangan mereka bertemu.
Baekhyun terdiam, melihat Luhan yang mengenakan gaun itu. Luhan sendiri langsung menunduk dan berjalan mundur. Menutupi tubuhnya dengan jas yang dia pegang. Luhan benar-benar terlihat menyedihkan.
"Jangan benci aku." Ucap Luhan tercekat. "Jangan jijik padaku."
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
Halo all
DEMI APA, INI APA?! —oops maap caps jeboll..
Hahaha berhubung aku ikut event project ini dan sudah sedari lama ini cerita bergentayangan di kepala dan akhirnya lahirlah ini... Yeayyyy. —dasar author maruk lupa daratan dan kutang*
Oke ini adalah project ff HunHan Bubble March. Yang di ikuti sama author author kece banang... Untuk sekarang lupakan kutang dulu, aku pengen ikutan meramaikan hahahaha...
Dan ini berbentuk twosome— ekhemm maaf maksudku twoshoot. Chapter selanjutnya di up secepatnya ya... Hahaha plis jangan penggal kepalaku...
Jujur siapa yang ketipu pas bagian awal... Hahaha hayo ngakuuu ^o^...
Dan saya juga berterimakasih kepada Catastrophe Reynah, Apriltaste, sehooney, ramyoon, dan Arthur Kingg yang sudah mengadakan event ini juga ikut berpartisipasi... Aku padamuhhh unncchhh kekekeke
Oke mungkin itu saja..
See you...
.
.
.
.
Mind to Review?
