Samurai Champloo
Chapter 1 - Intro, Destiny
Saya Fuu, seorang gadis tegar yang kini berpetualang seorang diri menuju ke arah utara. Petualangan bersama dua orang pemuda yang bertindak sebagai bodyguard-ku telah memberikan kenangan yang tak terlupakan. Mugen, pemuda yang bertindak sembrono dan seenaknya; Jin, seorang pemuda pendiam yang bahkan tidak kuketahui apa yang ada di pikirannya. Dua orang yang sukar ditebak, tapi entah kenapa, kedua pemuda yang kukenal dua tahun yang lalu telah menarik perhatianku, entah dari penampilan atau sikap mereka.
Apakah aku akan bertemu mereka lagi? Hanya takdir yang menjadi harapan terakhirku.
Kini aku berjalan di tanah kering dan gersang. Matahari yang menyilaukan benar-benar memancarkan kehangatannya di atas dataran ini. Angin bertiupan dari arah barat. Debu-debu yang berterbangan terlalu mengganggu pemandangan! Bayangkan apabila sekarang musim semi, angin sepoi-sepoi dilengkapi dengan daun-daun yang berguguran. Aaah... Sayang sekali, musim panas muncul sejak satu bulan yang lalu. Haus dan lapar. Ingin sekali minum sesuatu yang segar.
''Panas sekali!'' teriakku pada jalanan yang sepi ini. Orang yang berjalan dihadapanku pun tidak menghiraukanku. Tiba-tiba saja seorang kakek berjanggut putih dan memakai topi anyaman menghampiriku dari arah belakang. Ia membawa keranjang besar yang penuh dengan buah-buahan segar di punggungnya. Darimana datangnya buah-buahan tersebut? Yang kulihat hanyalah rumput-rumput liar di sekitar. Apakah ia baru datang dari kota sebelah?
"Nak, kamu kepanasan?'' tanyanya dengan suara seraknya.
''Apakah kakek tidak lihat! Hari ini panas sekali! Dalam seminggu ini, hari inilah yang paling panas! Panas!'' Kugenggam tanganku seakan-akan memarahi kakek tersebut. Masih bertanya 'kepanasan'.
''Mau buah-buahan?" Ia menyodorkan buah apel dengan tangan keriputnya.
Ia bertanya dengan tenang, seolah-olah keluhanku tidak didengarnya. Entah pendengarannya yang kurang atau ia hanya bersikap manis saja.
"Tentu saja! Siapa yang tidak mau?'' jawabku dengan penuh semangat dan antusias.
''Dengan syarat.''
''Syarat?'' Kubelakangi tanganku dan memiringkan kepalaku, syarat apa yang akan diinginkan kakek tersebut. Semua perkiraan syarat tersebut memenuhi pikiranku. Pertama, aku diminta mengangkat keranjang itu. Hmm, kalau begitu sih tidak apa-apa. Akan kubawa kabur keranjang itu. Hehehe. Kedua, mungkin ia ditinggal istrinya dan aku diminta mengurus urusan rumah tangga. Hah, aku tidak mau. Ketiga, aku akan diminta menjadi seorang pelayan karena kakek tersebut memiliki usaha kedai di rumahnya. Mengingatkanku pada pekerjaanku sebelum berpetualang, seorang pelayan! Aku akan bertemu dengan laki-laki tidak berguna yang hanya menghabiskan waktunya dengan wanita dan sake. Tidak! Keempat, aku akan dijual ke rumah bordil! Hanya untuk sebuah apel! Pikiranku mulai kacau karena sinar matahari terik yang menyengat kulitku.
''Ya, syarat.'' Kakek tersebut mulai menyodorkan apel di tangannya lagi.
''Syarat apa? Jangan yang aneh-aneh!''
''Tidak. Tidak aneh. Sebelumnya terima dulu persyaratanku.'' Matanya mulai memancarkan kesedihan yang dalam.
''Baik.. Baiklah,'' jawabku tanpa berpikir apa persyaratannya.
''Aku punya seorang anak, namanya Ryu. Perawakannya tinggi. Laki-laki yang baik.'' Kakek tersebut terdiam, seolah-olah hanyut dalam imajinasinya. Apa ia akan menjodohkanku? Wah, kesempatanku untuk mencari pasangan telah tiba. Aku akan menikah dan tinggal bersama suamiku dan si kakek itu. Hidup tenang dan si kakek akan meninggalkan warisannya pada gadis cantik seperti aku ini. Pikirku dengan senang. Senyuman pun muncul dari mukaku. Entah apa yang dipikirkan si kakek. Setelah dua tahun bertemu dengan Mugen dan Jin, aku tidak pernah dekat dengan seorang pemuda lain. Memang ada perasaan-perasaan aneh ketika memikirkan kedua pemuda tersebut, tapi aku tidak tahu apakah itu perasaan cinta atau bukan.
''Ia... Ia kabur empat tahun yang lalu. Ia juga meninggalkan surat.. Bahwa ia akan menjadi seorang samurai. Kini aku tidak tahu ia dimana. Tidak ada kabar darinya. Menjelang akhir hayatku, aku ingin bertemu dengannya. Ingin berbicara padanya.'' Kandas sudah mimpi-mimpiku di siang bolong ini, tetapi air mulai meluap di musim panas ini. Air meluap di musim panas? Ya, air yang meluap di matanya. Tangisan yang seolah-olah ditahannya selama beberapa tahun ini.
''Baik, kek. Bagaimana rupanya? Kakek ada gambarnya? Apakah ada ciri-ciri khusus?'' Si kakek pun memberikan gambar wajah anak laki-lakinya dari saku sambil menahan tangisnya. Aku hanya terdiam mendengar bisikan kakek tentang ciri khusus anaknya dan melihat rupa wajah anak laki-laki tersebut. Diam dan tenang.
''Aku akan mencarinya,kek. Sebelumnya, bolehkah aku meminta apel itu? Sepuluh buah, boleh? Sebagai pemenuhan syaratmu.''
''Terima kasih banyak,'' katanya sambil memberikan sepuluh buah apel dari keranjang tuanya yang besar.
Setelah menerima apel-apel tersebut, aku mulai melanjutkan petualanganku ke arah utara. Dalam perjalanan, aku berpikir sejenak tentang gambar tersebut sambil memakan apel pemberian kakek. Gambar rupa anak laki-lakinya terus memenuhi pikiranku dan membuat perasaanku kacau. Kenapa? Bagaimana tidak? Wajah anak laki-laki itu mirip dengan wajah Jin. Bahkan persis! Kacamata yang digunakan Jin sama dengan yang dimiliki anak laki-laki kakek. Samurai. Jin adalah samurai yang tangguh. Ia juga tinggi. Apakah anak laki-laki itu adalah Jin? Pikiranku mulai menerawang entah kemana dan perasaanku mulai mengeluarkan teriakan-teriakan yang tak dapat diredakan begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab jika aku bertemu dengan Jin, tetapi Jin dimana. Kini aku hanya dapat melanjutkan perjalananku.
