Title: Bitter Memory
Chapter: 1/?
Genre: yaoi, drama
Warning: AU, mpreg, mxm relationship, un beta-ed
Pairing: aoixuruha (more to come)
Disclaimer: I wanna have one of them especially Aoi~ (=='') but poorly, I can't!
~~ooO0Ooo~~
Uruha duduk di atas bangku dekat sebuah bangunan hotel ternama. Ia terisak pelan. Teringat kembali pada peristiwa pahit satu bulan lalu. Di malam ketika ia bertemu Aoi, idolanya. Di malam ketika ia menyerahkan kesuciannya kepada pria yang sangat ia kagumi. Sungguh tindakan bodoh. Ya, ia sadar ia bodoh.
Dan sekarang, apa yang terjadi? Ada bayi dalam perutnya. Tentu saja hasil dari malam terlarang mereka. Uruha hanya ingin Aoi tahu dan mengakui bahwa ia ayah dari bayi yang ia kandung. Jauh lebih baik bila Aoi mau bertanggung jawab atau setidaknya ia setuju untuk ikut membesarkan anak mereka. Tidak, Uruha tidak berharap Aoi menikahinya. Karena ia tahu itu bukan ide yang cukup bagus. Malah buruk untuk reputasi Aoi. Ia pun tak yakin Aoi akan mau. Dia kan aktor terkenal.
Yeah, itu menjelaskan mengapa ia sampai berada disini. Di atas bangku taman, sendirian sementara butiran-butiran salju mulai turun. Ia habis menanyakan keberadaan Aoi pada pihak hotel tempat ia menginap selama proses syuting film berlangsung. Namun kata resepsionis hotel tersebut, semua kru, aktor, dan aktris yang terlibat dalam proses pembuatan film itu sudah pulang sejak 2 hari yang lalu. Karena pekerjaan mereka telah selesai.
Lalu apa yang akan ia lakukan? Apa yang akan ia katakan kepada kedua orangtuanya nanti? Ia baru lulus SMA minggu lalu. Ia juga belum mampu menopang kehidupannya sendiri. Apalagi sekarang usianya baru 17 tahun. Ya, Tuhan, bodoh sekali! Batin Uruha putus asa. Uruha tak bisa membayangkan bagaimana masa depannya kelak. Menjadi orangtua tunggal, kemungkinan tidak diakui oleh orangtua, harus menghidupi anak dan dirinya sendiri, oh adakah yang lebih buruk daripada itu?
Tidak tahu. Ia tidak tahu! Uruha masih terlalu muda untuk menangani masalah seperti ini. Bagaimana ini? Dia harus bagaimana? Bingung, bingung, bingung... Apakah ia harus menggugurkan janin ini? Dan menambah dosa? Tidak, tidak! Ia tidak mau!
'Pernahkah kau mendengar kata-kata, Berani berbuat berani bertanggung jawab?', bisik sebuah suara dalam otak Uruha. Memang benar, penyesalan datang terlambat. Kau tak mungkin menyesal sebelum melakukan suatu kesalahan. Kini sebuah kesalahan telah ia perbuat. Dan tak ada lagi kesempatan untuk mengulang waktu. Maka dengan tekad bulat, ia hapus air mata dari pipinya. Inilah saatnya melangkah ke depan, apapun yang terjadi.
'Meski bukan semua salahku.'
Dua tahun berlalu. Banyak hal telah terjadi. Uruha benar-benar menjadi orangtua tunggal dan diusir dari rumah. Kemudian ia tinggal bersama neneknya di pinggiran Tokyo. Ia juga melahirkan seorang bayi laki-laki sehat yang kemudian ia beri nama Ruki.
Dua tahun memang terbilang singkat. Namun selama itu pula Uruha berusaha untuk menata kembali hidupnya. Belum 100% baik. Tetapi sudah lebih baik dibanding 2 tahun lalu. Uruha bekerja di sebuah salon bersama beberapa temannya. Itu cukup membuat dunianya membaik, kan? Ditambah mengurus si kecil Ruki. Uruha sangat merasa bersyukur masih memiliki hal indah di sekelilingnya. Walau Ruki harus rela tidak bisa bertemu kakek dan neneknya entah sampai kapan. Namun yang jelas ia masih punya seorang ibu, nenek buyut, dan dua orang bibi. Oh, benar! Dua bibi yang masih peduli pada mereka.
Uruha tak mempermasalahkan dimana keberadaan Aoi. Toh, ia sudah berhenti peduli bahkan sebelum ia memutuskan untuk merawat Ruki sendiri. Aoi seorang aktor besar. Tinggal nyalakan TV atau baca majalah. Maka kau akan tahu sedang berulah apa dia sekarang. Uruha juga tak mau pusing-pusing mencari Aoi hanya untuk memberitahukan kehadiran Ruki. Buang-buang waktu.
Lagipula Aoi dan dia tak punya hubungan apa-apa.
Pagi itu sama seperti pagi-pagi yang lain. Dengan terburu-buru Uruha menyiapkan sarapan. Sementara Ruki berceloteh riang dalam gendongannya. Nenek duduk tenang di meja makan, menunggu sarapan datang. Pukul 8 lewat 15 menit. Pukul 9 dia harus berangkat menuju salon. Masih ada sisa waktu 45 menit. Untuk memandikan Ruki, menata barang-barang, berjalan menuju halte, menunggu bis, lalu berangkat! Hey, cukupkah waktu 45 menit?
"Sayang, apa sarapannya sudah siap?", tanya nenek dengan suaranya yang bergetar. "Ya! Ini dia datang!", sahut Uruha dari arah dapur. Ruki bergoyang-goyang dalam gendongan Uruha. Membuat ia hampir kehilangan keseimbangan. Untung omellette buatannya tak sampai jatuh.
Uruha meletakkan sepiring penuh omellette di hadapan nenek. Kemudian ia mengambil tempat duduk di seberang meja. Sekarang ia duduk sambil menyuapi Ruki semangkuk bubur hangat. Tak lupa menyuapkan sepotong demi sepotong omellette ke dalam mulutnya sendiri.
Oh, mereka biasa makan dalam ketenangan. Tak ada suara lain selain suara denting sendok dan piring. Tak ada obrolan. Apa pula yang perlu dibicarakan? Uruha saja sibuk sendiri membayangkan akan jadi seperti apa hidupnya hari ini. "Selesai!", kata Uruha agak keras begitu selesai sarapan dan menyuapi Ruki. Menyebabkan nenek sedikit tersentak ke belakang. "Oh, pelan-pelan, sayang..", gumamnya lirih. "Baik nenek. Ah, aku perlu membersihkan bayiku ini. Taruh saja piringnya di atas meja. Nanti akan aku bereskan. Dan... Nenek istirahat saja!", ujar Uruha cepat, hanya dalam satu tarikan nafas. Nenek mengangguk patuh walau dalam hati berseru, 'Ooh, kau tahu aku akan menguras kolam renang?'. Begitulah.
Secepat kilat Uruha membawa Ruki menuju kamar mandi. Membersihkan si mungil itu dengan sabun wangi. Dan membasuhnya menggunakan air hangat. Tak perlu waktu lama untuk memakaikan baju pada Ruki. Karena ia tenang saat pagi hari.
Setelah semua barang yang ia butuhkan telah siap. Ia langsung bergegas mencium kedua pipi neneknya. Memastikan Ruki benar-benar berada di dalam kereta bayinya dan bersiap meninggalkan rumah. Pukul 9 tepat. "Dah, Uru-manis.. Bawa pulang anakmu dengan selamat," itulah kata-kata andalan nenek.
"Oh, benar juga! Mulai besok kau akan mulai bekerja di lokasi syuting sebagai make-up artist.", ujar Hiroto di sela-sela pekerjaannya mewarnai rambut seorang wanita paruh baya. Salon hari ini lumayan ramai. Maklum masa-masa liburan sekolah. Sebagian besar bangku salon dipenuhi oleh remaja-remaja putri yang ingin tampil beda ketika waktu kembali ke sekolah tiba.
Saat ini Uruha sedang mencuci rambut seorang gadis SMA langganan salon ini. Sambil tanpa lengah sesekali mengawasi kereta bayi Ruki. Tampaknya sekarang Ruki sedang tidur. "Hmm, aku tak tahu bagaimana keadaan disana nanti. Tapi aku harap tak terlalu ramai hingga bisa membangunkan Ruki.", balas Uruha tenang.
"Uhh, asyiknya... eh, sudah selesai, Nyonya," ucap Hiroto sambil tersenyum sopan ke arah si wanita. Wanita tadi bangkit dari bangku seraya menggumamkan kata terimakasih pelan. Uruha memperhatikannya berjalan sampai ke kasir. Usia wanita itu mungkin sekitar 45 tahunan. Pantas ia ingin mewarnai rambutnya. Pasti karena uban.
Tiba-tiba terdengar suara isakan kecil dari arah kereta bayi. Lama-lama isakan itu berubah menjadi tangisan. Rupanya Ruki sudah bangun. Padahal tugas Uruha belum selesai. "Ambil saja dia. Ini biar aku yang menangani. Mungkin Ruki-chan perlu minum," Hiroto mengedipkan sebelah matanya kepada Uruha. Disambut tatapan penuh rasa terimakasih dari si rambut honey blonde.
Dengan sigap Hiroto mengambil alih tugas Uruha. Sementara temannya sibuk menyusui anaknya. Jadi Uruha memang super sibuk. Dia terpaksa membawa Ruki ke tempat kerja karena di rumah nenek sudah terlalu tua untuk mengurus seorang bayi. Alhasil pekerjaan Uruha jadi double disini.
Hiroto tak pernah menanyakan siapa ayah Ruki. Percuma paling Uruha juga tak mau menjawab. Ia hanya tahu bahwa Uruha melahirkan Ruki ketika baru berusia sekitar 17 atau 18 tahunan. Dan sepengetahuannya siapapun ayah Ruki, dia pasti cuma seorang pria brengsek yang tak bertanggungjawab. Lihat saja bagaimana keadaan Uruha sekarang maka kau akan paham.
Daripada memikirkan hal yang tidak-tidak Hiroto memutuskan untuk memulai topik pembicaraan baru. "Eh, Uru apa kau tahu siapa saja pemain dalam drama tv itu?", tanya Hiroto akhirnya. Uruha menggeleng dari balik tubuh kecil Ruki dalam gendongannya. Ah, anak ini tambah berat saja.
"Ehh? Kok tidak tahu? Kau ini keterlaluan! Padahal nanti kau akan bekerja dengan mereka. Kenapa malah jadi aku yang tahu~"
"Yang penting kerja, Pon~ Masalah mereka siapa itu tidak penting. Lagipula kau sudah tahu kan?", timpal Uruha sembari mengancingkan beberapa kancing bajunya kembali. Ruki sudah kenyang dan sekarang berusaha tidur lagi.
"Yah, salah satunya aktor favoritku... Makanya aku tahu. Kau pasti tahu juga 'kan? Aoi?", ungkap Hiroto dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya. Gadis SMA yang sedang ia cuci rambutnya pun ikut terkikik mendengar nama Aoi. Tapi lain halnya dengan Uruha. Ia justru diam tertegun mendengar nama itu. Angin dingin seolah memenuhi ruangan salon. Uruha hampir tak sadar ia sedang menggendong anaknya. Untung ia masih dapat menguasai diri sehingga tidak menjatuhkan Ruki. Ya, Tuhan! Aoi? Dia akan bekerja bersama Aoi? Tunggu, maksudmu... AOI? Si sialan itu?
"Hey, kau tak apa, Uruha? Wajahmu pucat sekali.", tanya Hiroto setelah melihat ekspresi wajah Uruha dari kaca rias. "A-aku merasa pusing..."
Aoi duduk berhadapan dengan Tuan Sutradara. Mendiskusikan beberapa adegan dalam film sambil menyesap secangkir teh hijau dalam wadah stereofoam. Mereka sedang menunggu kedatangan penata rias Aoi yang tampaknya -agak- terlambat.
"Oh, itu dia sudah datang Aoi-san! Pergilah ke ruang rias... Tadi dia sudah masuk lebih dulu.", pinta Tuan Sutradara setelah melihat penata rias Aoi berjalan memasuki ruang rias. Aoi mengangguk kemudian mohon diri. Ia berjalan menuju ruang rias dengan perasaan yang kurang nyaman.
Sesampainya di depan ruangan yang dimaksud, sayup-sayup Aoi dapat mendengar suara celoteh bayi. 'Apa? Dia membawa bayi kemari?', batin Aoi penasaran. Apa tidak merepotkan membawa bayi saat bekerja? Yah, mungkin memang merepotkan. Tapi mungkin pula ia terpaksa. "Permisi," gumam Aoi ketika memasuki ruangan. Di dalam ia melihat seseorang tengah berjongkok di sebelah sebuah kereta bayi. Dia mengenakan celana jeans panjang, tanktop putih, dilapisi jaket cokelat muda, serta mengenakan syal berwarna kuning gading. Rambutnya pirang madu sepanjang bahu, kulitnya putih mulus, ditambah tubuhnya yang ramping membuat Aoi semakin penasaran. Sekaligus khawatir sebab ia merasa pernah mengenal seseorang dengan ciri-ciri fisik demikian. Dan bertemu orang itu lagi disini bukanlah pertanda baik.
"Permisi?", kata Aoi lebih keras. Kali ini berhasil mengambil perhatian si penata rias. Ia kemudian menoleh ke arah Aoi dalam gerakan lambat. Matanya cokelatnya yang lebar kini menyipit tajam saat melihat Aoi berdiri di ambang pintu. Menyiratkan perasaan kesal, marah, dan benci pada waktu bersamaan. Sementara tubuh Aoi bergetar hebat mendapat tatapan mematikan seperti itu.
Dia anak SMA yang ia temui di desa 2 tahun lalu. Seketika berputarlah rekaman dalam kepala Aoi. Dia... Anak pemilik toko yang telah ia... 'L-lalu bayi itu..? Tch, sial!', umpat Aoi dalam hati. Seharusnya ia tidak mabuk malam itu. Seharusnya anak itu tidak usah sok dewasa lalu menerima tantangan minum Aoi. Jadi tidak seperti ini akhirnya! Namun apa mau dikata, toh semua sudah terlanjur terjadi.
Aoi membuang muka. Tak berani balik menatap mata Uruha."Apa kabar, Aoi? Lama tak jumpa," Uruha mendesis masih dengan tatapan matanya yang tajam.
~TBC~
Males ngeditnya~ jadi aku biarin begini aja dari selesai ngetik⦠Kritik, saran, masukan, saya terima dengan lapang dada. Oh ya, baru pertama kali post di fandom ini jadi mohon bantuannya ya? ^^
