Till The End of Time—

Author: Rin

Chapter: 1/?

Disclaimer: All casts is belong to theirselves.

Rated: T to M

Pair: ZhouRy (Zhoumi x Henry), slight YeKyuBum (Kyu as Uke central. XD #plak)

Genre: Romance – Hurt/Comfort – Angst

.

Inspired by Crimson Rain (an original fiction that made by my friend and posted on fictionpress . com)

.

Warning: AU, Vamp!Fic, YAOI, OOC untuk keperluan cerita, dll.

.

.

DON'T LIKE DON'T READ

.

Rangkaian nada-nada yang terjalin indah terdengar memenuhi salah satu ruangan yang terdapat di rumah bergaya Eropa tersebut. Ruangan yang selalu digunakan oleh seorang namja—yang tengah melantunkan nada-nada itu melalui biola putih kesayangan miliknya—untuk bermain musik. Namja berkulit putih it uterus berkonsentrasi memainkan beberapa lagu berturut-turut tanpa mengurangi sedikit pun tempo permainannya. Dari Serenade for Orchestra in D Major karya Mozart, kini berlanjut ke La Chanson de l'adieu karya Chopin.

Tak dihiraukannya peluh yang kini senantiasa mengalir dari dahinya lalu turun hingga ke leher. Kemeja putih lengan panjang yang lengannya ia gulung hingga sebatas siku itu pun kini telah basah di beberapa bagian akibat peluh yang terus mengalir tanpa henti dari sekujur tubuhnya. Hal yang wajar sebenarnya, mengingat ia sudah memainkan biola kesayangannya itu sejak lima jam yang lalu tanpa henti.

Bahkan terlalu berkonsentrasinya ia hingga larut dalam permainannya membuat ia mengabaikan hujan deras yang turun di luar sana dan suara petir yang sesekali menyambar, hingga menimbulkan kilatan-kilatan cahaya yang menerangi suasana gelap di Seoul bagian utara itu.

Waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau ia akan menghentikan permainannya. Alih-alih merasa lelah, namja dengan helaian hitam yang menghiasi kepalanya itu malah semakin mengeratkan genggamannya pada bownya, membuatnya semakin larut dalam permainan yang indah namun sarat dengan kesedihan itu.

Ctarr… BRAKKK!

Tangannya otomatis berhenti menggesek biolanya. Dahinya berkerut ketika didengarnya suara barusan yang telah menginterupsi konsentrasi yang telah membuatnya larut dalam permainan biolanya sendiri. Ia mengedarkan pandangannya, mencari asal suara yang dengan beraninya telah merusak permainannya itu. Ia tidak terganggu dengan suara pertama yang notabenenya adalah suara petir. Kalau ia terganggu, mungkin sudah sejak beberapa jam yang lalu ia akan mengalaminya mengingat hujan telah turun sejak waktu masih menunjukkan pukul delapan malam.

Yang mengganggunya justru suara pintu yang dibanting. Ia memang tidak tinggal sendiri di tempat ini. Ada kakak sepupu dan kekasihnya, serta beberapa pelayan yang turut menempati rumah yang sebenarnya sudah dibangun sejak puluhan tahun yang lalu itu. Artinya, bisa saja penghuni rumah yang lain lah yang sudah melakukannya. Namun, mengingat orang-orang itu sudah larut dalam mimpi indah mereka sejak satu atau dua jam yang lalu, jelas ia heran siapa yang sudah membanting pintu—dengan tidak sopannya—yang diperkirakannya adalah pintu ruang perpustakaan. Kenapa? Karena ruangan yang berada dekat dengan ruangan tempatnya berada itu adalah perpustakaan. Dan sudah jelas, selarut-larutnya ia dalam permainan biolanya, ia tidak setuli itu untuk tidak menangkap suara sekeras itu melalui indera pendengarannya.

Ia meletakkan biola putih miliknya ke dalam tasnya, sebelum kemudian berjalan ke arah pintu, hendak menyelidiki asal suara berisik itu. Yah, siapa tahu itu adalah pencuri yang sedang mencoba untuk menyusup ke dalam rumahnya.

Mengendap-endap, ia berjalan menuju ruangan di sebelah. Mengherankan sebenarnya, kenapa ia yang notabenenya adalah penghuni rumah ini malah terkesan seperti justru ia lah sang pencuri. Yah, jujur saja, sebenarnya ia sendiri agak takut untuk melakukan ini. Hei, dengan tubuhnya yang tergolong kecil untuk namja seusianya, wajar kalau ia takut—apalagi dengan kemungkinan kalau sang pencuri justru membawa senjata. Sebenarnya ia ingin membangunkan yang lain, namun takut kalau itu hanya akan membuang waktu saja, ia malah nekat seperti ini.

Ia menghela nafas perlahan. Dibukanya double-door yang terbuat dari kayu kualitas terbaik berukuran sekitar dua kali tiga meter itu dengan sangat perlahan. Iris gelapnya membulat lebar ketika dilihatnya salah satu jendela yang ada di ruangan itu terbuka lebar. Tirai putih transparan yang menaunginya berkibar tertiup angin yang memang cukup kencang malam itu. Tetesan-tetesan air yang terbawa angin pun turut masuk ke ruangan itu melalui jendela yang terbuka dengan lebar itu, mengakibatkan permadani berwarna merah tua itu basah di bagian yang paling dekat dengan jendela.

Diedarkannya pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, mencari sesuatu yang dirasanya mencurigakan. Namun, nihil. Hanya dirinya satu-satunya makhluk hidup yang berada di sana. Ia berjalan pelan menuju jendela yang terbuka lebar, hendak menutupnya. Menganggap kalau suara yang dirasanya adalah pintu yang terbanting itu adalah jendela yang terbuka karena angin. Walau sebenarnya ia sangat meragukan kesimpulannya itu, karena biar bagaimana pun ia tidak setuli atau sebodoh itu untuk membedakan mana suara pintu yang terbanting atau jendela yang terbanting.

Srekk!

Namja berpipi chubby itu menghentikan niatnya untuk menutup jendela tersebut, ketika suara benda yang bergesekan tertangkap oleh telinganya dan baru setengah jalan ia melangkah menuju jendela. Dibalikkannya tubuh kecilnya itu hanya untuk mendapati ketiadaan dari makhluk hidup lain selain dirinya. Tidak, ia yakin kalau ada orang lain yang berada di ruangan ini. Saudaranya? Yang jelas bukan, kalau memang itu adalah saudaranya, untuk apa orang itu malah seperti sedang main petak umpet seperti ini dan membuatnya merasa waspada.

Ia menahan nafasnya. Jujur saja sekarang ini ia benar-benar takut. Sebenarnya apa yang sedang terjadi ini? Kenapa firasatnya mengatakan kalau sesuatu yang buruk sebenarnya akan terjadi?

"Aku tidak tahu kalau ada namja semanis ini yang tinggal di sini..."

Namja bertubuh pendek itu membatu mendengar suara tersebut. Ternyata memang benar ada orang lain selain dirinya di ruangan ini dan itu bukan suara para penghuni rumah ini—bahkan bukan suara orang yang dikenalnya, walau sebenarnya entah kenapa ia malah menyukai suara itu. Mwo? Suka? Yang benar saja, benar-benar omong kosong.

Ia tidak berani untuk membalikkan badannya, walau ia tahu kalau suara itu berasal dari belakangnya. Terlalu takut sebenarnya, karena ia sendiri tidak tahu siapa orang yang barusan menyapanya dengan menyebutnya… manis? What? Ia namja, dan ia sama sekali tidak cocok untuk disebut manis—walau pada kenyataannya ia memang manis.

Berusaha untuk memberanikan dirinya, namja berpipi chubby itu membalikkan badannya perlahan. Dan seketika kedua iris gelapnya terbelalak kaget melihat siapa yang tengah berdiri di tepi jendela yang terbuka lebar itu.

Seorang namja berambut merah dengan tinggi badan yang benar-benar membuatnya iri. Bukan, bukan itu yang sebenarnya menarik perhatiannya hingga membatu di tempat seperti ini, tapi lebih ke penampilan namja itu secara keseluruhan. Kulitnya yang putih pucat menimbulkan kesan dingin, ditambah dengan pakaiannya yang serba hitam—mulai dari kemeja, jas hingga celana yang dikenakannya kecuali syal putih yang melilit lehernya, membuatnya terkesan… menawan—

—tunggu, apa tadi yang dipikirkannya? Menawan? Yang benar saja? Kenapa ia malah jadi kagum pada orang yang kemungkinannya adalah pencuri yang sedang menyusup ke rumah ini?

Ia masih diam membatu di tempatnya, ketika namja kelebihan tinggi badan itu berjalan mendekat ke arahnya. Bukannya ia tidak mau menggerakkan tubuhnya, hanya saja ia memang tidak bisa menggerakkan tubunya. Terlalu sulit, rasanya seperti terkena hipnotis atau sejenisnya.

Dekat dan semakin dekat, hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter saja. Namja berambut merah itu mendekatkan wajahnya pada telinga kanan namja yang bertubuh jauh lebih kecil darinya, membisikkan sederet kalimat yang membuatnya kembali membulatkan matanya.

"Nae mochi, akhirnya kau kutemukan…"

Namja bertubuh pendek itu membuka mulutnya, berusaha mengeluarkan suaranya walau sebenarnya sangat sulit. Entahlah, rasanya ada sesuatu yang mengendalikan dirinya hingga ia jadi sulit untuk menggerakkan tubuhnya atau mengeluarkan suaranya. "Nugu…ya?"

Orang itu menyeringai mendengar pertanyaan itu. Walau tidak melihatnya, namja berpipi chubby itu sedikit bergidik merasakan ada aura yang tak mengenakkan sedang melingkupi mereka.

Namja berambut merah itu mengangkat kepalanya hingga ia berhadapan dengan namja yang jauh lebih pendek darinya itu. Seringai masih terpasang di wajahnya. Dan itu membuat namja berpipi chubby itu semakin terbelalak kaget, terutama ketika dilihatnya sepasang taring yang sangat tajam terlihat dari sudut bibirnya. Barulah ia sadar kalau orang di hadapannya ini bukan manusia—

"Salam kenal, aku orang yang akan jadi pendamping hidupmu~"

—dan jelas hidupnya yang monoton akan segera berubah karena pertemuannya ini.

.

.

.

Henry menghentakkan kakinya ketika ia melangkah menyusuri koridor-koridor panjang fakultas seni dan musik. Raut kesal terpampang jelas di wajah orientalnya. Jelas saja ia kesal, kalau teringat kejadian di kelas tadi membuatnya ingin melempar sesuatu ke tembok—ah, atau sekalian saja kepala sang sonsaengnim yang sudah membuatnya kesal hari ini. Ayolah, memangnya siapa yang tidak akan kesal kalau dipermalukan di hadapan orang banyak seperti dirinya tadi? Ia kan hanya sedikit melakukan kesalahan di nada yang aslinya memang sulit untuk dimainkan—dan sang dosen malah menyindirnya, mengatakan kalau dirinya hanya bocah kecil yang nyasar di jurusan musik. What? Seperti orang itu bisa memainkan nada yang sulit itu dengan lebih baik saja.

Ia mengacak rambutnya kasar, membuat helaian hitam yang menghiasi kepalanya kini berubah bentuk menjadi agak abstrak. Ia tidak mempedulikan kalau penampilannya yang sebenarnya kusut semakin kusut saja dengan raut wajah yang kelam dan rambutnya yang berantakan. Pun tak dipedulikannya walau orang-orang yang ada di koridor itu memperhatikan dirinya dengan tatapan heran, ingin tahu, dan sebagainya—yang sebenarnya terlalu malas ia pikirkan.

Ia melangkahkan kakinya keluar dari gedung fakultas seni dan musik, lalu berjalan menuju gedung yang berada tak jauh dari gedung fakultasnya. Hanya berjarak sekitar lima belas meter. Gedung kafetaria.

Tidak lapar sebenarnya, karena moodnya yang buruk sejak semalam membuat nafsu makannya menurun drastis. Ditambah dengan kejadian di kelasnya tadi, membuatnya semakin tidak memiliki nafsu untuk setidaknya memakan sepotong roti atau meminum segelas air. Yah, setidaknya walau tidak lapar ia harus memasukkan sedikit makanan ke dalam perutnya kalau tidak mau berakhir dengan dirinya yang berubah kurus atau ia akan berhadapan dengan deathglare seorang Kim Heechul—kekasih sepupunya—karena berani-beraninya mengabaikan kesehatannya. Aigo, sudah seperti ibunya saja perhatian yang diberikan orang itu padanya.

Iris gelapnya menyapu seluruh wilayah kafetaria tersebut. Mendengus kesal, ketika dilihatnya tak ada satu pun bangku kosong yang bisa didudukinya. Wajar saja, karena sebenarnya ini sudah memasuki waktu makan siang, dan bodohnya ia baru menyadarinya ketika sampai di tempat ini. Tahu begini ia tidak akan membuang waktu dan tenaganya untuk berjalan ke tempat ini dan lebih memilih untuk duduk diam di taman belakang universitasnya yang terletak berdekatan dengan gedung fakultas sastra. Setidaknya ia bisa jauh lebih mendinginkan kepalanya di sana.

Ia hendak membalikkan badannya dan keluar dari bangunan tersebut ketika sebuah suara memanggilnya—

"Mochi China!"

—membuatnya benar-benar ingin segera pergi dari tempat itu.

Tak dihiraukannya panggilan itu, karena sebenarnya ia sudah tahu siapa orang yang barusan memanggilnya. Karena di universitas ini, satu-satunya orang yang memanggilnya begitu hanyalah seorang mahasiswa jurusan seni vokal yang sangat menyebalkan.

Yah, walau ia tahu kalau orang itu pasti akan kembali meneriakinya kalau diabaikan seperti ini—

"Ya! Mochi China, jangan mengabaikan aku begitu! Kau pikir aku ini cuma mesin penjawab telepon yang bisa kau abaikan begitu saja!"

Henry menghela nafasnya. Kelihatannya ia harus menghampirinya, setidaknya untuk mengeluarkan kalimat protes atas panggilannya itu—walau kelihatannya percuma saja. Ayolah, kalau ia sudah bisa melakukannya, sudah sejak dulu anak itu tidak akan memanggilnya dengan sebutan 'Mochi China'.

Henry berjalan menuju bangku di sudut kafetaria, tempat yang agak jarang dijamah oleh orang-orang namun entah kenapa orang itu dan namjachingunya suka sekali makan siang di tempat itu.

"Nde, Kui Xian, jadi apa maumu?" Tanyanya, datar. Moodnya benar-benar ada di titik terendah sekarang, membuatnya tidak ingin sekedar berbasa-basi yang tidak perlu.

Kui Xian—atau lebih tepatnya Kyuhyun—mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemana perginya sahabatnya yang imut, polos dan kelewat periang itu, dan kenapa yang ada di hadapannya saat ini malah muncul sesosok mochi yang seluruh tubuhnya diselimuti oleh aura kelam—tidak mengenakkan sebenarnya—ditambah nada suara datar yang dikeluarkannya, mengisyaratkan pada dirinya kalau namja di hadapannya ini sedang mengalami bad mood yang cukup parah.

"Kau sedang kerasukan setan ya, Mochi?"

Henry memutar matanya. Lebih tepatnya bertemu setan yang sebenarnya, lagipula kau kan juga setan, Kui Xian.

Henry menarik salah satu kursi yang ada di dekat situ dan duduk di hadapan tiga orang yang duduk bersebelahan. Tidak terlalu dekat dengan kedua orang lainnya, seperti ia dekat dengan Kyuhyun. Namun, mengingat kedua orang itu juga tidak pernah mengganggunya ketika ia berbicara dengan Kyuhyun membuatnya tidak terlalu memusingkan hal itu.

Lagipula kedua orang itu juga lebih memilih untuk sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Baiklah, mari kita perkenalkan ketiga orang itu. Cho Kyuhyun—atau sering ia panggil Kui Xian—mengingat lidahnya lebih terbiasa mengucapkan kata dalam bahasa Mandarin, adalah mahasiswa jurusan seni vokal yang merupakan teman dekatnya—yang menyebalkan. Suaranya sangat indah walau tidak seindah namja berkepala besar yang duduk di samping kanannya dan tengah mendengarkan sesuatu lewat earphonenya, Kim Jongwoon, atau yang lebih dikenal dengan nama Yesung karena keindahan suaranya. Dan namja lain yang ada di samping kiri Kyuhyun adalah Kim Kibum, mahasiswa jurusan kedokteran yang sangat dingin—dan lebih memilih untuk bergaul dengan buku-buku tebal yang entah apa isinya.

Keduanya adalah namjachingu Kyuhyun. Bagaimana bisa? Entahlah, hal itu hanya mereka saja yang mengetahuinya. Yang jelas, baginya keduanya malah terkesan seperti pengawal pribadi namja maniak game itu.

"Lebih tepatnya… aku hanya mengalami kejadian yang benar-benar menyebalkan sejak semalam hingga tadi siang…" ucap Henry, membuat moodnya semakin buruk kalau ia mengingat kembali kejadian tadi malam. Aish, ia benar-benar ingin melempar namja kelebihan tinggi badan dengan rambut merah menyala dan seperti koala itu. Apa-apaan maksud kalimatnya kemarin? Pendamping hidup? Yang benar saja…

Kyuhyun menatapnya dengan bingung. Pasalnya ia kan memang tidak tahu apa yang sudah membuat sang the real maknae tersebut mengalami bad mood yang kelewat buruk seperti ini. "Semalam? Memangnya ada sesuatu di rumahmu?"

Henry diam mendengar pertanyaan Kyuhyun. Tidak, tidak, ia tidak ingin kelepasan bicara soal kejadian semalam pada siapapun. Tidak pada Hangeng, sepupunya atau kepada Kyuhyun, yang merupakan sahabatnya. Tidak mungkin kalau ia bilang kalau semalam baru saja ia bertemu dengan… err… seorang vampire yang mengklaim kalau dirinya adalah pendamping hidupnya. Selain karena tidak akan ada yang mempercayainya, juga karena hal itu benar-benar memalukan sekaligus menyebalkan.

Dan, hei kalian tahu, semua itu malah berakhir dengan sebuah perjanjian. Koala merah itu tidak akan melakukan sesuatu yang aneh di sekelilingnya dengan syarat ia harus memberikan imbalan berupa darah dan… tubuhnya. Membuatnya langsung menyadari kalau makhluk itu benar-benar pantas diberi gelar 'Koala Mesum'.

"Mochi China… jangan melamun dengan wajah seimut itu. Kau tidak sadar kalau orang-orang di belakangmu mulai melihatmu dengan tatapan lapar..." Ujar Kyuhyun, yang sukses membawa sang mochi kembali ke alam sadarnya—setelah sebelumnya berkelana selama beberapa detik di alam bawah sadarnya.

"Mwo?"

Kyuhyun memukul kepala Henry dengan salan satu buku yang berada di tumpukan buku milik seorang kekasihnya. "Kubilang jangan pasang wajah begitu."

"Nde, kau ini cerewet sekali sih..." Henry mengusap kepalanya yang baru saja jadi korban pemukulan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Kyuhyun—menggunakan media buku yang tebalnya amit-amit itu.

Tak disadarinya tingkahnya barusan malah mendapatkan perhatian dari Yesung. Kedua alis matanya berkerut ketika didapatinya ada sesuatu yang aneh dengan keadaan namja yang mau tidak mau harus akui memang cukup manis juga. Lebih tepatnya ke bagian lehernya.

Ia melepaskan earphone earphone yang terpasang di telinga kanannya, membuat Kibum yang sedang berkonsentrasi membaca buku teralihkan perhatiannya dan kini memperhatikan tingkah Yesung.

"Henry-ah, kenapa dengan lehermu?"

Henry yang mendengar pertanyaan itu langsung tersentak dan membatu. Tak menyangka kalau hal sekecil itu diperhatikan oleh Yesung. Bukannya ada masalah besar dengan lehernya, karena yang jadi masalah adalah perban yang menutupi luka di lehernya. Kalau kalian ingin tahu luka apa itu, sudah jelas itu luka gigitan yang diciptakan vampire mesum itu pada dirinya ketika ia menghisap darahnya kemarin malam sebagai bukti perjanjian itu.

"Itu... bukan apa-apa... hanya... sedikit luka waktu aku bermain biola kemarin malam... Baiklah, kelihatannya... aku harus pergi sekarang... sampai jumpa nanti..."

Dan Henry pun langsung beranjak dari tempat itu, meninggalkan Kyuhyun yang menatap kepergiannya dengan bingung, Kibum yang menatapnya tajam sebelum kemudian mengalihkan kembali perhatiannya pada buku yang sejak tadi dibacanya dan Yesung yang... menyeringai ke arahnya.

"Baiklah, aku juga masih ada jadwal siang ini. Aku harus pergi sekarang..." Yesung berdiri dari tempatnya duduk sambil memasang kembali earphonenya yang sempat dilepasnya lalu mengambil tasnya.

Ia mendekatkan wajahnya ke arah Kyuhyun dan mengecup bibirnya sekilas, membuat Kyuhyun hanya bisa terbelalak dengan rona merah tipis yang muncul di wajah semi-pucatnya. Yesung hanya tersenyum tipis melihatnya.

"Baiklah, kalian berdua, sampai jumpa lagi nanti. Dan... berhati-hatilah..."

Detik berikutnya, Yesung pun melangkahkan kakinya keluar dari gedung kafetaria tersebut. Tak dihiraukannya tatapan kagum dari beberapa mahasiswi yang ada di sana, mengingat penampilannya yang sebenarnya terkesan biasa saja itu namun entah kenapa terlihat menawan. Dengan helaian hitam yang menghiasi kepalanya, mata sipitnya yang berkilat tajam dan di saat yang bersamaan terkesan dingin dan raut wajah datarnya—kecuali di hadapan Kyuhyun dan Kibum—membuatnya terlihat menawan. Ah, dan jangan lupakan suara emasnya yang semakin menambah kadar menakjubkannya.

Baiklah, hal pertama yang harus dilakukannya saat ini sebelum menuju ke kelasnya adalah mencari namja China tadi—walau itu bukan prioritas utamanya saat ini, tapi berhubung kelasnya masih akan dimulai beberapa menit lagi, dan daripada ia tidak ada kerjaan, jadi... yah... mencarinya bisa jadi kegiatan yang bisa mengisi waktu kosong selama beberapa menit itu.

.

.

Henry kembali berjalan menyusuri koridor gedung fakultas seni dan musik. Sebenarnya ini sudah waktunya untuk pulang, mengingat jadwal kuliahnya hari ini tidak terlalu padat dan sudah selesai sejak sebelum istirahat makan siang tadi. Namun teringat kalau ia pulang ke rumah dan malah bertemu dengan namja mesum itu, sudah jelas ia lebih memilih untuk berkeliaran di universitasnya—selama mungkin kalau bisa.

"Henry-ah..."

Henry mendongakkan kepalanya ketika sebuah suara baritone tengah memanggilnya. Ia tidak kaget dengan siapa yang memanggilnya karena ia sudah terlalu biasa dengan suara itu, terutama ketika jurusan seni vokal kadang digabung dengan jurusan seni musik di beberapa mata kuliah. Yang sebenarnya agak mengejutkan adalah... kenapa sunbae yang tidak terlalu akrab dengannya ini—ia mengenalnya hanya melalui Kyuhyun—kini malah menyapanya? Bahkan ketika bersama dengan Kyuhyun saja mereka sangat irit bicara.

"S-sunbae..."

Yesung melangkahkan kakinya, mendekat ke arah Henry yang diam membatu di tempatnya. Ia sulit untuk menggerakkan tubuhnya ketika orang itu semakin mendekat ke arahnya. Rasanya... ia agak familiar dengan keadaan seperti ini...

Tatkala ia sampai di depan namja yang tinggi badannya tidak berbeda jauh dengannya itu, ia meletakkan tangan kanannya di bahu kiri Henry dan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Henry dan membisikkan sesuatu yang membuat namja China itu terbelalak dan semakin membatu di tempatnya.

"Aku tahu apa yang terjadi denganmu semalam juga luka di leher itu... kalau kau tidak mau cepat mati atau malah terlibat dalam sesuatu yang membahayakan, berhati-hatilah dengan orang itu..."

Keadaan yang sama seperti semalam, namun bedanya adalah kalau berhadapan dengan vampire mesum semalam yang mengaku bernama Zhoumi itu, ia malah merasakan sedikit kehangatan walau ia tidak terima dengan ucapan dan keputusan sepihaknya. Namun kali ini... ia bahkan tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya. Dingin, seolah ia tengah berada di tengah gunungan es tanpa ujung dan sekaligus menusuk, membuatnya tidak bisa sedikitpun menggerakkan seluruh tubuhnya.

Keringat dingin mengalir dari sekujur tubuhnya. Takut dengan aura yang sangat mengintimidasinya itu. Ia tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk menatap ke arah lawan bicaranya itu atau untuk sekedar bertanya apa maksudnya. Mulutnya benar-benar terkunci saat ini dan ia hanya berharap kalau orang ini segera pergi.

Seolah menjawab harapan Henry, Yesung menjauhkan dirinya dari Henry dengan sebuah senyum manis yang terpasang di bibirnya—walau Henry sendiri sebenarnya semakin merinding melihat senyum yang tidak biasa itu.

"Baiklah, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa..."

Berikutnya Yesung pun berlalu dari tempat tersebut, meninggalkan Henry yang kini jatuh terduduk di koridor, merasa lega seolah beban beratnya telah menghilang. Sebenarnya apa maksud orang itu?

Tanpa disadari oleh Henry yang memang membelakangi arah kepergian Yesung, namja bersuara emas itu menyeringai, menunjukkan sepasang taring yang terlihat di sudut bibirnya.

.

To Be Continued—

.

a/n: Ja, mina-san, konnichiwa~ XD #plak. Saya comeback dengan fic baru saya~ #digeplaksendal. Saya buru-buru bikin ini berhubung dongsaeng merangkap senpai saya terus nodong fic ZhouRy dari saya, jadinya saya bikin ini dulu, biarpun tadinya mau bikin ZhouWook baru ini. -.-a

Dan… kenapa vampire? Entahlah. ._. #plak. Berhubung kalau bikin fic tentang vampire kadang bisa bikin imajinasi saya lari-lari kemana-kemana, jadinya mungkin di chapter-chapter depan kayaknya bakal jadi rate M. XD entah kapan sih. #dihajar. Yeah just for safety lah. :p

Oke, saya lagi males cuap-cuap gaje, jadi... RnR, Please? XD