You are the only One
Genre: romance, drama, family
Pairing: Yunjae (genderswitch)
Rating: M
Disclaimer:
Cerita ini fiktif belaka. Saya hanya meminjam nama pemeran.
Summary:
Lagi-lagi kisah cinta beda usia antara guru dan murid.
Chapter 1
My First Love
"Bu Guru, jadilah kekasihku!"
"Ckckck... Lihatlah dirimu! Memangnya kau siapa, berani memintaku untuk menjadi kekasihmu?"
"Aku Jung Yunho!"
"Kau lucu sekali, Yunho. Aku juga tahu itu."
"Lalu mengapa Bu Guru bertanya?"
"Maksudku, kau sekarang hanyalah salah satu dari muridku, sedangkan aku adalah gurumu. Selain keberanian, memangnya apa yang kau punya? Kau bahkan bukan juara kelas, apalagi juara umum di sekolah."
"..."
"Begini saja, kau datanglah lagi kepadaku jika kau sudah menjadi seseorang, seseorang yang sudah bisa berdiri di atas kakinya sendiri."
"..."
"Hal pertama yang harus kau lakukan adalah lulus ujian dengan hasil yang baik. Ujian tinggal tiga bulan lagi. Belajarlah yang tekun dan serius! Mana mau aku punya kekasih yang pemalas dan tidak serius."
.
.
.
"Aaah, akhirnya aku pulang juga ke rumah. Tidak ada tempat seindah rumah." Yunho melompat-lompat di atas tempat tidurnya.
"Yunho, jangan melompat-lompat di atas tempat tidur! Kau seperti anak kecil saja." Ny. Jung hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan putra sulungnya itu.
"Aku sangat merindukan rumah ini, terutama kamarku." Yunho turun dari atas tempat tidur dan memperhatikan sekeliling kamarnya. "Tidak ada yang berubah."
"Bukankah kau yang meminta agar kami tidak mengubah apa pun selama kau pergi?" Ny. Jung mengingatkan putranya.
Setelah sepenuhnya yakin bahwa tidak ada yang berubah dengan kamarnya, Yunho membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia merasa lelah karena baru pulang dari Jepang setelah menamatkan pendidikan sarjananya.
Yunho menerawang jauh. Ia mengenang kembali masa lalunya. Bagaimana kabar teman-teman sekolahnya? Ia tidak sempat berpamitan kepada mereka, bahkan tidak sempat memberi tahu teman-temannya bahwa ia mempunyai rencana untuk kuliah di luar negeri. Keputusannya untuk studi di luar negeri sangat mendadak. Selesai ujian akhir ia langsung bertolak ke Jepang untuk mengurus pendaftaran untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi di Jepang. Semua itu ia lakukan hanya demi seseorang, yaitu Ibu Guru Kim Jaejoong.
Bagaimana kabar Ibu Guru Kim? Apa ia sudah menikah? Apa ia sudah melupakanku? Apakah ia masih menungguku?
Selama empat tahun berada di negeri orang, tak pernah sedikit pun Yunho melupakan guru kesayangannya itu. Ia sangat mengagumi guru Fisika yang juga merangkap sebagai wali kelasnya itu. Selain cantik, wali kelasnya itu juga sangat perhatian kepadanya, lebih tepatnya kepada setiap muridnya.
Yunho merasa senang karena pertama kalinya ada guru yang sangat perhatian kepadanya. Ia bukanlah siswa yang menonjol di sekolah. Ia tidak terlihat cemerlang, juga tidak bodoh, sehingga kadang-kadang siswa sepertinya tidak diingat oleh guru.
"Sebenarnya kau ini sangat pintar, Yunho. Aku tak mengerti mengapa kau tidak mengeluarkan kemampuanmu sepenuhnya." Yunho tersenyum. Untuk pertama kalinya di SMA ada yang mengatakan bahwa ia sangat pintar.
Yunho memang tidak ingin menjadi siswa yang terlalu menonjol. Ia tinggi, tampan, juga anak orang kaya. Ia takut tidak mempunyai teman jika ia juga menonjol dalam hal lain. Ia menjaga dirinya tetap low profile di sekolah.
.
.
.
Sepulangnya dari Jepang, tidak perlu menunggu lama, Yunho langsung bekerja di perusahaan milik ayahnya. Ialah yang kelak akan menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin perusahaan. Ia langsung mengisi posisi manajer di sana. Jika Bu Guru tahu bagaimana posisiku sekarang, ia pasti merasa sangat bangga.
Yunho sudah sangat merindukan ibu guru tersayangnya. Namun, ia merasa belum siap untuk pergi menemui gurunya itu di sekolahnya. Bagaimana jika Bu Guru sudah tidak mengajar di sana? Bagaimana jika ia sudah menikah dan lupa kepadaku? Ah, semua pikiran itu bisa membunuhnya.
.
.
.
Setelah dua bulan di Korea, barulah Yunho mempunyai keberanian untuk mengunjungi sekolahnya. Ia merasa sangat gugup. Ia mengendarai mobil mewahnya, mengenakan jas mahal, dan sepatu kulit asli bermerk. Ia terlihat seperti seorang eksekutif muda.
Yunho memarkirkan mobilnya di pelataran parkir sekolah. Ia keluar dari mobilnya dan berjalan menghampiri guru piket yang sedang bertugas. Seketika para siswa yang sedang beristirahat semua melihat ke arahnya. Mereka berbisik-bisik, mempertanyakan siapa gerangan pria gagah yang datang ke sekolah mereka.
Yunho mengenali guru piket tersebut. Pria itu adalah guru Bahasa Inggris yang sangat galak. Gurunya itu tidak banyak berubah setelah empat tahun. "Selamat siang, Pak! Apakah Bu Guru Kim Jaejoong masih mengajar di sini?"
Guru itu memicingkan matanya, menatap Yunho dengan penuh curiga. "Siapa Anda? Ada perlu apa dengan kepala sekolah?"
Kepala sekolah? Yunho cukup terkejut mendengarnya. Apa benar Ibu Guru Kim Jaejoongnya itu menjabat sebagai kepala sekolah sekarang? "Saya adalah Jung Yunho. Saya ada urusan pribadi dengan beliau."
Guru piket itu terus menatap Yunho. Ia merasa bahwa sepertinya ia pernah bertemu dengan pemuda di hadapannya itu. Ia kemudian mengantarkan Yunho ke kantor kepala sekolah. Letak kantor kepala sekolah tidak berubah, masih sama seperti empat tahun lalu. Ia mengetuk kantor kepala sekolah. "Selamat siang, Bu! Ada tamu yang ingin bertemu dengan ibu."
"Siapa?" tanya kepala sekolah.
"Namanya Jung Yunho. Ia mengatakan bahwa ia memiliki urusan pribadi dengan ibu."
Kepala sekolah mencoba untuk mengingat-ingat. "Baiklah, persilakan ia masuk!"
Jantung Yunho berdetak tak karuan saat menatap kepala sekolah. Wanita itu masih terlihat sangat cantik seperti dulu.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?"
Yunho tersadar dari lamunannya. Ia benar-benar terpesona. "Bu Guru, aku Yunho. Apakah ibu masih mengingatku?"
Kepala sekolah menatap pemuda di hadapannya itu. "Yunho?"
"Ya, aku Jung Yunho. Empat tahun lalu ibu adalah wali kelasku." Yunho mencoba mengingatkan gurunya itu.
Tentu saja Jaejoong mengingatnya. Bagaimana bisa ia melupakan anak yang sangat unik itu, anak yang selalu mencoba menarik perhatiannya? Ia merasa senang bisa bertemu dengan muridnya itu lagi. Namun, ia menyembunyikan antusiasmenya itu. "Ya, aku ingat. Bagaimana kabarmu, Yunho?" Ia mencoba untuk terlihat tenang dan menjaga wibawanya sebagai kepala sekolah.
Yunho merasa sangat bahagia. Guru kesayangannya itu sama sekali tidak melupakannya. Senyumnya terkembang. "Aku baik-baik saja, Bu. Bagaimana dengan ibu? Apakah ibu baik-baik saja?"
Jaejoong sedikit tersenyum. "Ya, aku baik-baik saja. Seperti yang kau lihat sekarang, aku menjabat sebagai kepala sekolah."
Yunho merasa bingung. Ia tidak tahu harus membicarakan apa dengan gurunya itu. Ia terlihat sangat kikuk.
"Jadi, apa maksud kedatanganmu kemari?" lanjut Jaejoong.
Yunho menjadi semakin salah tingkah. "Aku ingin bertemu dengan ibu. Aku merindukanmu."
Jaejoong tertegun. Apa maksud anak didiknya itu?
"Apa ibu masih ingat hal yang ibu katakan kepadaku empat tahun lalu? Ibu menyuruhku datang ke hadapan ibu jika aku sudah menjadi seseorang. Aku sudah lulus kuliah dan kini aku sudah bekerja." Yunho mengungkapkan maksud kedatangannya.
Jaejoong tak bisa berkata-kata. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Yunho akan menganggap perkataannya dengan serius.
"Ibu masih menungguku, bukan? Jadi, ibu mau menjadi kekasihku?" tanya Yunho dengan gugup.
Raut wajah Jaejoong memucat. "Maaf, Yunho. Aku tak mengira bahwa kau akan menanggapinya dengan serius. Aku hanya ingin membuatmu belajar dengan giat saat itu."
Yunho merasakan firasat yang kurang baik dari perkataan Jaejoong. "Apa maksud ibu? Jadi, ibu tidak mengharapkan kedatanganku?" Hatinya terasa sakit.
Jaejoong bingung bagaimana harus menjelaskannya kepada Yunho. "Aku merasa senang karena salah satu muridku datang untuk mengunjungiku. Akan tetapi, bukan seperti ini, Yunho."
Yunho merasakan sesak di dadanya. "Jadi, ibu sama sekali tidak menungguku? Ah, bodohnya aku. Seharusnya aku sadar diri. Di matamu aku hanyalah anak didikmu, tidak lebih."
"Bukan seperti itu, Yunho." Jaejoong semakin bingung untuk menghadapi Yunho.
Yunho memaksakan senyumannya. "Tidak apa-apa, Bu. Aku mengerti." Ia berusaha tegar. "Jadi, apa ibu sudah menikah?"
Jaejoong terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Yunho. "Ya, aku sudah menikah."
Sirna sudah harapan Yunho. Ia tidak mungkin mendapatkan Jaejoong untuk dijadikan kekasihnya. Ia benar-benar merasa hancur. "Ah, ternyata begitu."
"Maafkan aku, Yunho." Jaejoong merasa bersalah kepada muridnya itu.
Yunho harus tegar. Ia harus kuat menghadapi kenyataan pahit. "Tidak apa-apa, Bu." Ia tertawa kaku. "Sepertinya jam istirahat akan segera berakhir. Aku mohon diri. Selamat siang, Bu!"
Jaejoong merasa tidak enak kepada muridnya itu. Ini benar-benar di luar dugaan, ternyata muridnya itu benar-benar menaruh hati kepadanya.
Jaejoong adalah guru tercantik di tempatnya mengajar. Ia dikagumi oleh para siswa karena sikapnya yang perhatian. Ia sangat tegas di luar, tetapi lembut dan perhatian di dalam. Ia adalah guru favorit. Belajar fisika menjadi lebih menyenangkan dengannya.
Salah satu penggemar berat Jaejoong adalah siswa bernama Jung Yunho. Anak itu tidak menonjol di kelas. Ia tidak terlihat terlalu aktif. Meskipun begitu, ia tidaklah bodoh, bahkan anak itu sangat cerdas.
Jaejoong menyadari bahwa muridnya yang bernama Yunho itu menyembunyikan potensinya. "Yunho, aku yakin bahwa kau bisa mendapatkan nilai sempurna. Mengapa kau salah menghitung di akhir?"
"Maaf, Bu. Aku memang sangat ceroboh. Hehehe."
Tidak semua guru bisa melihat potensi yang dimiliki Yunho. Guru-guru lain mengira bahwa anak itu hanyalah siswa yang biasa saja, tidak ada yang istimewa.
Sampai SMP, Yunho selalu menjadi pusat perhatian karena ia kaya, tampan, tinggi, dan sangat pintar. Ia menjadi murid kesayangan para guru. Hal itu membuat siswa-siswa lain merasa minder untuk bergaul dengannya. Ia merasa kesepian. Oleh karena itu, ia memutuskan bahwa ia tidak ingin terlalu menonjol saat SMA.
.
.
.
Keluar dari kantor kepala sekolah, Yunho berjalan dengan lunglai. Ia merasa tidak bertenaga. Ia merasa sangat patah hati. Ibu Guru Jaejoong adalah cinta pertamanya dan ia selalu mencintai wanita yang tujuh tahun lebih tua darinya itu selama lima tahun.
"Hey, kau Yunho, bukan?" Seorang pemuda menepuk pundak Yunho, membuat Yunho terhenyak.
Yunho menatap orang yang menyapanya itu. Ia masih terkejut.
"Apa kau masih ingat aku? Aku Junsu, teman sekelasmu di kelas tiga." Pemuda itu terlihat ceria.
"Ah, tentu saja aku ingat. Junsu, apa yang kau lakukan di sini?" Yunho melihat berkas-berkas yang dibawa oleh Junsu. "Apa kau menjadi guru di sini?"
Junsu tersenyum kikuk. "Aku masih magang di sini."
"Bukankah kau ingin menjadi seorang penyanyi? Mengapa kau justru menjadi guru?" tanya Yunho. Rasa sedihnya sedikit terobati karena ia bertemu teman lamanya.
"Ceritanya panjang. Akan kuceritakan lain kali. Aku harus mengajar sekarang." Setelah bertukar nomor telepon, Junsu berlari menuju kelas.
.
.
.
Yunho berusaha untuk melupakan cinta pertamanya itu. Ia harus melanjutkan hidupnya dengan bahagia. Namun, melupakan cinta pertama tidaklah mudah. "Ah, mungkin aku harus mendekati gadis lain." Di kantornya ada beberapa gadis cantik. "Ah, tidak. Aku tidak ingin berhubungan dengan teman sekantor. Hal itu akan mengganggu pekerjaan kami."
.
.
.
"Mengapa kau sekarang menjadi pendiam? Apa tinggal di Jepang membuatmu seperti ini? Apa kau tidak punya teman di sana?" komentar Ny. Jung. Anak sulungnya yang ia kenal sangat suka berbicara.
Yunho menyadari bahwa setelah bertemu dengan Jaejoong, ia kehilangan semangatnya. "Aku hanya sedang menyesuaikan diri dengan kondisi di sini."
"Ini kan rumahmu, keluargamu," timpal Ny. Jung. "Mengapa harus menyesuaikan diri lagi?"
Yunho tersenyum kikuk. "Aku sangat merindukan kalian saat di sana, terutama ibu. Aku sangat merindukan masakan ibu." Ia memeluk ibunya erat.
"Gombal! Seharusnya kau gunakan rayuanmu untuk seorang gadis, bukan untuk ibumu." Ny. Jung menyadari bahwa putranya itu masih saja kekanak-kanakan dan manja.
"Tidak, aku hanya mencintai ibu, tak ada yang lain." Yunho masih merasakan patah hati. Sebenarnya ia masih belum siap untuk mencari cinta yang baru. Ia masih takut untuk merasakan kekecewaan lagi.
"Kau sudah dewasa. Berhentilah bersikap seperti anak kecil!" Ny. Jung menceramahi putranya. "Mana ada wanita yang mau menjadi kekasih pria manja sepertimu."
Ucapan ibunya membuat Yunho berpikir. Mungkin memang benar yang dikatakan ibunya. Ibu Guru Kim mana mau mempunyai kekasih sepertinya yang masih kekanakan. Wanita dewasa itu pasti menginginkan pria yang dewasa juga. Ah, semuanya sudah terlambat. Wanita itu sudah menikah. Ia sudah tak mempunyai kesempatan.
"Sekarang hari Minggu, sebaiknya kau pergi ke luar, berkeliling Seoul, atau mungkin bertemu dengan teman-teman lamamu," saran Ny. Jung. Ia merasa tidak nyaman melihat putranya itu hanya bermalas-malasan di rumah pada hari libur. Ini tidak seperti Yunhonya yang aktif. Sepertinya ada sesuatu yang salah dengan anaknya itu.
Benar juga, Yunho merasa bosan hanya berdiam diri di rumah. Ia hanya terus mengingat Jaejoong jika ia tidak melakukan apa-apa. Ia teringat akan teman lamanya, Junsu. Ia pun menghubungi Junsu dan mengajak temannya itu untuk bertemu.
.
.
.
Sudah lama Yunho meninggalkan Korea. Beberapa tempat di Seoul mengalami perubahan. Ia sempat salah jalan, sehingga ia terlambat untuk bertemu dengan Junsu di sebuah restoran siap saji.
"Yunho, kau ke mana saja? Mengapa kau baru datang? Dahulu kau sangat tepat waktu," ujar Junsu.
"Maaf, aku tadi tersesat." Yunho merasa malu. Ia duduk di hadapan Junsu.
Junsu menggeleng-geleng kepalanya. "Dasar!" Ia menyodorkan buku menu kepada Yunho. "Pesanlah apa pun yang kau mau! Hari ini gratis."
"Gratis? Apa kau akan mentraktirku?" Yunho terlihat antusias. Ia membuka-buka halaman buku menu.
"Bukan aku yang akan mentraktirmu. Tempat ini milik teman kita, Changmin. Kau masih mengingatnya, bukan?" ujar Junsu.
"Changmin? Tentu saja aku ingat. Siapa yang tidak tahu siswa pemegang predikat juara umum itu?" Yunho tertawa. "Bukankah ia sangat suka makan? Ia tidak menghabiskan makanan di restorannya ini, bukan?"
Junsu ikut tertawa. "Itu juga yang pertama kali kupikirkan saat aku tahu ia membuka restoran."
"Lalu di mana dia? Mengapa kau tidak mengajaknya bergabung dengan kita?" tanya Yunho.
"Ia sedang pergi membeli persediaan bahan makanan. Nanti ia akan bergabung dengan kita," jawab Junsu.
.
.
.
Yunho mengobrol banyak dengan Junsu. Mereka saling bercerita mengenai diri mereka masing-masing dan menceritakan apa saja yang mereka lakukan selama empat tahun, setelah lulus SMA.
"Kau mengejutkan kami dengan tiba-tiba pergi ke luar negeri. Kau bahkan tidak datang pada saat upacara kelulusan." Junsu menyatakan kekecewaannya kepada Yunho.
Yunho hanya tersenyum getir. Kini ia menyesali keputusannya untuk studi di luar negeri. Seharusnya ia kuliah di Seoul saja agar ia bisa memantau Ibu Guru Jaejoong.
"Seharusnya kau mengatakan rencanamu itu kepada kami jauh hari sebelumnya." Junsu terus mengoceh. "Kita bisa mengadakan acara perpisahan kelas sebelum kau pergi."
Yunho juga sekarang merasa bersalah kepada teman-temannya. "Maaf, keputusanku saat itu juga sangat mendadak. Tiba-tiba saja aku ingin mengambil studi di luar negeri. Orang tuaku saja sampai terkejut."
"Memangnya mengapa kau tiba-tiba ingin kuliah di luar negeri? Setahuku kau bukanlah siswa yang ambisius." Junsu merasa penasaran.
Lagi-lagi Yunho tersenyum kikuk. "Aku hanya ingin terlihat keren di mata seseorang. Hahaha!"
"Siapa?" Junsu menatap Yunho dengan serius.
Tawa Yunho terhenti. Haruskah ia mengatakannya kepada Junsu? "Ah, itu. Ibu Guru Kim, wali kelas kita. Ia pernah menantangku."
"Oh, ya?" Junsu terlihat kaget. "Mengapa ia menantangmu?"
Yunho mulai salah tingkah. "Itu... Ia berpikir bahwa seharusnya aku bisa lebih baik. Aku tampak tidak serius belajar. Aku ingin menunjukkan kepadanya bahwa aku juga bisa belajar dengan serius."
"Oh, jadi itu sebabnya kau datang ke sekolah tempo hari. Untuk menemui bu guru?" terka Junsu.
Yunho mengangguk. Setidaknya ia merasa lega bahwa Junsu tidak berpikir terlalu jauh.
"Lalu apa yang ia katakan?" Junsu terus bertanya.
Yunho berharap Junsu berhenti menanyakan hal itu. Ia merasa tidak nyaman membicarakannya. "Hahaha! Ia mengatakan bahwa ia tidak serius menantangku saat itu."
Junsu tidak menduga jawaban Yunho akan seperti itu. "Kau pasti bercanda. Mana mungkin ia berkata seperti itu."
"Ya sudah jika kau tak percaya," ujar Yunho. "Kau belum menceritakan kepadaku bagaimana kau bisa menjadi guru. Bukankah cita-citamu ingin menjadi penyanyi?" Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
Raut wajah Junsu menegang. "Aku bisa magang di sana karena Bu Guru Jaejoong."
Raut wajah Yunho kembali serius saat nama Jaejoong disebut. Hal yang dikatakan Junsu menarik perhatiannya.
"Kau juga pasti tahu bagaimana perjuanganku mengikuti audisi dulu." Junsu mengenang masa lalu. "Aku sangat percaya akan kemampuanku. Aku yakin bahwa aku akan lolos salah satu audisi yang kuikuti. Oleh karena itu, aku mengenyampingkan sekolahku. Namun, yang terjadi tidaklah sesuai seperti yang kuharapkan. Aku terus-menerus gagal dalam audisi. Sekolahku pun terbengkalai. Aku terpuruk. Aku merasa tidak memiliki masa depan saat itu. Semuanya sudah terlambat. Ujian sudah di depan mata. Aku sama sekali tidak belajar, tidak mempersiapkan apa-apa. Untung saja bu guru membantuku belajar dengan sisa waktu yang sangat sedikit, sehingga aku bisa lulus SMA, meskipun hasilnya pas-pasan. Aku memutuskan untuk mengikuti jejaknya, menjadi seorang guru. Karena aku hanya bisa bernyanyi dan bermain musik, aku memilih jurusan seni musik. Aku juga bisa magang di sekolah kita karena bu guru membantuku. Kebetulan ia sudah menjadi kepala sekolah di sana." Kini Junsu kembali tersenyum. "Bu guru sangat berjasa dalam hidupku. Itu sebabnya aku tidak percaya kepadamu yang mengatakan ia hanya bercanda saat menantangmu. Bu guru bukanlah orang yang seperti itu."
Yunho merasa cemburu kepada Junsu. Beruntung sekali Junsu karena Bu Guru Jaejoongnya mengajari Junsu untuk menghadapi ujian. "Kita sangat beruntung memiliki wali kelas sepertinya. Suaminya adalah pria yang sangat beruntung."
Junsu tiba-tiba emosi. "Aku selalu merasa marah jika membicarakan pria tersebut. Pria tersebut sangat tidak bersyukur. Aku sangat membencinya."
"Apa maksudmu? Mengapa kau membenci suami bu guru?" Yunho mencurigai Junsu. Jangan-jangan Junsu juga menyukai Bu Guru Jaejoong.
"Ia menceraikan bu guru begitu saja karena bu guru tidak bisa punya anak." Junsu bercerita kepada Yunho.
Yunho sangat terkejut oleh penuturan Junsu. Ia merasa bingung. Jika hal yang dikatakan oleh Junsu benar, mengapa Jaejoong berbohong kepadanya? Apakah ini artinya ia masih memiliki peluang? "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."
Junsu menurunkan volume suaranya. Ia tidak ingin orang lain mendengar ceritanya mengenai gurunya itu. "Bu guru mengalami kecelakaan yang cukup serius, sehingga mengalami keguguran saat ia mengandung. Rahimnya hancur dan harus diangkat, sehingga ia tidak mungkin melahirkan seorang anak. Saat itu mereka baru setahun menikah."
Yunho merasa sedih mendengar cerita Junsu. Hal yang diceritakan oleh temannya itu sangat mengejutkan. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa gurunya itu mengalami hal yang mengenaskan seperti ini. Ia merasa marah kepada mantan suami gurunya itu. Jika itu adalah dirinya, ia tidak akan meninggalkan wanita itu. Ia akan terus menyemangati Jaejoong yang pastinya merasa sangat terpuruk karena kehilangan bayi yang dikandungnya dan tak akan pernah bisa mengandung lagi, bukan justru meninggalkannya.
"Ia adalah wanita yang sangat hebat. Ia sangat tegar setelah kehilangan anak juga suaminya. Ia terus melanjutkan hidupnya dengan semangat," lanjut Junsu. "Jika wanita lain yang berada pada posisinya, mungkin wanita itu sudah bunuh diri."
"Lalu bagaimana dengan keluarga bu guru? Mereka pasti terus memberikan dukungan moral kepadanya, bukan?" Yunho merasa gemetaran.
"Kedua orang tuanya sudah sangat tua dan kakak-kakaknya sudah sibuk dengan keluarga mereka masing-masing. Ia pasti tidak ingin membuat keluarganya khawatir," jawab Junsu.
Hati Yunho terasa bagaikan teriris. Rasanya lebih menyakitkan daripada saat Jaejoong mematahkan hatinya tempo hari. "Apa kau tahu di mana ia tinggal? Aku ingin mengunjunginya di rumahnya."
"Ya, aku tahu. Apa kau ingin aku mengantarmu ke sana?" Junsu menawarkan bantuannya.
"Tidak, kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa pergi ke sana sendiri."
.
.
.
Di sinilah Yunho berdiri, di depan rumah Jaejoong. Hujan deras tidak menghentikannya untuk datang kemari, menemui pujaan hatinya. Semoga saja Jaejoong sedang ada di rumah.
Dengan gemetaran Yunho menekan bel rumah Jaejoong. Ia gemetaran karena kedinginan sekaligus gugup. Ia tidak membawa payung.
Tidak ada jawaban. Yunho menekan bel beberapa kali, tetapi Jaejoong tidak juga muncul untuk membukakan pintu untuknya.
"Bu guru tidak ada di rumah. Ia pergi mengajar di panti asuhan setiap akhir pekan." Tetangga Jaejoong memberi tahu Yunho.
"Oh, ternyata begitu. Terima kasih karena sudah memberitahuku. Kira-kira kapan ia pulang?" Yunho sudah tidak sabar untuk melihat gurunya itu lagi.
"Hmm, sekarang sudah sore. Mungkin ia akan pulang sebentar lagi. Tunggu saja sebentar. Apa kau ingin menunggu di dalam rumahku? Di luar sangat dingin." Tetangga Jaejoong sangat baik.
"Tidak apa-apa. Aku akan menunggu di sini saja." Yunho tidak ingin merepotkan orang lain.
"Oh, baiklah kalau begitu," ujar tetangga Jaejoong.
Yunho menunggu di teras rumah Jaejoong. Udara terasa sangat dingin. Namun, demi bertemu pujaan hatinya, ia abaikan hal itu. Ia sudah sangat tidak sabar.
Sambil menunggu kedatangan Jaejoong, Yunho menerawang ke masa lalu. Ia mengingat kembali kenangan saat ia SMA.
"Bu Guru, biar kubawakan tas ibu."
"Tidak usah, Yunho. Ini tidak berat."
"Tidak apa-apa."
"Baiklah jika kau memaksa. Kau ini suka memaksa ya."
.
.
.
"Bu Guru, ini untuk ibu."
"Apa ini?"
"Ini adalah kue buatan ibuku."
"Maaf, Yunho. Aku tak boleh menerima pemberian orang tua siswa."
"Akan tetapi,..."
"Maaf, Yunho. Bukannya aku tak senang menerimanya, tetapi aku tak bisa. Ini memang sudah peraturan."
"Uhm, baiklah."
"Kau jangan bersedih seperti itu. Jika cemberut, kau tidak terlihat tampan lagi. Sebaiknya kau bagikan kue-kue ini kepada teman-temanmu. Juga tolong sampaikan permintaan maafku kepada ibumu karena aku tak bisa menerima pemberiannya."
"Jika aku yang memberi, bukan pemberian orang tuaku, apakah ibu bisa menerimanya?"
"..."
.
.
.
"Bu, ini bunga untuk ibu. Ini dariku, bukan dari orang tuaku. Ibu mau menerimanya, kan?"
"Terima kasih, Yunho! Bunganya cantik sekali."
"Ibu jauh lebih cantik daripada bunga itu."
"..."
"Terima kasih karena ibu mau menerima bunga pemberianku. Jadi, ibu juga mau kan menerima cintaku?"
.
.
.
Jaejoong terkejut melihat seseorang yang sedang duduk di teras rumahnya. Pria itu adalah orang yang beberapa minggu lalu datang menemuinya di kantor. "Selamat sore! Jung Yunho?"
Yunho terhenyak. "Ibu guru sudah pulang."
Jaejoong membuka pintu rumahnya. "Ayo, silakan masuk! Di luar sangat dingin."
Yunho melihat-lihat ke sekeliling ruang tamu Jaejoong. Rumah gurunya itu sangat kecil. "Apa ibu tinggal sendirian di sini?"
Jaejoong merasa tidak nyaman oleh pertanyaan Yunho. Ia tidak menjawabnya. "Apa ada yang bisa kubantu?"
"Mengapa ibu berbohong kepadaku? Ibu berkata bahwa ibu sudah menikah, padahal itu tidak benar." Yunho tidak suka berbasa-basi. Ia langsung berbicara pada intinya.
"Aku sama sekali tidak berbohong. Aku memang sudah menikah." Jawaban Jaejoong terdengar sangat dingin, lebih dingin daripada udara di luar.
Kini Yunho mengerti maksud perkataan Jaejoong. Mengapa ia selalu salah mengartikan ucapan gurunya itu? "Mengapa ibu selalu mempermainkan perasaanku? Ibu tahu kan bahwa aku sangat menyukai ibu?"
Jaejoong bingung bagaimana harus menghadapi muridnya yang satu itu. Sejak dulu ia juga merasa bahwa anak itu bersikap berbeda dari murid lainnya. Namun, ia tidak ingin berpikiran yang tidak-tidak. "Yunho, aku menganggapmu sebagai muridku, sama seperti kepada teman-temanmu yang lain."
"Bu, sekarang aku sudah dewasa. Aku sudah menjadi seseorang. Aku sudah lulus kuliah dan mempunyai pekerjaan. Aku sudah mapan. Bisakah ibu melihatku sebagai seorang pria sekarang?" Yunho memohon.
"Maaf, aku tak bisa, Yunho." Jaejoong tak mau memberi harapan palsu. "Kau selamanya adalah muridku."
"Mengapa tak bisa? Usia kita hanya terpaut tujuh tahun," ujar Yunho.
"Justru itu adalah masalah besar. Perasaanku kepadamu hanyalah perasaan seorang guru kepada muridnya, tidak lebih." Bagaimana Jaejoong membuat Yunho mengerti? Muridnya yang satu itu memang keras kepala.
"Bu, cobalah lihat aku sedikit saja! Aku melanjutkan studi di luar negeri juga demi ibu, agar ibu mau memandangku." Yunho terus memelas. "Agar aku layak untuk bersanding dengan ibu."
"Yunho,..." Jaejoong mengatur nafasnya. "Perasaan tidak bisa dipaksakan."
"Tidak adakah kesempatan untukku sekali saja?" Yunho masih tetap bersikeras. "Aku tak pernah berhenti memikirkan ibu selama ini. Ibulah sumber motivasiku. Aku bisa menyelesaikan studiku dengan baik karena ibu."
"Mulai sekarang kau harus menjalani hidupmu demi dirimu sendiri, bukan demi diriku, bukan juga orang lain," tegas Jaejoong.
Yunho merasa sangat sedih. "Apa ibu mencintai pria lain?"
"Itu bukan urusanmu." Jaejoong tidak suka orang lain mencampuri urusannya.
"Aku mencintaimu. Tentu saja aku harus mencari tahu," balas Yunho.
Jaejoong masih merasa sakit hati oleh mantan suaminya yang menceraikannya. Ya, ia terima keputusan pria itu untuk menceraikannya. Ia sangat memahami alasannya. Ia juga tak bisa menyalahkan mantan suaminya tersebut. Mantan suaminya itu juga pasti ingin bahagia, membangun sebuah keluarga, sesuatu yang tak bisa diwujudkan bersama dirinya. Ia tidak ingin merasakan kekecewaan lagi, sehingga ia bertekad untuk tidak jatuh cinta lagi. "Jika aku menerima cintamu, bagaimana setelah itu? Apa suatu saat kau akan meninggalkanku jika kau sudah tak mencintaiku lagi?"
Yunho justru merasakan angin segar dari perkataan Jaejoong. Apakah itu artinya Jaejoong akan memberinya kesempatan? "Aku terus mencintaimu, meskipun aku tak melihatmu, tak bertemu denganmu. Berpisah denganmu selama empat tahun tidak membuat cintaku kepadamu pudar. Apa kau pikir bahwa cintaku akan pudar begitu saja?"
"Suatu saat kau akan merasa bosan denganku. Aku akan semakin tua, sedangkan kau masih muda. Tidak ada tujuan dalam hubungan kita." Jaejoong berkata serius.
Yunho mengerti apa yang Jaejoong inginkan. Wanita itu ingin sebuah kepastian, hubungan yang serius dan jangka panjang, bukan hanya untuk kesenangan sesaat. "Apa yang harus kulakukan untuk membuktikan keseriusanku kepadamu?"
Jaejoong terdiam sejenak. "Tidak ada."
"Kau tidak bisa seperti ini, Bu Guru," protes Yunho. "Aku sudah membuktikan kepadamu bahwa aku bisa menjadi seseorang, bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Kini ibu harus menepati janji ibu kepadaku."
"Memangnya apa yang telah kujanjikan kepadamu?" tantang Jaejoong. "Aku tidak merasa telah menjanjikan apa pun kepadamu. Aku hanya menyuruhmu untuk datang lagi kepadaku jika kau sudah menjadi seseorang dan berdiri di atas kakimu sendiri. Hal itu sudah kau lakukan, bukan? Aku tak berhutang janji apa pun kepadamu."
Yunho merasa sangat bodoh. Ia salah menangkap maksud perkataan Jaejoong. Ya, memang benar, tidak ada janji yang terucap dari mulut gurunya itu dulu. Ia saja yang mengasumsikan lebih. Siapa pun pasti akan berpikiran sama seperti dirinya jika Jaejoong mengatakan hal itu. Gurunya itu juga sangat pandai berkata-kata.
"Kuharap kita tetap berhubungan baik sebagai guru dan murid, tidak lebih." Jaejoong menurunkan nada bicaranya.
Yunho tersenyum getir. "Jadi, apakah tidak ada kesempatan sedikit pun untukku?"
Jaejoong menggeleng. "Tidak, Yunho. Maafkan aku."
Yunho melebarkan senyumannya dengan paksa. "Meskipun kau menolakku, aku tak akan menyerah begitu saja. Kaulah yang mengajariku untuk tidak mudah menyerah. Aku tidak akan pernah menyerah untuk mengejarmu. Aku tak akan pernah berhenti sampai hatimu luluh dan akhirnya kau mau menerimaku. Aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku."
