Cube (c) Vincenzo Natali
Majin Tantei Nougami Neuro (c) Matsui Yūsei

A/N: Efek gemes habis nonton Cube Zero terus ngga ngerti sama turning plotnya #yassalam

by St. Chimaira (id: 1658345)

.

.

.


Suatu ketika orang-orang itu siuman dengan merah menyelimuti sepasang netra—atau barangkali biru, putih, hijau, khaki—sekiranya spektrum dalam teori warna yang pernah terlintas selama indera penglihatan senantiasa berfungsi.

Tidak hanya satu dalam tunggal, bisa jadi sebuah konversi satuan; panjang, tekan, volume, suhu, kalor,

—mungkin juga waktu.

Karena bagaimanapun mereka berjuang melewati keenam sisi pintu mekanis searah berdetaknya jarum pada arloji di tangan kiri, sesungguhnya mereka sedang mencekik urat nadi. Permutasi.

Dua satu dikali dua satu. Luas pikir mereka, sempit bagi yang bergumul di dalamnya. Bagi nama-nama yang menanggung dosa sehingga menjadi pemain pilihan untuk menjalani penghakiman sadis sepihak tanpa tujuan maupun jalan keluar.

Karena kotak adalah mereka. Pekat darah adalah warnanya.

Personifikasi elok ini diciptakan oleh tangan jenius melalui kemampuannya yang di luar manusia. Apakah sihir? Mungkin saja. Tidak pernah ada yang mendengar jelas awal mula dan bagaimana asalnya. Biarkan saja rahasia.

"Aku sendiri juga tidak tahu…"

Sungguh kalimat egois. Nuansanya submisif.

"—mungkin kalau ada dari mereka berhasil keluar dari boks ini", dia mengetuk jari di atas latar horisontal nan licin, menggelitik luas permukaannya, "Aku bisa tahu lebih dari sekedar namaku. Iya kan, Ai?"

"…mungkin."

"Jangan bersikap dingin begitu, Aiii! Ini aku beri barang bernilai untukmu."

Pena bertahtakan berlian diterima sang gadis setengah hati. Diamati benda itu baik-baik hingga ke dalam. Tintanya mungkin tidak pernah ada nilainya selama permukaannya masih berperan.

Sama seperti penggunanya yang tidak akan pernah ditemukan lagi, keberadaannya seperti cairan pekat tanpa bungkus di dalam sebuah kubus kini. Bersama pendosa-pendosa lain dalam pencarian juga pembelaan diri.

"Sudah saatnya kita pulang, Tuan. Polisi sedang menuju kemari."

"Baiklah, aku juga mulai bosan." dengan berbekal kendaraan curian, ada sepasang misterius meninggalkan tempat kejadian.

Sementara orang-orang tadi tetap di dalam sana. Membuka, bergerak, lalu berpindah. Berharap usahanya membuahkan hasil dalam upayanya untuk kembali melihat dunia luar yang cerah.

Barang bukti bernyawa itu kemudian diamankan oleh kepolisian, sekiranya sudah mencapai delapan atau sembilan. Memaki, menyumpah, mengutuk, sebuah nama yang bertanggung jawab terus menerus dilantunkan.

Semua memanggilnya Sai. Kaito Sai.


END


.

Omake

"Kau yakin tidak mau bertanya padaku, Ai?"

"Tidak."

"Benar-benar tidak akan?" Sai bersikeras, "Setidaknya kau pasti penasaran kenapa aku membentuk mereka menjadi kotak? Bukan segitiga, trapesium atau bulat?" sorot matanya memancarkan tatapan penuh harap.

Sigh. "…sama sekali tidak."

"Oh, ayolah! Aku yakin kau punya banyak pertanyaan selama ini! Misalnya saja kenapa kotaknya harus merah? Apa Seorang Kaito Sai menyukai warna merah? Kenapa tidak biru? Kuning? Hitam? Kenapa harus dua puluh satu kali dua puluh satu langkah, kenapa bukan satu hektar? Kenapa?!"

"…Sai."

"Ya? YA?" seandainya anak itu seekor anjing, kita bisa melihat kibasan ekornya sekarang.

"Kenapa kau cerewet sekali?"