Lay memiliki hobi ngemil yang berat.
Sangat berat!
Jadi jangan heran jika menemukan banyak bungkus makanan kecil bertebaran di setiap sudut kamarnya—itu sebabnya banyak temannya berasa sedang di Surga kalau main ke rumah Lay. Atau bekas kunyahan permen karet yang masih lengket menempel erat di bawah kolong mejanya dalam kelas. Bukannya malah menyimpan contekan untuk ulangan Geometri, Lay justru lebih suka menyelundupkan dua buah permen lolipop supaya bisa diemut ketika Huang Lao-shi sibuk mengitari wilayah depan dekat mimbar guru.
Semua jenis ciki, sereal ringan, susu kotak maupun tekwan pinggiran yang dijual oleh ibu-ibu paruh baya depan sekolah, Lay akui pernah dia coba.
Dalam sehari, dia mampu menghabiskan paling sedikit enam bungkus keripik Lays beserta satu cup penuh bihun pedas—baik dengan bonus minumnya ataupun tidak.
Tidak berhenti sampai di situ, Lay bahkan pernah mengikuti lomba makan burger tercepat (berdurasi lima menit) yang berhadiah dua kardus baozi empuk dengan isian kacang hijau dan saus cokelat untuk masing-masing kardusnya. Dan tebak apa? Dia menang juara pertama; laki-laki itu berhasil membopong roti-roti tersebut dengan penuh kebanggaan disertai airmata penuh haru karena itu adalah kali pertamanya memenangkan sebuah kontes bergengsi—jika itu masih bisa disebut begitu.
Complicated Lychee
(Specially written for Yunjou who's requested for a SuLay's fiction)
-disclaimer-
Characters still tied to their company. Plots belong to me though I don't earn any moneys from this story.
Pairing; Suho/Lay
Length/WC; Oneshoot/3000 words
Genres; Humor, Romance
boyxboy | school-life!AU | China's-view | disgusting!Lay vs perfect!Suho | weirdo, absurd, etc
Mungkin hobi aneh Lay akan terdengar wajar kalau dirinya masih melajang—tapi hei! Ini sungguh lain cerita!
Sejak tiga bulan lalu, seorang Lay telah berstatus taken by Suho alias Kim Joonmyeon alias Tuan Olimpiade Saintek sejagat Changsa. Pemuda culun berkacamata itu menembaknya secara malu-malu setelah bel pulang sekolah berbunyi, lokasi kejadiannya di lapangan belakang. Waktu itu Lay tak berbuat apa-apa kecuali menganggukkan kepalanya sekali—yang dengan pede-nya Suho anggap jawaban bersedia (padahal maksud Lay dia hanya menyingkirkan daun pohon yang tersangkut di rambutnya.)
Lantas—entah siapa yang memulai—mereka bertukar nomor ponsel, mengadakan wakuncar tiap malam Minggu tiba, dan berciuman di bawah pohon kelapa … sampai akhirnya Suho tahu segala tentang seluk-beluk Lay—termasuk hobi ngemil-nya ini.
Fakta itu bukan hanya menyebabkan Suho kalang-kabut, tapi juga benar-benar membuat pacar Lay itu kebingungan setengah mampus.
Suho sudah mengerahkan segala cara hanya demi mengurangi kebiasaan buruk tambatan hatinya.
Ia sudah coba menyembunyikan susu kotak Lay yang berakhir dengan Lay merajuk padanya—memutuskan semua kontak mereka, termasuk berkirim teks—selama seminggu lebih; mengelabui Lay dengan mengatakan bahwa tumpukan jajanannya itu telah kadaluwarsa dan berujung dengan Lay mengendap-endap dari kamarnya saat malam hari untuk mengutil di Seven-Eleven; juga menukar beberapa jus botol yang Lay miliki dengan minuman merek ecek-ecek yang justru membuat Lay diopname beberapa hari di rumah sakit karena didiagnosis keracunan minuman.
Suho jadi habis akal. Ia tak mengerti mesti bagaimana lagi menghadapi kebiasaan menakjubkan Lay yang jujur saja membikin dia pening. Menyadarkan Lay bahkan lebih sulit ketimbang disodori enampuluh soal logaritma dan hanya diberi waktu setengah jam untuk mengerjakan.
Maka Suho memilih diam, mengamati dan menggeleng takjub saat mendapati waktu romantis mereka dirusak oleh Lay yang lebih menyibukkan diri dengan kue bantal tersayangnya ketimbang mendengarkan gombalan Suho (yang rata-rata berhubungan dengan rumus Matematika atau dalil Sains ala Isaac Newton). Dan lagi bila dipikir-pikir, Lay ada benarnya. Manusia waras mana yang mau dirayu dengan kata-kata sinting milik Suho? Hell ya, kecuali kau termasuk tipe orang yang memang suka jika wajahmu disamakan dengan permukaan bulan.
Suho menoleh saat mendengar Lay tersedak kuah makanannya sendiri. Dengan refleks ia bangun dari duduk dan menepuk bahu Lay secara gentle. Setelah beberapa saat Lay sukses melewati masa transisinya, ia berujar "Terimakasih" sangat pelan sambil memerah malu.
Pacarnya berdeham sebentar sebelum membenahi lengan jaket hitamnya, kembali tenang di bangkunya sendiri. "Makanya telan pelan-pelan," ucapnya sedikit mencibir, "aku tidak akan kabur duluan tanpa membayar tagihan makanmu juga."
Lay mendengus kentara, meletakkan sumpitnya kasar di atas meja. "Memangnya kelihatan seperti aku takut tidak bisa bayar? Begini-begini aku juga berdompet tebal, asal kau tahu."
Suho balas mendengus, "Bukan. Aku tidak sedang menyindirmu tadi, itu cuma menasehati, kenapa diambil hati?" tanyanya. Dia menunggu, dan bukannya mendapat jawaban, Suho malah dihadiahi pelototan seram oleh Lay. "Aku tidak dalam mood yang bagus untuk diajak bercanda, bodoh."
Menghela napasnya dalam, Suho menenangkan emosinya yang hampir naik ke ubun-ubun lalu menatap kelereng Lay di mana pemiliknya tengah mendumal. Suho berpikir jika Lay mengumpatnya dengan bahasa kotor. Sabarlah … sabar Suho, mendapatkan Lay perlu menjatuhkan harga dirimu juga, bukan?
"Hei, hei … baiklah—baiklah, maafkan aku, oke?" ia menangkup wajah Lay dengan dua tangannya, "aku mengaku salah."
Lay memutar bolamatanya imajinatif tanpa menyingkirkan tangan hangat itu dari pipinya. "Aku juga. Aku juga minta maaf sudah emosian,"
Suho mengulum senyum tiga jari. Sebelah tangannya beralih mengambil selembar tisu untuk menyeka bekas kecap di sudut mulut pacarnya. "Kamu makan berantakan. Seperti anak SD saja …"
Sementara Suho melakukan itu, Lay menetralkan jantungnya yang berdegup keras. "Tapi baguslah. Tadinya kukira kau sedang siklus bulanan—beberapa hari ini kerjamu cuma mendumel terus padaku …" tambah Suho dengan volume pelan.
"Apa?"
"Tidak. Bukan apa-apa. Omong-omong, kau sudah dengar, kan? Dari kepala sekolah tadi pagi …"
"Soal?" Lay menaikkan sebelah alisnya. Suho memilih bungkam.
Mereka telah selesai dengan acara makan siang serta jalan-jalan rutin akhir pekan. Seorang pelayan bercelemek kembang-kembang menghampiri meja mereka seraya meletakkan bon tagihan. Empat mangkuk sup seafood—tiga yang masuk ke perut Lay sementara Suho pesan satu, itupun masih bersisa—serta dua gelas teh hijau; semuanya berjumlah duapuluh tiga ribu yuan.
Suho menarik lengan Lay keluar dari warung itu dan membawanya ke halte bus terdekat.
Benar, Suho lebih suka naik angkutan umum ketimbang mengendarai motor Harley Davidson milik ayahnya saat sedang berkencan dengan Lay. Alasannya, selain karena ia belum begitu mahir mengendalikan setangnya, Suho berpendapat ia ingin melestarikan lingkungan hidup dengan tidak menyebarkan terlalu banyak polusi dari kendaraan bermotor. Ew, terdengar klise nan menggelikan memang—tapi di satu sisi, Lay makin terperosok dalam cinta Suho karena dasarnya dia dan keluarganya berada dalam blok pendukung pencinta lingkungan.
Hemeh, kalimat ini lama-lama terlalu berlarut-larut…
"Uh, ini bukti bahwa Negara ini benar-benar sudah mengalami tingkat kerusakan lingkungan yang akut," cibir Suho saat melihat banyak orang di samping mereka menutup wajahnya masing-masing mengenakan masker.
Lay memandang Suho yang mendecak diplomatis ala calon legislatif ketika sedang berkoar-koar mengenai janjinya sebelum pemilihan umum berlangsung. Raut aristokrat Suho sangat menarik kalau ada butir peluh menghias pelipisnya. Menurutnya, itu … seksi.
Laki-laki itu baru akan menghapus keringat tersebut sebelum mata Suho balik menatapnya keheranan. "Ada yang salah dengan wajahku?"
"T—tidak ada. K—kupikir ya, kau benar, cuacanya sedikit panas di sini," kata Lay terbata-bata. Sial, sial, sial, demi apa Lay hampir tertangkap basah sedang terpesona dengan pacar kacamatanya?! Benar-benar memalukan!
Jiwanya belum sepenuhnya sadar dari rasa kagok—kaget dan kepergok—namun tahu-tahu Lay menemukan tubuhnya sudah pas dalam kungkungan Suho, melindunginya dari hmm (diksi yang aneh)—sinar matahari senja?
"Sudah mendingan?"
Lay menetralkan deru dadanya yang memburu. Lalu menghembuskan udara perlahan. Berada dalam pelukan Suho membuat segalanya sempurna. "Y—ya, terimakasih lagi,"
Suho sedikit mengendurkan dekapan mereka, melepas jaketnya yang bertudung kemudian mengenakannya kepada Lay. Sekarang dia cuma memakai T-shirt santai berwarna hijau dan jins coklat tua selutut.
"Nah, aman. Sekarang Lychee-ku tidak lagi kepanasan, kan?"
Lay menggeleng seraya menghela napas.
"Kenapa?" tanya Suho memastikan selagi Lay memelintir ujung jaket miliknya.
"Kamu memberikan jaketmu kepadaku. Bagaimana dengan dirimu sendiri?"
Suho tersenyum ganteng, "Aku tidak apa-apa, sungguh."
"Tidak apa-apa gimana? Nanti bagaimana kalau kau sendiri masuk angin, Suho-er?" ucap Lay sedikit khawatir.
"Masuk angin? Ini kan musim panas, Sayang …" Suho berujar, menimang nada suaranya.
Lay seketika salting—salah tingkah.
"Jangan bilang kau sedang mengkhawatirkan aku, eh?" Suho menyeringai sambil menaik-naikkan alis. Walau masih mengenakan kacamata perseginya yang menyebalkan, Lay tahu bahwa ada binar menggoda dari tatapan itu. Asdfghjkl, kena lagi deh—
"Lagian kalau aku sakit, kan, ada kamu yang bakal mengurusiku…"
"Tidak! Tidak! Demi Tuhan, tidak, dasar Maniak Angka! Berhentilah membangun persepsimu sendiri dan urusi hal lain yang lebih penting—"
Suho menangkap tangan kanan Lay, menggenggamnya erat. "Tapi kau berlipat-lipat jauh lebih penting daripada rumus Kimia-ku."
"Stop berbicara tentang teori ilmuwanmu yang sulit dinalar itu, Suho. Pacarmu ini idiot—IQ-nya tak sampai 120, tontonannya masih Spongebob Squarepants dan otaknya bahkan lebih lemot dari prosesor komputer yang sering pending—kalau kau lupa," tukas Lay enggan, memutar bolamatanya jengah.
"Semuanya yang memiliki sifat sudah mutlak berkontradiksi, Cinta."
"Begitu?"
"… baik dan buruk; siang dan malam …"
"Semuanya juga tahu itu, Tuan Sok Pintar."
"… cakep dan—uhm, jelek, maybe …"
"Nah, kalau kamu jelek, yang cakep sudah pasti aku …"
"… kaya dan miskin …"
"Hei, apa maksudnya ini?!"
"… tinggi dengan pendek …"
"Akhirnya kau sadar diri, bantet."
"… laki-laki dengan perempuan …"
"Yah, yah. Laki-laki dan perempuan."
Suho mengangguk-angguk. "Laki-laki dan perempuan …" balas Suho sembari membayangkan Hyorin dkk. menari untuk video musik terbaru mereka yang baru saja rilis empat hari lalu. Pinggul bergoyang-goyang, pantat menggeol-geol, dada memantul-man—
"Sayang sekali aku bukan perempuan, kalau kau (juga) lupa," kata Lay lebay, sedikit alay, bikin orang-orang sontak jijay. Iyuh. (Eh, kok lama-lama mirip slogan film kamseupay, sih?)
Sadar dari acara melamun joroknya, Suho mendapati Lay membelakangi tubuhnya. Gestur ngambek. "Aih, aih… aku mencintaimu ada apanya—eh, maksudnya, apa adanya, kok. Swear deh!" Telunjuknya menoel pipi pacarnya, berusaha membuat Lay berhenti merajuk.
Lay berbalik kemudian memasang ekspresi datar, "Sudah selesai? Terus saja jabarkan seperti aku orang bodoh yang diikutkan dalam rapat filsafat orang-orang terjenius sedunia! Jelas kau selalu kebagian yang bagus sementara aku cuma sisanya!" makinya gondok.
Suho melembutkan tatapannya, "Aku tak pernah berkata kau dapat yang jelek, kok. Aku kan belum selesai bicara? Bukti lainnya, tadi kamu selalu coretmenghinacoret aku dengan mengatakan aku bantet deelel, tapi aku ikhlas saja," ucapnya, "kamu tahu kenapa?"
Satu gelengan di kepala yang Suho terima.
"Itu karena aku cinta kamu."
Eaeaeaeaea.
Tanah mana tanah? Lay merasa dia harus mengubur diri sedalam lima meter karena wajahnya benar-benar terasa panas seperti kompor. Sizuka yang kehabisan gas berlari ke arahnya dengan membawa kuali dan meletakkannya di atas kulit Lay, merebus dorayaki untuk Doraemon sementara Nobita berteriak-teriak di belakang takut kehabisan—tapi semua ini bohong, jangan mau percaya.
Suho mengangkat tangannya, ia menghalau anak rambut Lay dan menyekanya ke balik telinga. "Aku mencintaimu, Yixing-ah. Kau tahu?"
"Aku tahu."
"Yixing…"
"Unn?"
"Kamu tahu sekarang hari apa?"
"Sabtu …, kalau nggak salah ingat, sih,"
Suho menggeleng, "Bukan."
"Trus?"
Menghela napasnya beberapa kali, memejamkan mata dan membukanya, menghadiahi Lay dengan tatapan sarat makna. Kecewa, marah, sakit, gusar, benci … tapi cinta. "Hari ini kan anniversary kita yang ketiga. Kamu lupa, ya? Hh, aku justru ingat banget waktu aku nembak kamu di atas pohon toge dan di bawah naungan mentari,"
"Lebayyyyyy,"
"Yixing-ah, jika disimpulkan, memang rasanya sulit sekali, ya, mencuri hatimu?"
"…"
"Kalau diibaratkan … kita itu kayak krim—aku fase air, terus kamu fase minyaknya. Karena meskipun kelihatannya sulit bersatu, tapi perasaan kita jadi PGA untuk menjadikan kita bersatu … sampe sekarang ini …"
"…"
"Jujurlah, apa aslinya aku ini 'masih bertepuk sebelah tangan'?"
"…"
"Kalau kamu bosan sama aku, bilang langsung biar aku bisa ngubah diriku jadi yang kamu mau, tapi aku mohon, jangan pernah minta putus dariku …"
Teng-nong!
Darah mengalir deras dari balik kulit wajahnya hingga ke telinga. Membuat Lay tak mampu sekedar menatap Suho. Telak, Suho—tampolannya pas, nge-jleb di hati.
"Kenapa hari ini kamu selalu menyudutkan aku, sih?" sentak Lay.
Beberapa gadis muda yang memegang payung menoleh pada pasangan itu sebelum kembali sibuk berkutat dengan tema gosip mereka hari itu—besok kampus mereka akan kedatangan rektor baru yang killer.
Ah, peduli ayam—Suho bahkan tidak akan keberatan bila mereka menjadi pusat perhatian para calon penumpang bus yang kini membuat antrean panjang, satu persatu gantian naik dengan tertib.
"Aku bercanda, Sayang." Suho getol mencolek-colek hidung pacarnya dan Lay balik memukul tangannya dengan geram.
"Berhenti segera atau kupatahkan tanganmu, Joonmyeon!" omel Lay, memanggil Suho dengan nama aslinya. Ia yang mengira Suho berhenti malah menemukan Suho semakin giat melancarkan aksinya.
Malu sekali rasanya digoda pacar sendiri di tempat umum… mending kalau mereka hanya berdua, nah ini?!
Sepasang suami-istri yang berdiri di belakang mereka menatap jijik pemandangan telenovela gratisan yang kedua pelakonnya masih berstatus bocah SMA. Sang istri mengelus perutnya yang agak buncit seraya merapal sesuatu sedangkan suaminya yang berperawakan kurus—saking kurusnya Lay sempat berpikir tubuh pria itu setipis sapu ijuk ibunya—kelihatan jengah, kecapekan mengipasi istri yang hamil muda. Kalau Lay tidak salah dengar, wanita itu mengoceh, 'Dik, besar nanti jangan kau tiru perilaku abang-abang aneh ini, oke? Mereka hanya anak muda luntang-lantung, kerjanya cuman bisa pacaran di muka umum. Masa depan mereka pasti madesu …'
Anjrit, madesu apanya? umpat Lay dalam hati.
Apa pasangan ini sungguh-sungguh miskin sampai tidak punya uang untuk membeli pesawat televisi, atau memasang parabola untuk mendapat siaran, atau paling tidak apakah mereka tidak punya tetangga untuk menumpang nonton? Karena demi-Simfoni No. 9-milik Beethoven sekalipun, WAJAH SUHO PERNAH MASUK TEVE DALAM HEADLINE-NEWS SEBAGAI JUARA SATU OLIMPIADE SAINS INTERNASIONAL—yah, tapi tayangannya memang terpotong iklan produk pelangsing, sih.
Suho seolah tidak mempelajari situasi, melanjutkan candaannya sementara yang dicandai sudah bersikap yo-wislah-sak-karepmu-wae (bahasa nginggrisnya mah, whatever you are doing, just do it since I'll never pay ma attention to you). Seringai Suho melebar, "Pipimu merah. Aku benar!" godanya, "ayolah akui saja. Sekali-kali membuat pacarmu sendiri senang, apa salahnya?"
Langkah antrean itu terhenti karena Lay yang sedang gilirannya melangkah naik ke bus seketika berbalik, menyeringai sejenak lalu sepersekian detik kemudian melumat bibir Suho dengan rakus. "Dengar ini baik-baik, oke?" desah Lay di sela ciumannya. "Maafkan aku. Aku bukannya tidak ingat anniversary kita, tapi aku lupa…" Ia menggigit bibir bawah Suho, "kamu tahu aku punya penyakit pikun, bukan?" Bibir Suho terbuka, Lay menangkup kepala Suho dan mengakomodasi lidahnya, "aku juga ingat waktu kamu nembak aku di atas pohon toge …" Ia membelai langit-langit mulut Suho dengan sensual, "dan kamu juga nggak perlu nyuri-nyuri hati aku lagi semenjak hatiku udah sepenuhnya milik kamu," Napas saling memburu, "kita kayak krim … perbedaan kita yang bikin kita jadi satu …" Tautan itu terjalin kira-kira beberapa menit sebelum Lay menyelesaikannya, melap bekas liurnya yang bercampur dengan milik Suho dengan punggung tangan. "Aku juga gak mungkin berani menciummu seliar ini kalau aku menganggap hubungan kita 'hanya bertepuk sebelah tangan'. Dan ya, aku juga mencintaimu. Kita nggak bakalan pernah putus, Kim Joonmyeon. Nggak, selama-lamanya."
Ia melangkah masuk dengan ringan dan mengambil dua kursi kosong di bagian tengah bus. Melambai pada Suho yang masih terpaku di posisinya, mengumpulkan tenaga untuk menopang badannya.
Berciuman di depan orang banyak terbukti mampu melumpuhkan syaraf ototmu.
Para gadis pingsan sambil memegangi hidungnya yang mimisan, sementara ibu hamil yang tadi bersama suaminya mengeluh sakit perut—mungkin anak mereka akan lahir prematur.
Bus yang mereka tumpangi mulai melambat ketika memasuki kawasan kompleks rumah Lay. Di dalam sana telah sepi penumpang kecuali seorang nenek tua bersama cucunya yang ada di bangku penumpang paling depan.
Lay menoleh ke samping, mata Suho sedikit terpejam dan laki-laki berkacamata itu meliriknya sekilas. "Sudah sampai?"
Ia menggeleng perlahan, "Hampir, tapi belum …" Bibirnya mengerut ingin berkata lebih banyak namun sengaja diurungkan.
Suho mengerjap bingung, "Kau ingin mengatakan sesuatu?"
Jemari Lay bertaut resah. Tanya, tidak, tanya, tidak, tanya, tidak, tanya! "A—anu, soal yang di warung tadi, kau belum menjawab pertanyaanku, bukan?" ucapnya ragu, "memangnya apa yang kepala sekolah sampaikan padamu?"
"Hmm …"
"Bukan 'Hmm …', Joonmyeon. Aku minta penjelasan,"
Suho mengangguk. "Tapi kau harus janji untuk jangan marah padaku, ya …"
Lay sudah wanti-wanti tentang segala hal buruk yang—barangkali—bakal menimpa hubungan mereka yang baru seumur jagung. Jangan menatapnya sinis, Lay memang terlalu lelet untuk memahami bahwa dirinya butuh Suho—bukan untuk sekedar bahan contekan saat ada ulangan dadakan, namun … ia memang membutuhkan dirinya. Seakan ada yang hilang kalau ia tak menatap orbs kelam itu atau tak mendengar leluconnya yang garing; rasanya berbeda.
"Aku akan diikutkan dalam program pertukaran pelajar ke Korea Selatan selama tiga bulan …" balas Suho, putus asa. "Kau tak apa kutinggal sendiri?"
Hening.
Masih hening.
"Yixingie?"
"Oh."
"Apa?"
"Apa?"
Suho mengernyit, "Jawabanmu …, apa?"
"Oh."
Oh?
Hanya 'oh', katanya?!
Tidak sadarkah Lay, betapa Suho galau akan terisolir darinya selama beberapa waktu?
Padahal mereka bakal berpisah laut dan darat … dan cuma bisa bertelepon-ria atau bertukar kalimat abstrak lewat jejaring sosial—itupun kalau mereka berdua sedang online bareng, bukan? (Itu juga kalau misalnya Lay tidak lupa isi pulsa).
"K—kau … apa kau tidak berniat mengatakan 'Aku akan merindukanmu,' atau 'Pasti akan sepi …' atau 'Cepat kembali, aku butuh dirimu,' d—dan hanya bilang 'Oh.' tanpa mengatakan kata-kata yang lain?" Suho terpana, frustasi, sekaligus stres akut melihat Lay menggeleng polos untuknya, membalas, "Apakah aku harus?"
Oh, Tuhan…
Belum habis perasaan tertohok Suho, tiba-tiba Lay menyengir jenaka ke arahnya sambil memamerkan sebungkus makanan ringan—entah bagaimana bentuk dan rasanya, Suho tak tertarik untuk tahu—berlabel Chocopie. Yang membuat Suho lebih bingung, sepengetahuannya, kemarin siang ia telah membuat kesepakatan bersama Lay yang intinya dia akan membuang segala macam jajanan koleksi Lay dan sebagai imbalannya, Suho akan mengajak Lay makan ke warung seafood berkocek—agak—mahal tanpa perlu protes kalau-kalau Lay memilih menu paling berkelas sekalipun.
Ya, bayarannya memang kencan hari ini.
Lay terkekeh seram—dalam pandangan Suho. Boneka Chucky bahkan kalah seram jika dibandingkan raut lepas pacarnya saat ini, menurutnya.
Pe-o-po-te-e-ka.
Potek.
Harga diri terlecehkan, dompet terkuras habis-habisan, menanggung malu di muka umum, mati-matian menghapal idiom romansa dari buku bertajuk Seribu Satu Upaya Melelehkan Hati Pacar Idiotmu—tapi berujung gagal total?!
Rasanya Suho ingin meraung menjambaki rambut Lay sembari menghitung berapa banyak butiran suci yang terdapat dalam sebuah rosario (yang ini kurang kerjaan tapi rasa-rasanya hal itu wajar dilakukan ketika seseorang sedang diguncang frustasi hebat). Namun tentu saja ia tak melakukannya; mana berani Suho ambil risiko diputuskan oleh Lay?
Kiamat itu namanya …
Tapi, diselingkuhi oleh cemilan itu juga berasa cekit-cekit, ya?
Yah, intinya, sih … Suho memang harus mengaku kalah karena pacarnya juga mencintai hobinya sama besar seperti ia mencintainya.
Padahal sebenarnya Suho bisa gampang saja menggaet anak perawan orang—kalau ia melepas kacamata dan membenahi tatanan rambutnya—tapi pilihannya tetap saja jatuh pada anak itu.
Karena tak peduli dengan sihir apa Lay dapat membuatnya bertekuk lutut, nyatanya Suho mendapati dirinya semakin ambruk dalam pesona Lay dari hari ke hari.
Sebab, Suho bahkan mengesampingkan kriteria bibit-bebet-bobot milik keluarganya.
Selain kenyataan bahwa pacarnya adalah seseorang dengan otak lelet, ingatan nenek-nenek dan IQ tak lebih dari 120; tidak bisa dipungkiri bahwa—
—Lay memiliki hobi ngemil yang berat!
… tapi Suho mencintainya!
"Kalau kau memang pergi, paling tidak aku masih menyimpan banyak susu kotak, keripik singkong, beberapa bungkus permen karet dan tentu saja Chocopie ini … jadi aku tak perlu susah-susah menangisimu seperti bocah yang benang layangannya putus."
Owari—
Zula's Side
How long it has been since I didn't updated new fiction? Haha, I think it's almost a month XDv sorry, I'm busy with my stuffs. College thingy makes me unmood for open my laptop or even type stories (please praise me for my test hhh). But I swear I'll write more if I have free time left! #grinwidely. And FYI, ten days ago was my first anniversary being a FFn author; there's so much bittersweet within one year. Special thanks to 319 subscribers to this account, you all are so sweet. Sorry if I always make you all mad, feel dizzy for long awaiting of new chapters of story you wait, I can't drive my mood in every moments. Also, gladly I say thanks to every reviews (flames and bashes, too) I receive 'til now, they're my only vitamin for me continuing my writing. Favorites always made my heart sounds badump-badump hhh. Some buddies tell me about publish my-soon-babies-called-novel-blah and I'm not expect it. Hhh. Novel? Wow, I'm so damn suck at write! Thus, how can I? xD plus, I wonder that I'm not as good as other authors you may find here a/a there, but that's no problem since I just wanna you're smile when read my writing. Cz write was never been a hobby, it was just FUN. I'm writing for my joy, writing for my readers, and writing for draw who I exactly am (someone's said that personality of a person can read from his writing).
For my dear Yunjou, maaf kalo request-annya baru kupenuhi sekarang. Maaf kalo humornya nggak dapat, aku udah berusaha (tapi jadinya malah worst gitu hahaha) ;_; makasih udah request sama bocah abal2 begini #dor. Kalo kamu nggak puas, maaf, aku bukan mesin pemuas wkwkwk.
Buat semuanya yang udah baca sampe line terakhir (fanfic nista+note gapenting ini halah), thank you very much! Aku ngga bisa ungkapin gimana rasa senangnya kalo kalian ikut senang hiks(?) :"
Makasih makasih makasih makasih! Hhh. Last, DO YOU MIND TO LEAVE REVIEW? MUHAHAHA XDv
