Tanpa perlu cermin ajaib ibu tiri Putri Salju, Sehun sudah tahu kalau dirinya memang tampan. Pantulan raganya di cermin menunjukkan segalanya, bahkan dengan celana kainnya yang belum terpasang dengan benar. Cicitan burung timbul tenggelam bersama sapuan angin pada dedaunan kering yang menutupi permukaan trotoar pun seakan mendukung penampilan 'pangeran negeri dongeng'-nya. Ah, pagi harinya memang cocok untuk dijadikan prolog cerita yang bermuara pada 'hidup bahagia selamanya'.

Rutinitas paginya selalu berawal dari secangkir kopi hitam terpahit di dunia, namun belakangan, Sehun malah memilih untuk berdiri tampan di depan pintu rumahnya sembari bersenandung. Dimulai dari nada 'do' rendah, Sehun akan mendapat perhatian dari seorang pemilik senyum terindah di dunia.

.

.

Cerita dari Semesta

A letter from troalle

with Oh Sehun & Kim Jongin

romance

.Thanks to f(x) for gave me such a big inspiration with 'Shadow' song.

.

Sosok yang selalu Sehun tunggu itu pasti berdiri disana selama kurang lebih tiga menit dari pukul delapan lewat. Seorang pemuda tan dengan sepasang mata sayu dan bibir tebal memesona. Bibirnya yang indah semakin indah saat tertarik ke masing-masing sisi dan Sehun tidak pernah tahan untuk tidak memerhatikannya. Bias cahaya yang menerpa sang pemilik senyum kini menari diatas rambut hitam kelamnya, membuat Sehun hampir kehabisan napas padahal nyanyiannya baru sampai pada bait kedua.

"Suaramu sungguh bagus! Kau bisa saja ikut audisi menyanyi dan menjadi artis!" Suara pemuda itu menyapa gendang telinganya dengan lembut ketika Sehun baru saja menyelesaikan nyanyiannya. Seperti biasa, ia tidak menjawab sanjungan atau apapun perkataannya dan hanya memilih untuk tersenyum. Tepat saat Sehun berhasil menemukan kewarasan dirinya yang sempat menghilang, sosok itu kembali melangkahkan kakinya menjauhi area depan rumah Sehun.

Kepala Sehun kini menengadah untuk melihat langit musim gugur yang tak henti murung. Tapi tak apa, setidaknya Sehun tidak melihat tanda-tanda angin kencang yang akan menyulitkan. Ia sebetulnya selalu khawatir pada pemuda yang memiliki senyum pujaannya itu, dirinya bahkan ingin menggenggam tangan kurus pemuda itu untuk melindunginya dari apapun.

Sepasang netranya kembali memperhatikan punggung pemuda itu yang masih terlihat. Hembusan napasnya memberat saat dirinya melihat pemuda itu nyaris tersandung jika tidak disangga tongkat. Ya, pemuda itu dikelilingi kegelapan. Pemuda itu buta. Dan awalnya Sehun benar-benar kesal saat menyadarinya padahal ia selalu berdandan rapi hanya untuk bersenandung tidak jelas dipagi hari. Meskipun begitu, Sehun tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh dalam pesonanya.

Rute pemuda itu selalu sama. Langkah kedua kaki jenjang Sehun yang selalu mengikutinya pasti terhenti di depan sebuah toko kue. Sosok yang diikutinya kini masuk kedalam dengan perlahan, kentara sekali jika pemuda itu menghapal pijakan kakinya setiap berada di tempat itu. Namun dahi Sehun mengernyit ketika pemuda itu terdiam setelah beberapa kali mencoba mendorong pintu masuk toko. Sehun tersenyum lalu membuka pintu itu untuknya sembari berpura-pura menjadi pelanggan yang kebetulan ingin masuk juga.

"Terimakasih," Pemuda itu kembali menampakkan senyumnya. Astaga, jika mengikuti seorang pemuda manis itu mendapat gaji, Sehun mungkin sudah menjadi orang kaya sekarang. "Kau datang sendirian? Aku akan membelikanmu sepotong kue sebagai ucapan terimakasih. Bolehkah?" Sang pemuda tan memegang sebelah tangannya dengan lembut. Sial, telapak tangannya basah karena terlalu gugup.

"Bolehkah?" Dan kini dirinya membeo.

Pemuda itu mengangguk, "Aku Jongin." Sebelah tangan pemuda tan yang kini punya nama Jongin menggiring tangannya ke sebuah meja dengan gerakan kaku. Sehun kembali disuguhkan sebuah senyum kecil menawan yang nyaris membuat dirinya demam karena pipinya menghangat, bahkan mungkin panas.

"Aku Sehun."

"Pria bersuara bagus itu, kan?" Sehun mengangguk, namun menjawab setelah menyadari sebuah kenyataan penting. "Mungkin, jika kau menganggap sesuatu seperti itu adalah identitas." Jawabnya. Kini Sehun merasa dirinya tenang entah mengapa, seperti merasa keren?

"Baiklah," Jongin mengangguk. "Kau suka pai apel? Atau kue wortel?" Gigi-gigi Jongin yang tertata rapi sekali lagi terlihat dipandangan Sehun, membuat ia tertular virus itu dengan penularan luar biasa cepat.

Menyadari eksistensinya tengah menjadi pusat, Sehun menimbang dan memutuskan, "Sesuatu yang lebih asin. Keju?"

Diluar dugaannya, Jongin malah tertawa kecil. "Apa saja, Sehun-ssi. Berhentilah membuat nada-nada bertanya. Kau membuatku bingung, tahu?" Sebelah tangan Jongin terangkat untuk memanggil pelayan, dan dunia mengabulkannya. "Kue keju dan pai apel dan dua teh." Pemuda itu menyebutkan pesanannya yang diangguki oleh pelayan.

Sehun menaikkan sebelah alisnya, "Jadi, dua teh?"

"Ya," Jongin mengangguk dengan semangat, "Aku bilang akan membelikanmu sepotong kue. Tehnya terserah aku karena aku tidak bilang akan membelikanmu minuman."

Dan Sehun tertawa, "Cukup adil." Lalu tawanya menjadi kekehan lalu kekehannya menjadi hening.

Walau bagaimanapun, Sehun sebenarnya adalah seorang pendiam. Ia lebih senang mengamati dan mendengarkan daripada berbagi tentang pemikirannya. Tidak seperti Jongin. Pemuda itu sedari tadi menjabarkan sesuatu tentang toko kue tempat mereka berada. Jadi Sehun hanya terdiam ditemani tumpuan sebelah tangannya pada dagu sembari memperhatikan bagaimana pergerakan sepasang bibir Jongin.

"—Sehun-ssi?" Tampak Jongin tengah mengernyit heran kearahnya. Pemuda itu jelas tidak melihat ekspresinya, jadi Sehun diam-diam bersyukur karena Jongin tidak melihat ekspresi kaget berlebihannya. "Kau mendengarkan atau tidak?" Tanya Jongin.

"Kurasa.." Sehun berdehem menyadari suaranya yang bergetar menahan kekehan, "Tidak."

Jongin menjawab dengan helaan napasnya, "Aku jadi kesal." Sehun tak bisa lagi menahan kekehan dimulutnya setelah mendengarnya. "Hei, aku tahu kau mengikutiku sejak beberapa minggu!" Jongin berkata dengan suara tertahan saat pelayan meletakkan pesanan diatas meja mereka. Pemuda itu jelas menahan teriakan.

Sehun masih saja tertawa, merasa geli pada raut Jongin yang memerah. "Sepertinya besok aku masih melanjutkannya. Ini menyenangkan."

.

.

TBC

Aku benar-benar berharap cerita ini mengarah ke sesuatu yang berhubungan dengan dongeng, sebetulnya, setidaknya dengan menjadi tetangganya dongeng(?). Tapi aku menyadari kalau dongeng bukan gayaku sekali, jadi WB-ku kembali menyerang.

Oh ya, aku mau berterimakasih untuk siapapun yang pernah membaca beberapa ff-ku sebelumnya! Aku super senang saat membaca review dari kalian! (khusus untuk siapapun yang kurang mengerti ff Whistler-ku, aku minta maaf karena membuat kalian bingung dengan kata-kataku yang aneh eheheh).

Btw, rencananya ff ini akan kuselesaikan dalam dua atau tiga chapter karena aku masih belum siap untuk membuat ff berseri panjang. Aku hanya banyak menulis cerpen sebetulnya, jadi maklumi kalau ff ini bisa saja aku buat aneh kedepannya.

Adakah yang mau menyumbang review? Siapa tahu kalian membantuku untuk memperbaikinya! :)