Hola Minna. Ada yang bosen ketemu fic baru (lagi-lagi) saya? Semoga nggak ya.

.

Fic Collab with Voidy.

.

DISCLAIMER : TITE KUBO

.

RATE : M For Safe

.

Warning : OOC (banget), AU, Gaje, Misstypo (Nongol mulu), Gak karuan.

.

Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka. Apalagi terdapat kesamaan atau kemiripan situasi atau tokoh atau apapun itu dengan cerita lain dalam bentuk apapun itu, adalah tidak disengaja. hehehe

.

.

.

Kabur…

Pergi dari rumah.

Kekanakan sekali. Mirip seperti bocah yang sedang merajuk karena tidak dipenuhi keinginannya? Sepertinya memang seperti itu akulah yang sekarang.

Tapi tidak sesederhana itu saja.

Sebenarnya, alasanku kabur cukup klasik dan ada di cerita mana saja yang ada di dunia ini. Di manapun pasti ada kisah serupa mengenai diriku yang sekarang.

Aku menempuh perjalanan udara yang memakan waktu berjam-jam hanya untuk tiba di sini.

Sebenarnya sejak aku berumur 10 tahun, entah kenapa kedua orang tuaku memilih pindah ke luar negeri. Saat itu aku bahkan sampai mogok makan karena tidak mau meninggalkan tanah kelahiranku. Tapi apa mau dikata? Bagaimanapun kerasnya aku menentang tak akan pernah bisa mengubah keputusan mereka untuk membawaku pergi dari sini.

Saat itu perusahaan milik Ayah memang sedang jaya-jayanya. Ekonomi keluarga terus membaik dan bisa hidup begitu berada. Dan sejak kecil, hidup sebagai anggota keluarga konglomerat membuatku selalu menikmati hidup mewah dan bergelimang materi. Kakeklah begitu berusaha keras memperjuangkan semua ini dari dasar –nol-. Dan kurasa itu bukanlah usaha yang mudah. Ada banyak keringat, airmata bahkan darah yang mereka, Kakek dan Ayah, perjuangkan hingga sampai ke titik ini.

Inilah dilema yang kuhadapi saat ini.

Usiaku baru 18 tahun. Tapi Ayah sudah mencecokiku dengan segala macam hal yang membuatku harus mengikuti keinginannya. Yah... meneruskan perusahaan keluarga yang susah payah dibangun dari zaman Kakek.

Aku hanya remaja 18 tahun yang ingin hidup sesuai pilihanku! Aku ingin jadi remaja egois yang memilih jalanku sendiri tanpa perlu dikekang oleh keinginan orang tua -yang bahkan tidak mengerti kemauan anaknya sendiri. Tidakkah itu terlalu dramatis?

Aku hanya ingin menjadi seseorang yang kuinginkan. Bagiku... menjalankan perusahaan besar milik keluargaku itu... belum siap untukku. Belum begitu mampu untukku bersikap layaknya orang dewasa yang harus menanggung beban seberat itu. Apalagi... aku belum mengerti tanggungjawab apa yang Ayah limpahkan padaku nanti. Dan intinya... aku tidak ingin hidup didikte oleh keinginan Ayah. Tidak.

Aku tidak mau. Terlebih apa yang telah Ayah lakukan pada dia. Segalanya hanya untukku, Beliau mengatakannya. Tapi aku tidak bisa menerimanya. Aku sudah tidak tahan lagi.

.

.

*KIN*VOI*

.

.

Karena aku kabur pada waktu malam hari, otomatis aku tiba di sini pagi hari. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan di sini. Waktu delapan tahun telah mengikis segala suasana yang kukenal. Tak ada yang bisa kuingat dengan jelas. Dan tentu… teman-temanku sejak kecil sudah pasti tidak mungkin aku kenali lagi. Ataukah mereka akan mengenaliku. Tidak mungkin.

Dan akhirnya aku membiarkan sang kereta membawaku entah ke mana.

Saat ini yang terbawa olehku hanyalah uang tabunganku, tas ransel yang berisi baju yang tidak seberapa dan… kamera kesayanganku. Kamera hitam yang kubeli diam-diam beberapa tahun lalu dengan uang tabunganku sendiri. Ayah tak pernah suka dengan hobiku ini. Kalau Ayah tahu, mungkin dia akan marah besar karena aku lagi-lagi tidak menurutinya.

Pergi dari rumah adalah satu-satunya jalan bagiku sekarang. Pelarian.

Dan tak terasa, ternyata kereta shinkansen ini telah sampai di pemberhentian terakhir. Aku merasa aneh berada di sebuah desa yang terletak di ujung kota Tokyo ini. Desa ini benar-benar jauh dari bingkai kota modern. Apa yang bisa kulakukan di sini?

Suasana sepi seperti ini. Apalagi stasiunnya, benar-benar sepi.

Setelah keluar dari stasiun itu, kulihat ada jalan setapak yang sepertinya mengarah ke pemukiman penduduk. Dan ternyata di jaman begini modern, masih ada orang tua yang membawa cangkul dan kapak. Juga topi jerami. Astaga... sebenarnya aku tiba di desa yang seperti apa?

Beberapa orang mulai sibuk memperhatikanku. Sepertinya aku memang terlalu mencolok di desa seperti ini. Apalagi pakaianku yang sepertinya terlalu berbeda dari mereka semua.

Ehem… Bahkan beberapa wanita yang sepertinya ibu-ibu dari desa ini mulai melirik jahil padaku. Ada pula yang sampai nekat menghampiriku -hanya ingin berkenalan denganku?

Dan tentu saja, dengan wajah datar tanpa ekspresi, aku mengabaikan semua orang itu. Keadaan seperti ini mulai membuatku tidak nyaman. Aku mencoba membuka ponselku. Dan malangnya aku. Tentu saja desa seperti ini masih miskin sinyal -walaupun sudah ada beberapa tiang listrik yang terpancang di pinggir jalan. Seharusnya aku menetap saja di Tokyo. Kenapa aku malah nekat datang ke tempat seperti ini? Benar-benar sial!

KLETAK!

Aku meringis kesakitan ketika rasanya, ah bukan… memang kepalaku dilempari sesuatu. Dan benar saja. Ada kerikil kecil yang bergulir ke kakiku. Astaga! Baru datang saja sudah banyak aneh-aneh. Dengan wajah beringas aku menengok kanan kiri untuk mencari siapa pelakunya. Tapi anehnya sama sekali tidak ada orang. Apa aku berhalusinasi? Sudahlah. Anggap saja ini hari sialmu!

KLETAK!

Sekali lagi ada batu kecil yang mengenai kepalaku. Owh baiklah! Ada yang mau cari mati rupanya!

"HEI SIALAN! SIAPA DI SANA!" Makiku kesal.

Tak lama kemudian, aku malah mendengar suara cekikikan anak kecil. Anak kecil? Yakin mereka anak kecil? Soalnya terdengar percakapan dengan suara khas anak-anak. "Hei lihat, labu raksasa itu sepertinya mengamuk!"

Labu? Pasti karena warna rambutku yang mencolok ini.

"Sepertinya Paman itu datang dari planet lain ya…"

Paman? Planet lain?

"Mungkin dia temannya Chappy!"

Chappy?

KLETAK!

Begitu aku menoleh, sebuah kerikil besar mengenai dahiku. Kerikil tersebut dilempar oleh seorang bocah laki-laki yang mungkin baru berumur sembilan atau sepuluh tahun. Mereka tertawa keras melihat ekspresi kakuku saat mengelus dahi malangku yang merah karena dilempar oleh subtansi keras macam batu itu. Selain si bocah berambut merah itu ada juga seorang gadis kecil yang ikut menggenggam kayu panjang di tangannya. Lalu tiga anak laki-laki lain yang satunya agak gendut dan sisanya kurus kering.

Baiklah. Itu cuma bocah. Jangan hiraukan anak-anak itu. Acuhkan saja mereka. Toh, anak kecil tidak berbahaya.

Aku berbalik mencoba meninggalkan gerombolan anak-anak desa yang sepertinya nakal dalam kategori luar biasa. Bayangkan saja, mereka berani melempar batu pada orang yang tidak dikenalnya.

"Hei… Paman itu mau pergi." Terdengar lagi celotehan mereka saat melihatku berbalik. Helow… aku masih bisa mendengar kalian dengan jelas, tahu?

"Teman Chappy mau pergi?"

"Tidak seru kalau cuma begitu. HEIII! LABU RAKSASA!"

DUAGGH!

Aku langsung tersungkur ke tanah saat kakiku ditendang dengan kuat oleh seseorang. Kenapa lagi ini!

Tawa mereka semakin besar saat melihatku mencium tanah liat yang basah itu. Baiklah! Aku juga punya batas kesabaran. Kalau begini mereka memang harus diberi hukuman!

"Dasar bocah sial! Kemari kalian! Akan kupatahkan kaki kalian satu-satu!"

"Kyaaa!" gadis kecil itu berteriak sambil melempar kayu panjang itu ke arahku.

"Gawat! Paman labu itu benar-benar marah! LARIII!" Jerit si bocah berambut merah yang dikuncir tinggi itu memberi komando untuk menyuruh beberapa anak segera kabur bersamanya. Salah sendiri. Aku sudah mencoba bersabar tadi, tapi mereka benar-benar ingin tahu sampai mana aku bisa bertahan.

Aku berlari mengejar mereka satu persatu, bahkan beberapa orang di desa ini mulai memperhatikan aksi anehku ini.

Aku nyaris berhasil menangkap seorang bocah gendut dari kawanan mereka. Tapi ketika tinggal sedikit lagi, rupanya gadis kecil berambut hitam itu, satu-satunya perempuan di antara gerombolan bocah nakal ini, kembali lagi untuk menolong temannya. Kupikir aku bisa langsung menangkap sekaligus dua. Sekali tepuk kena dua lalat. Tapi ternyata, gadis kecil bermata besar itu berlari ke arahku dan langsung menendang tulang keringku hingga aku tersungkur untuk kedua kalinya. Di saat aku lengah itulah, gadis kecil tersebut membantu temannya. Sialan! Aku tidak tahu kalau anak desa bisa sebegini brutalnya.

Bocah gendut itu lolos dengan sukses. Rasanya ini benar-benar hari naasku! Tapi tak lama kemudian, gadis kecil itu jatuh juga karena tersandung batu. Hah! Kena kau, setan kecil!

Gerombolan itu berhenti berlari ketika menyadari salah satu anggota mereka tidak ada. Mereka bingung mau menolong atau tidak karena aku sudah dekat dengan gadis kecil itu.

"PENDEK, CEPAT BANGUN! KAU BISA TERTABRAK!" pekik bocah laki-laki berambut merah itu. Sepertinya dia memanggil gadis kecil yang masih tersungkur di jalan itu.

Dan benar saja. Memang ada sebuah truk besar yang berjalan dengan kecepatan tinggi ke arahnya.

Aku tidak tahu kenapa. Tapi sepertinya hari ini memang dewi fortunaku sedang plesiran.

.

.

*KIN*VOI*

.

.

"Hikss… hiksss… Kakek…"

Ini benar-benar memalukan.

Karena insiden itu, aku sampai digotong oleh beberapa warga karena nyaris tertabrak truk sialan itu. Dan sepertinya tanganku bermasalah karena sekarang ini aku tidak dapat menggerakkannya. Anak kecil yang kutolong itu memang selamat, tidak ada lecet sama sekali, tapi sejak tadi dia tak berhenti menangis karena melihat luka di lengan dan kakiku. Beberapa bocah yang harusnya bertanggung jawab karena kecelakaan nista ini sudah dipulangkan ke rumah mereka masing-masing.

Dan sekarang di sinilah aku.

Duduk di salah satu ruang perawatan dalam klinik desa ini. Seorang dokter wanita tengah membalut lenganku dan memeriksanya dengan teliti.

"Putri kecil, kau baik-baik saja kan?"

Dari luar sayup-sayup kudengar suara parau seorang laki-laki. Dan sepertinya dia memanggil gadis yang kutolong tadi.

Pintu ruangan itu dibuka. Muncullah seorang pria yang… sepertinya seorang kakek karena kumisnya sudah memutih berikut rambut di kepalanya. Pria besar berkulit cokelat itu, dengan bekas luka di wajahnya, terlihat sangar sekali, sedang menggendong gadis kecil yang masih menangis itu.

"Kudengar kau yang menolong cucuku. Aku sangat berterima kasih. Bagaimana lukamu?" tanya kakek tua –yang seram- itu.

"Ehh? Lukaku? Hanya terkilir saja," jawabku secepatnya. Wajahnya sangat menakutkan. Tidak pantas disebut kakek yang baik. Tapi entah kenapa, gadis kecil itu begitu nyaman berada digendongan sang kakek.

"Pemuda ini terkilir parah. Kira-kira butuh waktu dua minggu untuk sembuh dan tangannya bisa digerakkan lagi," sela dokter wanita berambut panjang itu.

"Wah… parah sekali. Bagaimana bisa begitu? Aku akan menanggung semua biaya obatmu. Sebagai balas budi karena sudah menolong cucuku."

What? Oh, no… kalau seorang kakek bermata satu menawarkan kebaikan seperti itu, aku jadi mencemaskan nyawaku.

"Ehh? Tidak usah begitu! Aku benar-benar…," belum selesai aku berbicara, kakek bercodet itu sudah menyelaku.

"Tapi ngomong-ngomong… sepertinya kau bukan warga di sini. Kau siapa dan dari mana?"

Sepertinya benar, ini hari terburuk sepanjang hidupku.

.

.

*KIN*VOI*

.

.

Sudah sekitar satu minggu aku berada di rumah kakek berkumis lebat itu. Karena kukatakan aku memang bukan dari desa ini dan tidak mengenal siapapun, kakek itu berbaik hati menampungku di rumahnya yang sederhana ini. Dan cucunya dipanggil Putri kecil –sepertinya dia amat dimanjakan oleh kakeknya- sementara teman-temannya dari SD yang sama, kawanan bocah bandel hari naas itu, memanggilnya Pendek –toh, dia memang yang paling pendek di antara mereka-. Sesekali, setelah pulang sekolah, mereka mampir ke rumah hanya untuk melihat betapa menyedihkannya diriku ini. Minta maafpun tidak! Karena mereka aku berada di sini sekarang! Huh!

"Lukamu baik-baik saja, kan?"

Aku kaget berlebih saat kakek sangar itu membawa senapan laras panjangnya ke arahku. Apa dia mau membunuhku? Selama satu minggu ini berada di rumahnya aku tetap tidak terbiasa dengan kelakuan kakek itu yang selalu muncul tiba-tiba dengan membawa senapannya. Kudengar dia adalah pemburu di desa ini. Dan itu adalah hobinya. Karena sebelumnya dia adalah polisi setempat yang sekarang sudah pensiun. Tak heran jika kakek ini usianya sudah 70 ke atas.

"Ohh… y―ya… sudah agak mendingan," jawabku agak tergagap. Moncong senapan itu masih mengarah ke wajah gantengku, kek.

"Oh baguslah. Putri kecil pasti senang mendengar ini."

"Mendengar apa?" tanyaku tak mengerti.

"Dia sangat khawatir pada lukamu. Dia tidak berani bertanya karena dia takut kau akan membentaknya nanti. Makanya dia selalu sembunyi-sembunyi melihat keadaanmu. Hahahaha... tenang saja. Walaupun teman-temannya nakal, tapi tentu saja Putri kecil-ku adalah anak yang baik," ucapnya dengan berbusung dada.

Aku juga mengira demikian.

Gadis bermata cantik itu, sudah pasti bukan anak yang jahat.

.

.

*KIN*VOI*

.

.

"Kakek… kenapa aku tidak punya orangtua?"

Tanpa sengaja malam itu aku lewat di dekat teras rumah mereka. Saat itu, si cucu dan sang kakek tengah duduk bersila di teras depan. Aku diam-diam mendengar suara mereka dari balik pintu.

"Tentu saja Putri kecil kakek punya orangtua."

"Tapi kenapa mereka tidak pernah melihatku? Kenapa mereka tidak pernah menemuiku?"

"Mereka selalu melihatmu. Karena mereka ada di atas sana," kakek bercodet yang akhirnya kuketahui bernama Barragan itu menunjuk ke kumpulan bintang di langit hitam.

"Mereka ada di sana? Tinggi sekali Kakek...," ungkap si cucu dengan kekaguman yang sama sekali tidak tersamarkan.

"Iya. Supaya mereka bisa melihatmu di manapun Putri kecil berada."

Gadis mungil itu tampak menjulurkan tangan kecilnya ke langit malam. Lalu tersenyum lebar seakan baru saja memetik sebuah kesemek matang.

"Ayah… Ibu… aku baik-baik saja. Aku sayang kalian…," celotehnya dengan riang. Barisan giginya memamerkan diri dari celah senyum polos itu.

"Pada Kakek?"

"Aku sayang Kakek juga…"

Bahkan anak sekecil itupun… memahami perasaan seperti itu.

.

.

*KIN*VOI*

.

.

Kakek Barragan baru saja membaringkan cucunya yang tertidur sambil memeluk boneka kelinci pink-nya itu. Wajahnya terlihat begitu damai, seolah-olah tak ada beban apapun yang dirasakannya.

Lagi, tanpa sengaja aku bertemu dengan kakek bermata satu itu di ruang tamu.

"Kau belum mengantuk? Bagaimana kalau secangkir kopi dulu...," tawarnya dengan kumis khas melengkung ke atas, tanda bahwa dia sedang tersenyum.

Dan kini, gantian akulah yang menemani kakek ini duduk di lantai terasnya. Tanganku sudah agak mendingan dan bisa digerakan sedikit-sedikit. Kakek yang hobinya berburu itupun selain minum kopi, ternyata perokok juga. Tapi sejauh yang kulihat, kakek Barragan tidak pernah merokok di depan Putri kecilnya.

"Maaf, kalau aku lancang… tadi tidak sengaja aku mendengar pembacaraan Anda dan mengenai orang tua..." mulaiku yang kemudian dipotong lembut oleh sang kakek.

"Yah, kau benar. Orangtuanya memang sudah meninggal. Kecelakaan. Saat itu umurnya baru lima tahun. Pertama kali aku melihatnya, dia begitu kecil dan kurus. Hehe… sampai sekarang juga dia yang paling kecil di antara teman-temannya. Saat tahu orang tuanya tidak ada lagi, anak itu pernah berhenti berbicara beberapa waktu dan jadi pendiam serta pemurung. Sebetulnya dia masih punya saudara, tapi sayang saudaranya sudah diadopsi keluarga lain. Aku… bukanlah kakek kandung anak itu. Aku hanya mengenal orang tuanya dan saat mereka meninggal, aku tidak banyak berpikir. Yang kutahu aku harus menjaga putri mereka hingga dia dewasa dan cukup mandiri untuk hidup sendiri," jelasnya lembut, namun aku juga masih dapat menangkap nada sendu yang menyertai ceritanya.

"Seiring waktu, akhirnya dia bisa menerima keadaan. Dia jadi lebih terbuka dan ceria kembali setelah tinggal di desa ini. Dia juga bahagia bersama beberapa teman yang bersedia menerimanya. Aku lega akhirnya Putri kecilku bisa hidup normal lagi. Saat itu, aku berjanji akan melakukan apapun asal anak itu bisa tersenyum kembali. Dia masih terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan, bahwa ternyata dia tak punya apapun dan siapapun lagi. Setidaknya setelah aku tidak ada nanti."

Aku terdiam mendengar cerita sang kakek. Tak kusangka ternyata gadis kecil bermata besar itu mempunyai kisah yang bahkan lebih menyedihkan daripada aku. Dan aku... masih bertindak begini kekanakan ketika aku melihat potret kehidupan lain. Gadis sekecil itu saja bisa begitu tegar. Kenapa aku tidak?

"Ahh maaf. Jadi membuatmu mendengar hal yang tidak perlu. Aku hanya sudah lama tidak punya teman ngobrol."

"Tidak apa-apa. Jangan sungkan. Ini juga ucapan terima kasih karena sudah menampungku."

Ada banyak kehidupan yang selama ini tidak pernah terbayangkan olehku.

.

.

*KIN*VOI*

.

.

Nyaris sepuluh hari aku telah berada di desa ini. Kerjaku hanya di rumah kakek Barragan saja sambil sesekali memeriksa kameraku. Dan untungnya lenganku sudah bisa digerakkan walau masih terasa ngilu.
Kebetulan hari ini kakek pergi dan akupun senggang. Aku ingin menyetel kameraku.

Tapi begitu aku melihat ke arah pintu kamarku, rupanya gadis mungil itu tengah mengintip dari celah pintu melihat kegiatanku. Begitu mata kami beradu pandang, gadis itu langsung menyembunyikan dirinya lagi. Sepertinya benar dia masih takut padaku.

"Hei… aku sudah melihatmu. Mendekat saja kalau kau penasaran," ujarku akhirnya.

Pelan-pelan kuperhatikan gadis itu mulai menampakkan tubuh mungilnya. Lalu berjalan mendekat ke arahku. Raut wajahnya sudah berubah jadi tidak ketakutan lagi. Saat itu entah kenapa wajahnya terlihat manis sekali. Kontras dengan matanya yang besar dan cantik itu.

Astaga! Gadis ini masih sembilan tahun! Seplayboy apapun diriku, aku bukan seorang pedopil! Bukan seperti itu!

"Kau… sedang apa?" tanyanya penasaran sambil berdiri di belakang sofaku. Matanya begitu berminat melihat kamera yang kugenggam ini.

"Membersihkan kameraku," Aku masih menatap wajah gadis kecil yang masih begitu serius memperhatikan kameraku.

"Apa itu kamera?" tanyanya lagi.

"Untuk mengambil foto. Seperti ini," Tanpa basa-basi, aku langsung mengambil ancang-ancang untuk memotret. Dan…

KLIK.

Aku memgambil gambar gadis kecil itu yang terbelalak kaget karena tidak siap. Wajahnya masih terlihat terkejut karena kilatan lampu blitz kameraku. Wajahnya sungguh polos dan konyol. Khas anak kecil berusia sembilan tahun.

Aku mengutak-atik kembali kameraku dan memperlihatkan foto yang kuambil tadi.

"Bwahahahaha… kau lucu sekali!" seruku bersemangat sambil menunjukkan layar kameraku padanya. Penasaran, gadis itu melompat untuk ikut duduk di pangkuanku. Tentu saja aku langsung terkesiap kaget. Tapi sepertinya dia tak peduli sama sekali dengan aku yang berubah gugup begini. Ayolah! Dia cuma anak kecil.

Gadis bermata besar itu ikut memegang kameraku untuk melihat fotonya sendiri. Lalu dia ikut tersenyum juga menyadari ekspresi wajahnya yang konyol itu. Kini, entah kenapa aku merasa nyaman dengan adanya Putri kecil kakek Barragan di pangkuanku. Sepertinya aku sudah akrab bertahun-tahun dengannya, kulingkarkan kedua tanganku yang memegang kamera di pinggang kecilnya sambil ikut menunjukkan kameraku. Wanginya... mustahil wangi ini dimiliki oleh gadis kecil berusia sembilan tahun!

Wangi tubuh kecilnya yang begitu nyaman.

"Tunjukkan lagi padaku, Paman!" ujarnya antuasias.

"Hei! Aku bukan pamanmu tahu! Aku masih belum setua itu. Panggil aku kakak, dasar bocah," selaku karena gadis itu masih memanggilku paman. Wajah kami begitu dekat ketika dia menoleh ke arahku. Aku tidak percaya gadis secantik ini diasuh oleh kakek sangar begitu. Yah setidaknya dengan begitu tidak akan ada yang berani menjahilinya.

"Tunjukkan lagi fotonya, kakak!"

Begitu aku memperlihatkan foto berikutnya, tampaklah kota New York di sana. Lalu Kanada dan San Fransisco. Sementara gadis kecil di pangkuanku terus melebarkan matanya takjub melihat gambar-gambar pemandangan Amerika yang berhasil kupotret dengan sempurna itu.

"Wah… ini di mana, kakak? Indah sekali tempatnya...," ujarnya kagum.

"Amerika. Tempat yang sangat jauh," jawabku sekenanya. Perasaanku agak rindu melihat gambar-gambar tersebut.

"Kakak tinggal di sana?"

"Ya."

"Aku mau ke sana…"

Suaranya terdengar begitu ingin dan berharap. Mungkin karena ia tak pernah keluar dari desa. Sudah sewajarnya dia kagum dengan dunia luar seperti ini.

"Aku akan ajak kau ke sana."

"BENARKAH? BENARKAH ITU?" pekiknya histeris. Dan bisa kurasakan semangat anak usia sembilan tahun yang begitu bersemangat, seperti ingin diajak keliling taman hiburan saja.

"Aku janji. Tapi nanti. Setelah kau besar."

"Setelah aku besar? Kenapa begitu?"

"Karena kau masih terlalu kecil. Dan kau bisa melakukan hal ceroboh seperti hampir ditabrak truk!"

"Kalau begitu… setelah aku besar, aku boleh mengajak kakek juga?" tanyanya penuh harap. Mana bisa aku bilang tidak pada mata besar dan bulat seperti itu.

"Boleh."

"PENDEEEEKK! AYO KELUAR!" sebuah pekikan tiba-tiba terdengar melengking. Kami berdua terkesiap. Gadis mungil itu langsung turun dari pangkuanku dan beranjak berlari menuju jendela depan rumahnya.

"Nanas merah sudah datang!" jeritnya senang.

"Kalian mau kemana?" akhirnya aku malah bertanya.

"Memancing di sungai. Lalu mandi di air terjun."

Apa?

Kelihatannya seru. Tanpa sadar aku malah membawa kameraku keluar mengikutinya. Gadis itu malah sudah berlari menyambut teman-temannya.

Begitu melihatku, mereka langsung bersembunyi di belakang si gadis yang jelas-jelas jauh lebih pendek dan tentu saja mereka tidak muat di belakangnya. Kelihatannya aku masih dipandang menakutkan ya?

"Tenang saja. Kakak ini teman Chappy yang baik kok!" seru gadis kecil yang diusungkan jadi benteng pertahanan menghadapiku oleh kawanannya sendiri.

Sejak awal bertemu aku terlalu risih dengan nama Chappy itu. Sebenarnya apa itu Chappy yang sering disebutkan gadis kecil ini?

.

.

*KIN*VOI*

.

.

Akhirnya si Putri kecil menarikku berkeliling desa, dan tentunya bukan menarik tanganku yang diperban.

Suasana desa ini memang begitu terlihat asri. Hijau dan amat tentram. Akhirnya aku malah memotret begitu banyak foto. Termasuk foto berbagai macam ekspresi Putri kecil yang kuambil secara candid. Juga foto-foto kejahilan anak-anak nakal itu.

Entah kenapa dengan melihat foto gadis mungil yang teramat tegar itu, gairah untuk memotret kembali membara. Rasanya aku benar-benar tidak ingin melepaskan cita-citaku ini. Aku yakin bisa jadi fotografer professional. Bisa. Tentu saja bisa.

Karena senyum malaikat kecil inilah yang seolah memberikanku semangat untuk menatap hidup. Tanpa sadar, kisah hidup gadis cilik tersebut sedikit banyak mengajarkanku betapa kerasnya dunia ini. Tinggal bagaimana kita menyingkapinya saja. Dan aku… tidak mau kalah dengan anak kecil berusia sembilan tahun yang bahkan begitu tegar menerima kenyataan.

.

.

*KIN*VOI*

.

.

KRIING… KRIINGG…

Bunyi telpon yang berdering nyaring itu sukses merusak tidurku! Hah… dan aku masih saja suka bermimpi masa lalu. Yah, masa-masa di mana kehidupanku berubah total. Setelah meninggalkan desa itu, aku jadi tak tahu lagi apa yang terjadi di sana. Selama ini bagiku yang terpenting adalah fokus mengejar cita-cita.

"Ichigo sayang~~~ kau tidak angkat telponnya?" tanya sesosok figur bertubuh dawai biola di sampingku, tepat di atas ranjangku.

Ohh Shit! Wanita itu rupanya belum pergi juga. Yah… mengingat bagaimana dia sanggup memberiku hiburan yang layak mungkin dia bisa tinggal beberapa jam lagi. Toh sebentar lagi pagi tiba.

Dengan malas, aku mengangkat tubuhku dan tanpa peduli dengan kepolosan tubuhku, ehem… aku segera menuju ruang depan untuk mengangkat telpon yang masih setia bersenandung. Huh! Siapapun yang menelpon rupanya cukup gigih juga.

"Siapa ini?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku paling malas kalau harus berbicara panjang lebar.

Hening. Tidak ada jawaban hingga aku hampir naik darah dan mulai memaki ketika sedenting suara halus menyapa gendang telingaku. Suara yang asing namun begitu kurindukan…

"… Kakak?"

.

.

*KIN*VOI*

.

.

TBC

.

.

Voidy's note : cuap-cuap bentar. Sebetulnya ini semua Kin yang ngetik, akhirannya saia cek dan tambah2in dikit gitu loh. Dan kalo kalian ngerasa si tokoh utama pedopil… salahkan Kin ya, saia ampe facepalm juga baca bagian ono~ oh, dan atas persetujuan kedua belah pihak, scene lemon untuk cerita ini 100% dari jerih payah saia, jadi kalo mau dinantikan boleh-boleh aja. Asal kalo udah mimisan jangan mengadukan ke komnas ham (hak asasi mesum) wkwkwkk~

Hola Minna... *ditimpukbatubata*

hehehehe seperti sebelumnya yang di atas... ini adalah fic collab pertama saya... kyaa! senengnya bisa collab bareng senior gini. wkwkwk yah lagi-lagi ini bukan ide murni saya kok. cuma saya yang ngetik dengan imajinasi indah saya. dan senpai yang ngeditnya. gimana ficnya kali ini? hehehe

yayaya...

seperti biasa, fic ini bakal lanjut kalo ada yang minat... hehehe

Jaa Nee!