Yang Hinata inginkan dan harapkan adalah pemuda tampan nan lembut seperti Senpai pujaan hati tapi yang datang pemuda menyeramkan bersurai jingga dengan segudang kenakalan dan masalah.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rate : T

Genre : Romance, Friendship, Family, Hurt/Comfort

Pair : Hinata x Pain/Pein

~ Bad Boy ~

WARNING : Typo bertebaran dimana-mana, OOC, Penempatan tanda baca tidak sesuai, tulisan tidak baku, EYD amburadul, OC, AU, CRACK PAIR, Alur kadang cepat dan lambat, dan masih banyak kekurangan lainnya.

.

.

.

.

.

X0X0X0X0X0X0X0X

TING TONG

Bel sekolah terakhir sudah berbunyi lebih dari lima belas menit yang lalu, keadaan sekolah juga sudah terlihat sepi dan hanya segelintir siswa yang masih berada di ruangan kelas mengerjakan tugas piket atau mengikuti pelajaran tambahan dari Sensei. Namun sore ini ada yang sedikit berbeda dan tak biasa bagi Hinata Hyuuga. Gadis berparas cantik bermata bulan ini terlihat berjalan ke belakang sekolah untuk menemui seseorang, karena hari ini ia akan menunggu dan mendengar jawaban dari pemuda yang ia kirimkan surat cinta.

"Haah~" hela Hinata cepat.

Hinata berulang kali menghembuskan nafasnya untuk mentralisirkan debaran jantungnya.

Dheg'

Dheg'

Dheg'

Jantung Hinata berdegup kencang tak kala membayangkan dan mendengar jawaba apa yang akan dikatakan oleh Senpai pujaan hatinya.

"Ya, ampun! Belum juga aku bertemu dengan Sasori Senpai tapi jantungku sudah serasa mau copot," gumamnya pelan.

Hinata berdiri seraya mendekap erat tas sekolah didepan dada. Hampir sepuluh menit Hinata berdiri menunggu tapi Senpai yang dinantikannya tak kunjung tiba membuat ia sedikit cemas dan khawatir apakah surat cintanya tidak dibaca atau dibuang oleh Sasori.

Hinata beragumen dengan dirinya sendiri menanyakan alasan dan mengapa Sasori belum datang juga hingga Hinata mendengar suara langkah kaki dibelakangnya.

Tap

Tap

Tap

Senyum lebar mengembang diwajah Hinata dengan wajah merona merah diikuti degan debaran hati yang semakin kencang namun Hinata berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan detak jantungnya.

Srek

Hinata membalikkan tubuh menatap pemuda yang dipikirnya adalah Senpai yang dinantikan, seraya memperlihatkan senyum terbaik.

"Saso..."

Kedua iris bulan milik Hinata melebar sempurna ketika mendapati pemuda lain yang datang bukan Sasori seperti harapan dan keinginan Hinata. Senyuman Hinata perlahan menghilang berganti dengan wajah syok juga kaget karena bukan Sasori dihadapannya melainkan pemuda yang tak pernah diduga sama sekali oleh Hinata.

"Pe-Pein?!" serunya kaget.

"Apakah kau sudah lama menunggu," tanya pemuda bersurai jingga ini santai.

"Ekh...ma-maksudmu, a-apa Pe-Pein," Hinata tersenyum kikuk menatap pemuda bersurai jingga dengan wajah serta telinga penuh tindik tak hanya itu seragam putihnya ada bercak darah membuat Hinata takut dan bertanya-tanya apa yang sudah dilakukan oleh pemuda menyeramkan itu.

Srek

Pemuda bernama Pein itu mengeluarkan sebuah surat cinta berwarna ungu muda pada Hinata, "I-itu..." tunjuk Hinata ragu.

"Surat cinta milikmu," sahut Pein santai.

"Hah?!" wajah Hinata syok dan kaget.

Padahal seingat Hinata surat cinta berwarna ungu muda itu diberikan pada Sasori Akasuna dari kelas tiga, tapi mengapa surat miliknya malah nyasar dan berada ditangan pemuda berpenampilan mencolok itu yang tak lain adan Pein Yahiko, murid paling bermasalah disekolah.

Pemuda bersurai jingga ini melirik sebentar surat cinta ditangannya lalu berjalan mendekat pada Hinata dan reflek gadis bersurai indigo itu-pun berjalan mundur menghindar, "Aku sudah membacanya dan tak keberatan jadian denganmu," katanya santai.

Kedua iris bulan milik Hinata melebar sempurna, "A-APA?!" serunya kaget.

JDGHEERRR!

Bagai disambar petir disiang bolong itulah gambaran perasaan Hinata Hyuuga saat mendengar pernyataan dari pemuda bersurai jingga itu. Tak pernah sekali-pun Hinata memikirkan apalagi berharap akan menjadi kekasih Pein, mengingat Hinata takut sekali pada pemuda bersurai jingga itu.

"Ck!" Pemuda bertindik itu mendecih melihat reaksi Hinata yang terbengong juga kaget, "Apa perlu aku katakan sekali lagi," liriknya tajam.

Keringat dingin sebesar biji jagung keluar dari dahi Hinata dan nyalinya ciut ketika mendapatkan tatapan tajam dari pemuda bersurai jingga itu. Hinata memilih menundukkan wajahnya takut, enggan menatap Pein.

Seharusnya surat cinta milik Hinata tidak berada ditangan pemuda bersurai jingga itu karena Hinata merasa tidak salah loker dan surat cintanya ia masukkan kedalam loker Sasori bukan Pein. Selagi Hinata tengah sibuk dengan pikirannya sendiri pemuda tampan bersurai jingga itu berjalan mendekat dan menatap Hinata datar.

"Mulai hari ini dan seterusnya, kau adalah kekasihku." Ucapnya mendeklarasikan hubungan mereka berdua tanpa meminta persetujuan dan jawaban dari Hinata terlebih dahulu.

"Hah!?" Hinata terlonjak kaget mendengar pernyataan pemuda itu, "Tu-tunggu dulu Pein..." ucap Hinata hendak protes dan menolaknya tapi sayang pemuda tampan bersurai jingga itu sudah keburu pergi meninggalkan Hinata sendirian di belakang sekolah tanpa sempat mendengarkan penjelasan kalau Hinata salah memasukkan surat cinta, karena yang seharusnya membaca serta menerima surat cinta itu bukanlah Pein melainkan Sasori Akasuna, sang kapten klub basket.

SRUK~~

Tubuh Hinata beringsut jatuh terduduk diatas tanah sambil memukuli kepalanya sendiri dengan pelan, "Bodohnya aku. Bagaimana bisa ini terjadi!" pikir Hinata dalam hati sambil terus merutuki kebodohannya sendiri karena salah memasukkan surat cinta ke loker Pein Yahiko, murid laki-laki paling bermasalah dan sangat ditakuti oleh para siswa termasuk Hinata.

"Tuhan aku harus bagaimana. Mengapa harus dia yang meneriman dan membacanya?!" teriak Hinata dengan nada putus asa dan sedih.

Padahal setelah diam-diam memendam perasaan pada Sasori Akasuna sang kapten kub basket sejak duduk dibangku SMP lebih dari empat tahun. Akhirnya Hinata memberanikan diri untuk menyatakan cinta dengan menulis surat cinta pada Sasori. Namun sayangnya, semua impian serta angan-angan Hinata untuk bisa bersama dengan Sasori hancur sudah dan hanyalah tinggal impian semata karena yang membaca dan membalas perasaannya Pein Yahiko pemuda yang sama sekali tidak Hinata duga sama sekali dan inginkan kehadirannya.

"Tuhan!" jerit Hinata frustasi dalam hati.

Dengan perasaan lesu dan tak bersemangat Hinata pulang kerumah. Dirinya berharap kalau apa yang terjadi hari ini hanyalah sebuah mimpi mengingat berhubungan dengan Pein Yahiko sama saja cari masalah juga mati.

"Semoga ini hanya mimpi." Ucap Hinata sesaat sebelum memejamkan kedua matanya.

Dalam tidur dan doa'nya Hinata berharap apa yang terjadi hari ini adalah sebuah mimpi semata.

KRIIINGGGG!

Jam bekker milik Hinata berdering keras, memaksanya untuk terbangun dari alam mimpi.

"Ngh..." lenguh Hinata diatas Futon-nya seraya menggeliyat nyaman.

Dimatikkan jam bekkernya kemudian Hinata bangun membereskan Futon-nya lalu memasukkannya kedalam lemari agar terlihat rapih. Kegiatan Hinata sama seperti hari-hari sebelumnya tak ada yang istimewa, mengingat dirinya tinggal sendirian disebuah apartemen kecil peninggalan sang ibu.

Kedua orang tua Hinata berpisah ketika Hinata berusia enam tahun dan tiga tahun yang lalu sang ibu wafat karena sakit sedangkan sang ayah sudah menikah lagi dan memiliki keluarga baru. Semenjak sang ibu wafat Hinata hidup seorang diri dan harus bekerja cukup keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Selamat pagi Okasan. Aku pergi sekolah dulu." Ucap Hinata sesaat sebelum pergi kesekolah.

TAP

Hinata melangkah kaki keluar dari pekarangan apartemen, direntangkan kedua tangannya lebar-lebar seraya menghirup dalam-dalam udara dipagi hari yang terasa segar.

"Semoga hari ini akan menyenangkan." Gumam Hinata dalam hati.

Seperti hari-hari biasanya Hinata pergi sekolah dengan berjalan kaki mengingat jarak antara sekolah dan rumahnya tak begitu jauh, baru beberapa puluh langkah Hinat berjalan sebuah motor besar berhenti menghadang.

CKIIIEEETTTT!

Hinata menatap bingung pengendara motor tersebut, "Kau mau apa?" tanya Hinata penuh curiga, "Minggirlah, jangan menghalangi jalan," sambung Hinata dengan nada ketus bahkan wajahnya terlihat judes menatap pengendara motor itu.

KLAP~

Orang asing itu membuka helem dan menampilkan surai jingga yang warnanya cukup mencolok mata.

Kedua mata Hinata membulat sempurna melihat wajah orang itu, "Pein?!" seru Hinata kaget.

"Judes sekali! Apa kau tidak mengenaliku sama sekali," Pein menatap dingin Hinata.

Hinata masih berdiri diam menatap Pein atau lebih tepatnya merasa syok melihat pemuda bersurai jingga itu ada didepannya saat ini.

Ctek~

Ctek~

Pein menjentikkan jari didepan wajah Hinata, "Hey, kenapa kau diam saja," serunya.

"Hah?!" Hinata terlonjak kaget lalu menatap Pein dengan wajah bingung, "Apa yang sedang kau lakukan disini?!" tanya Hinata dengan tersenyum kikuk.

"Menjemputmu," jawabnya singkat.

"Untuk apa? Aku'kan tidak pernah minta dijemput olehmu," kata Hinata takut.

"Sudah jangan banyak bertanya dan cepatlah naik, jika tidak ingin terlambat kesekolah dan jangan sampai aku mengatakannya lagi," tukas Pein seraya memakai helem.

"I-iya..." sahut Hinata takut.

"Ini pakailah," Pein memberikan helem pada Hinata.

"Terima kasih," Hinata langsung memakai helem sebelum menaiki motor Pein.

Gadis cantik bermata bulan ini sangat terpaksa pergi sekolah bersama dengan Pein, padahal tadinya ia sempat berpikir kalau kejadian kemarin sore hanyalah mimpi namun ternyata itu adalah kenyataan dan kini Pein malah datang menjemput.

BRUUUUUMM

BRUUUUUMM

Pein menggas motornya kencang, "Pegangan yang kuat jika tak ingin jatuh." Pein memperingatkan Hinata karena akan mengebut.

Belum juga Hinata berpegangan pada apapun Pein sudah melajukkan motor dengan cepat.

"Hyaaa!" pekik Hinata kaget.

Grep~

Hinata reflek langsung memeluk pinggang Pein mencari pegangan agar tidak jatuh dari motor.

"Tuhan, lindungi aku." Batin Hinata takut.

Pein tersenyum kecil ketika merasakan pegangan tangan Hinata dipinggangnya.

BUUUMMM

Pein menaikkan kecepatan dan pegangan di pingganya-pu semakin erat membuat Pein senang.

.

.

.

.

Setiap hari senin dan kamis selalu diadakan razia seragam sekolah dan saat ini para anggota komite kedisiplinan sekolah tengah memeriksa kelengkapan seragam murid-murid dari kelas satu hingga kelas tiga, tak ada satu-pun murid yang bisa lolos dari pemeriksaan mengingat Rock Lee sang ketua komite kedispilinan sekolah sangat tegas para murid yang melanggar peraturan tanpa terkecuali.

"Aih! lagi-lagi si menyebalkan itu," gerutu Kiba.

Pemuda dengan tato merah segitiga terbalik ini menatap sebal pemuda bermata bulat itu, "Kalau tahu begini lebih baik tadi aku memanjat pagar belakang sekolah," dengus Kiba.

"Kau jangan selalu melarikan diri, hadapi saja," ujar Shino teman sekelasnya.

"Untuk apa aku melarikan diri, memangnya kau pikir aku sedang berkelahi dengan si rambut mangkok itu," tunjuk Kiba kesal.

Shino hanya diam dan tak meladeni ocehan temannya itu seraya berjalan santai meninggalkan Kiba yang masih mengoceh.

Wajah Kiba terlihat kesal, "Kau itu selalu selalu saja pergi saat aku sedang berbicara," dengus Kiba.

Kedua pemuda ini ikut berbaris mengantri untuk diperiksa seragamnya.

"Inuzuka Kiba," panggil Rock Lee menatap tajam pemuda bersurai cokelat itu.

Kiba mendecih kesal ketika namanya dipanggil, "Cepatlah," katanya ketus.

Mata bulat milik Rock Lee menatap detil seragam milik Kiba namun kegiatannya terganggu saat sebuah motor besar melaju cepat memasuki halaman sekolah membuat para murid yang tengah berbaris rapih langsung membubarkan diri mencari selamat agar tidak tertabrak.

BRUUUMMMM

"Aaaaa!" jerit para murid.

WHUSSS~

"Lagi-lagi dia!" Dengus Kiba menatap sebal motor Pein.

Namun mata Kiba tanpa sengaja melihat sosok seorang gadis dibelakang Pein, "Siapa yang dibonceng Pein?" tanyanya pada diri sendiri.

"Apa tadi kau melihatnya, Kiba," ujar Shino seraya membenarkan letak kaca mata hitamnya.

"Ya, dan aku penasaran siapa gadis itu," timpal Kiba.

Kedua pemuda berdiri memandang penuh arti gadis yang dibonceng Pein karena hal itu sangat langka juga tak biasa mengingat tak ada satu-pun gadis berani mendekati pemuda bersurai jingga itu bukan hanya reputasi Pein sebagai murid berandalan tapi sikap dingin juga mudah marah Pein membuat tak ada satu-pun gadis berani mendekat.

"Si bodoh itu selalu saja membuat semuanya kacau," gerutu Rock Lee karena pagi-pagi begini Pein sudah membuat ulah.

"Lihat saja aku akan memberinya hukuman karena kejadian ini," sambung Rock Lee dengan mata berapi-api.

"Tapi ketua, bukankah Pein mendapat sekorsing dari kepala sekolah selama satu bulan," kata Tenten memberitahu sang ketua.

"Benarkah itu? Aku tidak tahu hal itu,"

"Tentu saja kau tidak tahu karena kemarin kau sibuk mengurus anak-anak kelas satu yang berkelahi," tukas Tenten.

Setelah mengendarai motor hampir sepuluh menit akhirnya penderitaan Hinata berakhir juga, mereka berdua sampai juga disekolah dengan selamat, selama berada diatas motor gadis cantik bermata bulan ini berpikir kalau dirinya akan mati tapi sepertinya Tuhan masih melindunginya.

"Kita sudah sampai," ujar Pein karena masih merasakan kedua tangan Hinata melingkari pinggangnya erat.

"Y-ya," Hinata turun dari motor.

Klap~

Dibukanya helem yang dipakainya dan memberikannya pada Pei, "Te-terima ka-kasih atas tumpangannya," ucap Hinata gugup dan kedua kakinya masih gemetaran merasakan sensasi saat dibonceng oleh Pein.

"Sama-sama dan mungkin setiap hari aku akan mengantar jemputmu,"

"I-itu tidak perlu Pein, ak..."

"Kenapa? Apa salah jika aku melakukannya, kau kan pacarku," sela Pein cepat.

"A-apa pacar?!" Hinata pura-pura kaget mendengarnya, "Me-memangnya ka-kapan ki-kita..." Mulut Hinata langsung tertutup rapat dan nyalinya ciut dipandangi tajam oleh Pein.

Wajah Pein terlihat marah dan tak suka dengan perkataan Hinata yang berusaha melupakan kejadian kemarin, "Apa kau melupakan kejadian kemarin?" tanyanya sinis.

"I-itu..." Hinata terlihat gugup juga bingung harus menjawab apa.

Srek

Grep

Pein memegangi dagu Hinata dan memaksa gadis bermata bulan itu untuk menatapnya, "Kau adalah kekasihku untuk sekarang dan selamanya, jangan coba-coba lari dariku Hime atau berpura-pura melupakannya," kata Pein dingin.

Glek!

Hinata menelan ludahnya susah payah dan berharap kalau Pein tidak akan memukulnya mengingat pemuda bersurai jingga itu terkenal kasar juga tak pandang bulu memukul orang sekali-pun itu seorang gadis.

"Apa kau paham perkataanku, Hime," ujarnya dengan mencengkeram erat dagu Hinata membuat gadis bersurai indigo sedikit meringis kesakitan.

"I-iya a-aku mengerti..." sahut Hinata dengan mata berkaca-kaca.

"Bagus," Pein memperlihatkan senyuman manisnya namun dimata Hinata terlihat seperti senyuman iblis yang menakutkan.

Hinata benar-benar tidak menyangka kalau akan berada didalam situasi seperti ini, padahal yang diharapkan dan diinginkannya adalah Sasori Akasuna, pemuda baik hati bak malaikat namun yang datang malah seorang iblis tampan nan berbahaya. Ingin rasanya gadis bermata bulan ini berteriak sekeras-kerasnya menolak pernyataan dari Pein dan menjelaskan kesalah pahaman yang terjadi, tapi apa daya Hinata tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya.

Pein melepaskan cengkeramannya tapi tak menginjinkan gadis cantik itu pergi meninggalkannya.

TING TONG

Bel pelajaran pertama telah berbunyi dan beberapa menit lagi pelajaran pertama akan dimulai, Hinata terlihat berdiri gelisah karena berpikir akan terlambat masuk kelas terlebih jika membolos pelajaran bisa-bisa nanti ia ketinggalan pelajaran.

"Se-sebaiknya aku harus masuk ke kelas," ujar Hinata takut.

Pein melepaskan cengkeramannya, "Pergilah," sahut Pein santai.

"Te-terima kasih," ucap Hinata dengan bernafas lega.

Tap

Tap

Tap

Baru beberapa langkah Hinata berjalan Pein menarik tangannya lagi, "Ekh?!"

Cup'

Bibir Pein mendarat tepat di bibir mungil Hinata.

Kedua mata Hinata melebar sempurna, "Hmphh..." erangnya.

Hinata benar-benar kaget juga syok mengingat ini adalah ciuman pertamanya. Reflek Hinata memejamkan kedua matanya bukan menikmati melainkan takut serta malu pada Pein.

Setelah hampir sepuluh detik mencium Hinata, Pein melepaskan pagutannya, "Apakah ini ciuman pertamamu?" tanya Pein penasaran melihat reaksi Hinata yang menurutnya sangat manis dan menggemaskan.

Hinata menganggukkan kepala dengan wajah merona merah karena ciuman tadi. Diam-diam Pein tersenyum sangat tipis melihat sikap dan reaksi dari Hinata saat dicium oleh dan tahu kalau ini adalah ciuman pertama dari gadis bersurai indigo itu terlihat dari reaksinya. Terlebih wajah Hinata yang merah padam sangat manis, dan ingin rasanya Pein menerjang Hinata dan menciumnya lagi namun ditahan olehnya.

"Pergilah, nanti aku akan menjemputmu," ucapnya datar.

Kedua mata Hinata mendelik bingung, "Menjemputku? Memangnya kau tidak sekolah?" tanya Hinata bingung.

"Aku sedang di skorsing selama satu bulan," jawab Pein santai.

Dahi Hinata menyerengit bingung, "Memang apa yang sudah kau lakukan?" tanya Hinata kembali yang merasa penasaran.

"Aku memukul dan mengirim beberapa anak kelas tiga kerumah sakit karena tanpa sengaja aku mematahkan kaki serta tangan mereka," jawab Pein santai dan wajah tak berdosa atau merasa besalah saat mengatakannya.

Glekh'

Hinata menelan ludahnya cepat, raut wajahnya berubah pucat pasi.

"Orang ini benar-benar menyeramkan dan berbahaya." Batin Hinata takut.

Sreekk

Pein mengusap puncak kepala Hinata, "Pergilah sebelum aku berubah pikiran dan membawamu pergi untuk membolos," ujar Pein setengah mengancam.

"T-tidak mau," tolak Hinata cepat dan wajahnya terlihat panik, "Ka-kalau begitu aku pergi ke kelas."

Dan sedetik kemudian Hinata sudah berlari meninggalkan Pein.

DRAP

DRAP

DRAP

Hinata berlarian dikoridor menuju kelas dan saat hendak menaiki tangga tanpa sengaja ia menabrak sorang pemuda bersurai merah.

BRUUK

"Aaaa..." pekik Hinata.

Hinata terjatuh dengan posisi pantat duluan menyentuh lantai.

"Aaw!" seru Hinata.

Gadis cantik bersurai indigo ini belum menyadari kalau orang yang ditabraknya adalah Senpai pujaan hatinya, Akasuna Sasori.

Pemuda bersurai merah ini mengulurkan salah satu tangannya mencoba membantu Hinata untuk berdiri, "Kau tak apa?" tanyanya lembut.

Hinata terdiam dan terpana menatap wajah tampan nan lembut Sasori yang menurutnya meneduhkan hati serta jiwa, "I-iya..." sahut Hinata gugup seraya meraih tangan kanan Sasori.

Dheg'

Jantung Hinata berdegup kencang dan kedua pipinya bersemu merah saat tangannya dipegang erat oleh Sasori. Hanya berpegangan tangan saja sudah membuatnya gugup serta berdebar-debar seperti ini apa lagi jika dipeluk, bisa-bisa Hinata jatuh pingsan.

"Ma-maafkan aku karena sudah menabrak Senpai," Hinata membungkukkan tubuhnya menyembunyikan kedua pipinya yang merona.

"Tak apa, lain kali hati-hati saat berjalan," ujar Sasori lembut.

Blush~

Pipi Hinata semakin merah, "I-iya..."

"Kalau begitu aku harus masuk kelas, kau juga cepatlah masuk kelas," ucap Sasori kemudian pergi meninggalkan Hinata.

Dheg'

Jantung Hinata semakin berdegup kencang mendengar alunan suara Sasori yang merdu ditelinga Hinata dan wajahnya langsung berubah berseri senang. Moodnya yang tadi buruk karena kejadiaan ciuman tadi telah berganti ketika bertemu Sasori dan melihat senyumannya yang indak bak malaikat.

SREEEKKKK!

Hinata membuka cepat pintu kelas dan untung saja Sensei yang mengajar belum datang dan Hinata tidak terlambat masuk kelas juga bisa mengikuti pelajaran.

"Fuih...Hampir saja aku telat," ujar Hinata seraya duduk dibangku.

SREEKKK!

Pintu kelas terbuka dan menampilkan seorang pria bersurai putih dengan masker diwajahnya, "Selamat pagi anak-anak," sapa Kakashi santai seraya berjalan masuk kedalam kelas.

Semua murid langsung duduk dibangkunya masing-masing dan suasana kelas langsung hening ketika Sensei tampan ini masuk, "Selamat pagi juga, Sensei," ucap para murid bersamaan.

Hinata menyimak semua pelajaran yang diberikan serta sampaikan oleh para Sensei dengan baik bahkan saat jam istirahat Hinata tak lupa membaca buku serya menyantap makan siang, karena bagaimanapun Hinata harus mendapatkan nilai terbaik agar bisa tetap bersekolah dan menerima beasiswa penuh. Dan tanpa terasa kalau sekolah telah usai, Hinata buru-buru merapihkan buku dan perlatan tulisnya lalu bergegas pergi keluar kelas. Padahal sore ini beberapa teman sekelasnya akan pergi ke karaoke untuk bersenang-senang bukannya mereka tidak mengajak Hinata tapi gadis bersurai indigo ini menolaknya karena ia bekerja part time di toko buku setelah seminggu lalu keluar dari cafe maid karena memukul pelanggan pria yang memegang bokongnya.

Hinata mengumpulkan uang untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi demi bisa mengejar impiannya menjadi seorang perawat dan bekerja dirumah sakit besar. Karena tak ada yang bisa ia harapkan atau andalkan untuk membiayai dirinya bahkan sang ayah.

Tap

Tap

Tap

Hinata berjalan pelan dikoridor dan sebelum pulang ia selalu menyempatkan diri pergi kelapangan basket menonton Sasori dan teman-temannya latihan. Seperti biasanya saat Hinata datang, lapangan basket sudah dipenuhi oleh para siswi serta penggemar dari Sasori.

"Sasori Senpai!" teriak para gadis penuh semangat.

Hinata ikut menonton latihan Sasori tapi tak seperti para gadis yang secara terang-terangan berdiri dipinggir lapangan meneriakkan nama Sasori atau para anggota tim basket lainnya. Hinata selalu berdiri didekat pintu masuk lapangan basket dan selalu diam-diam mencuri pandang pada Sasori dan memberikan semangat pada Sasori dari kejauhan, seperti saat ini Hinata berdiri memandang Sasori penuh cinta dan tersenyum lebar tak kala pemuda bersurai merah itu berhasil memasukkan bola kedalam ring.

"Sasori Senpai, semangat." Kata Hinata pelan menyemangati Sasori dari kejauhan.

Setelah puas melihat Sasori latihan, Hinata bergegas pulang dan saat keluar Pein sudah duduk diatas motor menunggu dirinya.

Para murid yang melihat Pein merasa bingung mengapa Pein ada didepan sekolah bukankah seharusnya pemuda bersurai jingga itu di hukum tak masuk sekolah selama satu bulan oleh kepala sekolah setelah insiden di gudang olahraga.

"Ya, ampun! Dia benar-benar menjemputku." Pikir Hinata.

Pein terlihat asik merokok dan belum menyadari keberadaan Hinata didepan gerbang sekolah dan Hinata diam-diam berusaha untuk kabur dari Pein tapi sepertinya nasibnya sedang tak bagus Pein keburu berteriak memanggilnya.

"Hey, kau!" teriak Pein.

Hinata langsung menghentikan langkah kakinya lalu memutar cepat tubuhnya, "H-halo Pein..." sapa Hinata kiku sekaligus takut.

Pein mematikan rokok lalu membuangnya kesembarang tempat, "Kemarilah,"

"I-iya," dengan patuh Hinata berjalan menghampiri Pein.

Sreekkk

Pein langsung memakaikan helem berwarna ungu dengan gambar bunga lavender yang pas dikepala Hinata, padahal seingat Hinata tadi pagi ia memakai helem berwarna hitam juga sedikit kebesaran.

"Cepatlah naik," Pein menyalakan mesin motor.

"Bisa kau antarkan aku ke toko buku dekat stasiun,"

"Apa ada buku yang ingin kau beli,"

"Tidak,"

"Lalu?" tanya Pein bingung.

"Mulai hari ini aku bekerja part time di toko buku dekat stasiun,"

"Apa kau sedang butuh uang?" tanya Pein penasaran.

Hinata menggelengkan kepala cepat, "Aku sedang menabung untuk biaya ke perguruan tinggi," jawab Hinata.

"Berapa gaji perjamnya disana?"

"Tiga ratus lima puluh yen, memang kecil tapi aku..."

"Jangan bekerja disana," sela Pein cepat.

"Kenapa?" tanya Hinata heran.

"Akan aku kenalkan kau pada temanku yang memiliki kedai dan gaji disana seribu lima ratus yen perjamnya hampir tiga kali lipat dari toko buku tempatmu bekerja. Jadi cepatlah naik sebelum hari semakin sore,"

"Tapi,"

Pein mendecih pelan dan menatap dingin Hinata, "Apa aku perlu menarikmu untuk naik ke atas motor," ancam Pein.

"Ti-tidak perlu," Hinata langsung naik ke atas motor.

Grep

Pein langsung meraih kedua tangan Hinata dan melingkarkan kedua tangan gadis cantik bersurai indigo itu ke pinggangnya, "Pegangan padaku yang kuat karena aku akan mengebut,"

"I-iya." Angguk Hinata dengan wajah bersemu merah.

BRUUUUMMMM

Pein melajukan cepat motornya dan diam-diam dari kejauhan dua orang pemuda terus menatap dan mengawasi sepasang kekasih itu dari kejauhan. Setelah Pein pergi kedua pemuda ini menampakkan diri dari tempat persembunyian mereka dan terus menatap dingin sosok Pein juga Hinata.

"Aku yakin kalau gadis itu pasti ada hubungannya dengan Pein," ujar pria bersurai hitam ini penuh curiga.

"Kau benar, kini kita tahu kelemahan Pein dan pasti bisa mengalahkan juga membalas apa yang sudah dilakukan Pein pada kelompok kita." Desis pemuda bersurai cokelat pendek ini.

TBC

A/N : Ini adalah Fic Remake dari 'My Bad Boy' dari fandom sebelah yang pernah Inoue publish jadi jangan heran atau merasa aneh karena jalan ceritanya hampir sama tapi akan sedikit Inoue rubah.

Fic ini permintaan dari teman sekaligus pengobat menunggu kelanjutan Fic Lust For Revenge yang belum bisa Inoue lanjutkan kembali karena semua data di Lappy hilang karena virus dan Inoue kehilangan alur serta ide cerita #Bungkuk badan dalam-dalam.

Fic ini jauh dari kata sempurna apalagi bagus, tapi Inoue berterima kasih kepada siapapun yang sudah mau membaca Fic ini apalagi jika berkenan Read and Riviewnya.

Inoue Kazeka.