Unforgive

Mell Jeevas

Death Note © Tsugumi Ohba & Takeshi Obata

Warning: OOC, AU

Second POV

Cahaya matahari yang menyelusup masuk menembusi kaca jendela besar yang semalaman tak kau tutupi kain gorden membuatmu terbangun dari tidur yang tak mengenakan. Jam beker yang menimbulkan suara nyaring telah berhenti dengan sendirinya sejak beberapa jam yang lalu. Namun tak kau hiraukan, suara nyaring yang terdengar ke kamar sebelah kamarmu itu ternyata tak sedikit pun membangunkanmu dari tidur yang baru kau lakukan setelah beberapa hari berkutat dengan laptop yang kini masih menyala menampilkan beberapa tulisan dan gambar.

Kamu menguap, airmata yang tergenang di sudut matamu kau seka. Perlahan kau bangkit dari posisi telentang, menurunkan kaki ke lantai dari sofa yang kau jadikan tempat tidur. Perutmu yang terasa lapar tak jadi prioritasmu setelah melihat satu laptop kini menampilkan wajah dari seseorang yang sangat kau rindukan.

Wajah kesal, namun terbingkai oleh segaris senyum tipis, mata biru tenang yang tidak mengarah pada kamera, namun mengarah pada potret dirimu yang tersenyum bahagia sambil merangkul bahunya. Wajah lelahmu yang kusut menjadi cerah dengan senyum kecil yang tak kau sadari telah tercipta menghiasi rupamu. Bahkan hanya melalui potret diri, dia mampu membuatmu melupakan sejenak dunia, mengalihkan dirimu sepenuhnya pada dia yang tak lagi kau temukan berada di sisimu ketika pagi berbisik.

Senyum kecil yang perlahan memecah keheningan berubah menjadi tawa ironi, semakin lama, menjadi sebuah isakan tertahan. Sakit yang amat sangat adalah apa yang benar-benar mengguncang hatimu. Kamu ingin, sekali ini lagi menemuinya dalam realita yang akan menenangkanmu jika kamu telah melihat mata langitnya, meski sejenak. Meski sedetik, asalkan kamu dapat mengucapkan hal yang selama ini paling ingin kamu katakan padanya.

"Aku akan mengalahkan Near, bagaimana pun caranya. Aku tidak akan berhenti walau harus menghancurkan apa pun yang kumiliki!" kalimat pemuda pirang itu menghentikan kalimat yang baru saja ingin kau katakan.

Sekali saja dalam sehari, kamu berharap pemuda itu berhenti berbicara tentang bocah berambut putih yang kau kenali sebagai Near. Dia, dirinya, atensinya, selalu saja tertuju pada Near, bocah albino penyendiri itu. Terkadang kamu merasa benar-benar muak jika si pirang berbicara tentangnya. Padahal, kamu sangat ingin, menjadi bagian dari hidup penggila coklat itu, bagian yang penting, lebih penting daripada kehadiran Near.

Apalagi? Kamu lebih dekat dengannya, kamu menghabiskan sepanjang hari bersamanya. Namun apa yang kau dapat? Kamu tak lebih dari pajangan di dekatnya, tak lebih dari pengikutnya, hamba yang mendevosikan diri terlalu jauh untuknya. Sementara yang ada dalam pikiran dan prioritasnya? Hanya ada Near, hanya ada kata untuk menjadi nomor satu, mengalahkan dan melampaui semua orang, melampaui Near, dan bahkan L. Dia terobsesi untuk menjadi lebih dan lebih dari orang lain. Tak peduli, bagaimana ia menghancurkan dirinya. Padahal, ada dirimu yang siap mendampinginya, memberikan apa pun untuknya, walau kamu sadari, kamu tidak bisa memberinya obsesi.

"Mello," kamu memanggil namanya.

Nama yang lebih cocok untuk anak perempuan, namun kamu selalu senang tatkala lidah dan pita suaramu menggaungkan nama itu. Nama yang terlalu indah, meski hanya codename, tapi kamu tahu, nama itu telah mencerminkan dirinya. Dia, makhluk yang akan selalu indah di matamu. Selalu menjadi prioritas dalam hidupmu ketika untuk pertama kalinya Roger membawamu padanya.

"Ada apa, Matt?"

Satu hal lagi, kamu selalu senang ketika dia mengucapkan tiga huruf yang membentuk namamu. Seakan-akan kamu terhipnotis, kehilangan apa yang mengkhawatirkan dirimu akan kehilangannya. Dan oh, tentu saja, tatapan mata yang begitu tajam darinya. Intimidasi mutlak memang, tapi kamu sangat menyukai warna biru langit nan cerah itu. Senada dengan langit musim panas yang membiusmu.

"Ah, tidak Mello. Aku hanya… akh, apa kamu membutuhkan sesuatu?" kamu mengalihkan pembicaraan kalian. Berharap dari itu, kamu tidak lagi mendengar dia menyebut nama Near yang membuatmu harus tersingkir sejenak dari dirinya.

Mello memandangmu heran, namun sikap biasa saja kamu tunjukkan demi menghindari pertanyaan aneh dari Mello. Pemuda itu memandang keadaan sekitar, seperti mencari-cari sesuatu. Kamu masih menanti, menanti apa yang akan keluar dari bibir mungilnya. Kalimat beraroma coklat yang manis, semanis ketika dia menggerakkan kedua belah bibir itu untuk berbicara. Membuatmu seakan-akan ingin merasakannya sejenak. Aroma manis coklat yang dipadukan dengan pahit tembakau.

"Kau letakkan di mana kamus bahasa Jermanku, Matt? Aku membutuhkannya, aku harus bisa menguasainya dengan baik sebelum Near melakukannya!" ujarnya sembari menyusuri rak-rak buku dalam ruangan, membuatmu terdiam.

Kamu memandangnya nanar, padahal, kamu berharap lebih untuk dirinya tak mengingat tentang Near lagi. Padahal, kamu berharap agar dia mau melihat dirimu lebih dari selama ini. tapi, percuma saja, kamu tahu itu. yang dapat kamu lakukan hanyalah ada untuk melayaninya sebagai budak. Berada di belakangnya untuk menyediakan apa pun yang dia butuhkan. Sebuah ironi untuk pendevosian mutlak yang kau lakukan.

"Aku akan mencarikannya untukmu, Mello!"

Kamu beranjak dari dudukmu, turut mencoba untuk mencari kamus tebal yang diinginkannya. Kamu, mengapa kamu tak bisa untuk sekali saja menolak apa yang diinginkannya? Menolak untuk membantunya atau melayani dia laiknya seorang hamba sahaya yang terlalu hina untuk dimanfaatkan sedemikian sepihaknya?

Hanya ada satu jawaban, jawaban yang kamu sendiri pun bingung bagaimana harus menjabarkannya sedemikian rupa, tapi kamu tahu kamu dapat merasakannya dengan hatimu. Ya, satu jawaban sederhana yang jika boleh dikatakan, sangat polos.

Kamu, mencintainya!

Kamu menyukai dia, walau kamu tahu itu salah. Tapi, untuk urusan hati, apa ada yang salah? Kamu berpikir demikian dengan hatimu, tapi dengan pikiranmu? Kamu mencoba untuk mengingkarinya. Kamu tidak mungkin menyukai laki-laki. Kenapa? Jawabannya cukup sederhana, karena kamu juga laki-laki. Tapi, apa yang dihadirkan hatimu tak dapat kamu bohongi. Memangnya apa lagi? Selama seminggu kamu mencoba untuk mengabaikannya demi mendekati Linda, gadis manis dengan bakat lukis itu. Tapi, kamu malah merasa tersiksa saat Mello tak ada di dekatmu.

Serta, satu kenyataan yang membuatmu makin tersesat karena kenyataanya, Mello menunjukkan gestur tidak suka ketika kamu mendekati gadis yang selalu membuat Mello kesal itu. apa dia cemburu? Kamu berharap iya, dan jika itu benar adanya, kamu akan senang sekali. Tapi, apa cemburunya dia hanya sebatas, dia kehilangan anjingnya? Atau cemburunya dia karena…

… dia juga menyukaimu?

Memikirkannya membuatmu berharap agar kemungkinan kedua yang terjadi. Tapi, mengingat dia yang tiada henti-hentinya berbicara tentang 'mengalahkan Near' membuat hatimu kusut masai.

Ada satu kebiasaan yang paling membuatmu kesal jika melihat Mello, yaitu, ketika Mello menulis sesuatu di sebuah buku catatan dan ia terlalu enggan untuk memerlihatkannya padamu. Kamu selalu ingin melihatnya, kamu selalu ingin tahu apa yang kira-kira ditulis Mello dalam buku catatan itu. Kamu tahu, bukan hal biasa seperti rangkuman pelajaran. Tapi, sesuatu mengenai 'diary'. Mungkin terdengar begitu menggelikan untuk seorang seperti Mello untuk menuliskan catatan harian pada sebuah buku. Menulis apa yang terjadi dan apa yang dia lakukan seharian penuh. Tidak, kamu rasa Mello tidak akan repot-repot menuliskan hal itu.

Tapi, ketika malam sebelum tertidur, dia selalu menulis sesuatu dan menyembunyikannya di suatu tempat entah di mana. Kamu tahu kebiasaan itu, karena kamu akan selalu terbangun di tengah malam dan setiap kali itu terjadi, kamu akan melihat dia belajar sambil menggigit batangan coklat hitam. Dan kebiasaan bahwa ia selalu menulis sebelum tertidur baru kamu ketahui seminggu lalu, ketika kamu kembali terbangun dan mendapatinya menggerakkan batangan bolpoin, sementara setengah tubuhnya berada di balik selimut. Sebenarnya kamu tidak begitu peduli, tapi senyum yang tersampir di wajahnya membuatmu benar-benar ingin tahu apa yang dia tuliskan di sana.

"Hei Mells, apa yang kau lakukan?" kamu memberanikan diri untuk bertanya, dia menoleh setelah sempat terkejut mengetahui kamu tengah memerhatikan gerak-geriknya.

"Matt? Tidak apa! Aku hanya menulis sedikit kosa kata, kau tidur saja Matt!" dia memberi jawaban ambigu padamu. Membuatmu sedikit kesal melihat ia tengah berahasia padamu.

Sekali lagi, sebenarnya kamu ingin tak ada rahasia di antara kalian. Tak ada yang perlu disembunyikan dari sahabat. Tapi, itulah kenyataannya, Mello berahasia, dan kamu tak boleh tahu.

Sahabat… syukurlah jika Mello benar-benar menganggapmu seperti itu, bukan sekedar pengikut semua rencananya untuk menjadi 'nomor satu' seperti yang selama ini dia inginkan. Sebenarnya, kamu menginginkan lebih dari itu. lebih dari sekedar sahabat untuknya. Tapi, untuk hal yang paling berharga dalam hidupmu, masih lebih baik bersahabat daripada memaksakan diri untuk menjadikannya lebih dari sahabat dan akhirnya akan menjauhkan kalian.

"Hei Matt, apa kau mau bermain denganku besok? Tapi, hanya kita berdua!"

Seketika, kamu dapat merasakan panas menjalari wajahmu, membuatmu merasa begitu hangat malam ini.

Mello mengajakmu main… berdua saja…

Apa kamu sedang bermimpi? Diam-diam, kamu mencubit kulitmu, hanya untuk memastikan bahwa apa yang dia katakan bukan mimpi seperti yang baru saja otakmu katakan.

"Jangan bengong saja, Matt! Apa kau tidak mau bermain denganku?" tanya Mello sekali lagi, meski dengan kalimat kasar dan nada bentakan yang kamu prediksi sampai ke kamar sebelah, kamu bahagia mendengarnya. Setidaknya, dengan pengulangan itu, kamu merasa yakin jika dia benar-benar mengatakannya.

"Tentu saja, Mells. Aku mau main denganmu!"

Senyum mengembang di wajah imut milikmu, meski tak mendapat tanggapan atau balasan dari Mello yang sejurus setelah kamu menyetujui ajakannya hanya merebahkan kepalanya dan merapatkan selimut, tapi kamu bisa merasakan, ada perasaan yang luar biasa membuncah dalam hatimu.

Bermain dengan Mello… berdua saja…

Dua kalimat itu terus berputar-putar dalam kepalamu, membuat senyuman sekali lagi tersampir tanpa kamu inginkan, yang sebenarnya tanpa kamu sadari, bocah berambut pirang sempat melirikmu sebentar. Menyebabkannya berpikir bahwa kamu benar-benar manis dengan merah itu. Ya, wajah merah merona yang dipayungi dengan merah menyala rambutmu, benar-benar manis. Dan merah baru terlukis di wajah yang dinaungi warna kuning keemasan.

"Hoffentlich morgen hell"

My Corner: ini baru chapter pertama. Mungkin saya akan membuat ini twoshot atau multichap. Saya baru di sini. Jadi, mohon bantuannya melalui review. Oya, kalimat terakhir dari Mello itu artinya, "Semoga besok cerah" saya sok pakai bahasa Jerman, tapi sama sekali gak tahu apa-apa! :3

Mell Jeevas