Taadaa... Vee kembali dengan membawakan mutichap pertama Vee. Adakah yang menunggu fic ini? Nggak ada ya? :'( #nangisGaJe .

Sebenarnya agak susah dapet inspirasi, soalnya Vee lagi berburu SMA :D Hehehe. Tapi Vee usahakan bisa memberi cerita yang bagus #semogasaja

Di chappy 1 ini mungkin agak GaJe, soalnya masih belum ada konflik. Kalau ada yang mau ngasih saran buat chap selanjutnya, tulis aja di bagian review ya, minna-san.

Sudahlah, Vee kebanyakan ngomong. Semoga hasilnya tidak mengecewakan ya,


CHAPTER 1 : PROLOG

Tahukah kalian tentang novel? Buku yang dianggap identik dengan wanita, disebabkan unsur romancenya yang mendominasi tiap judul buku. Dan kenalkah kalian dengan yang namanya 'Prolog'?

Cinta pandangan pertama, berjumpa secara tidak sengaja di sebuah café, atau tertabrak saat membawa banyak buku. Huh? Prolog yang klasik, bukan?

Menentukan awal kisah memang hal yang terpenting dan tersulit dalam sebuah karya. Kami—para penulis novel—sangat memperhatikan hal itu karena prolog/awalan adalah hal yang membuat pembaca akan terus tertarik membaca, terus membalik lembar demi lembar dan menikmati keseluruhan tulisan di dalamnya dengan tersenyum.

Dan aku bahkan tak pernah tahu, kalau kehidupanku juga bak sebuah novel yang hampir setiap hari kubaca. Aku Tak pernah merasa menjadi seorang tokoh. Aku juga tak pernah merasa diikuti oleh satupun kamera yang mengawasi gerak-gerikku. Namun kini aku ingin 'menovelkan' kisahku. Tapi jujur saja, aku tak tahu harus mulai bercerita dari mana jika aku disuruh menuangkan kisahku dalam lembaran novel.

Terutama kisah 'kami'. Prolog 'kami' tak begitu bagus dan yang membosankan adalah, menurutku prolog 'kami' amatlah klasik, dan tidak istimewa, begitu pula dengan epilog-nya. Tapi entah mengapa, ada yang istimewa dari kisahku ini. Sesuatu yang bisa merubah alur hidupku. Merubah abu-abu-ku menjadi hamparan warna yang indah.

Dan sekarang, biarkan aku yang akan mengisahkan prolog 'kami'.

Lucy Heartfilia.


Novel? Nyatakah ini?

Story by Vee

Ketahuilah, setiap manusia adalah tokoh utama dalam novel hidupnya.

Fairy Tail © Hiro Mashima

Warning : GaJe, mungkin ada sedikit Typo dan OOC


"Lucy!"

Gadis pirang yang dipanggil Lucy itu tetap diam. Sinar matahari yang mengintip menembus beningnya kaca jendela tak bisa menghilangkan suasana mencekam di salah satu ruangan yang cukup besar ini. Manik karamelnya tetap menatap lurus ke bawah. Bibirnya boleh saja diam, tapi tidak dengan hatinya, yang meronta-ronta ingin segera keluar dari kehidupan yang super menyebalkan ini. Hatinya pun terkadang mengutuk Tuhan yang menyisipkan kesialan-kesialan ke alur hidupnya.

"Lucy!" sekali lagi pria di depannya berteriak.

"Sudah kubilang aku tak ingin dijodohkan, Pa! Biarkan, sekali saja dalam hidupku, untukku memilih! Untuk memilih siapa yang akan mendampingiku kelak," jawab Lucy dengan setengah membentak, tapi tak menghilangkan unsur kesopanan dalam kalimatnya.

"Kenapa? Apa menurutmu pria yang kau pilih lebih baik dari pria pilihan Papa? Sampai-sampai kau berani melawan Papamu?" tanya papanya lagi, Jude Hearthfilia.

"Aku tak bisa menjelaskannya, Pa. Aku tahu dia pria yang baik. Namun kurasa, aku hanya bisa menganggapnya sebagai kakak dan aku tak mencintainya."

BRAAKK !

"Masa bodoh dengan yang namanya cinta! Kau tidak sadar bahwa kau sudah dibohongi oleh pacarmu itu?!" Lucy hanya diam tak menjawab. "Ini semua Papa lakukan untukmu, untuk masa depanmu. Kau bisa belajar mencintainya nanti. Yang terpenting sekarang adalah membuatmu dan dia tak terpisah sampai kalian menikah," bentak Jude.

"Tapi aku masih 17 tahun, Pa. Aku masih mempunyai banyak waktu," jawab Lucy.

"Itulah yang Papa khawatirkan. Bagaimana jika suatu saat nanti pria itu sudah diambil oleh gadis lain? Dan apa yang akan terjadi pada perusahaan Papa?"

Lucy mendecih, "Cih! Selalu saja. Semua karena uang, perusahaan, bisnis! Aku lelah, Pa! Aku lelah! Aku tak pernah boleh memilih sekolahku, dan itu kuterima. Aku tak pernah boleh memilih teman bermainku, dan itu pun kuterima. Tapi tidak untuk permintaanmu yang ini, Pa. Tidak akan!"

"Lucy! Kau lancang sekali! Apa itu yang mereka ajarkan di sekolahmu?!"

"Tidak," jawab Lucy. "Aku berkata seperti ini semua karenamu!"

"Taurus!" panggil Jude pada body-guardnya. "Bawa gadis lancang ini ke kamarnya. Dan kunci dia sampai acara besok malam," perintah Jude.(note:disini Taurus gk mesum ya, minna.)

Pria bertubuh besar bernama Taurus itu mengangguk dan segera mengangkat tubuh ramping Lucy secara paksa. Lucy meronta, berteriak dan memukul tubuh bodyguard Papanya dengan tenaganya. Tapi apa daya, Lucy tak bisa melakukan apapun yang bisa membuat pria ini kesakitan.

Taurus menghempaskan tubuh Lucy di atas ranjang kemudian keluar kamar dan mengunci pintu. Lucy berlari menghampiri pintu yang telah terkunci itu. Ia menggedor pintu itu dengan keras dan berteriak meminta siapa pun untuk mengeluarkannya. Tapi tak ada respon.

Lucy menyerah. Ia yakin tak ada yang akan mau mengeluarkannya. Walaupun ingin, tapi mereka tak akan bisa, karena Papanya akan memecat siapa saja yang berani melanggar perintahnya. Lucy terduduk membelakangi pintu dan memandang lurus pada cahaya matahari yang melewati jendela kamarnya. Sang raja siang nampak mulai condong ke barat, mulai lelah menjalankan tugasnya. Namun untuk sementara, sang raja siang mengulur waktunya untuk kembali ke peraduan saat melihat kondisi Lucy. Lucy baik-baik saja, tak ada luka apapun di tubuhnya. Namun hatinya sangat sakit, tapi ia tak bisa menangis. Bagaimana tidak? Seminggu penuh telah ia habiskan untuk melakukan kegiatan itu.

"Ma? Kenapa Papa berubah? Andai saja Mama masih disini, Papa mungkin tidak akan memperlakukanku seperti ini," gumamnya.

Mamanya—Layla Heartfilia—meninggal ketika Lucy masih berumur 10 tahun. Semuanya normal sebelumnya. Walaupun Lucy kekurangan perhatian dari sosok pria yang ia sebut Papa, tapi setidaknya ada lautan kasih yang diberikan oleh Mamanya. Tapi ketika Mamanya telah tiada, entah kenapa sifat Papanya semakin menjadi jadi. Bukan hanya tak memberikan perhatian, tapi ia bahkan suka memaksakan kehendaknya terhadap Lucy. Bentakan, pengekangan dan bahkan kekerasan pernah ia rasakan. Dan Lucy bahkan sudah terlampau 'terbiasa' mererima hal itu. Tapi kali ini, ia tak bisa menahan perih di jiwanya.

"Ma, aku merindukanmu."

Tunggu! Mama!, batin Lucy. Ia teringat sesuatu tentang mamanya. Ya, ada salah satu tempat dimana tak ada penjaga yang berjaga disana. Makam Mamanya! Cara yang tepat untuk kabur dari gedung besar ini tanpa ketahuan. Mungkin bagi sebagian orang, Lucy adalah gadis bodoh yang tidak mau tinggal di rumah besar ini. Tapi menurut Lucy, rumah ini hanya besar di luarnya saja, tidak dengan dalamnya.

Makam Mamanya ada di halaman belakang rumah. Dan kebetulan, kamar Lucy ada di bagian belakang walaupun ada di lantai 2. Pernah suatu hari, Lucy meminta seorang pekerja di rumahnya untuk membuatkan 'jalan pintas' agar Lucy bisa dengan mudah mengunjungi makam mamanya. Dan sepertinya sampai sekarang, Jude tak pernah tahu tentang 'jalan pintas' itu.

Lucy bergegas. Mengambil kopernya dan memasukkan beberapa helai pakaian ke dalamnya. Ia menenteng tas kecil berisikan dompet dan ponselnya lalu segera berlari menghampiri pintu dari jalan pintas tersebut. Ia membukanya, dan berharap ada masa depan yang lebih baik menantinya di luar sana.

Sementara itu di tempat yang berbeda…

"Dasar bocah api! Sampai kapanpun kau tak akan bisa mengalahkanku!"

"Kita lihat saja nanti, bocah es!" jawab temannya sambil tersenyum menyeringai.

Mereka berdua Nampak bersedia, entah untuk apa. Bola mata mereka memantulkan tulisan 'Ready!'. Setelah itu hitungan mundur mulai dari angka 3 tertangkap jelas dari sana. 3,… 2,… 1,… Dan dimulailah, pertarungan 'games' mereka.


Lucy terengah-engah. Ia harus segera menjauh dari rumah terkutuk itu. Papanya mungkin sudah menyadari ketidakberadaannya. Lucy memaksa kakinya untuk berlari lebih kencang. Namun, sepatu kets yang ia gunakan untuk perjalanan melelahkan ini terasa semakin berat untuk diayunkan. Ia sudah tidak kuat. Tapi ia harus segera sampai ke tempat tujuannya.


"Bagaimana? Kau sudah mengaku kalah, Iceprincess?"

"Kau hanya beruntung kali ini, Flamehead!"

Kedua frienemy itu saling melempar seringai tajam.

"Jadi, bagaimana dengan gadis itu?" tanya seorang yang berambut raven.

"Siapa?" temannya yang satunya, yang memiliki rambut berwarna 'pink' itu balik bertanya.

"Baka! Tentu saja gadis yang kau sukai!" Pria raven bernama Gray itu menarik nafas sebentar "Lisanna, kan?" lanjutnya.

"Oh, Lisanna? Biasa saja," jawab Natsu—pria berambut pink di depan Gray. "Kau sendiri? Bagaimana hubunganmu dengan Juvia?"

"Hei! Aku tak menyukainya!"

"Kau bicara seperti itu tapi kenyataannya malah sebaliknya."

"Cih! Sudahlah, aku mau pulang," ujar Gray.

"Ya sudah, pulang sana! Aku juga tidak akan memperbolehkanmu menginap di tempatku," sahut Natsu.

Gray bangkit lalu membuka pintu rumah Natsu, lalu keluar dan membanting pintu Natsu dengan sangat keras.

"Hei! Jangan membanting pintu rumah orang seenaknya!" bentak Natsu. Tapi Gray tidak merespon, seperti biasa.

Natsu menghela nafas berat. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tamunya. Di depannya, televisi miliknya masih menyala, bekas ia gunakan bermain games bersama Gray.

Onyx hitamnya ia sapukan ke sekeliling. Memandangi rumah peninggalan ayahnya—Igneel. Rumahnya tidak besar, tapi juga tidak bisa dibilang kecil. Ia memiliki seorang kakak, Zeref namanya. Namun sama seperti Igneel, ia menghilang entah kemana.

Beberapa tahun yang lalu, Natsu pernah mengalami hidup yang menyenangkan. Walaupun tak pernah melihat sosok wanita yang bisa ia panggil ibu, ia bahagia karena masih ada ayahnya, yang mau berperan sebagai ayah dan juga ibu baginya. Menurut ayahnya, Ibu Natsu meninggal saat melahirkan Natsu. Natsu sempat merasa begitu menyesal. Ia berpikir bahwa kehadirannya hanya akan memberikan kesedihan dalam keluarga ini. Tapi tidak. Ayahnya selalu bersikap baik padanya, begitu pula kakak laki-lakinya.

Sampai suatu hari, Igneel pergi dan tidak kembali. Tidak! Ia tidak mati. Atau lebih tepatnya, Natsu yakin bahwa Igneel masih belum mati. Natsu kecil selalu mengatakan bahwa ayahnya akan pulang suatu hari nanti. Tapi tidak dengan kakaknya, Zeref.

Zeref yang sudah cukup dewasa saat itu tidak terlalu yakin apakah ayahnya itu masih hidup. Ia tak punya api yang membara dalam hatinya seperti Natsu. Lalu beberapa tahun setelah itu, Zeref akhirnya meninggalkan Natsu yang masih berumur 10 tahun.

Natsu terpuruk. Saat muda ia dilanda kesedihan terus menerus. Ia tak tahu cara mencari makanan, ia tak tahu cara memasak, ia tak tahu cara mencuci pakaian, ia tak tahu cara menyetrika pakaian sekolahnya dan masih banyak hal yang belum ia ketahui.

Tapi untunglah, kaluarga pamannya—Happy, bersedia membantunya. Uang sekolah Natsu, Happy yang menanggungnya. Masalah makanan dan kebutuhan sehari-harinya, Happy juga bersedia menanggunggnya. Lama-kelamaan, Natsu yang merasa tak enak hati, mulai mengambil kerja part time di sebuah café untuk mencukupi kebutuhannya saat menginjak kelas 1 SMP.

Sejak insiden perginya ayah dan kakaknya, sifat Natsu berubah. Ia yang biasanya selalu bersemangat menjadi sangat pendiam. Sampai suatu hari, seorang gadis yang sering mampir di café tempatnya bekerja mengajaknya bicara.

"Hai," sapa gadis itu.

"Hai," jawab Natsu canggung.

"Kau sudah lama kerja part time di sini?" tanya gadis itu lagi.

"Cukup lama. Kira-kira sejak kelas 1 SMP."

"Hmm… Begitu, ya. Oh! Duduklah dulu," tawar gadis itu. Gadis berambut perak itu mengarahkan matanya ke depan, mengisyaratkan pada Natsu untuk duduk di depannya.

"Sudahlah, tak apa. lagi pula café hari ini sedang sepi, kan?" ujar gadis itu seakan mengerti apa yang ada di pikiran Natsu.

Natsu akhirnya memilih untuk duduk. Toh, bosnya sedang tidak ada di café hari ini. Natsu melihat gadis di depannya penuh selidik. Namun gadis di depannya malah tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Natsu.

"Lisanna Strauss," ujarnya memperkenalkan diri. "Panggil saja Lisanna, tanpa suffix apapun," lanjutnya.

Natsu setengah memproses keadaan di depannya. Dan setelah proses loading di dalam otaknya telah selesai, ia balik membalas uluran tangan Lisanna.

"Natsu Dragneel. Panggil saja Natsu."

Sejak saat itu, setiap ada kesempatan, Lisanna selalu menyuruh Natsu duduk walau hanya sekedar untuk berbincang biasa.

"Eh?! Jadi kau juga bersekolah di Fairy Tail Gakuen?" tanya Lisanna terkejut.

"Kenapa kau begitu terkejut?" tanya Natsu balik.

"Ah, tidak. Hanya saja aku tidak terlalu memperhatikan. Kau kelas berapa?"

"Kelas 1-C," jawab Natsu singkat.

"Oh, kalau aku kelas 1-A," ujar Lisanna.

"Wow. Berarti kau termasuk siswa yang pandai kan, Lis?"

"Ahaha. Tidak juga. Aku hanya sedang beruntung."

"Kau terlalu merendahkan diri, Lisanna," sahut Natsu.

"Tidak," jawab Lisanna. "Hei! Kau bahkan bisa masuk di kelas A kalau kau mau."

"Hah, otakku tak akan mampu. Bagiku masuk di kelas B saja sudah baik,"

"Tidak! Di kelas 2 nanti kau harus masuk di kelas A."

Natsu mengangkat sebelah alisnya, "Ha? Bagaimana caranya?"

"Fufufu. Aku akan menjadi gurumu," jawab Lisanna sambil menampakkan senyum aneh di wajahnya.

"Ya, dan aku sadar bahwa sifatku sudah kembali seperti sedia kala. Dan anehnya, aku bisa masuk di kelas 2-A," gumam Natsu yang ternyata telah kembali dari alam nostalgianya.

Natsu bangkit dari tempatnya merebahkan tubuh lalu berjalan malas mematikan televisi lalu pergi menuju kamarnya. Ternyata, ranjang yang empuk telah menantinya disana. Segera saja, Natsu menyiapkan tubuhnya terbang ke alam mimpi.


Tok… Tok… Tok…

Lucy, dengan rambut pirangnya yang basah oleh peluh berusaha membangunkan sang empunya rumah. Tidak sopan sebenarnya, mengetuk pintu orang lain di saat malam begini. Tapi kali ini ia sangat membutuhkan pertolongannya.

Tok… Tok… Tok…

Kembali Lucy mengetuk pintu rumah ini. Rumahnya tidak terlalu besar seperti rumahnya, tapi rumah ini juga tidak bisa dibilang kecil. Lucy sudah tidak kuat. Pandangannya mulai kabur. Tapi ia berusaha untuk tetap berdiri.

Rumah ini adalah rumah kakak kelasnya saat SD. Mereka sangat akrab seperti adik dan kakak sebelum akhirnya Lucy dipindahkan ke SD para anak orang terpandang dan bangsawan. Tapi Lucy dan sang empunya rumah masih tetap berkomunikasi baik melalui e-mail maupun telpon.

"Iya. Sebentar!" terdengar suara langkah kaki berjalan mendekati pintu depan. Orang itu membuka pintunya, namun karena telah berada di puncak kemampuannya, Lucy akhirnya pingsan.

"Lucy!" Itulah kalimat terakhir yang ditangkap oleh telinganya.


Gawat… Gawat… Aku pasti terlambat…

Natsu terburu-buru menuju kamar mandi, lalu menyambar seragam sekolahnya. Ia mengenakannya secepat kilat dan mengambil sehelai roti di atas meja makan. Natsu menggigit rotinya sambil mengenakan sepatu. Hari ini adalah hari ketiga setelah insiden Gray yang datang mengunjunginya. Dan masalahnya, hari ini Natsu sudah berjanji pada Lisanna untuk menjemputnya saat berangkat sekolah.

Natsu dengan cepat keluar rumahnya dan berlari ke arah rumah Lisanna yang searah dengan arah sekolahnya. Roti di mulutnya masih ia gigit. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

07.15

Gawat… Pasti Lisanna sudah berangkat dan aku akan mendapatkan amukannya lagi.

Natsu sudah terbiasa terlambat. Tapi hari ini, Lisanna meminta Natsu berjanji untuk menjemputnya. Dan dengan terpaksa, Natsu menerima tawaran itu.


"Kau yakin mau melihat sekolah itu hari ini? Kau masih terlihat kurang sehat, lho,"

"Uhn. Aku sudah sehat kok, Michelle," jawab Lucy sambil tersenyum pada temannya—kakak kelasnya di sekolah dasar.

"Ya sudah. Aku akan menjemputmu nanti saat pulang," ujar Michelle.

"Tidak perlu, Michelle. Kau pasti masih repot dengan kuliahmu. Aku akan berjalan kaki nanti."

Michelle mendesah panjang. Sahabatnya ini, sangat keras kepala. Jelas-jelas dia masih belum sehat tapi tetap saja memaksakan diri. 3 hari yang lalu, sekitar pukul 23.54, sahabatnya ini pingsan tepat di depan rumahnya. Michelle panik. Ia segera mengetuk pintu tetangga sebelah rumahnya yang kebetulan penghuninya adalah sebuah keluarga. Michelle meminta bapak dari keluarga tersebut untuk membantunya membopong Lucy masuk ke dalam kamar. Untunglah, Lucy pingsan tidak terlalu lama. Saat sadar, Lucy menceritakan semua yang terjadi. Michelle mengerti. Lucy sudah sering bercerita tentang keluarganya pada Michelle. Dan kemarin, secara tiba-tiba, Lucy meminta Michelle untuk mengantarnya ke sini.

"Kau masih belum sehat. Sudahlah, santai saja. kau jangan canggung denganku. Aku sahabatmu, kan?" ujar Michelle.

Lucy tersenyum. Untunglah ada orang baik seperti Michelle dalam kehidupannya, "Oke. Terserah kau saja."

Michelle memacu mobilnya dan melaju menuju kampusnya. Kini Lucy telah sampai di depan gerbang SMA harapannya. Nama SMA itu terpampang jelas di sana. 'FAIRY TAIL GAKUEN'. Kepala sekolah di sini adalah kenalannya. Saat SMP Lucy pernah ikut lomba menulis se-Fiore. Dan hasilnya, ia mendapatkan juara pertama.

Tentu saja semua kepala sekolah SMA tertarik memiliki murid seperti Lucy. Salah satunya adalah Makarov Dreyar, kepala sekolah Fairy Tail Gakuen. Lucy sangat ingin memasuki SMA yang kaya prestasi ini, tapi Papanya tetap memaksa Lucy untuk bersekolah pada jurusan bisnis, supaya bisa meneruskan perusahaan Papanya—Hearthfilia corp.

"Lucy! Kau sudah datang rupanya," seru seseorang bertubuh pendek dan berambut putih.

Lucy mengalihkan pandangannya, "Maaf sudah membuatmu menunggu, Makarov-san. Eh? Apa harus kupanggil Makarov-sensei?"

"Tidak perlu. Panggil saja seperti biasa," jawab Makarov. Ia lalu mengajak Lucy memasuki gedung sekolah miliknya.

"Anoo… Maaf membuatmu harus menampungku, Makarov-san," ujar Lucy.

Makarov tersenyum mendengar kata-kata Lucy. Hanya Makarov dan Michelle sudah tahu tentang masalah yang sedang menimpa Lucy, "Menampung? Kau itu siswi yang pintar, Lucy. Siapa juga kepala sekolah yang tidak mau menerimamu sebagai murid?"

"Tapi resiko untuk menampungku jauh lebih besar, Makarov-san. Papaku mungkin akan—"

"Sudahlah. Untuk hal itu bisa dibicarakan nanti," potong Makarov. "Sekarang berjalan-jalanlah dan lihatlah SMA barumu ini. Maaf aku tak bisa menemanimu karena aku sedang ada urusan."

"Iya. Terima kasih untuk semuanya, Makarov-san."

"Uhm." Setelah itu, Makarov meninggalkan Lucy sendiri.

Lucy mulai melangkahkan kakinya menyusuri setiap bagian dari 'calon sekolah barunya'. Ia masih mengenakan dress panjang selutut bermotif bunga dengan blazer putih sebagai pelengkapnya. Mau bagaimana lagi? Ia masih belum mendapatkan seragam di SMA negeri. Seragam SMA-nya dulu sangat berbeda dengan disini.

Lucy berhenti di depan kolam renang yang berada di belakang sekolah. Ia ingat, dulu ia dan Mamanya sering berenang bersama dengan teman Mamanya, Aquarius. Sangat menyenangkan, memang. Walaupun Lucy tak terlalu suka berenang, air bening di depannya ini membuatnya teringat kepada sosok Mamanya.

Tap… Tap… Tap…

Terdengar suara langkah kaki yang sangat cepat, seperti orang berlari. Lucy mengedarkan manic karamelnya untuk mencari asal suara itu. Tapi nihil. Tak ada satu pun manusia yang nampak tengah berlari yang berhasil di tangkap oleh manic matanya.

Aneh, suaranya terdengar dekat tapi kok…

Lucy terkejut setengah mati melihat ada seorang pria yang dipenuhi peluh di wajahnya melompati tembok pembatas sekolah. Sementara pria itu sepertinya tidak memperdulikan kehadiran Lucy disana. Pria itu kemudian berlari setelah berhasil mendarat dengan sempurna.

"Hei! Apa yang kau… Kyaa!"

Pria itu sedikit menyenggol bahu Lucy saat berlari, membuat Lucy kehilangan kontrol atas kedua kakinya. Ia terpeleset, dan sialnya, Lucy masih berada di pinggir kolam renang. Lucy menarik baju pria yang menyenggolnya, berusaha tidak jatuh gara-gara pria ini. Namun naas, mereka berdua malah terjatuh bersamaan dalam air kolam renang.

Byuuurrr…..


Hei! Tidakkah kau sadar telah membuat prolog yang buruk untuk cerita kita? Dasar bodoh!


To Be Continue...

.

.

.

.

.

Yoshh... Akhirnya selesai untuk chappy 1 nya... :D

Bagaimana Minna-san? Buruk kah? Apa kah ada yang kurang? Ataukah ada yang ingin memberikan saran untuk Chapter berikutnya? Jujur, Vee lagi buntu inspirasi, nih!

Oh iya, sebelum itu, Vee ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada para reader yang berkenan mereview fic buatan Vee sebelum ini #nangisterharu. Dan semua review itu membuat Vee semakin bersemangat untuk membuat multichap ini.

Minna-san, adakah yang tahu grup FFn fairy tail yg bahasa Indonesia? Pengen banget gabung kalo ada yang tahu, entah grup di fb, line, ato WA. Seru, kan, kalo bisa ngobrol sama sesama author terus saling sharing gitu. Minta infonya ya reader-tachi :-)

Oke! Sekian dulu dari Vee. Jangan lupa kritik dan sarannya ditunggu di kolom review, ya! Arigatoo...

Matta ne~