Dandelion
By : VQ
Disclaimer : Tite Kubo
Siang itu sangat cerah. Rukia mencoba untuk menghilangkan segala kemungkinan dari para hollow yang merangsek langit dan menyerang ke berbagai penjuru kota. Untuk kali ini saja, ia membiarkan tubuhnya terbaring santai di sebuah padang ilalang penuh dengan bunga liar dan sengat matahari memandikan tubuhnya yang berbalut seragam lengkap sebagai Shinigami. Sepasang daun telinganya mendengar dengan jelas lantunan-lantunan merdu lagu Unchangeable Word dari samping tubuhnya.
Ya, dia tidak sendirian saat ini.
Lewat ekor matanya, amethyst besar itu menatap seorang pemuda bersurai matahari yang tengah terbaring sepertinya dan bersenandung kearah langit biru musim semi, diantara Dandelion- dandelion yang berdiri.
Ah, mungkin benar. Suaranya tidak terlalu buruk untuk menyanyikan sebuah lagu. Surai jingganya menunjukkan sesuatu pada Rukia. Bahwa, pemuda itu tidak sebodoh yang ia kira. Mungkin tengkoraknya akan menjadi sekeras tempurung kelapa, saat pemuda itu ingin menyelamatkan dan melindungi orang sebanyak-banyaknya. Salah satunya, ya dia sendiri. Tapi saat ia mengingat teman-teman yang pernah gagal dilindunginya, jiwa pemuda itu akan lemas, runtuh lalu rubuh ke tanah. Air yang berusaha Ichigo tampung di kelopak matanya juga akan merembes, tak terbendung.
Rukia tersenyum kecil. Jelas-jelas dia yang lebih tau tentang Ichigo. Melebihi pengetahuan seluruh keluarga Kurosaki. Hanya Rukia yang jadi tampungan Ichigo untuk merasakan kesedihan dan kebahagiaannya.
Rukia ingin sekali memejamkan mata. Namun, seketika dandelion-dandelion itu berbisik ditelinganya ; Hei, coba lihatlah ke langit. Kami mendapat kabar dari angin,
Benarkah kau menghentikan 'hujan' nya?
Rukia rasa, ia tak perlu menatap langit. Karena dia sendiri tahu kalau langit yang menjadi naungannya kini masih cerah, tak tertutup sebuah kapas pun.
Namun satu hal ...
... Hujan.
Rukia bukan pawang hujan.
Hujan hanyalah lambang pengingat bagi Rukia, tentang masalalu dan kenangan pahit. Dimana ia kehilangan orang yang sangat berarti di hidupnya. Saat ia mengingatnya pun, dadanya akan selalu terasa sesak. Namun, ia cepat beruntung karena bisa beradaptasi. Dan memiliki pola pemikiran bahwa ; tak selamanya orang yang kita sayangi ada di sisi kita.
Dan Ichigo?
Ichigo bagai matahari yang terus terhalang oleh awan gelap-tak bersinar. Pemuda itu selalu menutup diri dan merahasiakan perasaannya dari orang lain. Dibalik kerutan alisnya, ia bahkan tidak terlihat ; apakah ia sedang bahagia atau sedih. Tapi berkat Rukia yang pernah 'memojokkan' Ichigo sampai terdesak. Ternyata, seseorang yang bertitel Ibu -lah yang menjadi sosok panutannya, penyemangatnya, bahkan segalanya bagi sang pemuda. Dan ia sendiri pun sempat mengalaminya bersama Ichigo. Mengalami dan menyaksikan penderitaan Ichigo.
Rukia terkekeh. Saat itu ternyata ia baru menyadari bahwa Ichigo benar-benar memiliki penderitaan yang sama.
Kenangan di saat hujan.
Lalu hujannya?
Ah, mungkin hanya itu-pikir Rukia.
Didengarnya, Dandelion dekat jari jemarinya tertawa,
Apa benar hanya itu? Bukankah kau adalah penyemangatnya juga? Bahkan kalian jadi saling terikat satu sama lain bukan?
Rukia tersenyum kecil. Ia tidak terlalu percaya diri menjadi seorang penyemangat untuk sang Ichigo.
Teman-temannya bisa saja bilang kalau tendangan dan pukulan Rukia akan menjadi satu-satunya bentuk pembangkit semangat jiwa Ichigo. Tapi menurut Rukia sendiri, itu bukan sama sekali. Ada kalanya Ichigo muak dan bosan dengan segala kekasarannya dan berbalik membalas dengan hal yang sama. Atau mungkin suatu hari nanti ada salah satu sahabat selain Rukia yang resmi menjadi penyemangat khusus untuk Ichigo. Dan mungkin bisa jadi juga, seseorang yang selama ini mencintai Ichigo dengan tulus. Toh, kemungkinan bisa saja terjadi, iya 'kan?. Rukia juga percaya kalau Ichigo adalah seseorang yang tangguh dengan tekad kuatnya. Ia akan menepati setiap janjinya untuk melindungi orang banyak, mendamaikan dunia. Dan dirinya akan menjadi ...
Rukia saja.
Dandelion terkecil tampak terisak,
Mengapa engkau berkata seperti itu? Apa kau akan segera melepaskannya ? Apakah kau tidak ingin lagi mendampingi Ichigo dan menyemangatinya? Kau rupanya tidak yakin dengan ikatan itu ya, Putri Kuchiki?
Oh, Rukia ingin sekali memeluk Dandelion itu, andaikan tidak ada jaminan serbuk-serbuk nya akan terbang.
Saat mendengarnya semakin terisak, terlebih dulu ia menarik nafas dalam-dalam. Angin berhembus pelan. Memainkan helai-helai rambut hitamnya. Dandelion-dandelion itu melengos, dongkol.
Ichigo yang berapi-api. Ichigo yang bersikap independen. Maniknya serupa Topaz ,berharga. Selalu mencerminkan kilau semangatnya.
Ah,
Salahkah Rukia jika suatu hari nanti ia akan melepasnya? Hei, coba ingatlah. Kehidupan selalu berputar. Ada saatnya pertemuan dan perpisahan datang. Mana mungkin Rukia terus menumbuhkan rasa khawatir pada Ichigo yang jelas-jelas tidak mau mendengarkan perkataannya lagi. Dan mereka pun hanya terhubung sebagai teman berharga. Tidak lebih.
Lalu bagaimana dengan tiga bulan mendatang? Setahun yang akan datang? Atau masa-masa lansia? Bagaimana jika mereka di beri waktu yang banyak? Misalnya Ichigo yang tiba-tiba saja mencintai Rukia, atau sebaliknya?.
Apa kau benar-benar tidak mau bersamanya? Tanya dandelion kecil.
Rukia mengangkat bahunya pelan.
Bersama bukan berarti mendampingi atau semacamnya. Dan mendampingi juga bukan kata yang tepat. Rukia pikir, ia hanya akan mengawasi.
Suatu hari nanti, Keluarga Kurosaki akan menjodohkan Ichigo-Dengan sedikit terpaksa, mungkin-kepada wanita yang selama ini mencintainya. Kemudian, ia mendapatkan cinta sejati. Rukia akan berdiri paling depan mengamati mereka bertaut tangan dan memasukkan cincin di upacara sakral.
Sebab ya, Rukia tahu segalanya. Dunia mereka berbeda, usia mereka berbeda, dan jati diri mereka. Rukia seorang Shinigami dan Ichigo adalah seorang manusia. Lagipula, cinta bukanlah salah satu yang 'wajib' ia alami dan rasakan. Rukia perempuan tegas. Tugasnya bukan untuk merasakan cinta. Tapi, seberapa besar kemampuan yang ia pertaruhkan untuk mendamaikan dunia dan Soul Society. Namun, jika ia gagal, mungkin Rukia akan di kenang dengan kebanggaannya. Dan lagi-lagi ia akan menjadi-
"Rukia!"
-memberengut.
Dandelion paling besar dan pendek berdecak pelan. Dasar perempuan, mereka tidak pernah membiarkan jawabannya jadi lebih mudah di cerna. Katanya.
Yah,
Apalah arti mendampingi bagi Rukia. Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana Rukia dan Ichigo akan menikmati kehidupan. Rukia juga masih bisa berjalan berdampingan dengan Ichigo saat ini 'kan? Meski kadang jarak dan waktu memisahkan mereka. Lagipula Ichigo juga ingin menikmati hidupnya sebagai manusia normal lebih lama.
Perlahan gadis itu membuka kelopak matanya. Dilihatnya Ichigo berdiri sambil memberikan telapak tangannya. Rukia tak mau meretas senyum barang selengkung pun. Dibiarkannya dandelion-dandelion itu mencibir saat ia meraih tangan Ichigo dan beranjak.
Karena Rukia yakin. Bahwa Ichigo akan kembali bersamanya. Walau aspek apapun dalam kehidupan akan memisahkan mereka.
Hanya itu.
Ku harap kau berpegang teguh dengan kata-katamu. Sebab aku bertaruh, angin akan menghapus segalanya. Kami ini adalah saksi.
Teriak salah satu dandelion. Sayup-sayup terdengar bersamaan dengan angin yang berhembus.
Rukia mengibaskan tangannya dan mulai menatap Ichigo.
"Ayo pergi."
Jeda.
"-Ichigo?"
Ichigo mengerutkan keningnya. Dengan otomatis, Tangannya menjulur kearah kepala Rukia-mengambil sesuatu. Rukia terbelalak saat Ichigo menunjukkan setangkai dandelion kecil didepannya. Seingat Rukia, dandelion itu lah yang bertanya tentang ikatan mereka.
"Ada ini di kepalamu," ujar Ichigo datar. Bunga liar itu membiarkan tatapan manik musim gugur dan amethyst berfokus pada serbuk-serbuk putihnya.
"Aku tidak mengerti. Kenapa dandelion ini bisa sampai di kepalamu. Apa diterbangkan angin?,"
Angin berhembus cepat. Menggerakkan segala sesuatu yang di lewatinya. Seketika, dandelion yang bertaut di antara ibu jari dan telunjuk Ichigo terbang bersama serbuk-serbuk putihnya yang terpisah. Bukan hanya itu, sebagian serbuk putih dari padang ilalang itu ikut terbang bersamanya.
Seolah diminta, Ichigo dan Rukia juga harus mengamati mereka yang bergabung bersama kawanan serbuk dandelion lainnya yang perlahan naik menuju ke langit.
Mereka tak bisa lagi melihat serbuk milik si dandelion mungil. Tapi yang jelas, kini pendengaran Rukia menangkap bunyi dari si pemuda jingga.
"Rukia..."
Gadis itu menoleh.
"Jika jarak dan waktu selalu memisahkan kita. Jika orang yang kita cintai di masa depan berbeda. Dan jika kematian bukanlah segalanya. Kau dan aku-"
Mereka bertatap muka. Tersenyum,
"Akan selalu ada dalam suatu ikatan yang sama. Maka, tak peduli seberapa banyak hal di dalam kehidupan ini yang berusaha menghalangi kita di masa manapun. Pada akhirnya, kita akan terus terhubung di masa depan dan selanjutnya. Ya, setidaknya kita tidak seperti dandelion itu. Iya 'kan, Rukia?"
Rukia menunduk. Ia tak bisa menahan senyum tipisnya.
"Yah ... "
Ia mengangkat kepalanya, dan...
TUKK!
Rukia memegang keningnya.
"Itte, bakayaro ga !"
"Ayo pulang... "
Rukia menghela nafas. Dan saling melempar senyum. Sampai akhirnya mereka berjalan berdampingan. Mereka memang sama-sama keras kepala. Jadi, ia tetap tidak rela menerima jitakan tadi. Mereka akan terus memaki sampai tidak ada yang tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Begitu terus dalam perjalanan pulang menuju kediaman Kurosaki. Dalam senja yang mulai menua. Dan sang mentari mulai pulang ke peraduan.
Begitu juga dengan ikatan mereka.
Setelah mereka menghilang dari padang ilalang, salah satu serbuk dandelion putih tersenyum.
Sudah ku duga,
Ku bilang juga apa.
OWARI
