A/N: Uwaaa! Disini fic YuutoxMamoru (yang masih belum kelihatan hintnya di chapter ini). Fic ini adalah hasil request dari Megami Tensei-san! XD (maaf lama, Ten-san). Oke, tanpa banyak curhat mari kita lanjut ke ficnya...

Disclaimer: Inazuma Eleven is belong to level-5.

Warning: Gaje, AT, OOC (berat), Shonen-ai nyampur ama friendship, lebay, dll. Don't like? Don't read. Dan bagi yang ngeflame akan saia kasih hadiah special berupa gigitan penguin Yuuto yang rabies! (dihajar Yuuto)

Happy reading, minna...! XD

Letter

Chapter 1

Good Bye for the Next Greet

Yuuto's POV

'Patuhi semua perintahku dan kau takkan pernah merasakan penyesalan!'

Dulu, entah sejak kapan. Aku selalu bergerak dan bertindak atas perintahnya, Kageyama. Menjadi anak angkat keluarga Kidou, belajar dengan tekun, lalu menjadi playmaker Teikoku. Semua itu kujalani, dan memang aku tak merasa menyesal saat itu. Namun aku keliru, duniaku yang sebenarnya bukanlah dalam ruang lingkup google yang kupakai ini. Ternyata ada sebuah dunia lagi, yang lebih lebar dan luar dari jangkauan tangan ini...

'Lain kali kita main sepak bola bersama, ya?'

Sulit bagiku untuk mengakui bahwa ucapannya dulu itu membuat hatiku terasa hangat, namun akhirnya ia menjadi seorang sosok yang kuanggap 'berharga' dalam hidupku ini. Mamoru Endou. Dia adalah kapten tim Inazuma Eleven, dan Inazuma Japan tentunya. Dia adalah orang pertama yang mengajakku untuk melihat dunia luar, dunia yang sesungguhnya.

Aku senang bisa bertemu dengannya dan teman-teman yang lain. Aku telah belajar banyak hal selama dua tahun ini. Tentang persahabatan, sepak bola, juga... Sedikit tentang sebuah perasaan baru.

Cinta...

"Yuuto, dari tadi kok melamun terus?" Aku terkejut katika mendapati sebuah tangan mungil yang melambai-lambai tepat di hadapanku. Refleks, aku melangkah mundur dengan ekspresi terkejut. Lalu kuhela nafasku ketika mendapati Mamoru dan Shuuya yang ketawa-ketiwi karena melihat tingkahku. Oh, tidak. Yang ketawa-ketiwi hanya Mamoru saja. Shuuya hanya tersenyum kecil, menahan tawa. Huh! Sama saja si duo sinting ini...

"Kau bikin kaget saja..." Aku membuang muka dari kedua sahabatku yang 'manis-manis' ini. Mamoru hanya tertawa sambil memohon maaf padaku. Dan tentunya aku akan memaafkan anak berambut cokelat bertanduk ini. Kemudian kami tertawa bersama. Oh, minus Shuuya yang lagi-lagi cuma bisa tersenyum. Dasar rambut bawang berwajah stoic...!

Hening, kami bertiga kembali berjalan tanpa suara. Menuju kemana? Tentu saja ke SMP Raimon! Bisu sekali, tumben. Kulirik Mamoru yang biasanya selalu mendahului topik pembicaraan. Ia hanya menatap lurus sambil berjalan. Tunggu, setelah kuamati... Sepertinya anak ini tambah pendek saja? Atau aku yang tingginya makin pesat? Mataku yang tertutupi google berganti mengamati sosok yang berjalan di sebelah kanan Mamoru, Shuuya. Rasanya tinggi Mamoru juga kalah jauh bila dibandingkan dengan Shuuya?

"Mamoru... Kau tambah pendek ya?" Tak kusangka, ternyata Shuuya sudah terlebih dahulu menyuarakan isi hatiku dengan polosnya. Dahi Mamoru langsung berkedut, alisnya berkerut. Tentu saja sangat menyebalkan bila dibilang 'pendek' secara terang-terangan seperti itu!

"Be-ri-siiiik! Kamu yang terlalu cepat tinggi, tahu! Masa' selama dua tahun nambahnya sampai 10 cm?" Mamoru mulai mencekik dan mengguncang-guncangkan jasad(?) naas Shuuya dengan ganasnya. Sementara yang tercekik? Oh, dia lebih hebat lagi. Ekspresinya masih datar-datar saja meski 'diobrak-abrik' sampai seperti itu.

"Bukan cuma aku, Yuuto juga kan tingginya kira-kira sama denganku?" Sanggah Shuuya dengan coolnya. Bagus, Shuuya. kau melimpahkan kesalahan padaku juga!

"Eh? Benar nih? Yuuto, coba kesini sebentar..." Mamoru merapatkan tubuhnya dengan tubuhku, bermaksud membandingkan tinggi badan kami. Uh, jarak diantara kami nyaris 0 senti, membuatku sedikit merasa canggung. Aku berusaha mengalihkan pandangan mataku darinya tanpa memalingkan wajah (untung saja aku pakai google).

"Wah... Yuuto juga tambah tinggi!" Ucap Mamoru dengan nada antusias. Aneh, tadi waktu ia menyadari Shuuya lebih tinggi darinya ia marah. Namun kenapa saat padaku ia malah terlihat senang? Dasar labil. (plaak!)

"Ah, cuma bertambah 8 senti kok." Jawabku dengan ekspresi datar, sambil berusaha membuang jauh-jauh debaran jantungku saat tadi. Mamoru langsung memasang ekspresi horror. Dari ekspresinya terlihat jelas seolah ia akan berkata, 'Tambah segitu masih kau bilang cuma?'.

"Uuh! Masa' aku kalah tinggi dari kalian sih?" Mamoru menggembungkan pipinya, mulai deh anak ini merajuk. Yah, aku sendiri tak tega untuk membiarkan Mamoru terus-terusan berwajah sebal begitu. Kurasa aku harus mengatakan sesuatu seperti...

"Jangan khawatir, nanti juga tambah tinggi kok." Keduluan oleh Shuuya, lagi-lagi. jadilah aku yang sudah siap-siap ceramah(?) langsung bercengo ria. Hanya terpaku sambil menatap Shuuya yang menepuk pelan kepala Mamoru. Dalam sekejap, pria berambut cokelat lembut itu terseyum kembali. Shuuya membalas senyuman manis itu dengan senyum lembutnya. Jarang sekali dia tersenyum seperti itu, dan yang kutahu senyuman itu hanya pernah ia berikan untuk Mamoru. Mereka berdua kelihatan senang sekali.

Ah, aku... iri.

Ya, aku iri. Tadi aku sudah punya inisiatif untuk menyemangati Mamoru, namun akhirnya malah keduluan oleh Shuuya. Bukan hanya saat ini. Sejak dulu selalu begini. Shuuya selalu memahami Mamoru, dan selalu dapat menanggapi Mamoru dengan cepat dan efektif. Bahkan responnya lebih cepat dariku. Padahal aku juga sudah memiliki berbagai inisiatif! Tidak adil. Rasanya aku ingin juga sekali-kali merajuk agar dapat 'memonopoli' Mamoru untukku saja. Tapi...

Mereka tersenyum. Bahagia sekali. Tanpa sadar aku juga ikut tersenyum ketika melihat ekspresi dari dua sahabatku itu. Memang tak bisa, mereka adalah orang yang membawaku menuju cahaya matahari. Karena itu aku juga ingin membahagiakan dua insan tersebut...

Meski aku harus menanggung rasa perih di hati ini,

Ingin bersama, selamanya...

Aku yakin bahwa Mamoru dan Shuuya punya harapan yang sama denganku. Mungkin...

Atau tidak?

"Hei... Aku senang sekali... Bisa terus bersama kalian selama dua tahun ini. Terima kasih..." Ucapan Mamoru membuat mataku dan mata Shuuya terbelalak. Jarang-jarang anak ini mengucap terima kasih dengan gamblang seperti ini.

"Eh? Ah, iya..." Aku membalas ucapan itu dengan gelagapan, malu sekali rasanya. Mungkin wajahku saat ini terlihat semerah tomat.

"Hn... Aku juga senang bisa berteman dengan kalian." Nyaris saja mataku dan Mamoru keluar dari sarangnya saking terkejutnya kami. Shuuya... Seorang Shuuya Goenji mengucapkan hal 'semanis' tadi? (perasaan itu cuma ucapan biasa deh)

"Aah! Shuuya, ulangi sekali lagi!" Teriak Mamoru dengan lebaynya sambil mengguncang-guncangkan bahu Shuuya. Sedangkan sang pria berambut bawang tetap memasang ekspresi polos seolah tak tahu apa-apa. Akhirnya Mamoru menyerah, tapi aku yakin bahwa dia sangat senang ketika mendengar balasan Shuuya tadi. Itu semua terlihat dari rona di pipinya. Merah muda, manis sekali. Bibirnya tersenyum kecil, tidak selebar biasanya memang. Tapi hal itu justru menunjukkan rasa bahagianya.

"...Kalau sudah dewasa nanti, apa kita bisa terus bersama seperti ini ya?" Aku bergumam pelan. Tiada satupun dari Mamoru dan Shuuya yang menyadari pertanyaanku ini. Yah, biarlah. Aku sendiri hanya ingin bisikanku tadi didengar oleh angin...

Sayangnya aku di saat ini masih belum mengetahui takdir yang akan menghampiri kami...

"Yuuto, SMA nanti kau tetap di Raimon, kan?" Pertanyaan Mamoru hanya kujawab dengan anggukan singkat disertai senyuman lembut. Sang ex-kapten Inazuma Japan ini tersenyum riang sambil bersorak ketika berhasil menafsirkan makna dari anggukanku. Dengan senyum penuh keceriaan, ia ber-yes ria. Lalu menolehkan wajahnya ke arah Shuuya, mengulangi pertanyaan yang sama.

"Shuuya juga. SMA nanti pasti masuk ke SMA Raimon kan?" Anehnya, sang striker hanya membisu dan mengalihkan pandangannya. Kedua matanya berpapasan denganku sejenak, raut wajah itu terlihat penuh rasa bersalah.

"...Shuuya?" Mamoru hanya menatap kosong pada sosok yang ada di hadapannya. Shuuya terdiam sesaat, sampai akhirnya menghela nafas perlahan dan kembali menatap kami lurus-lurus.

"Sebenarnya... Saat SMA nanti aku akan sekolah ke luar negeri." Aku dan Mamoru terkejut. Bagaimana bisa ia tak mengatakan hal sepenting ini sejak awal?

"Bohong..." Mamoru menatap sedih ke arah Shuuya. di mata coklatnya tergenang kumpulan air bening yang bisa mengalir keluar sewaktu-waktu. Shuuya hanya terdiam sambil menunjukkan ekspresi sakit saat melihat wajah sedih Mamoru. Sementara aku? Aku hanya bisa mematung sambil bolak-balik menatap dua sahabat terbaikku ini. Oh, baiklah. Sepertinya sesion drama Inazuma akan dimulai dari adegan ini.

"Maaf. Ayahku ingin supaya aku sekolah di luar negeri, agar bisa menjadi dokter yang hebat nantinya..." Mamoru tertunduk ketika mendengar penuturan Shuuya. Aku mengerti, Shuuya sangatlah patuh pada Ayahnya. Dan ia juga memang bercita-cita menjadi seorang dokter. Tapi Mamoru? Sepertinya ia takkan bisa menerima berita ini.

"Mamoru..." Shuuya berjalan maju mendekati Mamoru yang tengah tertunduk. Diusapnya pelan kepala sahabatku yang hyper aktif itu. Terus begitu, sampai akhirnya Mamoru mengangkat kepala dan menepis tangan Shuuya secara tiba-tiba.

"Tidak adil... Aku benci pada Shuuya!" Mamoru berlari kencang setelah melempar tasnya dengan telak ke arah Shuuya. Sayangnya, tas tadi berhasil ditangkap duluan oleh Shuuya sebelum menghantam wajahnya. Aku dan Shuuya sweatdrop, memandang sosok Mamoru yang keburu ngacir terlebih dahulu ke sekolah kami. Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk mengejarnya, namun Shuuya menahanku.

"Jangan. Kalau dikejar sekarang, anak itu malah makin merajuk nantinya." Benar juga, Mamoru memang selalu begitu. Yah, mau tak mau aku harus membenarkan dan menuruti saran Shuuya.

"Dasar Mamoru, bawaanku jadi bertambah dua kali lipat karena ketambahan tasnya." Gumam Shuuya sambil memanggul tas milik Mamoru. Menggerutu, tapi tetap saja akhirnya ia membawa tas milik kapten kami. Kemudian Shuuya kembali berjalan santai, dan secara otomatis aku mulai mengikuti langkahnya.

Kulirik wajah Shuuya dari arah samping. Hell, raut wajahnya saat ini benar-benar santai dan tanpa dosa. Padahal tadi Mamoru hampir saja akan menangis. Oh, God. Apa anak ini sudah tak punya hati sampai membiarkan malaikat(?) semanis Mamoru berwajah sedih seperti tadi? Oh, baiklah. Sepertinya aku mulai lebay karena pengaruh author yang mengetik cerita ini.

"Aku bukannya sama sekali tak merasa bersalah..." Seolah dapat memahami isi hatiku, Shuuya mulai membuka mulutnya dan bicara sambil tetap berjalan lurus ke depan. Aku terhenyak sesaat ketika mendengarkan ucapannya. Dipikir-pikir, tentu saja. Tentu saja Shuuya takkan melukai Mamoru tanpa merasa bersalah sedikitpun. Dan aku yakin kalaupun begitu adanya, pasti ada sebuah alasan...

"Aku ingin menjadi kuat untuk melindungi orang-orang yang kusayangi. Dan aku menyadari bahwa pandai bermain sepak bola bukanlah segalanya untuk melindungi orang yang kusayangi." Kepalanya sedikit tertunduk. Sepertinya ia sedang membicarakan soal adiknya yang dulu pernah koma karena tindakan... 'Orang itu'.

"Karena itu, aku ingin menjadi dokter. Supaya aku bisa melindungi kalian semua. Dan... Agar situasi yang seperti itu takkan pernah terjadi lagi di depan mataku." Hening, aku tak membalas ucapannya. Ia sendiri juga terdiam setelahnya, tak berniat menanyakan apapun soal pendapatku. Sedikit banyak aku merasa bersalah. Luka karena melihat adiknya koma atas kecelakaan dulu masih membekas dalam di hati Shuuya. Dan yang membuat Yuka sampai kecelakaa dan koma adalah.. Kageyama. Ya, kejadian itu memang sengaja diatur oleh Kageyama. Orang yang dulunya kuanggap sebagai 'ayah'. Namun ternyata ia orang yang keji...

"Maaf..." Shuuya menatapku dengan ekspresi cengo ketika mendengar permintaan maafku. Oh geez, flame striker yang satu ini sebenarnya terbilang anak yang cerdas, namun kadang ia menjadi lemot dan bego. Bahkan melebihi Mamoru kalau sudah terlanjur mengalami korslet di otaknya.

"Kau tidak sedang dalam keadaan labil kan, Yuuto?" Cih, sekali berkata makna penghinaannya dalam sekali! Dasar bawang putih stoic! Hm, tapi aku yakin kalau ia sama sekali tak bermaksud mengejekku. Itu semua terlihat dari raut wajahnya yang terlihat bingung.

"Tentu saja tidak, baka...!" Kuhela nafasku sambil tetap berusaha untuk sabar menghadapi si rambut bawang yang satu ini.

"Lalu, kenapa pakai minta maaf padaku tanpa ada alasan begitu?" Tentu saja aku minta maaf padamu karena ada alasannya! Kau ini bagaimana sih? Kenapa bisa menjadi tidak peka banget begini? Padahal biasanya Shuuya itu sangat peka soal rahasia(?) permasalahan orang lain.

"Geez, lupakan...! Sebaiknya nanti kau bicara lagi pada Mamoru." Shuuya sedikit menundukkan kepalanya ketika mendengarku menyebut nama 'Mamoru'. Aku terdiam sambil tetap menatap lurus pada wajahnya. Shuuya yang segera sadar ketika aku menatapnya hanya tersenyum pasrah sambil menghela nafas. Kurang lebih sih, maksudnya supaya aku tak mengkhawatirkan soal ini. Yah, toh aku yakin bahwa nantinya Mamoru akan memaafkan Shuuya.

Itu pasti. Iya kan, Mamoru?

SMA Raimon

'Sraak' Pintu geser di kelas kami bergeser pelan, dibuka oleh Shuuya. setelah itu tiada sebuah suarapun yang membangkitkan indra pendengar kami. Kupandangi seisi kelas, tiada orang sama sekali. Ralat! Ada seorang yang sedang duduk di bangku murid, dengan posisi kepala yang terbenam dalam kedua tangannya. Siapa lagi kalau bukan Mamoru? Sepertinya ia terlihat sangat frustasi. Bahkaan sekedar menoleh untuk melihat kami saja ia enggan.

Shuuya mengambil tempat duduk tepat di sebelah Mamoru. Diletakkannya tas milik Mamoru di bangku milik sang kapten yang terkulai di atas meja. Kemudian Shuuya duduk tenang di sebelah Mamoru yang tengah ngambek dengan ekspresi luar biasa tanpa dosa banget. Beberapa menit berjalan dan Shuuya mulai melirik ke arah Mamoru, dengan tatapan yang sangat intens. Membuat siapapun yang dipandang seperti itu akan merasa merinding.

"Jangan melihatku dengan tatapan memelas seperti itu...!" Ucap Mamoru dalam keadaan masih membenamkan kepalanya. Dari mana ia menyimpulkan bahwa ekspresi stoic tadi itu ekspresi memelas? Sayangnya, aku harus mengakui kebenaran ucapan Mamoru ketika kulihat Shuuya yang tertunduk dengan pandangan meredup. Tanda bila ia membenarkan pernyataan Mamoru secara tidak langsung.

"..." Shuuya terdiam, kemudian mengelus rambut lembut Mamoru. Arrgh! Hal-yang-sangat-bikin-ngiri! Oh baiklah, toh aku ini hanya figuran(?) di dunia ini. Aku tak berhak protes pada adegan itu. (Salah Yuuto, kau itu peran utamanya!)

"Maaf..." Ucap Shuuya dengan nada bicara yang sangat rendah. Mamoru tak menggubris ucapan itu, namun ia tetap membiarkan Shuuya mengelus rambutnya. Ia terlihat merasa nyaman. Mungkin, karena aku tak dapat melihat raut wajah Mamoru dari bangkuku.

"Baka. Shuuya selalu saja menyimpan semua hal sendirian... Kau tak pernah banyak berbagi padaku tahu!" Omel Mamoru sambil tetap menyembunyikan kepalanya. Suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia... Menangis?

"Aku memang tak banyak berbagi denganmu, tapi... itu karena aku telah menitipkan semua hal yang kubawa pada dirimu." Shuuya menatap Mamoru dengan senyuman lembut. Mamoru langsung mengangkat wajahnya yang tadi terbenam, saking terkejutnya. Shuuya menghela nafas singkat ketika melihat tetesan air mata yang tersisa di wajah Mamoru. Diusapnya air mata bening Mamoru sampai bersih, lalu Shuuya kembali menepuk kepala Mamoru.

"Suatu saat nanti, aku pasti pulang. Saat itu, berjanjilah untuk bermain sepak bola lagi bersamaku... Bersama yang lainnya juga." Shuuya menngangkat kelingkingnya untuk meminta sebuah tanda janji dari Mamoru. Ia melirikku, mengisyaratkan padaku untuk ikut mendekat. Dengan enggan Mamoru menyambut kelingking itu, lalu aku menyertakan tanganku di atas jalinan kelingking mereka berdua.

"Nah, dengan begini... Kita bertiga harus menepati janji yang dibuat Shuuya! Kalau sampai Shuuya melanggar janji, maka... Hidupnya takkan pernah bahagia. Takkan pernah, takkan pernah, takkan pernah, takkan per...!" Kutukan(?) Mamoru terputus ketika ia dikejutkan dengan sebuah tangan yang meraih dirinya, Shuuya. Sang flame striker itu menggeser headband Mamoru sedikit ke atas, kemudian mencium dahinya. Mencium... dahi Mamoru? What the...!

"WAAAAA!" Mamoru berteriak dengan lantang sambil memegangi dahinya yang tadi dicium Shuuya. wajahnya merona sangat merah saking malunya. Sementara aku? Oh, tentu saja aku hanya terpaku sambil sweatdrop atas kejadian yang sangat high-speed(?) barusan. Disertai dengan usaha kuatku untuk menahan aura-aura pembunuhku yang membentuk siluet penguin.

"Apa yang—"

"Tidak boleh?" Shuuya langsung memotong teriakan Mamoru dengan sebuah pertanyaan klise. Kulihat Mamoru yang makin memerah ketika pertanyaan Shuuya berhasil ia cerna dalam otaknya. Shuuya menyeringai jahil ketika melihat rona merah itu.

"Mamoru payah..."

Dan hari ini akhirnya kami lalui seperti biasanya, mengesampingkan soal kepindahan Shuuya.

1 Bulan Kemudian...

Aku dan adik semata wayangku, Haruna pergi menuju sebuah bandara terbesar di kota Inazuma. Bunyi mesin pesawat yang terbang mengiringi langkah kami berdua. Setelah tiba di dalam bandara, Haruna mencari-cari sebuah gerombolan yang ternyata sudah menyadari kehadiran kami. Langsung saja aku mengikuti adikku kesana. Menuju tempat di mana teman-temanku berkumpul dengan imut(?)nya.

"Yo, Yuuto! Tumben kau telat." Sesosok berambut merah yang dilengkapi dengan style Tulip di atas rambutnya menyapaku. Dia Haruya Nagumo. Kulihat di sebelahnya ada Fuusuke Suzuno yang sedang asyik ngemil cokelat. Dia memang banyak makan. Tapi aku heran mengenai bobot tubuhnya yang tidak berbuah banyak meski ia telah menghabiskan cokelat sebanyak satu ton.

Eh? Benar juga. Aku lupa bilang bahwa setelah FFI berlangsung, banyak siswa-siswi baik dari Inazuma Caravan, Inazuma Japan, atau tim luar negeri yang entah kenapa berbondong-bondong pindah kesini. Dasar makhluk-makhluk aneh...

"Sepertinya semua sudah lengkap. Tapi masih tinggal seorang lagi..." Ucap Shirou Fubuki dengan nada cemas. Oh, tentu saja Shirou ikut pindah ke Raimon kelas tiga ini. Karena apa lagi kalau bukan gara-gara ingin dekat dengan Ryuugo.

"Itu tak jadi masalah. Paling-paling dia telat bangun hari ini." Jawab Shuuya dengan senyuman geli. Ia terlihat memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru-merah yang serasi dengan celana jeansnya. Tak lupa aku menatap pada belasan gadis yang langsung tepar dan nosebleed saat melihat Shuuya. God, apa kharismanya itu tak bisa sedikit ditekan? Kasihan kan cleaning service yang nantinya harus membersihkan ceceran darah dari hidung para FGnya?

"Enak saja!" Tiba-tiba Mamoru muncul dari belakang Shuuya, membuatku dan yang lainnya terkejut setengah mati. Bukan kaget karena kemunculan Mamoru, hanya saja ekspresinya itu... Seram sekali.

"Kau datang...?" Wajah Shuuya menunjukkan ekspresi terkejut, tapi wajahnya sedikit merona. Kelihatannya ia sangat senang karena Mamoru ikut hadir saat ini. Sedikit saja orang yang menyadari, misalnya seperti Terumi Afuro yang senyum-senyum sendiri di belakang sana dan juga aku. Aku tersenyum sedih ketika melihat mereka berdua yang asyik berbincang dalam dunia yang serasa milik berdua itu. Ah, lagi-lagi aku cemburu. Tapi kenapa aku malah tersenyum di tengah kecemburuanku ini? Mungkin aku sudah gila ya?

"Jaga kesehatanmu ya, di luar sana pasti banyak penyakit. Sampai di sana nanti kau harus segera kirim surat! Lalu, kalau liburan kau harus pulang ke sini sekali-sekali. Dan juga... Jangan lupakan... aku." Mamoru yang tadinya menasehati Shuuya panjang lebar menunjukkan ekspresi sedih ketika mengucapkan kalimat terakhirnya. Shuuya terbelalak, menatap Mamoru dengan tatapan tak percaya. Yang ditatap kemudian menjadi salah tingkah dan memalingkan wajahnya dari Shuuya. Hening sesaat, sampai akhirnya Shuuya tersenyum lembut dan mengangkat dagu Mamoru. Kini tatapan mereka berdua kembali bertemu.

"Takkan lupa... Aku janji." Shuuya mengecup dahi Mamoru dengan penuh... ehem, rasa cinta (wooi! Ini YuuxMamo atau ShuuxMamo?). Aku mengerutkan alisku. Kepalaku terasa panas saat melihat adegan romantis dua sahabatku itu. Mana kami semua ada di depan umum lagi!

Wajah Mamoru merah padam, ia tak tahu harus berkata apa. Sementara Shuuya yang baru sadar diri ikut merona. Sepertinya dirinya sendiri juga tak percaya atas tindakan yang baru ia lakukan. Sedikit asap mengepul keluar dari kepala dua insan tersebut. Shuuya membuang muka sambil menutup mulutnya, sedangkan Mamoru ternganga dengan wajah bak kepitin rebus. How cute. Sayangnya aku merasa 'kurang senang' dengan wajah-wajah kiyut mereka saat ini.

Aku... Cemburu.

Ah, masa' sih? Sepertinya aku hanya agak bad mood hari ini.

"Ng... Kurasa aku harus pergi sekarang." Ucap Shuuya dengan canggung seraya menunjuk ke arah pesawat yang akan segera lepas landas. Mamoru yang tadinya berblushing ria kini menampakkan ekspresi sedih. Aku menghela nafas, demikian pula teman-teman yang lain. Kurasa mereka semua tak tega melihat wajah sang ex-kapten Inazuma japan yang murung ini. Aku pun begitu.

Shuuya tersenyum maklum lalu membelai lembut kepala Mamoru, untuk terakhir kalinya. Kemudian ia berjalan ke arahku, membisikkan sesuatu...

"Jagalah Mamoru." Heh? Hah? Menjaga Mamoru? Aku?

"Janji, ya?" Pertama kalinya kutahu ekspresi Shuuya yang tersenyum manis begini. Hell, aku jadi makin linglung. Dengan bodohnya aku mengangguk-angguk tak jelas. Kurasa ekspresiku saat ini sungguh konyol. Namun teman-temanku tetap hening. Tentu saja, bisa mati mereka kalau sampai berani mentertawakan aku! Oh tunggu, sepertinya di sini ada seorang yang berani tertawa cekikikan atas tingkahku, Yuuya. Sigh, biar kuhajar bocah itu nanti...!

"I, iya." Aku mengiyakan permintaan Shuuya dengan canggungnya. Yang lain hanya memiringkan kepala, mereka tak dapat mendengar percakapan kami barusan. Dan yang paling kelihatan penasaran adalah Mamoru sendiri.

Setelahnya, Shuuya pergi meninggalkan kami semua. Mamoru hanya terdiam, terus menatap punggung Shuuya dengan ekspresi sedih. Dirinya seolah tak rela saat melepas kepergian sahabatnya. Ah, sepertinya deskripsiku ini terlalu ngaco. Jadinya tambah mirip telenovela.

Entah bagaimana ekspresinya saat hari esok tiba. Apakah dia akan tetap tersenyum seperti biasa meski Shuuya tak ikut mendampinginya? Apakah ia akan terus murung sampai Shuuya kembali kemari? Apakah Mamoru akan tetap merasa sepi meski aku berada di sampingnya?

Sadarilah keberadaanku...

Pahamilah isi hatiku...

Terimalah aku sebagai orang yang selalu bersamamu...

Mungkin segalanya akan berawal dari sini...

To be Continued...

Oh god! Saia pusing! D'X

9 hari ulangan dan akibatnya saia jadi labil akut. Mana rasanya belakangan ini banyak cinta yang bersemi di sekitar lingkungan sekolah lagi, bah! ="=

Uh, jadi curhat. Baiklah minna, ini fic Letter saia yang request-an dari Megami Tensei. Sekali lagi, maaf sekali untuk Ten-san karena saia lama bikinnya. Belakangan ini saia buaaaanyuuaaaak tugas! (plak!)

Btw, habis ini saia liburan sekolah 2 minggu lho! XDD (siapa yang nanya?)

Ah, soal update fic-fic lain juga saia banyak telatnya. Gomenasai... (bungkuk dalam-dalam)

Saia lagi sibuk cari bahan untuk referensi fic DC saia... (Baca: Main game FFT)

Sekarang saia tahu Katana itu yang kayak gimana! XD (jdaaak!)

Ah, banyak curcol takkan membawa banyak rejeki. Nah, yang berkenan silakang review yaak! X3