path and goodbye
warning cliffhanger
note: mohon dibaca sampai ke catatan di paling bawah! :D
Vocaloid © Yamaha. No commercial profit taken.
"Kau akan mengambil tawaran dari Monsieur Leon?"
Hio mengalihkan perhatian dari baju-baju yang siap dikemas dalam koper. Hanya demi menemukan Bruno, temannya sesama seniman di jalanan, berdiri sambil melipat tangan. Pria itu meringis. Baiklah, bagaimana cara Hio menjelaskannya pada Bruno tanpa membuat pria itu salah paham?
Jujur saja, Hio bingung. Dibandingkan dia, Bruno punya tendensi untuk melakukan miskonsepsi lebih besar. Mungkin ini karena Bruno memang dibesarkan oleh gang-gang jalanan. Terlalu banyak tikungan gelap yang berbahaya dan hal ini membuat Bruno kerap kali mengambil konklusinya sendiri—yang, sialnya, lebih sering salah ketimbang betul.
Hio berhenti sebentar. Menimbang-nimbang, lalu memutuskan untuk menjawab dengan kalimat yang lebih Mudah dipahami. Bahwa ini adalah kesempatan bagus, tak boleh dilewatkan.
"Kesempatan bagus." Bruno mengulangi dua kata terakhir Hio. Terdiam sejenak, kemudian mendecakkan lidah. Hio bisa menebak jika pria itu tidak menyukai gagasan yang ia keluarkan.
"Apa kita sedang membicarakan tentang uang di sini, Hio? Baiklah, aku mengerti menjadi Manusia Patung di jalanan kota London tidak akan membuatmu sekaya Bill Si Pintu Gerbang."
Bill Gates, Hio memberi koreksian dalam hati.
"Tapi, ayolah, Hio. Menerima tawaran seorang produser teater untuk bergabung ke sirkus karena uangnya lebih bagus?" Bruno melempar tatapan tidak percaya, kemudian melanjutkan, "Kau melupakan kesenangan jalanan London itu sendiri!"
Hio merapatkan bibirnya hingga membentuk garis tipis, lalu melempar pandangan ke jendela berteralis. Jalanan tampak lengang. Sunyi dan Mungkin saja akan terlihat gelap, kalau saja tidak ada lampu penerang di sana.
Mereka ada di flat Hio kini—sebuah apartemen tua bercat merah yang akan terlihat norak, kalau saja catnya belum mengusam oleh debu dan sedikit menyamarkannya dengan langit London yang selalu terlihat abu-abu.
Helaan napas tak kentara keluar.
Ini bukan soal uang, sungguh. Tapi sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang sudah lama ia impikan.
Hio selalu penasaran dengan apa yang ada di balik lautan, di balik langit London yang kusam, di balik gedung-gedung pencakar modern maupun kastil-kastil tua yang bertengger sejak ratusan tahun.
Ia ingin melihat dunia. Mencicipi bagaimana asinnya embusan angin laut yang ada di balik Pasifik. Merasakan bagaimana terik matahari masuk sampai ke pori-pori di daerah yang lebih kering. Atau, bagaimana rasanya merasakan siang dan malam dalam porsi yang sama banyak di daerah tropis.
Tentu saja, menjadi Manusia Patung di jalanan kota London menyenangkan—hei, ini juga yang menjadi alasan bagi Hio untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang bartender di café ujung jalan. Ada Pak Polisi jangkung yang kerap bertugas di sana sambil sesekali menyebrangkan seorang nenek. Ada turis-turis dari Amerika yang lewat dengan mobil wisata. Ada Bruno yang duduk tak jauh darinya sambil bernyanyi dan memainkan alat musik. Uang yang diterima per harinya memang tidak seberapa, tapi kebebasan yang ditawarkan menjadi alasan Hio memilih jalanan.
Tapi itu dan ini beda cerita.
London, dibandingkan dengan dunia, hanya sebuah kotak. Sebuah kotak kecil yang berwarna abu-abu. Kusam dan monoton dan membosankan. Pun ketika Musim semi datang, abu-abunya tidak pernah hilang.
Maka, ketika seorang pria bersetelan rapi datang, bicara pada Hio dengan bahasa Inggris bercampur aksen Perancis yang kental dan meninggalkan secarik kartu nama setelahnya, Hio tahu jika ini kesempatan hebat.
"Kami tidak menyelenggarakan sirkus di satu tempat. Kami berpindah-pindah. Benua satu ke benua lain." Begitu gambaran singkat yang Leon berikan padanya.
Bisakah kau bayangkan itu? Hio mendapat kesempatan berkeliling dunia. Lebih hebatnya, dia tetap bisa menjadi Manusia Patung. Takdir seperti datang menjemputnya.
Pastilah ini tiket emas. Hio mendadak merasa diberi kesempatan jadi Alice dan, jackpot-nya, ia tidak perlu mengejar-ngejar kelinci putih kesana-kemari.
"Kalau begitu, ini artinya selamat tinggal."
Hio tidak menjawab apa pun saat Bruno mengatakan ini. Dia bahkan tidak melakukan apa-apa saat Bruno menolak mengantarnya keluar.
Pria itu hanya bisa mendesah sedih melihat apartemen tua yang telah sepuluh tahun terakhir ditinggalinya untuk terakhir kali, sebelum masuk ke dalam sebuah sedan hitam. Jemputan dari Leon.
Yeah, selamat tinggal….
Note
Halo!
Selamat datang di projek antologi kami yang ketiga: Anonymous. Sebelumnya, terima kasih atas partisipasi serta dukungannya sehingga kami bisa melanjutkan project antologi ini hingga sekarang.
Singkat kata, ini adalah projek ketika kami. Dan, bisa dibilang, projek ini agak berbeda dari dua antologi sebelumnya. Kenapa? Karena kali ini kami akan mengajak kalian untuk menerka-nerka. Yep. Semua entri yang masuk di sini tidak ada nama pengarangnya. Dan kalian, para readers, bisa menerka-nerka siapakah yang menulis cerita tersebut. Ini seperti main petak umpet. Siapa tahu, ada pengarang favorit kalian yang ikutan dan kalian kenal melalui gaya bahasanya, kan? ;)
Cara untuk berpartisipasinya gampang. Kamu cukup mereview cerita yang ingin kamu tebak. Jangan lupa, sertakan alasannya kenapa kamu berpikir bahwa orang yang menulis cerita tsb adalah orang tebakanmu. Hehe, seru kan~
Ingat loh, ini cuma sekedar ajang senang-senang dan bukannya cari tenar XD
Nah, untuk mempermudah, berikut adalah list para author yang ceritanya akan jadi bahan tebak-tebakan #HEH
Sae Kiyomi, panda dayo, Lily Kotegawa, chounojou, donat enak, akanemori, SarahAmalia, shintarou arisa-chan, Himeko Akari, kindovvf, dan aruunee
Cerita mereka akan dipublikasi besok, setelah itu kalian sudah mulai bisa nebak-nebak, lho! Yeeeey! /o/
p.s chapter ini nggak usah ditebak yah hahaha
salam,
penyelenggara
