Remake dari Abbi Glines "Never Too Far"

Alur cerita sama dengan novel asli, hanya pemilihan kata, setting disesuaikan dengan konsep boyXboy.

Threequel dari Prequel: "The Virgin And The Playboy" dan Sequel: "When Us Fall Too Far".

OOC !Uke:Yoongi !Seme: Jimin

MinYoon

Yoongi POV

Jimin POV

Rate M!

Romance, Drama, Fluff

Yaoi, boyXboy

DON'T LIKE DON'T READ!


Chapter 1

JIMIN POV

Tiga belas tahun yang lalu…

Ada ketukan di pintu kemudian seretan langkah kaki. Dadaku terasa nyeri. Ibu telah meneleponku saat mereka dalam perjalanan pulang dan mengatakan padaku apa yang telah ia lakukan dan sekarang ia ingin pergi keluar untuk minum koktail bersama teman-temannya. Aku menjadi satu-satunya orang yang harus menenangkan Taehyung. Ibuku tidak bisa mengatasinya jika melibatkan stres. Atau begitulah seperti yang ia katakan saat meneleponku.

"Jimin?"

Suara Taehyung yang tersedu. Dia menangis.

"Aku ada di sini, Tae," kataku saat aku berdiri dari sofa kecil yang kududuki di sudut ruangan.

Ini adalah tempat persembunyianku. Di rumah ini kalian perlu tempat untuk bersembunyi. Jika kalian tidak memilikinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Helaian rambut cokelat Taehyung melekat di wajahnya yang basah. Bibir bawahnya gemetar saat ia menatapku dengan pandangan sedihnya.

Aku hampir tidak pernah melihat matanya bahagia. Ibuku hanya memberinya perhatian ketika Taehyung perlu baju baru dan menunjukkannya pada orang lain. Selain dari waktu itu Taehyung diabaikan. Kecuali olehku. Aku melakukan yang terbaik untuk membuat ia merasa diinginkan.

"Aku tidak melihatnya. Dia tidak ada di sana," dia berbisik saat sebuah isakan kecil terlepas.

Aku tidak perlu bertanya siapa "dia". Ibu lelah mendengar Taehyung yang terus bertanya tentang ayahnya. Jadi dia memutuskan untuk membawa Taehyung menemui ayahnya. Kuharap Taehyung mengatakannya padaku. Kuharap aku bisa ikut pergi. Tatapan terluka di wajah Taehyung membuat tanganku mengepal. Jika aku bisa bertemu pria itu aku ingin memukul hidungnya. Aku ingin melihatnya berdarah.

"Kemarilah," kataku, meraih tangannya dan menarik adikku ke dalam pelukanku.

Dia membungkus erat pinggangku dan memelukku erat. Saat seperti ini membuatku sulit bernafas. Aku tidak suka kehidupan yang telah ia jalani. Setidaknya aku tahu ayahku menginginkanku. Dia meluangkan waktunya bersamaku.

"Dia punya anak cowok lain. Mereka kembar. Dan mereka… tampan dan manis. Rambut mereka seperti rambut malaikat. Dan mereka memiliki ibu yang membiarkan mereka bermain di lumpur. Mereka memakai sepatu tenis. Sepatu yang kotor."

Taehyung iri pada sepatu tenis yang kotor. Ibu kami tidak akan membiarkannya berpenampilan tidak sempurna sepanjang waktu. Dia tidak pernah memiliki sepasang sepatu tenis.

"Mereka tidak mungkin lebih tampan darimu," aku meyakinkan Taehyung

karena aku sangat mempercayainya.

Taehyung tersedu dan kemudian menarik dirinya. Kepalanya terangkat dan mata besarnya menatapku.

"Mereka tampan. Aku melihat mereka. Aku bisa melihat foto di dinding kedua cowok itu dan bersama seorang pria. Dia menyayangi mereka… Dia tidak menyayangiku."

Aku tidak bisa berbohong padanya. Taehyung benar. Dia tidak menyayanginya.

"Dia orang bodoh. Kau memilikiku, Tae. Kau selalu memilikiku, Jimin Hyung-mu."

.

.

.

YOONGI POV

Saat ini…

Lima belas km di luar kota ternyata sudah cukup jauh. Tidak ada seorang pun yang pergi sejauh ini dari Daegu hanya untuk pergi ke apotik. Kecuali, tentu saja kalau mereka seorang pria berusia 23 tahun yang khawatir terjadi sesuatu pada dirinya dan sedang memerlukan sesuatu yang tidak ingin warga kota mengetahui apa yang dia beli. Sesuatu yang di beli di apotik lokal akan tersebar ke seluruh kota kecil Daegu dalam beberapa jam. Terutama jika kau belum menikah dan membeli kondom… atau alat tes kehamilan.

Aku meletakkan alat tes kehamilan di atas meja dan tidak menatap pada kasir. Aku tidak bisa. Rasa takut dan bersalah di mataku adalah sesuatu yang tidak ingin kubagi dengan orang asing. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa kukatakan pada siapapun, bahkan pada Zhoumi. Dan Jimin.

Jimin keluar dari kehidupanku sejak tiga minggu lalu dan aku perlahan-lahan kembali ke rutinitasku dulu dengan menghabiskan waktu bersama Zhoumi. Ini mudah. Dia tidak menekanku untuk berbicara tapi ketika aku membicarakannya dia mendengarkan.

"Tujuh belas ribu won," wanita di samping meja kasir berkata dengan nada prihatin.

Tidak mengejutkan. Ini adalah sesuatu yang memalukan bagi seorang pria. Apalagi pakaianku yang hanya menggunakan kaos oblong dan celana jeans robek tentu menjelaskan aku bukanlah seorang pria yang sudah menikah.

Aku memberinya dua puluh ribu won tanpa mengangkat mataku dari kantong kecil yang ia letakkan di depanku. Kantong itu menyimpan satu jawaban yang kubutuhkan dan itu membuatku takut. Mengabaikan fakta bahwa dua minggu terakhir aku merasa tidak enak badan, mual, dan yang paling mengejutkan aku menemukan bercak darah di ranjangku dua hari yang lalu.

Membuatku tak kuasa mengingat apa yang ibuku pernah katakan kepadaku dan Suga sewaktu mereka masih hidup bersamaku. Ayah sedang bekerja saat itu. Kami sering mengobrol bertiga dan tiba-tiba saja percakapan itu terjadi.

"Yoongi, kamu adalah seorang pria yang spesial. Jaga dirimu baik-baik. Suga, kau harus menjaga hyung-mu dengan baik, dia berbeda denganmu dan pria kebanyakan. Di dalam dirinya terdapat sebuah titipan Tuhan. Kami mengetahuinya ketika kalian melakukan cek medis bulan lalu. Ini bukan hal yang memalukan, ini adalah sebuah hadiah kecil dari-Nya."

Ya, ibuku menjelaskan kepadaku bahwa aku memiliki seonggok rahim didalam diriku. Hal yang tidak begitu kupikirkan, saat itu. Aku juga menganggap hal seperti ini tidak terjadi dengan mudah. Tapi aku harus tahu.

"Kembalianmu tiga ribu won," katanya saat aku meraih dan mengambil uang itu dari tangannya yang terulur.

"Terima kasih," gumamku dan mengambil kantongnya.

"Kuharap semuanya baik-baik saja," kata wanita itu dengan suara lembut.

Aku mengangkat mataku dan bertemu sepasang mata coklat penuh simpati. Dia orang asing yang tidak akan pernah kulihat lagi tapi saat ini sangat membantu jika ada orang lain yang kukenal. Aku tidak merasa begitu kesepian.

"Aku juga," aku menjawab sebelum berbalik dan berjalan menuju pintu dan kembali ke matahari musim panas yang menyengat.

Aku mengambil dua langkah menuju tempat parkir ketika mataku menatap pada sisi kemudi mobilku. Zhoumi bersandar di sana dengan lengan bersedekap. Topi abu-abu yang ia pakai ditarik kebawah menutupi dengan rendah tatapan matanya dariku. Aku berhenti dan menatapnya. Tidak ada kebohongan tentang ini. Dia tahu aku tidak ke sini untuk membeli kondom. Ada satu kesimpulan lain. Meskipun tak mampu melihat ekspresi matanya aku tahu… kalau dia tahu.

Aku menelan gumpalan di tenggorokanku yang sudah kutahan sejak aku mengendarai mobil pagi ini dan pergi ke luar kota. Sekarang bukan hanya aku dan orang asing di balik meja yang tahu. Sahabat baikku juga tahu. Aku memaksakan diriku untuk melangkah mendekat. Dia akan bertanya sesuatu dan aku akan menjawab. Setelah beberapa minggu berlalu dia layak mendapatkan jawaban. Dia layak tahu yang sebenarnya. Tapi bagaimana aku menjelaskan ini?

Aku berhenti hanya beberapa kaki di depannya. Aku senang bahwa topi yang dia pakai menutupi wajahnya. Akan lebih mudah untuk menjelaskan jika aku tidak bisa melihat apa yang dia pikirkan melalui matanya. Kami berdiri dalam keheningan. Aku ingin dia bicara terlebih dulu tapi setelah beberapa menit dia tidak mengatakan apapun sehingga aku tahu dia ingin aku bicara lebih dulu.

"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" Aku akhirnya bertanya.

"Kau tinggal di rumah Wang halmeonni, dia nenekku. Saat kau pergi dengan bersikap aneh, Halmeonni meneleponku. Aku khawatir padamu," jawabnya.

Air mata menggantung di mataku. Aku tidak boleh menangis tentang hal ini. Aku akan menangisi semua yang ingin kutangisi. Menggenggam tas yang berisi tes kehamilan lebih erat aku meluruskan pundakku.

"Kau mengikutiku," kataku.

Ini bukanlah pertanyaan.

"Tentu saja," jawabnya, kemudian menggelengkan kepalanya dan mengalihkan tatapannya dariku dan beralih pada hal lain.

"Apakah kau akan mengatakannya padaku, Min Yoongi?"

Apakah aku akan mengatakan padanya? Aku tak tahu. Aku tidak berpikir sejauh itu.

"Aku tidak yakin ada yang harus kukatakan." Jawabku jujur.

Zhoumi menggelengkan kepalanya dan mengeluarkan tawa kecil yang sama sekali tidak terdengar lucu,

"Tidak yakin, hah? Kau datang ke sini karena tidak yakin?"

Dia marah. Atau apakah dia terluka? Dia tidak punya alasan untuk keduanya.

"Sampai aku memakai tes ini aku tidak yakin. Aku merasa 'sakit'. Itu saja. Tidak ada alasan aku harus mengatakan padamu tentang ini. Ini bukan urusanmu."

Perlahan, Zhoumi mengangkat pandangannya hingga tatapannya tertuju padaku. Dia mengangkat tangannya dan memiringkan topinya kebelakang. Bayangan telah hilang dari matanya. Ada rasa tak percaya dan rasa sakit di sana. Aku tidak ingin melihatnya seperti ini. Rasanya hampir sama buruknya melihat penghakiman di matanya. Dimana penghakiman sepertinya lebih baik.

"Benarkah? Itukah yang kau rasakan? Setelah semua yang telah kita lalui itukah yang sejujurnya kau rasakan?"

Apa yang pernah kami lalui adalah masa lalu. Dia adalah masa laluku. Aku pernah melalui banyak hal bersamanya. Sementara dia menikmati kehidupannya aku berjuang untuk mempertahankan hidup. Dia sebenarnya menderita karena apa? Rasa marah perlahan mendidih dalam darahku dan aku mengangkat mataku untuk menatapnya.

"Ya, Zhoumi. Itu yang kurasakan. Aku tak yakin apa sebenarnya yang telah kita lalui. Kita teman baik, kemudian kita pacaran, kemudian ibuku sakit dan kau butuh kejantananmu dihisap jadi kau selingkuh dariku. Aku menjaga ibuku yang sakit sendirian. Tidak ada tempat bersandar. Kemudian ibuku meninggal dan aku pindah. Aku patah hati dan dunia berantakan dan pulang. Kau ada di sini untukku. Aku tidak memintamu tapi kau melakukannya. Aku berterima kasih untuk itu tapi ini tidak membuat semua masalah lain menghilang. Itu tidak akan memperbaiki keadaan bahwa kau meninggalkanku ketika aku sangat membutuhkanmu. Jadi maafkan aku kalau duniaku sekali lagi runtuh kau bukanlah orang pertama yang akan kuhubungi. Kau bahkan belum pantas menerimanya."

Aku terengah-engah dan air mata yang tidak ingin kutumpahkan menuruni wajahku. Aku tidak ingin tangis sialan ini. Aku memperkecil jarak diantara kami dan menggunakan semua kekuatanku untuk mendorongnya dari hadapanku jadi aku bisa meraih gagang pintu dan membukanya. Aku harus keluar dari sini. Jauh darinya.

"Minggir," Teriakku saat aku berusaha keras untuk membuka pintu sementara tubuhnya masih ada di sana.

Aku mengira dia akan mendebatku. Aku mengira ia akan melakukan hal lain selain yang kuminta. Aku memanjat ke tempat duduk di belakang kemudi dan melemparkan kantong plastik kecil pada kursi di sampingku sebelum menyalakan mobil dan mundur dari tempat parkir. Aku bisa melihat Zhoumi tetap berdiri di sana. Dia tidak banyak bergerak. Hanya cukup memberiku ruang agar bisa masuk ke dalam mobilku. Dia tidak memandangku. Dia menunduk menatap tanah seolah semua jawabannya ada di sana. Aku tak perlu khawatir tentang dia sekarang. Aku perlu pergi jauh.

Mungkin aku tidak seharusnya berkata seperti itu kepadanya. Mungkin aku harus tetap menyimpannya di dalam hati di mana aku mengubur semuanya bertahun-tahun lamanya. Tapi ini sudah terlambat sekarang. Dia menekanku di saat yang salah. Aku tidak merasa bersalah tentang ini. Aku juga tidak bisa kembali ke rumah neneknya. Wang halmeonni memang sayang padaku, tapi kemungkinan Zhoumi yang akan meneleponnya dan mengatakan hal ini padanya. Jika tidak mengatakan yang sebenarnya, mungkin sesuatu yang nyaris mendekati.

Aku tidak punya pilihan lain. Aku akan menggunakan tes kehamilan itu di toilet pompa bensin. Akankah keadaan ini bisa menjadi lebih buruk lagi?


-TBC-

[Welcome (back) all reader-nim]

[Siap dengan kelanjutan kisah MinYoon ini? :')]

[Question: pada mau diselipin preview next chapter seperti di WUFTF?]

[Silahkan vote ya yes/no? & ditunggu juga reviewnya :)]