Tiang bendera berdiri tegak dengan kokohnya, dengan bendera berwarna merah, putih—dan biru terpasang disana.

Ah, biru.

Kenapa aku tidak bisa memandang bendera yang merah dan putih saja?

Kalau aku melihat merah dan putih, kenapa malah berbeda?

Kenapa merah yang itu ada di tengah, berwarna bulat, sementara warna putih itu menjadi warna dasarnya?

Tidak bisakah itu hanya garis merah, dan garis putih yang berbaur menjadi satu?

Yang memiliki makna nasional yang kuat?

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya.

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.

Indonesia Raya! Merdeka! Merdeka!

Tidak bisakah lagu itu dikumandangkan dengan bebasnya? Kenapa?

Semuanya bertanya... Indonesia... kemana kau?

Aku disini.

Aku Indonesia.

Dan aku harus kuat.


Axis Powers Hetalia © Hidekaz Himaruya

Independence © NakamaLuna

Rated: T

Genre: Angst

Warning: OC MaleIndonesia danlainlain, OOC, gak jelas, gak nyambung, gaje, shounen-ai, yang tidak suka silahkan tekan tombol 'back' :D


Semua berawal dari hari itu.

Langit nampak cerah. Sinar matahari menyinari daerah yang terletak di khatulistiwa tersebut. Dedaunan berterbangan akibat hembusan angin yang cukup kencang. Hari yang seperti biasa. Terlihatlah seorang bocah kecil, berambut hitam, berkulit sawo matang sedang berlarian. Dari hutan, menyusuri pantai, berteriak senang. Kakinya yang terlatih, membuat dia pandai berpindah kemana saja walaupun sudah melewati beberapa hutan yang lebat.

Ia sampai di daerah pantai. Senyum terkembang di wajahnya. Mata cokelatnya memancarkan kesenangan yang luar biasa. Anak itu kemudian membaringkan dirinya di pantai, di pasir putih yang begitu bersih dan belum ternoda.

Namun, mimpi buruk itu datang tiba-tiba. Anak itu terbangun, dan mendapati seorang pria dengan rambut cokelat jabrik berdiri tepat di hadapannya. Panik menghampiri sang anak, ia sedang tidak memegang senjata. Langsung saja, anak itu kemudian melompat ke belakang dan menatap sang pria dengan pandangan curiga.

Sang pria berambut cokelat membuka mulutnya, "Namamu...?"

Anak itu mundur ke belakang, ia melihat bahwa ada satu kapal yang sangat besar baru saja mendarat di pantainya itu. Ia tidak menjawab, melainkan mengambil ranting kayu yang tergeletak di dekatnya. Anak itu berlari, dengan cepat ia menodongkan sang ranting ke leher pria berambut cokelat itu.

Pria berambut cokelat itu terdiam walau tahu bahwa lehernya bisa saja tergores karena terkena ujung ranting kayu yang tajam. "Namamu...?" ia mengulang. Cukup lama mereka bertatapan, kemudian anak itu melepaskan ranting kayu tersebut.

"Kau tidak melawan balik, sir," ucap sang anak. "Maafkan atas ketidaksopananku." Ia menunduk sedikit, kemudian mundur beberapa langkah.

Pria berambut cokelat itu tetap terdiam. "Namamu...?"

Anak itu bingung. Ya, nama. Namanya. "Namaku?"

Pria berambut cokelat itu mendekat kemudian menepuk kepala anak itu. "Kau, pasti personifikasi negara ini. 'Kan?"

"Nama negara ini," anak berambut hitam itu terlihat berpikir sebentar. "Ada banyak."

"Netherlands." Pria berambut cokelat itu menyodorkan tangannya. "Namaku, Netherlands. Bagaimana kalau kupanggil kau, Nederlands-Indies?"

Indonesia tidak menjawab.

"Kalau Indische*1?"

Anak itu mengerutkan keningnya. "Susah sekali disebut, panggil aku Indonesia. Bagaimana?"

Netherlands menghela nafasnya. "Terserah kau," Ia kemudian melihat-lihat pemandangan sekitar. Tanahnya sangat subur dan bagus. Wilayahnya tropis, bisa menanam banyak sayuran dan sumber pangan lainnya. "Disini, apa ada negara lain?"

Indonesia menggeleng pelan. "Tidak. Tapi... dulu ada negara yang datang kemari. Dia berusaha menjajah negeri ini. Namanya adalah Portugal."

Netherlands terdiam sejenak. 'Jadi dia telah menemukan anak ini duluan ya?' pikir Netherlands. 'Setidaknya, sekarang dia sedang tidak dijajah oleh siapapun' Netherlands menyeringai tipis, sampai Indonesia tidak melihatnya. "Mulai hari ini, aku ingin kau menjadi temanku."

Indonesia memandang Netherlands dengan tatapan bingung. Mereka baru saja bertemu 'kan? "Teman?"

"Teman yang selalu berbagi dalam berbagai hal," Netherlands menggendong Indonesia kemudian berjalan-jalan disekitar daerah itu. "Mau?"

Indonesia mengangguk pelan. "Kau, temanku." Ia tidak tahu, tidak akan pernah tahu bahwa jawabannya itu adalah permulaan dari hancurnya diri ia sendiri.

-o~xxx000xxx~o-

Benteng itu berdiri kokoh dan tegap. Sebuah benteng besar. Di dalam benteng tersebut, dibangun sebuah rumah, lumayan besar. "Mulai hari ini, kau tinggal disini. Segala kebutuhanmu akan kusiapkan."

Indonesia menatap Netherlands. "Kau tidak perlu repot-repot, aku bisa tinggal di luar."

"Tidak." Netherlands memegang tangan Indonesia kemudian membawanya masuk ke dalam rumah itu. "Di luar berbahaya, akan lebih baik kau disini."

Indonesia terdiam sejenak. Itu berarti dia tidak bisa bertemu dengan teman-temannya lagi. Tidak bisa bermain di hutan, tidak bisa berenang di pantai. "Kenapa? Aku bisa menjaga diri."

Netherlands tersenyum. "Kita teman 'kan?"

Lagi-lagi anak berambut hitam itu terdiam. Ia mengangguk sebentar. Sepertinya, senyum Netherlands telah menyihirnya.

~xo-0-ox~

Indonesia tinggal di dalam benteng itu. Pada awalnya, dia merasa senang karena Netherlands sangat baik kepadanya. Ya, jika ingin bermain, Netherlands akan menemaninya dengan senang hati, begitupula jika ingin tidur, Netherlands akan menemaninya hingga dia tertidur. Namun, lama kelamaan Indonesia merasa bahwa sikap Netherlands agak berbeda.

Ya, Netherlands sering mengganti bajunya ketika dia ingin tidur, padahal dia bisa melakukan itu sendiri. Netherlands memaksanya untuk menyuapinya makanan. Sifat Netherlands kadang terlalu overprotektif. Pernah, ketika ia mengajak bicara salah satu anak buah pria berambut cokelat itu, Netherlands langsung memarahinya, kemudian membawanya masuk ke kamar. Indonesia lalu dinasehati agar jangan berbicara dengan orang lain selain dirinya.

"Kenapa?" ketika Indonesia bertanya kenapa, Netherlands selalu tersenyum.

"Karena kau temanku." Itulah balasannya. Netherlands selalu begitu. Setelah mengatakan kalimat itu, ia kemudian mencium kening Indonesia dan menyelimutinya dengan selimut. Lalu, Netherlands akan mematikan lampu kamar, dan mengunci kamarnya.

Sendirian. Indonesia selalu merasa seperti itu. Gelap. Karena Netherlands mematikan lampu kamarnya. Setidaknya, sinar rembulan ketika malam hari cukup terang untuk membuatnya terjaga.

-o~xxx000xxx~o-

Indonesia terbangun tiba-tiba ketika dirasakannya tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau. Badannya memanas.

Crash!

Indonesia menengok kepada tangannya yang tiba-tiba terluka. Belum sempat ia berpikir kenapa, pipinya pun terluka dan mengeluarkan darah. Tubuhnya sakit-sakit sekali, hingga dia harus memeluk erat tubuhnya. Suara teriakan-teriakan memenuhi telinganya. Air matanya menetes tiba-tiba.

"Netherlands...?" dengan tenaga sebisanya, ia kemudian merangkak mengetuk pintu kamarnya.

Tok tok.

Indonesia berharap agar pria bertubuh tinggi itu akan membukakan pintu kamarnya kemudian memeluknya, lalu mengobati semua lukanya. Namun, nihil. Berapa kali dia mengetuk, tidak terdengar jawaban. "Netherlands...?" air mata terus keluar.

Tok tok.

"Netherlands... Nether..."

Tok tok.

"Netherlands..."

Kesadarannya sudah menipis. Tubuhnya masih terlalu kecil untuk menerima semua ini. Ia kemudian meringkuk di pojok ruangan sambil menerima semua itu. Ketika dirasakan bahwa tubuhnya mulai membaik, Indonesia mengetuk pintunya kembali. "Netherlands...?" suaranya serak. Hampir tidak terdengar.

Namun, tetap saja tidak ada jawaban.

Indonesia putus asa. Ia kemudian menengok ke arah jendela. Tanpa berpikir lagi, ia memukul kaca jendela itu dengan keras. Tidak peduli akan membuat luka baru di tangannya. Tubuhnya yang kecil kemudian keluar melalui jendela tersebut. Hal pertama yang dia lihat adalah, sang benteng sepi. Ya, benteng Netherlands sepi.

Biasanya, akan ada banyak prajurit-prajurit milik Netherlands berjaga. Namun, malam ini tidak.

Indonesia masih mempunyai kemampuan. Ya, dia masih mempunyai kakinya yang lincah itu. Ia tidak peduli dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Anak berambut hitam itu kemudian memanjat salah satu pohon besar yang batangnya mengarah keluar benteng Netherlands. Dengan mudahnya, Indonesia keluar dari belenggu benteng menyeramkan itu.

Anak berambut hitam itu tidak tahu kemana ia melangkahkan kakinya. Ia hanya mengikuti pikirannya. Indonesia tidak peduli, tidak peduli akan kondisi tubuhnya. Goresan disana-sini, luka yang terus membesar—ia terus mengacuhkannya. Namun, ia tidak menghentikan langkahnya. Ia lebih memilih untuk mengikuti asal teriakan-teriakan yang menggema didalam telinganya.

Dor!

Suara tembakan, maupun dentuman benda tumpul dan tajam terdengar dimana-mana. Pemandangan yang mengerikan bagi Indonesia yang masih anak-anak. Ia melihat bagaimana rakyatnya berusaha melawan, hanya dengan bambu runcing. Ia melihat bagaimana rakyatnya memohon ampun agar tidak disiksa. Dan, dari semua itu, ia melihat bahwa Netherlands berada disana, tidak bergeming.

Netherlands hanya menatap dingin kepada rakyatnya yang terus-terusan memohon untuk menghentikan semuanya kepada dirinya. Netherlands terus terdiam sambil menopang dagunya. Seolah-olah pemandangan itu sudah biasa baginya.

Indonesia menangis. Jadi, selama ini dia dibohongi?

"Netherlands!" Indonesia berteriak, ia tidak peduli suaranya sudah seserak apa.

Netherlands menengok kepada seorang anak yang sangat dikenalnya. Raut wajah pria berambut cokelat itu berubah, tidak tersenyum seperti biasa, namun pandangan dingin. "Oh, Indonesia," balas Netherlands.

Indonesia mengambil bambu runcing yang tergeletak di dekatnya kemudian menodongkannya ke leher pria berambut cokelat jabrik itu. "Apa... yang kau lakukan, brengsek?"

Netherlands tetap terdiam. Ia tidak melawan atau apa. Masih seperti kali pertama mereka bertemu. "Seperti yang kau lihat." Gumam Netherlands.

Indonesia menggeram, "Kau... brengsek! Kau menipuku!" air mata terlihat mengalir dari mata cokelat milik Indonesia. Kini, mata itu tidak memancarkan kesenangan seperti biasa. Yang terpancar disana hanyalah dendam yang mendalam. "Kenapa...?"

Netherlands membuka mulutnya, "Karena kau milikku."

"Kau bukan temanku..." Indonesia merasakan bahwa genggamannya kepada bambu runcing semakin melemah.

"Memang bukan," Netherlands memegangi tangan Indonesia. Pria bertubuh tinggi itu tahu, tahu bahwa anak di depannya sebentar lagi akan roboh. "Aku, adalah tuanmu." Ia merasakan sedikit keanehan karena Indonesia masih berdiri tegap. Bukankah penyerangannya terhadap rakyat Indonesia sudah lumayan kejam?

"Brengsek..." Indonesia bergumam, ia menundukkan kepalanya. Pegangan yang tadinya melemah, malah menjadi lebih erat. "Kau brengsek..." Indonesia mengayunkan sang bambu ke arah leher Netherlands. Beruntung Netherlands memegang tangan Indonesia, jika tidak, mungkin lehernya akan sedikit terluka.

Netherlands mengangkat tangan kanannya yang memegang pistol kemudian mengarahkannya ke salah satu rakyat Indonesia.

Mata cokelat keemasan Indonesia membelalak. "Jangan berani kau! Dia tidak ada sangkut pautnya!" Indonesia melepaskan pegangannya kepada bambu runcing, kemudian memegangi pakaian Netherlands. "Jangan! Kubilang hentikan!" ia menatap mata biru Netherlands yang dingin.

"Checkmate..."

DOR!

Indonesia limbung dengan kesadarannya yang menghilang. Sementara, sang rakyat yang tertembak sudah tergeletak tidak bernyawa di dekat prajurit Netherlands yang lain. Tangan Indonesia yang penuh dengan noda darah, menggenggam erat pakaian pria berambut cokelat itu. Tidak berapa lama, pegangannya terlepas dan tubuhnya akan jatuh ke tanah yang kotor itu.

Netherlands memegangi Indonesia sebelum kepala sang bocah akan menyentuh tanah. Ia kemudian menggendong anak itu lalu menyuruh pasukannya untuk mundur.

-o~xxx000xxx~o-

Malam telah berganti menjadi pagi. Peristiwa berdarah semalam telah usai. Indonesia kemudian bangun dari tidur panjangnya dan menemukan bahwa dia di kamarnya yang lama, kamar yang berada di benteng Netherlands. Untuk membuka matanya saja, Indonesia sudah merasa susah, sangat. Sekujur tubuhnya sakit, masih sakit. "Sudah bangun kau." Samar-samar, Indonesia mendengar suara seseorang.

Indonesia kemudian membelalakan matanya. "Netherlands... kau..." Indonesia mencoba untuk bangkit, namun sekujur tubuhnya terlalu sakit untuk digerakkan. Bahkan, masih banyak bekas luka yang terdapat di sekujur tubuhnya. "Kenapa kau melakukan ini semua?" Indonesia berkata dengan suara gemetar. Ia tidak berani menatap pria bertubuh tinggi itu.

Netherlands menyeringai, ia kemudian duduk di tempat tidur Indonesia itu. "Kau lupa dengan pernyataanku semalam?"

Indonesia tersentak sedikit, ia masih membuang mukanya. Tangannya gemetar. "Bukan... mimpi?"

Netherlands segera mengambil tangan Indonesia. "Kau tidak melihat bekas lukamu? Apakah ini semua mimpi?" Indonesia tidak menjawab, ia sudah tahu jawabannya. "Oh, apakah perlakuanku semalam terlalu kasar sehingga kau tidak bisa melihat lagi?"

Indonesia terdiam. Ia memejamkan matanya erat-erat. "Brengsek..." hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Indonesia. Tatap mataku."

Indonesia membuka matanya, kemudian secara tiba-tiba ia menggerakkan tangannya untuk menampar Netherlands. "Kau itu... sialan!" Indonesia kemudian berdiri dari kasurnya. "Brengsek!" Ia menendang perut Netherlands. "Aku harap kita tidak akan bertemu kembali!"

Netherlands yang masih kesakitan akan tendangan di perutnya, buru-buru mengejar Indonesia. Bahaya jika anak itu lepas.

Anak berambut hitam itu berlari. Ya, dengan kemampuannya, ia kembali keluar dari benteng itu. Namun, kali ini lebih sulit karena banyak penjaga. "Tangkap anak itu!" Netherlands berteriak dari belakangnya.

Indonesia mengangkat wajahnya. Tekadnya sudah bulat. 'Aku akan keluar dari benteng laknat ini'. Ia mengambil tongkat panjang sebagai senjata. Indonesia tidak peduli walau harus melukai para prajurit itu, Netherlands saja sudah menyiksa rakyatnya. Dengan peralatan seadanya, Indonesia melemparkan empat benda tajam kecil yang ia dapat dari rumah Netherlands.

Crash!

Masing-masing benda, menancap kepada mata para penjaga Netherlands. Indonesia segera berlari melewati sang penjaga. Tidak sampai disitu, diluar dia dihadapkan dengan lebih banyak penjaga, sementara Netherlands masih mengejar di belakang Indonesia. "Tangkap!"

Indonesia bereaksi mendengar kata-kata dari Netherlands itu. Ia segera menyerang prajurit yang terdekat dari dirinya. Setelah itu, ia mengambil pistol prajurit tersebut.

Para prajurit tentu saja agak ketakutan karena anak sekecil itu bisa sangat lincah. Indonesia mengeluarkan aura hitamnya, ia menyeringai kejam kemudian menembaki semua prajurit itu satu persatu. Setelah dirasa bahwa semua prajurit telah dikalahkannya. Ia kemudian sampai di luar kediaman, yang berarti ia harus menghadapi satu tembok lagi, yaitu bentengnya.

Indonesia menggunakan pistolnya untuk menembak prajurit-prajurit yang sedang makan siang.

DOR!

Kontan, ketika terdengar tembakan, semua prajurit yang berada disana langsung menyiapkan senjatanya. Indonesia kemudian memecahkan piring-piring dari prajurit yang ia tembak itu.

Pecahan piring yang runcing tersebut ia lemparkan kepada semua prajurit yang berusaha mendekatinya. Dengan sigap, ia kembali mengambil pistol para prajurit yang sudah terkena pecahan piring tersebut kemudian menembakkannya ke segala arah.

Netherlands membelalakkan matanya. Bagaimana bisa... pertahanan bentengnya dikalahkan oleh seorang anak kecil?

Belum selesai sampai disitu, Indonesia menatap Netherlands dingin, kemudian memanjat hingga ke benteng tertinggi Netherlands. Ia meraih bendera Netherlands.

Brett!

Indonesia kemudian merobek bagian birunya. "Mulai hari ini... pulau ini menjadi milikku. Benteng ini pun juga. Daerah ini milikku. Aku Indonesia!" Indonesia berteriak lantang, ia tertawa keras kemudian melepaskan kain biru yang kemudian jatuh ke samping Netherlands.

Netherlands tidak mampu berdiri. Semua prajuritnya terkalahkan yang berarti, dia harus menanggung beban sakit prajuritnya juga. "Hoi, kau orang asing," Indonesia turun dari benteng tersebut kemudian mengacungkan tongkat panjangnya ke leher Netherlands. "Jangan pernah kau menginjakkan kakimu ke daerahku, atau kau akan menerima akibatnya."

Indonesia tidak main-main. Ia menggoreskan tongkat panjang yang runcing itu ke dahi Netherlands.

Dan, itu hanyalah sebuah permulaan dari cerita yang masih panjang ini.

-o~xxx000xxx~o-

Netherlands kembali ke negaranya.

Indonesia lega mendengar hal itu. Kini, ia sedang bergaul dengan rakyatnya. Tubuhnya makin tinggi, ia sudah beranjak remaja sekarang. Padahal baru beberapa hari berlalu sejak penyerangannya ke benteng pria sialan itu. Salah seorang perempuan mendekati Indonesia kemudian bertanya. "Kau tidak apa-apa?"

Indonesia menatap kepada gadis cantik tersebut. "Ngg, yah. Tidak apa-apa."

"Kulihat kau mengatasi semua orang dibenteng itu sendiri. Kau hebat." Ucap gadis itu.

Wajah Indonesia memerah. Dalam hati dia memuji dirinya sendiri karena dipuji oleh gadis cantik. Nasib mujur. Indonesia kemudian melihat ada banyak memar di tangan, kaki, bahkan di wajah gadis itu. "Kau, disiksa ya? Oleh 'dia'?" Indonesia menekankan perkataan 'dia'.

Gadis itu menengok kepada bekas lukanya kemudian menggeleng. "Ini hanya akibat dari perbuatannya yang tidak langsung menyerangku."

Indonesia mengerutkan dahinya. Apa maksudnya?

"Sama sepertimu," gadis itu tersenyum, kemudian meraih tangan Indonesia yang terluka. "Kalau ada yang menyiksa rakyat negara ini, kau pasti akan sakit bukan?"

Indonesia membelalakkan matanya. "Kau... siapa?"

Gadis itu memeluk Indonesia. "Aku adikmu. Jawa."

~xo-0-ox~

Tubercolusis *plak*

To Be Continued

~xo-0-ox~

1. ... dulu Netherlands ngasih tuh nama ke Indonesia... dan entah kenapa tiba-tiba jadi Indische... saia juga gak tau kenapa... *didumplak* Indonesia dulu dipanggil Nederlands-Indies ama semuanya, yang kalau kita terjemahin Hindia-Belanda.

Ng... dulu, yang kali pertama menemukan Indonesia adalah Portugal, mereka mendarat di kepulauan Banda. Portugal kemudian mengalahkan kerajaan Malaka dan mengambil alih Maluku yang waktu itu terdapat banyak sumber rempah-rempah. Tidak berapa lama, rakyat Maluku mengadakan perlawanan kembali dan Portugal mengalami kekalahan. Kesempatan itu diambil oleh Netherlands untuk mengambil alih Indonesia.

Ng... maafkan karena cerita yang gaje ini.

Ng... banyak kesalahan pula.

Ng... baru bisa dipublish soalnya baru hari ini ke warnet. *YES. Akun saya atau laptop saya kayaknya bermasalah, soalnya... GAK BISA MUBLISH! Bisa mublish tapi lewat laptop tau kompi lain. Apa gara-gara jaringan internetnya? Jadi, biasanya kalau pengen mublish kan, pas ke 'Publish'nya dibawahnya langsung ada 'New Story', 'My Story' en blahblah. Tapi... ini sama sekali GAK ADA. Kejadian itu udah lebih dari SEBULAN. Ada yang tau kenapa? Atau ada yang bernasib sama? TAT*

Ng... maaf karena Netherlandsnya saia jadiin BASTARD disini... *penekanan pada kata-kata bastard* *ditusuk cerutu panas*

Ng...*ditabok* pair disini mungkin bakal banyak... tapi tetap saja yang jadi centerukenya Indonesia *ditusuk bambu runcing* -~- dan saia musti ngorek sejarah Indonesia lebih dalem.

Ng... maaf karena ceritanya bakalan angst... saia gak bakat humor. Kalau fluff mungkin masih bisa. Dan bakal ada di chap depan.. mungkin..

Ng... maaf karena ni cerita bakal LAMA dipublish. Sebab penyebab tentu saja karena saia gak bisa mublish cerita dari laptop saia. Dan saia bakal kena damprat kalau ketahuan nyokap pergi ke warnet sementara fasilitas inet di rumah udah disediain. -.-"

Dan... ini beda dari doujinshi buatan saia di FB. T_T Indonesianya OC ane, silahkan liat di DA.

Dan... maafkan saia kalau sejarahnya beda... atau apapun itu.. *ditabokberuntuntanpaampun* mana sok action lagi nih fic... *ditabokagain*

Berniat review? :3

Sign,

NakamaLuna~