TANGLED

01

.

Tangled. 2013 (original story)

by

Emma Chase

Re-maked as YunJae story by VANS voldamin

Disclaimer: God, Their Parents, and Themselves (GTT)

Warning: Adult!Theme, Out of Character(s), miss-types, and Amburegul.

Enjoy!

.

.

.

.

.

Kau lihat lelaki belum mandi dan belum bercukur yang teronggok di sofa? Lelaki yang memakai kaus abu-abu kotor dan celana olahraga robek?

Itu aku, Jung Yunho.

Tak biasanya aku seperti ini. Maksudku, itu sama sekali bukan aku.

Dalam kehidupan sesungguhnya, aku sangat terawat. Daguku dicukur bersih, bagian samping rambut hitamku tersisir rapi. Orang bilang, itu membuatku kelihatan berbahaya, tapi profesional. Setelan jasku dijahit khusus. Aku memakai sepatu yang harganya lebih mahal daripada sewa rumahmu.

Apartemenku? Yeah, tempatku sekarang berada. Tirainya ditutup dan perabotnya memancarkan cahaya kebiruan dari televisi. Meja dan lantai dipenuhi botol bir, kotak piza, dan wadah es krim kosong.

Itu bukan apartemenku yang sesungguhnya. Apartemen yang biasa kutempati sangat bersih, ada seorang perempuan yang datang dua kali seminggu untuk membersihkannya. Apartemenku dilengkapi dengan berbagai macam peralatan modern dan mainan bocah yang bisa kau bayangkan, surround sound, pengeras suara satelit, dan sebuah plasma layar lebar yang bisa membuat pria mana pun berlutut dan meminta lebih. Dekorasinya modern—banyak warna hitam dan stainless steel—dan siapa pun yang memasukinya pasti tahu penghuninya seorang pria.

Jadi, seperti kubilang tadi; yang kau lihat sekarang bukan aku yang sebenarnya. Aku terserang flu.

Influenza.

Apa kau pernah memerhatikan beberapa nama penyakit terburuk sepanjang sejarah terdengar merdu? Kata-kata seperti malaria, diare, dan kolera. Apa menurutmu mereka sengaja melakukannya? Agar kau punya cara yang sopan untuk menyampaikan kau merasa seperti sesuatu yang keluar dari bokong anjing?

Influenza. Kedengarannya merdu, kalau kau cukup sering mengucapkannya.

Setidaknya, aku yakin aku terserang flu. Karena itulah aku mengurung diri di apartemenku selama tujuh hari terakhir dan aku mematikan teleponku. Juga hanya turun dari sofa untuk ke kamar mandi atau mengambil makanan pesananku dari tukang antar.

Memangnya, berapa lama sih, flu bertahan? Sepuluh hari? Sebulan?

Penyakitku dimulai seminggu yang lalu. Alarmku berbunyi pukul lima pagi seperti biasanya. Tapi, bukannya turun dari tempat tidur dan pergi ke ruangan yang memujaku, aku malah melempar jam ke seberang kamar. Menghancurkannya hingga berkeping-keping.

Lagi pula, memang menyebalkan. Jam bodoh. Suara beep-beep bodoh.

Aku berguling, lalu tidur lagi. Saat akhirnya menyeret bokongku dari tempat tidur, aku merasa lemas dan mual. Dadaku nyeri, kepalaku sakit. Kau lihat—flu, 'kan? Aku tidak bisa tidur lagi, jadi di sinilah aku, di sofa andalanku. Sofanya sangat nyaman hingga aku memutuskan akan terus menempatinya. Sepanjang minggu. Menonton acara-acara komedi terbaik di layar plasma.

Sekarang, Gag Concert sedang ditayangkan. Hari ini sudah tiga kali menonton acara komedi di dua stasiun TV berbeda, tapi belum tertawa. Satu kali pun. Mungkin, yang keempat ini manjur, heh?

Sekarang, pintuku digedor.

Penjaga pintu sialan. Mau apa dia ke sini? Dia akan menyesalinya saat menerima tip Natal tahun ini dariku, lihat saja.

Aku mengabaikan gedorannya, tapi terdengar lagi.

Dan, lagi.

"Yun! Yunho-ya, aku tahu kau ada di dalam! Buka pintu sialan ini!"

Oh, tidak.

Itu si Jalang. Orang-orang mengenalnya sebagai kakak perempuanku, Junsu.

Saat mengucapkan kata jalang, aku mengucapkannya dengan penuh kasih sayang, sumpah. Tapi, kakakku memang jalang. Penuh tuntutan, kukuh, dan gigih. Aku akan membunuh penjaga pintuku.

"Demi Tuhan, kalau kau tak membuka pintu ini, Yun, aku akan menelepon polisi untuk mendobraknya!"

Kau mengerti apa yang kumaksud, 'kan?

Aku mencengkram bantal yang kupangku sejak terserang flu. Menyurukkan wajah ke atas bantal dan menghirup napas dalam-dalam. Wanginya seperti vanila dan lavender. Segar, bersih, dan membuatku ketagihan.

"Yunho! Kau dengar aku?"

Aku menarik bantal ke atas kepala. Bukan karena baunya seperti… dia, melainkan untuk meredam suara gedoran yang terus terdengar dari pintu.

"Aku mengeluarkan telepon! Aku memencet nomornya sekarang!" suara lengking Junsu merengek penuh ancaman, dan aku sadar dia tidak main-main.

Aku mendesah dalam-dalam dan menyeret tubuh dari sofa. Perjalanan ke pintu membutuhkan waktu. Setiap langkah kakiku yang nyeri dan kaku merupakan sebuah perjuangan.

Flu sialan.

Aku membuka pintu dan bersiap menghadapi amarah Si Jalang. Sebelah tangannya yang termanikur sempurna memegang iPhone terbaru di telinga. Rambut cokelat terangnya ditarik ke belakang, membentuk cepol sederhana, tapi elegan. Tas tua hijau tergantung di pundaknya, warnanya sama dengan roknya—Suie noona selalu mengutamakan keserasian.

Di belakangnya, sudah sepantasnya terlihat menyesal, dalam balutan jas biru navy kusut, ada sahabat dan rekan kerjaku; Shim Changmin.

Aku memaafkanmu, Penjaga Pintu. Changmin yang harus mati.

"Omo!" Suie noona berseru ngeri. "Apa yang terjadi padamu?"

Sudah kubilang kepadamu, ini bukan aku yang sesungguhnya.

Aku tidak menjawab pertanyaan Suie noona. Aku tak punya energi untuk melakukannya. Aku hanya membuka pintu, lalu menjatuhkan tubuh ke atas sofa dalam posisi wajah terlebih dulu. Sofanya lembut dan hangat, tetapi padat.

Aku menyayangimu, sofa—apa aku pernah mengatakannya? Yah, aku mengatakannya sekarang.

Walaupun mataku terbenam di atas bantal, aku bisa merasakan Suie noona dan Changmin berjalan pelan ke dalam apartemen. Aku membayangkan wajah kaget mereka saat melihat keadaan apartemen. Kuintip dari balik kepompongku, dan ternyata, tebakanku sangat jitu.

"Yun?" Aku mendengar Suie noona bertanya, tapi kali ini terdengar nada cemas pada satu silabel pendek itu.

Kemudian, dia terdengar kesal lagi. "Demi Tuhan, Changmin-ah, kenapa kau tidak meneleponku lebih cepat? Bagaimana kau bisa membiarkan hal ini terjadi?"

"Aku belum bertemu dengannya, Noona!" Changmin cepat-cepat menjawab. Kau lihat, Changmin juga takut kepada Si Jalang. "Aku ke sini tiap hari. Dia tak mau membukakan pintu untukku."

Aku merasakan sofa melesak saat Suie noona duduk di sampingku. "Yunnie?" Noona berkata lembut. Aku merasakan tangannya menyapu rambutku. "Dongsaengie?"

Suara Suie noona terdengar sangat cemas, dia mengingatkanku pada ibuku. Waktu aku masih kecil dan diam di rumah karena sakit, Eomma pasti masuk ke kamarku sambil membawa baki berisi semangkuk bubur abalone dan segelas teh hitam panas. Mencium keningku untuk memastikan apakah aku masih demam. Eomma selalu membuatku merasa lebih baik. Kenangan itu dan sikap serupa Noona membuat mataku yang terpejam memanas.

Aku benar-benar kacau, ya?

"Aku baik-baik saja, Noona." Aku menjawabnya, tapi aku tidak yakin dia mendengarnya. Suaraku ditelan oleh bantal beraroma manis. "Aku terserang flu."

Aku mendengar kotak piza dibuka dan suara erangan, saat bau keju dan sosis busuk menguar dari wadahnya. "Sama sekali bukan diet yang cocok untuk orang yang terserang flu, Adik Kecil."

Aku mendengar suara gesekan botol bir dan sampah lainnya, dan aku tahu, Junsu noona mulai membereskan kekacauan. Aku bukan satu-satunya pecinta kerbersihan di keluargaku.

"Aigo… ini benar-benar tidak beres!" Suie noona menghela napas tajam. Dan, berdasarkan bau yang membaur dengan aroma piza, kurasa dia baru saja membuka wadah es krim. Sudah teronggok selama tiga hari, dan ternyata, tidak sekosong dugaanku.

"Yun." Suie noona mengguncang lembut pundakku. Aku menyerah dan duduk, seraya menggosok mataku. Berusaha mengusir rasa lelah. "Ceritakan kepadaku," dia memohon, "ada apa? Apa yang terjadi?"

Saat menatap ekspresi cemas pada wajah kakak perempuanku, aku seakan kembali ke dunia dua puluh tahun yang lalu. Aku berumur enam tahun dan anjing kecilku, Gaeki, baru saja mati. Sama seperti hari itu, kenyataan pahit terenggut dari paru-paruku.

"Akhirnya terjadi."

"Apa yang terjadi?"

"Yang selama ini kau harapkan terjadi kepadaku," bisikku. "Aku jatuh cinta."

Aku mendongak dan melihat senyum Suie noona mengembang. Dia selalu menginginkan ini terjadi kepadaku. Noona sudah lama menikah dengan Yoochun dan sudah lebih lama jatuh cinta kepadanya. Jadi, dia tidak pernah setuju melihat gaya hidupku dan tidak sabar melihatku membangun keluarga. Menemukan seseorang yang akan merawatku, seperti dia merawat Yoochun. Seperti Eomma merawat ayah kami hingga detik ini.

Namun, kubilang padanya, itu tidak akan pernah terjadi—aku tidak menginginkannya. Untuk apa membawa buku ke perpustakaan? Untuk apa membawa pasir ke pantai? Untuk apa membeli sapi kalau kau bisa mendapatkan susu secara gratis?

Apa kau mulai mendapatkan gambaran?

Jadi, aku melihat senyum Junsu noona mulai mengembang saat, dengan suara kecil yang bahkan tidak kukenali, aku berkata, "Dia akan menikahi orang lain. Dia tak… dia tak menginginkanku, Noona."

Wajah kakakku bersalut simpati, seperti roti bersalut selai. Lalu, berubah penuh tekad karena Junsu noona seorang ahli perbaikan. Dia bisa membetulkan pipa yang tersumbat, menambal dinding yang bolong, dan menghilangkan noda dari karpet mana pun. Aku sudah tahu apa yang dipikirkannya sekarang; jika adik laki-lakinya hancur, dia harus memulihkannya.

Kuharap memang semudah itu. Tapi, kurasa seluruh Super Glue yang ada di dunia ini tidak akan sanggup merekatkan hatiku yang sudah hancur berkeping-keping.

Apa aku sudah bilang aku juga agak puitis?

"Oke. Kita bisa memperbaikinya, Yunho-ya."

Aku sangat mengenal kakakku, bukan?

"Kau mandi air panas yang lama. Aku akan membersihkan kekacauan ini. Setelah itu, kita pergi. Kita bertiga."

"Aku tak bisa pergi."

Apa dia tak mendengarkan ucapanku?

"Aku terserang flu."

Suie noona tersenyum penuh kasih sayang. "Kau membutuhkan makanan enak dan hangat. Kau harus mandi. Setelah itu, kau pasti merasa lebih baik."

Mungkin, dia benar. Demi Tuhan, semua yang kulakukan, selama tujuh hari terakhir, tidak membuatku merasa lebih baik. Aku mengedikkan bahu dan berdiri untuk melaksanakan perintah Junsu noona. Seperti bocah berumur empat tahun dengan selimut kesayangannya, aku membawa bantal berhargaku.

Dalam perjalanan ke kamar mandi, mau tak mau, aku teringat bagaimana awalnya semua ini bisa terjadi. Dulu, hidupku hebat. Kehidupan sempurna. Kemudian, semuanya hancur berantakan.

Oh—kau ingin tahu bagaimana ceritanya? Kau ingin mendengar kisah sedihku? Kalau begitu, oke. Semuanya dimulai beberapa bulan yang lalu, pada Sabtu malam biasa.

Yah, setidaknya biasa untukku.

.

.

.

.

.

Empat Bulan Sebelumnya

Mengerang, mendesah.

Kau lihat lelaki itu—setelan jas hitam, dengan mata tajam rubah dan heart-lips, luar biasa tampan? Yeah, lelaki yang sedang mendapat blow job dari perempuan seksi berambut merah di bilik kamar mandi? Itu aku. Aku yang sesungguhnya. ASF: Aku Sebelum Flu.

"Ya Tuhan, Baby, sedikit lagi."

Coba berhenti dulu sebentar di sini.

Bagi para perempuan maupun laki-laki bottom—atau kau sering menyebutnya uke—yang sedang mendengarkan, kuberi nasihat gratis ya. Kalau seorang pria yang baru kau temui di sebuah kelab memanggilmu baby, sweetheart, angel, atau panggilan sayang lainnya, jangan salah paham menganggapnya tertarik kepadamu sehingga sudah menciptakan nama panggilan kesayangannya.

Alasannya karena dia tak bisa, atau tak mau, mengingat namamu yang sebenarnya.

Dan, tak ada pasangan yang mau dipanggil dengan nama yang salah saat sedang berlutut melayanimu di kamar mandi pria. Jadi, untuk cari aman, aku menggunakan baby.

Nama pasangan one night stand? Memangnya penting?

"Oh, Baby, ini dia."

Perempuan itu menarik mulutnya hingga mengeluarkan bunyi meletup dan menangkap bagaikan seorang pemain liga utama, saat aku menyembur ke tangannya. Sesudahnya, aku menghampiri bak cuci tangan dan menaikkan risleting. Si rambut merah menatapku sembari tersenyum, saat berkumur-kumur menggunakan cairan mouthwash di botol kecil yang dikeluarkan dari tasnya.

Menawan.

"Bagaimana kalau kita minum?" tanyanya, dengan suara yang aku yakin dianggapnya menggoda.

Tapi, kuberi tahu sebuah fakta; setelah puas, aku sudah puas. Aku bukan jenis pria yang menaiki rollercoaster yang sama hingga dua kali. Satu kali sudah cukup, lalu kesenangannya menghilang, begitu pula dengan ketertarikan.

Namun, ibuku memang mendidikku menjadi pria santun. "Tentu, Sweetheart. Kau cari meja, aku akan mengambilkan minuman dari bar." Bagaimanapun, perempuan yang rambutnya dicat merah ini lumayan bersusah payah memuaskanku. Dia berhak mendapat minuman.

Setelah keluar dari kamar mandi, si rambut merah menghampiri sebuah meja. Dan, aku menghampiri bar yang oh-sangat-ramai. Aku sudah bilang, sekarang Sabtu malam, 'kan? Dan, ini REM. Tidak, bukan R.E.M—rem, istilah medis, seperti dalam fase tidur REM—Rapid Eye Movement, saat kau bermimpi. Paham maksudku?

REM adalah kelab paling keren di Seoul. Yah, setidaknya untuk malam ini. Minggu depan, posisinya sudah digantikan kelab lain. Tapi, lokasi tidak penting. Naskahnya selalu sama. Setiap akhir pekan, aku dan teman-temanku datang bersama-sama, lalu pulang sendiri-sendiri—tapi tidak pernah sendirian.

Jangan menatapku seperti itu. Aku bukan orang jahat. Aku tak pernah berbohong atau menghujani pasangan satu malamku dengan ucapan berbunga-bunga mengenai masa depan kami dan cinta pada pandangan pertama. Aku orang yang blak-blakan. Mencari kesenangan—hanya untuk satu malam—dan aku memberi tahu mereka. Itu jauh lebih baik dibandingkan sembilan puluh persen pria yang ada di sini, percayalah padaku. Dan, sebagian besar perempuan maupun laki-laki bottom yang ada di sini mencari hal yang sama sepertiku.

Oke, mungkin ini tidak sepenuhnya benar. Tapi, apa yang bisa kulakukan kalau mereka melihatku, melakukan seks denganku, dan tiba-tiba ingin mengandung anakku. Itu bukan masalahku. Seperti yang kubilang tadi, aku memberi tahu mereka seperti apa keadaannya. Lalu, memberi mereka kesenangan dan ongkos taksi pulang. Terima kasih, selamat malam. Jangan meneleponku karena sudah pasti aku tak akan meneleponmu.

Akhirnya, aku berhasil menembus kerumunan menuju bar, aku memesan dua minuman. Kutatap tubuh meliuk-liuk di lantai dansa diiringi musik yang bergema ke sekeliling ruangan.

Kemudian, aku melihat laki-laki itu, berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Tampak bercahaya sendiri di antara kerumunan orang yang sekejap terlihat buram di mataku. Sabar menunggu, tapi terlihat gelisah di tengah gerombolan pendamba alkohol, yang mengangkat lengan sambil melambaikan uang, berusaha menarik perhatian bartender.

Kubilang aku puitis, 'kan? Sejujurnya, dulu aku tidak begitu. Tidak, hingga saat ini. Lelaki itu mengagumkan—bak bidadari—cantik. Mata doe yang sempurna, bentuk wajah yang dilihat dari samping pun sudah tahu jika dia memiliki bentuk wajah sangat menarik. Pilih saja satu kata, kata apa pun. Intinya, sejenak, aku lupa bagaimana caranya bernapas.

Rambutnya berwarna gelap, dengan panjang hampir mencapai tengkuk, poni hampir menutupi bagian atas mata, dan berkilau walaupun cahaya di dalam kelab temaram. Dia mengenakan atasan V-neck yang menelanjangi leher jenjangnya, hampir-hampir melebari pundak berkulit putih mulus—seksi, tapi elegan—yang menonjolkan semua lekukan kencang. Mulutnya penuh dan seksi, dengan bibir kemerahan mengilap yang seakan memohon untuk dilahap.

Dan, matanya, seperti yang kubilang tadi, doe eyes sempurna; besar, bulat, dan sangat gelap. Sweet fucking Christ. Aku membayangkan mata itu mendongak kepadaku saat dia mengulumku dalam mulut kecilnya yang seksi. Anggota tubuh yang sedang kubicarakan langsung terbangun karena memikirkannya. Aku harus mendapatkan laki-laki itu.

Aku cepat-cepat menghampiri, langsung memutuskan dialah orang yang beruntung, yang akan mendapatkan kehormatan untuk menghabiskan sisa malam ini bersamaku. Dan, aku berniat untuk memberinya kesenangan luar biasa.

Tepat saat laki-laki itu membuka mulut untuk memesan, aku menyelanya, "Laki-laki ini ingin…" Aku menatapnya untuk menebak apa yang biasa diminumnya. Ini bakat istimewaku. Sebagian orang termasuk aku peminum bir, sebagian peminum scotch dan soda, sebagian anggur tua, sedangkan yang lain peminum brandy atau sampanye manis. Aku selalu bisa menebak seseorang termasuk peminum apa—selalu. "… segelas Veramonte Merlot, 2003."

Laki-laki itu berpaling kepadaku dengan sebelah alis terangkat. Kedua matanya menilaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Memutuskan aku bukan pecundang, dia berkata, "Kau hebat."

Aku tersenyum. "Sepertinya, reputasiku sudah tersebar. Ya, aku memang hebat. Dan, kau… menawan."

Ingat, tidak semua lelaki bottom senang disebut cantik. Dan aku tidak mau mendapat kesan menyebalkan di kali pertama kami bertemu.

Samar-samar, kulihat pipinya merona. Sungguh-sungguh berubah kemerahan dan dia memalingkan wajah. Memangnya, sekarang ini masih ada yang wajahnya merona? Benar-benar menggemaskan.

"Jadi, bagaimana menurutmu kalau kita mencari tempat yang lebih nyaman dan… privat? Agar kita bisa lebih saling mengenal?"

Tanpa jeda, laki-laki cantik itu menjawab, "Aku datang bersama teman-teman. Kami sedang merayakan sesuatu. Biasanya, aku tak pernah mengunjungi tempat seperti ini."

"Apa yang kalian rayakan?"

"Aku baru saja mendapatkan gelar MBA dan Senin besok mulai bekerja di ruangan baru."

"Benarkah? Kebetulan sekali. Aku juga orang keuangan. Mungkin, kau pernah mendengar firmaku? Jung, Shim and Park?" Kami bank investasi boutique paling keren di kota, jadi aku yakin dia lumayan terkesan.

Kita berhenti lagi sebentar, oke?

Apa kau lihat mulut si laki-laki cantik ini ternganga saat kuberi tahu tempatku bekerja? Apa kau lihat matanya yang terbelalak? Seharusnya, itu memberiku petunjuk.

Tapi, saat itu aku tidak menyadarinya. Aku terlalu sibuk memperhatikan dadanya—aku bertanya dalam hati, dia ini laki-laki asli atau perempuan cantik berpenampilan laki-laki. Omong-omong, dadanya agak bidang dan menonjol bulat seperti dada remaja putri yang baru mekar. Ranum, dan sepertinya pas jika ada digenggamanku.

Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli dia ini laki-laki ataupun perempuan. Sama saja dan tidak jadi masalah, menurutku.

Intinya, ingatlah ekspresi terkejut pada wajahnya—nanti akan terasa masuk akal. Sekarang, kembali pada percakapan.

"Kita punya banyak kesamaan," ujarku. "Kita sama-sama menggeluti bisnis, sama-sama menyukai anggur merah enak… kurasa, kita berutang kepada diri kita untuk melihat potensi malam ini."

Laki-laki itu tertawa. Suara magis.

Nah, ada yang harus kujelaskan dulu. Dengan orang lain, pada malam lain, aku pasti sudah berada dalam taksi, tanganku menyelinap ke balik pakaiannya, dan mulutku membuatnya mengerang. Tidak perlu diragukan lagi. Bagiku, ini usaha untuk mendapatkannya. Dan, anehnya, membuatku terangsang.

"Omong-omong, namaku Yunho." Aku mengulurkan tangan. "Dan kau?"

Laki-laki cantik itu mengangkat tangan. "Sudah bertunangan."

Tidak gentar, aku meraih tangannya dan mencium buku jarinya, menyapukan lidahku sekilas. Aku melihat si cantikku yang ragu berusaha menahan gemetar pada tubuhnya. Dan, aku tahu, terlepas dari ucapannya, aku mulai berhasil.

Jadi, aku bukan jenis orang yang mendengarkan ucapan orang lain dengan seksama. Aku melihat cara mereka mengucapkannya. Kau bisa mempelajari banyak hal mengenai seseorang, jika mau bersabar melihat cara mereka bergerak, gerakan mata mereka, dan naik turun nada suara mereka.

Si mata besar mungkin berkata tidak… tapi tubuhnya? Tubuhnya seakan berteriak, ya, ya, bercintalah denganku di meja bar. Dalam waktu tida menit, dia sudah memberi tahuku alasannya ada di tempat ini, apa pekerjaannya, dan membiarkan aku membelai tangannya. Semua itu bukanlah sikap bottom yang tidak tertarik—itu sikap bottom yang tidak ingin tertarik.

Dan, aku jelas-jelas bisa mengubahnya.

Tadinya, aku ingin berkomentar soal cincin tunangannya. Dia memakai cincin untuk wanita—artinya dia memiliki tunangan seorang pria, dia tipe bottom. Berliannya sangat kecil sehingga dari jarak dekat pun tetap tidak terlihat. Tapi, aku tak mau membuatnya tersinggung. Dia bilang baru saja lulus. Aku punya teman yang harus berjuang untuk lulus dari sekolah bisnis. Dan, biaya pinjamannya memang berat.

Jadi, aku menggunakan taktik yang berbeda—kejujuran. "Itu lebih bagus. Kau tak suka mendatangi tempat seperti ini? Aku tak suka menjalin hubungan. Kita pasangan serasi. Kita harus mendalami kaitan ini, benar 'kan?"

Laki-laki itu tertawa lagi, menggemaskan dengan punggung tangannya yang menutupi mulut, dan minuman kami tiba. Dia mengambil minumannya. "Terima kasih untuk minumannya. Sekarang, aku harus kembali kepada teman-temanku. Senang bertemu denganmu."

Aku tersenyum nakal kepadanya, tak bisa menahan diri. "Baby, kalau kau mengizinkan aku membawamu pergi ke tempat ini, aku akan mengenalkanmu pada makna senang—yang sepenuhnya berbeda."

Laki-laki cantik itu menggelengkan kepala sembari tersenyum, seakan-akan sedang menghadapi bocah badung. Kemudian, dia berseru dari balik pundaknya sambil berjalan menjauh, "Semoga malammu menyenangkan, Mr. Jung."

Seperti yang sudah kukatakan, biasanya aku pria yang teliti. Aku dan Sherlock Holmes, kami bisa bergaul bersama. Tapi, aku sangat terpana oleh bokong indah itu hingga awalnya aku tidak menyadarinya.

Apa kau menyadarinya? Apa kau memerhatikan detail yang semula terlewat olehku?

Benar sekali. Dia memanggilku 'Mr. Jung'—padahal, aku tak pernah menyebutkan margaku. Kau harus mengingat itu juga.

Untuk saat ini, aku membiarkan sosok cantik misterius berambut gelap itu pergi. Aku berniat memberinya kelonggaran, sebelum menariknya lagi—kail, benang pancing, ladung. Kalau perlu, aku berencana mengejarkan sepanjang malam.

Dia memang seseksi itu.

Tapi kemudian, si rambut merah—yep, si rambut merah dari kamar mandi pria—menemukanku. "Ternyata kau di sini! Kupikir kau sudah pergi." Dia menempelkan tubuhnya di pinggangku dan membelai lenganku dengan intim. "Bagaimana kalau kita pergi ke apartemenku? Di sudut jalan ini."

Ah, terima kasih—tapi tidak, terima kasih. Si rambut merah segera memudar menjadi sebuah kenangan. Pandanganku tertuju pada prospek yang lebih hebat dan menarik. Aku baru saja akan memberi tahunya, saat seorang perempuan berambut merah lainnya muncul di sampingnya.

"Ini adikku, Mina. Aku sudah menceritakan semua hal tentangmu kepadanya. Menurutnya, kita bertiga bisa… kau tahu, 'kan… bersenang-senang."

Aku berpaling kepada adik si rambut merah—sebenarnya, kembarannya. Dan, dalam sekejap, rencanaku berubah. Aku tahu, aku tahu… tadi aku bilang aku tidak akan menaiki rollercoaster yang sama dua kali. Tetapi rollercoaster kembar?

Kuberi tahu saja, ya, tak ada seorang lelaki pun yang akan melewatkan pengalaman seperti itu.

.

.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

.

.

Oke, karena ada yang minta kalau ff remake ini diupdate malam hari setelah buka puasa, jadi Vans coba publish chapter satunya. Kalau tanggapannya bagus, Vans akan update cepat di sela-sela mengerjakan ff Vans yang lain. Kalau pun mau ada yang diundur, Vans akan update lagi setelah lebaran secara berkala. Hehe :D Koneksinya masih siput, jadi harus sabar nunggu loading.

Review, minna~^^