HYUUU. SREEEK. SREEEK. SREEEK.

Suara hembusan angin. Suara gemerisik dedaunan. Suara-suara itu... Aku menatap sendu pemuda yang terbaring di hadapanku.

"Bertahanlah, Luki," bisik-ku dengan suara tercekat. Aku terus memberinya pengobatan yang bisa kuberikan—dengan alat dan keadaan yang seadanya.

Dia hanya menggeleng pelan dan tersenyum pahit. Seluruh tubuhnya sudah berlumuran darah, penuh luka, dan dia hanya bisa tergeletak lemah di atas tanah. Tiba-tiba tanganku berhenti bekerja, nafasku mulai memburu. Aku takut.

Aku takut menyadarinya. Tidak, aku harus tetap berjuang. Aku tidak boleh menyerah. Walaupun sudah tidak bisa diobati, Luki...

Aku mendekat, menggenggam tangannya perlahan-lahan. Basah. Tangan Luki basah oleh darah. Aku menggigit pelan bibirku. Air mataku tidak akan keluar. Luki mendesain-ku dengan air mata tapi hanya kalau mataku kelilipan. Walaupun perasaanku begini pedih, aku tidak bisa menangis. Tidak bisa.

"Luki, jangan pergi...," aku berkata lagi. Menunduk, menggenggam tangan ini semakin erat. Aku benar-benar takut kehilangannya.

Luki kembali tersenyum pahit. "Gakuko... Kau tahu? Aku benar-benar senang ketika aku berhasil menciptakanmu. Aku sangat amat senang, aku berhasil menciptakan model Android terbaru. Android yang bisa tertawa, menangis, berenang, makan, dan bisa memiliki perasaan. Aku berhasil, Gakuko..."

Aku menggeleng kuat, lalu memeluk tubuh Luki, menyandarkan tubuh itu pada lengan dan kakiku. Aku memeluk Luki semakin erat, bau darah menyeruak begitu saja. Mengangguku, sangat menggangguku.

"Kalau Luki pergi maka Gakuko tidak akan memiliki master lagi. Gakuko akan kehilangan teman, Gakuko akan sendirian...," bisik-ku pelan. Tubuhku mulai gemetar. Suasana hening, hanya suara angin yang berhembus pelan dan gemerisik rerumputan yang terdengar .

Luki menatapku dengan tenang, dia tidak tersenyum. Iris azure-nya yang jernih membuat sistem jantungku berdetak lebih cepat dan aku bisa merasakannya sekarang. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang menyeruak hendak keluar dari mataku.

Tes.

Luki tersenyum tipis. Dia meraih pipiku dengan tangannya yang gemetar, lalu berkata, "Lihat? Aku berhasil membuat Android yang bisa 'menangis'."

Tes.

Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Apakah ini yang namanya menangis? Luki mengelus pipiku dengan lembut dan air mataku tetap tidak mau berhenti. Program hati padaku sudah berhasil. Aku benar-benar seperti manusia. Karena itu, aku tidak ingin kehilangan Luki.

"Luki, kumohon... Katakan kalau kau ingin diselamatkan...," isak-ku, kemudian aku menempelkan keningku pada kening Luki. Aku terus memeluk Luki.

"... Gakuko, sekalipun aku diselamatkan percuma saja. Aku akan dibunuh lagi, dan begitu terus. Ini tidak akan selesai, karena itu...," Luki menghentikan kata-katanya dan menatapku.

Tes.

Aku menatap Luki dengan mata berkaca-kaca. Air mataku menetes mengenai wajahnya, mengalir turun ke pipi-nya. Luki menatapku sendu, lalu menarik wajahku agar mendekat ke wajahnya.

"Aku ingin beristirahat dengan tenang... Maaf aku tidak bisa membahagiakanmu, Gakuko," kata Luki sambil tersenyum pahit. "Aku benar-benar minta maaf, padahal aku yang menciptakanmu..."

Aku menggeleng pelan. "Luki sudah membuat Gakuko bahagia... Berada di dekat Luki selalu membuat Gakuko bahagia..." Karena itu aku tidak ingin kehilangan kebahagiaan ini.

Luki terdiam, kemudian dia bangun sedikit dan bibirnya menyentuh bibir-ku. Aku tersentak, tapi Luki menahan kepalaku agar tidak mundur ke belakang. Luki lalu mencium bibir-ku dengan lembut, dan kemudian aku membalasnya—dengan berurai air mata. Hangat. Bibir Luki hangat—dan manis.

Setelah Luki melepaskan ciumannya, dia menatapku dan tersenyum lembut. "Teruslah tersenyum seperti biasa... ya? Terimakasih banyak, Gakuko..."

Jangan katakan itu, kumohon! Aku ingin berteriak seperti itu tapi tidak bisa. Bibirku terasa kelu dan tangis-ku semakin deras. Kemudian Luki menutup matanya perlahan, dan setelah itu aku sudah tidak bisa mendeteksi detak jantungnya lagi. Tubuhku langsung lemas, wajahku terasa mengkerut. Aku tidak berteriak, suaraku seolah hilang entah ke mana. Bahkan aku sudah tidak bisa bersuara lagi.

Pergi... sudah pergi... Luki sudah pergi... Orang yang menciptakanku sudah pergi, sekarang apa yang harus kulakukan...? Tapi aku tidak bisa melakukan apapun selain tetap menangis dan memeluk Luki seperti ini.

Tangan yang biasanya membalas atau bahkan memelukku duluan sudah tidak ada sekarang. Wajah yang selalu tersenyum hanya untukku sekarang sudah hilang. Suaranya yang lembut memanggil namaku sekarang sudah tidak terdengar...

Aku masih terisak, air mataku benar-benar tidak mau berhenti. Aku mencium bibir Luki untuk terakhir kalinya, lalu menggendongnya dengan berat hati. Aku akan memakamkannya. Sudah kuputuskan.

Aku akan membiarkan Luki istirahat dengan tenang. Aku akan terus tersenyum seperti permohonan terakhir Luki. Dan aku pasti akan membalas dendam Luki.

...

Ya, pasti akan kubalas. Orang yang membunuh Luki—bukan, tepatnya orang yang memimpin pembunuhan Meguri Luki—professor jenius yang ternama.

Aku menatap wajah Luki yang tertidur dengan damainya, lalu tersenyum simpul.

Aku bersumpah Luki, aku akan membalas dendammu. Aku akan membuat orang-orang yang membunuhmu merasakan penderitaan yang sama denganmu—dan penderitaan yang sama denganku. Karena itu, aku tidak akan mati sebelum aku menemukan dan membunuh mereka.

Atas nama langit dan bumi serta seluruh alam semesta, aku bersumpah akan memenuhi janjiku ini.

.

.

.


A/N : Saya tahu berapa Fic saya yang bahkan belum selesai, tapi saya benar-benar ingin membuat Fic ini! Semoga tidak Discontinued melihat bagaimana mood saya akhir-akhir ini. Tapi saya rasa tidak. Oh ya, disarankan untuk sambil mendengar lagu Vogel im Käfig OST. Shingeki no Kyojin. Karena dari situ saya mendadak ingin membuat Fic ini, dan karena lagu itu yang membuat saya ingin membuat Fic ini maka saya mengangkat judul lagunya untuk menjadi judul Fic saya. Lagu Call Your Name by mpi juga bagus. Oke, sebelum bacotan saya tambah panjang tidak keruan, lebih baik saya lanjut.

WARNING : ABAL, GAJE, TYPOS. Walau dari ketiga itu tidak ada yang saya harapkan.

The Bird in The Cage

Vocaloid © Yamaha Corporation

The Bird in The Cage © Shirokami Kurashi

.

.

.

.


Chapter 1

.

.

.

.

.

Desember, dua tahun sudah berlalu sejak hari di mana Luki pergi meninggalkanku—dan dunia ini. Luki meninggal pada musim panas dua tahun yang lalu, di mana bau amis darah dan tanah yang basah karena hujan membuatku menggigil takut. Dan sampai sekarang, aku masih ingat jelas bagaimana bau-bau itu. Dan bagaimana senyum terakhir Luki padaku.

Aku meremas pelan kerah jubah hitam-ku dan semakin menutupi wajahku dengan kerudung jubah-ku. Dingin. Bahkan aku yang Android ini bisa merasakan dingin. Dan—

Kemudian aku menangkap gumpalan udara berwarna putih terhembus keluar dari dalam tubuhku. Udara itu hangat, seperti hangatnya tubuhku. Ya, Professor Meguri menciptakanku dengan sangat sempurna. Luki menciptakanku benar-benar menyerupai manusia.

—Aku bernafas layaknya manusia. Tapi tentu saja itu hanyalah sistem masuk keluarnya udara secara bergilir, tidak mempengaruhi kerja mesin di dalam tubuhku sama sekali. Itu hanya buatan. Tidak 'bernafas'pun aku tidak akan apa-apa.

SYUT.

Butiran putih melayang turun dan jatuh di atas ujung hidungku. Suhu terdeteksi. Dan benda itu dingin. Putih, kecil, dan dingin. Aku mendongak dan melihat ada banyak butiran putih seperti itu melayang turun perlahan seperti peri-peri. Oh, hujan salju. Aku suka hujan salju, cantik seperti peri-peri kecil yang terbang turun ke bumi. Aku merapatkan craft-ku dan jubah-ku agar aku tidak terlalu kedinginan.

Kalau terlalu dingin Luki bilang mesin-mesin di dalam tubuhku bisa membeku. Karena itu di dalam tubuhku ada pemanas, tapi itu akan memakan baterai lebih banyak. Aku memang membawa baterai cadangan dan semua baterai cadangan itu masih penuh. Tapi sebisa mungkin aku harus berhemat. Paling tidak akan kalau aku tidak menyalakan sistem pemanas baterai-ku akan bertahan sekitar selama setengah hari—sekitar 12-13 jam.

Yah, itu salah satu alasan kenapa aku tidak mau menyalakan sistem pemanas. Kalau masih bisa dihangatkan dengan baju tebal dan mantel juga jubah seperti ini lebih baik tidak usah menyalakan sistem pemanas dulu. Kalau soal hangatnya tubuhku, efek dari mesin-mesin di dalam tubuhku yang bekerja sudah membuat tubuhku panas. Well, Luki sudah mengatur semuanya. Tubuhku tidak akan panas lebih dari 37˚, sama seperti tubuh manusia.

Kecuali salah satu bagian mesin di dalam tubuhku ada yang rusak.

Kembali lagi ke masalahku sekarang. Uangku sudah semakin menipis dan untungnya cadangan minyak dan oli di tas-ku masih mencukupi. Aku terus berjalan dengan kepala menunduk. Sudah dua tahun dan aku belum menemukan petunjuk tentang kelompok yang membunuh Luki.

Menyebalkan. Aku android yang payah. Mau bagaimana lagi? Aku tidak dilengkapi dengan sistem GPS.

BUGH. BRUK.

"Ah—ma-maaf," seru-ku begitu tersadar dari lamunan-ku. Aku langsung berlutut dan membungkuk dan berharap orang itu tidak akan marah karena aku menabraknya.

"Tidak apa-apa, kau sendiri tidak terluka, kan?" tanya orang itu—dan dari suaranya aku tahu bahwa dia adalah seorang pemuda. Aku melirik pemuda itu sedikit—pemuda berambut hijau teal dengan iris yang sewarna, dia mengulurkan tangannya padaku yang terjatuh dan tersenyum lembut.

Aku meraih tangannya dan mengangguk pelan. Begitu aku menyentuh tangan pemuda berambut teal itu, aku langsung terhenyak. Tangannya hangat. Maksudku, semua tangan manusia memang hangat, tapi—hangatnya tangan pemuda ini seperti hangatnya tangan Luki.

"Kau baik-baik saja?" tanya pemuda itu lagi—dan sekali lagi dia membangunkanku dari alam lamunanku.

Aku langsung mengangguk dan berdiri. Tanpa Luki di sampingku, aku memang sulit berinteraksi dengan orang lain. Bukannya apa, tapi—aku tidak merasa percaya diri. Aku agak sulit berinteraksi dengan orang lain. Aku ingat, ketika aku menceritakan masalahku pada Luki, Luki hanya tersenyum dan membelai kepalaku. Dia bilang itu wajar sebagai seorang Android yang menyerupai manusia, karena ada manusia yang pemalu. Luki juga bilang, mungkin saja hasil program hati-ku adalah aku tipe yang pemalu. Tapi itu baru kemungkinan.

"Aku Hatsune Mikuo," ujar pemuda itu lagi sambil tersenyum ramah. "Siapa namamu?"

Aku menatapnya dengan sedikit ragu. Luki tidak pernah memamerkanku pada publik. Sekalipun dipamerkan, aku selalu memakai jubah seperti ini dan namaku disamarkan menjadi G-01. Jadi identitas asli-ku tidak pernah diketahui oleh siapapun, kecuali oleh Luki sendiri. Aku memainkan ujung bajuku, masih agak ragu.

Kemudian pemuda bernama Mikuo itu tertawa pelan dan menepuk-nepuk kepalaku dengan pelan. Sekali lagi aku terhenyak. Ah, benar-benar mirip dengan Luki.

"Tidak apa-apa kalau kau tidak mau memeberitahukannya. Hei, apa kau sendirian? Mau makan siang denganku?" ujar Mikuo tiba-tiba, dia tersenyum lebar.

Aku terdiam. Dia aneh. Dia aneh karena mengajak orang asing yang baru ditemuinya untuk makan siang bersamanya. Tapi aku tidak bisa menolak, aku sendiri tidak tahu kenapa. Mungkin karena jauh di dalam program hati-ku, aku kesepian dan butuh sesosok yang hangat dan ramah seperti Luki di sampingku.

Maksudku, Luki memang terkesan dingin. Tapi sebenarnya dia ramah dan baik hati. Dan darinya, aku selalu merasakan kehangatan yang membuatku nyaman.

"Boleh," hanya itu yang keluar dari mulutku atas ajakan Mikuo.

Mikuo tersenyum lebar—tampak sangat senang dengan jawabanku. Dia lalu berjalan lagi dan aku hanya mengikutinya dari belakang. Setiap langkah kakiku menginjak timbunan salju di jalanan dan setiap butiran salju turun mengenai hidungku, semuanya, selalu mengingatkanku akan kenangan tentang Luki.

Dua tahun. Luki, dua tahun tanpamu terasa seperti berabad-abad. Aku juga belum menemukan petunjuk sama sekali. Dan polisi sama sekali tidak bisa diandalkan. Bahkan CIA belum berhasil menemukan pelaku-nya. Tapi aku tidak akan menyerah, karena aku sudah bersumpah.

KLINING.

Aku mendongak sedikit, melihat papan nama kedai makanan yang kumasuki. 'Orange Paradise'. Begitu masuk ke dalam ruangan, aku bisa mencium berbagai macam aroma makanan yang cukup menggugah selera. Oh, suhu terdeteksi. Hangat.

Mikuo duduk di salah satu meja dan aku hanya mengikuti-nya, aku duduk di kursi di depannya. Aku lalu melepas jubah-ku dan Mikuo melihatku dengan tatapan agak kaget. Aku membalas menatapnya dengan tatapan 'ada apa?'

"O-oh, maaf, aku hanya sedikit kaget," ujar Mikuo setelah tersadar.

Yah, aku tahu kau kaget. Dari raut wajah dan reaksimu tadi sudah kelihatan jelas kalau kau kaget.

Mikuo lalu melihat ke arah lain dan menopang dagu-nya dengan tangannya—sampai tangannya ikut menutupi mulutnya. "Maaf, aku hanya—em—sedari tadi kau mengenakan jubah hitam-mu itu, jadi aku tidak bisa melihat wajahmu," ujarnya lagi, wajahnya mulai memerah.

"Kuharap kau tidak demam, Hatsu—"

"Ah, langsung panggil Mikuo saja, tidak apa-apa. Aku kurang nyaman kalau dipanggil dengan marga-ku," sela-nya sambil tertawa kecil, dia menggaruk kepalanya yang kelihatannya sama sekali tidak gatal.

Aku hanya mengangguk. "Ya, kuharap kau tidak demam, Mikuo-san."

"Maaf, Anda ingin memesan apa?" tanya seorang pelayan tiba-tiba.

"Oh, iya," Mikuo langsung mengambil buku menu dan melihat-lihat sebentar. Kemudian dia tampak berpikir. "Hem..., satu Tenderloin Steak dengan nasi dan satu coklat panas."

"Baik," pelayan itu langsung mencatat pesanan Mikuo dengan cekatan.

"Kau mau apa?" tanya Mikuo padaku, dia tidak tersenyum tapi tatapannya ramah. Dan sekali lagi, dia mirip dengan Luki.

Aku melirik daftar menu-nya sebentar. "Satu kopi susu panas," jawabku singkat.

Toh aku tidak perlu makan. Minum kopi susu seperti ini pun sebenarnya hanya formalitas. Yang kubutuhkan hanya minyak dan oli. Dan seperti manusia, makanan dan minuman—manusia—yang kukonsumsi akan masuk ke dalam 'lambung'ku lalu nantinya akan dikeluarkan lewat 'anus' bila 'lambung'ku sudah penuh.

Sudah kubilang, aku ini Android model terbaru yang paling menyerupai manusia. Mikuo menatapku dengan mulut sedikit terbuka, tampak bingung.

SREEK.

Pelayan itu menyobek daftar pesanan kami dan menempelnya di pinggir meja kami. "Mohon ditunggu sebentar," ujar pelayan itu kemudian pergi.

Mikuo melihat pelayan itu pergi kemudian kembali melihatku. "Wow, kau hanya memesan kopi susu panas? Kau yakin kau tidak lapar?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Tidak, aku sudah makan sebelumnya," jawabku masih dengan kepala agak menunduk.

Toh kenyataannya memang aku sudah minum minyak tadi, dan setelah kucek oli-ku masih cukup. Beruntung Luki sudah mengajariku cara memeriksa sekaligus membetulkan diri sendiri. Aku ada sistem auto fix. Sistem itu sebenarnya hanya membuatku bisa bergerak dalam keadaan rusak seberat apapun, dengan tujuan agar aku bisa bergerak untuk membetulkan diri sendiri.

Ada caranya, tapi kuakui, memang cukup rumit kalau membetulkan diri sendiri.

Mikuo masih menatapku sambil menopang wajahnya dengan tangannya. Aku memang menunduk—maksudku menatap ke arah meja, tapi aku tahu kalau Mikuo menatapku sedari tadi. Aku mendongak sedikit dan membalas tatapannya.

"Ada apa?" tanyaku.

Mikuo hanya tersenyum tipis dengan matanya yang berkilat-kilat—penasaran.

"Aku hanya penasaran," katanya.

Betul, kan.

"Jubah hitam-mu itu cocok sekali dengan rambut violet kemerahanmu dan iris merah crimson-mu. Apa kau sekarang sudah lebih tenang?" tanya Mikuo balik.

Aku terdiam. Aku mengerti maksudnya. Well, kurasa tidak ada salahnya. Dan kurasa, Mikuo bisa dipercaya. Maksudku, tidak akan ada yang mencurigaiku karena selama ini mereka tidak pernah melihat wajahku dan nama asliku, kan? Aku menarik nafas tipis dan menghembuskannya. Walau hanya paru-paru buatan dan tidak ada pengaruhnya, tapi tetap saja terhubung dengan program hati-ku dan itu membuatku merasa sedikit lebih baik.

"Gakuko," ujarku tiba-tiba.

Mikuo tampak bingung. "Ya?"

"Kamui Gakuko," kataku lagi, masih menatap ke arah meja. "Itu namaku."

Mikuo terdiam, dia lalu tersenyum lebar dan cengengesan. Aku tidak menggubrisnya. Menurutku itu tidak penting.

"Gakuko, ya... Nama yang bagus. Kuharap kau bisa menyanyi, ya, Gakuko," goda Mikuo masih sambil cengengesan.

Aku mengerutkan keningku. Walau namaku 'Gakuko' (Gaku : musik, Ko : anak) bukan berarti aku bisa menyanyi bodoh. Jujur saja, walau aku Android bukan berarti aku serba bisa.

Aku bahkan tidak bisa menembak nada.


Setelah makan siang bersama, Mikuo mengajaku jalan-jalan bersama. Tadinya aku ingin menolaknya karena aku harus mencari orang—atau tepatnya petunjuk, tapi entah kenapa begitu melihat senyum Mikuo aku tidak ingin lepas darinya. Dan pada akhirnya, aku berjalan keliling kota bersama dengannya.

Aku melihat keadaan di sekelilingku. Sekarang tahun 3014. Aku pernah mencari informasi tentang keadaan bumi pada tahun 2000-an dan keadannya jauh berbeda. Maksudku, pada tahun 2000 semuanya terlihat hebat dan megah, tapi juga kurasa memperburuk keadaan bumi. Sedangkan pada tahun 3000-an ini semuanya terlihat lebih sederhana.

Seperti pada abad ke-18. Tidak banyak mobil—sekalipun ada itu pun mobil yang lebih canggih—mobil yang ramah lingkungan. Kebanyakan orang jalan kaki, naik kereta kuda, naik kuda, ataupun naik kereta. Ada bus, tapi agak mahal harganya. Kurasa, populasi manusia memang sengaja membuat keadaan di tahun 3000 ini kembali seperti di sekitar abad ke-18.

Sedikit bangunan pencakar langit. Banyak pepohonan dan rasanya populasi manusia di Jepang jadi lebih sedikit. Seluruh keadaan di bumi sudah jauh berbeda dengan satu millenium yang lalu. Walau lebih sederhana tapi semuanya jauh lebih baik. Tapi tetap saja, soal teknologi jaman ini sudah sangat canggih. Aku salah satu buktinya.

"Hei, Gakuko, kau berasal dari mana?" tanya Mikuo tiba-tiba.

Aku terdiam sejenak. Aku? Berasal dari mana? Memang aku berasal dari mana? Aku berpikir sejenak. Luki berasal dari Tokyo, jadi...

"Dari Tokyo, mungkin," jawabku. Seharusnya aku berasal dari tempat yang sama dengan Luki, karena Luki yang menciptakanku.

"Hem, kalau aku dari Osaka. Takoyaki di sana enak sekali, lho," ujar Mikuo lagi.

Aku hanya mengangguk. Kemudian otak-ku seperti mendapat suatu ide. Kalau Mikuo termasuk orang yang banyak tahu, mungkin saja—

"Mikuo-san, apa kau tahu Professor Meguri Luki dan kematiannya?" tanyaku.

—ada kemungkinan dia bisa memberiku petunjuk.

Mikuo memutar bola matanya dengan cepat, dia tampak berpikir. Dia lalu meletakan kepalan tangan di depan mulutnya, mungkin salah satu cara agar dia bisa lebih konsentrasi. Beberapa detik kemudian, dia menjentikan jarinya dan tersenyum.

"Ah, aku ingat. Professor ternama yang jenius itu, kan? Dia berhasil menciptakan Android yang benar-benar sempurna seperti manusia, kan? Benar-benar hebat. Aku kagum dengannya. Dan... hem... soal kematiannya, ya? Aku benar-benar menyesal dia dibunuh, dan jujur saja, aku juga merasa kesal dan marah dengan yang membunuhnya."

Oh, aku beruntung.

"Hei, Mikuo, apa kau bisa membantuku menemukan pembunuh Lu—Professor Meguri?" tanyaku lagi, kali ini aku menoleh dan menatap Mikuo dengan dalam.

"Hem, kuakui aku ingin tapi hal itu sangat sulit. CIA saja belum berhasil menemukannya, apalagi kita—"

"Bisa. Pasti bisa. Kurasa CIA bukannya tidak bisa menemukannya, tapi tidak ingin menemukannya. Maksudku, mereka menghentikan diri di tengah misi," aku menyela ucapan Mikuo.

"Maksudmu mereka tidak ingin melanjutkan pencarian tentang pembunuh Professor Meguri? Yeah, agaknya itu lebih masuk akal daripada alasan 'mereka tidak bisa menemukan'nya. Tapi tetap saja, bagaimana cara kita menemukannya?" tanya Mikuo.

Aku terdiam, berpikir. 'Bagaimana'. Itu pertanyaan paling indah karena selama dua tahun inilah pertanyaan itu terus menghantuiku dan aku belum menemukan jawabannya.

"Gakuko," panggil Mikuo lagi.

Aku hanya menoleh tanpa menjawabnya. Dia melirik-ku dengan serius, dan agak ragu-ragu.

"Apa mungkin... Yang membunuhnya Professor Nakajima? Professor Nakajima sangat berambisius ingin mengalahkan Professor Meguri, kan?"

Aku tersentak. "Itu...," aku menghentikan kata-kataku dan menunduk. Luki dan Gumiya sangat dekat. Mereka sahabat baik. Mereka— "Maaf, Mikuo, tapi... Aku meragukan ide itu."

—mereka benar-benar dekat seperti saudara kembar.

"Em, yah, aku tahu hal itu terdengar mustahil. Tapi memang kita harus memulai dari mana lagi? Daripada itu, memang kau siapa-nya Professor Meguri?"

JLEB.

Mataku membulat sempurna, seluruh tubuhku merinding. Aku siapanya Luki? Mustahil aku mengatakan 'aku Android yang dia ciptakan', itu sama saja menghancurkan diri sendiri! Aku siapanya Luki, siapa, siapa, siapa...

Ah.

"Aku orang terdekatnya. Itu saja," tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutku.

Astaga, tapi kurasa tidak buruk juga. Mikuo mengangguk mengerti, kami terus berjalan.

"Kalau begitu, apa kau tidak bersamanya saat Professor Meguri dibunuh?" tanya Mikuo dengan suara pelan, dia terdengar sangat hati-hati.

Aku menghela nafas tipis. "Saat itu kami sedang berkemah. Aku sedang mengambil air ketika aku mendengar suara sayatan pada daging dan darah muncrat. Aku bergegas kembali, secepat mungkin. Tapi begitu aku sampai, Lu—Professor Meguri sudah... Ah, sayangnya saat itu sinyal juga mati."

Aku tidak bisa melakukan apapun selain memberi pertolongan pertama pada Luki. Tapi luka-nya sangat dalam dan parah, seharusnya aku langsung membawa-nya keluar dari hutan. Seharusnya aku melawan perintahnya yang memintaku untuk tetap di sana. Seharusnya aku membangkang dan lari ke rumah sakit membawanya. Memang hutan itu sangat jauh dari rumah sakit, tapi paling tidak karena aku Android masih ada kemungkinan waktunya kebu—

"Gakuko...?"

Tes.

"Ah..."

Salahku. Ini salahku.

Tes.

Ini salahku karena menurutinya, karena tidak memakai otak-ku! Ini salahku karena panik dan tidak tahu apa yang harus kulakukan! Ini salahku padahal aku Android kenapa aku begitu bodoh! Kematian Luki adalah salahku juga...

"Gakuko, kau baik-baik saja!? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membuatmu menangis begini, aku..." Mikuo terlihat panik, dia menyentuh pundak-ku dengan hati-hati.

Aku hanya menggeleng sementara Mikuo memelukku dengan lembut. Aku tidak bisa berhenti menangis. Air mata ini mengalir terus, tidak bisa kuhentikan.

"Maaf, sebentar saja...," bisik-ku.

Mikuo terkekeh pelan, dia masih memelukku lalu mengelus kepalaku perlahan. "Tidak apa-apa... Aku juga minta maaf karena menanyai hal seperti itu padamu."

Mikuo terus memelukku sampai aku benar-benar berhenti menangis. Dia menenangkanku, lengannya yang kuat dan hangat memelukku sama seperti ketika Luki memelukku. Bodoh, aku benar-benar bodoh. Bagaimana bisa... Pemuda yang memelukku ini bisa begitu benar-benar mirip dengan Luki...?

Setelah aku lebih tenang walau air mataku masih sedikit mengalir, aku melepaskan diri dari pelukan Mikuo. Mikuo tersenyum lembut padaku, walau aku tidak melihatnya dan tetap menunduk tapi aku tahu.

"Semua pasti akan baik-baik saja. Dan soal bagaimana cara kita menemukan pelakunya, aku sudah memikirkannya. Ide ini gila, tapi kurasa hanya itu satu-satunya jalan untuk orang biasa seperti kita. Maksudku, untuk detektif amatir sepertiku."

Air mataku langsung berhenti, aku mendongak menatap Mikuo dengan tatapan tidak percaya. Dia—? Dia—? Dia apa—?

"Detektif—amatir!?"

.

.

.

To be Continued

A/N : Saya berharap Anda mendapat feel-nya, tapi sulit sekali... *sighed* Ah. Review?