Bleach © Tite Kubo
Timeline:
2 minggu setelah misi di Rukongai, atau
seminggu setelah confession di Shiba Mansion
.
Sequel 320 DISTRICTS
Dedikasi untuk pembaca di fic tersebut
.
.
.
.
.
Soul Society masih terbagi atas Rukongai dan Seireitei. Seireitei masih di bawah tanggung jawab Batalion 13. Batalion 13 masih terdiri dari 13 divisi. Divisi ke-13 masih dipimpin Juushiro Ukitake. Ukitake masih mengidap tuberkulosis. Tuberkulosis masih membuat rambutnya jadi putih. Seputih rambut Toushiro Hitsugaya, yang tiba-tiba kerap mengunjungi divisinya.
Duduk berhadapan, ditemani kepulan teh. Sepasang kapten berambut sewarna membincangkan program kerjasama antar dua divisi yang digagas Soutaichou. Tidak ada yang ganjil, selain kenyataan bahwa kegiatan ini telah berlangsung tiga kali dalam kurun waktu seminggu. Tidak ada kunjungan wakil divisi 13 ke divisi 10, yang ada adalah sebaliknya.
Kejanggalan tidak diidap Hitsugaya-taichou saja. Tapi pula bawahan Ukitake, Rukia Kuchiki, yang amat berela hati menangani hal-hal yang berhubungan dengan divisi ke-10, bahkan tanpa dibantu.
Ada apa gerangan? Apa Ukitake ketinggalan berita terkini bahwa Soutaichou memotong janggut yang dirawatnya penuh sukacita selama seribu tahun?
.
.
.
Never Meant to Belong
.
# 1 #
Toushiro Hitsugaya dan Rukia Kuchiki
.
.
.
Pikiran, apa sandiwaranya ampuh mengelabui Ukitake atau tidak, telah jadi kebiasaan Toushiro ketika keluar dari ugendou. Begitu pula pandangan yang terarah pada bangunan kerja Shinigami non-perwira sambil bersedekap menyusuri koridor divisi ke-13. Kadang berhenti sejenak, menunggu Rukia menengok dari jendela dan melihatnya. Tapi mungkin kali ini ia tidak seberuntung dengan dua kunjungan sebelumnya. Ia lanjut berjalan.
Kesimpulan itu runtuh ketika Toushiro berbelok.
Rombongan prajurit tanpa pangkat tampak membopong tumpukan buku dari perpustakaan. Melonjaknya rekrutan Shinigami tahun ini memaksa mereka mengorbankan perpustakaan utama menjadi kamar, dan memindahkannya ke gudang belakang. Di baris kelima paling kiri dari depan adalah alasan kenapa Toushiro menyetop Sentarou dan Kiyone ketika mencoba menyapanya. Rukia beraut jengkel dibalik tiang buku yang tingginya melebihi tinggi badannya. Tidak mudah menahan berat puluhan buku ketika berhenti. Ia menengok, ingin tahu tersangkanya, dan seketika kerutan kening kesal lenyap berganti semburat merah jambu.
Karena tepat saat itu juga, senyum semanis amanattou Toushiro Hitsugaya terpampang dengan jarak tidak lebih dari se-jengkal.
Kikuk menjalar, mengganggu keseimbangan susunan buku hingga akhirnya runtuh dan menimpa si pelaku sendiri alias Toushiro.
"Hitsugaya-taichou!"
Simpati tinggi Kiyone kambuh. Jangan harap ia membuang kans menolong lelaki rupawan. Apalagi lelaki yang rambutnya seputih Ukitake-taichou. Tanpa sungkan, ia membebani Sentarou buku yang dibawanya sebelum bergerak. Disusul para gadis lain yang memilih menelantarkan si buku ketimbang kehilangan kesempatan yang jarang datang. Rukia yang lebih berhak pun kalah cepat dan cuma meruncingkan bibir menyaksikan Toushiro 'disentuh' gadis lain.
"Anda tidak apa-apa, Hitsugaya-taichou?"
Satu pertanyaan tujuh gadis menggempur si kapten muda. Dan dijawab dengan anggukan biasa, normal, dan layaknya sikap tenang nan dingin khas Toushiro Hitsugaya.
"Maaf, Hitsugaya-taichou."
Namun, lain kisah ketika Rukia yang berujar.
"Tidak apa-apa. Jangan khawatir."
Jangan fokus pada balasan yang terdengar biasa ini. Fokuslah saat Toushiro beranjak menjauh, menikung di koridor depan; senyum tipis nan manis merekah di bibirnya.
Baiklah. Si kapten sudah pergi, maka lupakan tentang senyum. Kembali ke koridor, kondisi yang tidak membaik bahkan sepeninggal pemuda itu. Salahkan para perempuan yang tidak lepas dari naluri seorang penggosip.
"Aku penasaran, apa Hitsugaya-taichou akan tetap sedingin tadi jika punya pacar?"
Pun berimbas pada Rukia. Ia terpaku. Tangannya terhenti di buku kelima yang ia susun.
"Kalau tetap sedingin tadi, pacarnya tidak akan tahan di sampingnya kurang dari seminggu. Bertaruh semua tabunganku."
Tangannya masih menggenggam buku yang sama.
"Selain itu, cuma gadis berani yang mau jadi pacarnya. Soalnya dia akan diteror fans Hitsugaya-taichou yang katanya jumlahnya itu seperempat penghuni Seireitei."
Rukia menelan ludah, samar. Tangannya meletakkan buku di atas buku keempat, tapi tidak se-rapi sebelumnya.
"Aku rasa alasan itu yang membuatnya tidak punya pacar."
Buku berikutnya terhenti di tengah-tengah.
"Kasihan sekali. Tapi dengan begitu Hitsugaya-taichou jadi milik kita semua."
Rukia menganga, sedikit. Buku kembali tumbang ketika terantuk buku keenam tanpa fokus.
"Kalian salah!" Sentarou menceletuk guncingan tiga gadis. Lagi-lagi, aktivitas Rukia tertunda. "Hitsugaya-taichou tidak punya pacar bukan karena hal itu. Tapi karena kerja dan bertarung jauh lebih menyenangkan dan penting ketimbang pacaran."
"Siapa yang bilang begitu, Kotsubaki?" Kiyone membantah setelah mengambil jatah buku yang dititip pada pria itu. "Pacaran tidak kalah menyenangkan dan penting. Bahkan, jauh lebih menyenangkan. Bisa tertawa bersama, memasak bersama, dan minum teh bersama," adik Isane ini pun memasuki dunia khayal menyesap teh bareng Ukitake-taichou. Mengenakan furisode, berhadapan di bawah payung raksasa dan ditemani semilir angin musim semi. Melodi dari kecapi pun mengiringi. Suara merdunya begitu jelas. Sejelas ...
"Aku yakin Taichou berpendapat sama denganku.
... suara Sentarou yang lagi-lagi menantang keras. Dunia mimpi Kiyone pun luluh-lantak tak bersisa.
"Apa?"
"Kuchiki pun pasti punya pendapat sama. Iya kan, Kuchiki?"
Nyaris saja, buku yang susah payah dibangun Rukia runtuh lagi. Ia berdiri kaku, belum tahu harus memberi jawaban terbaik apa, agar ...
"Tidak mungkin. Kuchiki-san pasti setuju denganku. Iya kan, Kuchiki-san?"
... Kotetsu-sanseki tidak ikut menyeretnya dalam perdebatan yang secara tidak langsung telah menyangkut-pautkan dirinya. Sayang sekali, terlambat sudah.
Manik ungu Rukia bergeser kanan-kiri, bingung. Menyepakati opini Kotsubaki-sanseki tak lantas membuat Kotetsu-sanseki urung meyakinkan agar memihaknya. Begitu pula sebaliknya. Jadi lebih baik ...
"Saya setuju keduanya."
Bersikap netral, tidak bepihak pada kubu mana pun adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan kata damai. Meski Kiyone masih menggerutu tidak karuan, teguh pada opininya ketika lanjut berjalan. Tidak lain cerita untuk Sentarou.
Tak ayal, Rukia mendesah lega setelah lolos dari jeruji perdebatan. Lalu mengangkut buku yang telah rapi, tapi keseimbangan yang kurang memaksa buku paling atas terjatuh. Berdebam di lantai dengan sampul menghadap ke atas. Dipungutnya kembali, namun sepotong kertas yang melayang jatuh di depannya mesti membuatnya tetap bersimpuh.
Perhatian berkutat sebentar, dan tak lama senyum mengembang di wajahnya.
Aku menunggumu di tempat biasa nanti siang.
Ada titipan Baa-chan untukmu.
.
.
.
.
.
Jika ada sesi wawancara bertajuk kenangan masa kecil, katakanlah di majalah yang dibawahi Hisagi, dan Toushiro ditanya tentang permainan masa kecil apa yang tidak pernah ia mainkan. Jawabannya adalah petak-umpet. Terkesan pengecut, pikirnya. Bagaimana jawaranya adalah anak yang bersembunyi paling lama dan senantiasa menghindari lawannya.
Lalu bagaimana jika ditanya, kenapa ia malah bermain petak-umpet dengan para penghuni Seireitei saat ini? Memilih jalanan lengang, minim pejalan kaki untuk bertemu Rukia selama seminggu ini? Jawabannya adalah ia terdiam. Tidak tahu, atau lebih tepatnya belum tahu.
Perempatan jalan menuju divisi ke-10, 11, 12, dan 13 menjadi area favorit mereka untuk berjumpa setelah kesibukan di divisi masing-masing. Bersandar sambil berdekap lengan memandang langit yang tidak secerah hati Toushiro tiap kali menanti Rukia. Jantung berdentum antusias menunggu seseorang terkasih seolah tak bersua puluhan tahun dan terpisah ratusan mil. Senang bercampur rasa tak sabar.
Degup jantung kian meronta ketika detik berlalu lebih lama dibanding sebelumnya. Kaki kerap menghentak pelan tak sadar. Waswas dan kalut merayap di sekujur muka.
"Hitsugaya-taichou ..."
Hingga menguap ketika suara semerdu nyanyian lullaby menyambangi telinganya.
"Ano ... Apa saya terlambat?"
Bibir Toushiro masih terkatup. Bola mata turquoise-nya pun masih menatap orang yang sama.
Rukia rikuh. "Maaf, membuat Anda khawatir. Tadi ada beberapa—"
"Sudahlah. Ayo."
Katanya, akhirnya. Tidak peduli alasan yang membuat si gadis bangsawan terlambat. Rukia sudah ada di sini saja, dalam keadaan tidak kekurangan apa pun; itu sudah cukup. Digenggamnya jemari gadis manis ini, erat. Menyatukan lima jari ke ruas-ruas jari Rukia. Tindakan ini membuatnya tenang, seolah berkata: Rukia baik-baik saja, Toushiro; Rukia aman-aman saja, Toushiro; Rukia ada di sampingmu, Toushiro.
Rukia tidak punya secuil pun alasan untuk tidak membalasnya. Dengan senang hati, menautkan jari tidak kalah eratnya.
"Nah, Hitsugaya-taichou," Rukia membuyar hening. Sepanjang jalan, hanya derap tapak waraji bertemu ubin yang terdengar. Toushiro menoleh. "Bagaimana dengan titipan Obaa-sama?"
Toushiro tidak akan menepuk jidat meski lupa. Sama sekali bukan gayanya. Diunjukkannya sekotak bungkusan berserbet hijau bermotif kura-kura yang dipegang di tangan satunya.
"Apa itu sekotak makanan?"
"Begitulah. Baa-chan memasak banyak untukmu."
Dan Toushiro tidak tahu kapan si kotak tiba di tangan Rukia. Direbut secepat shunpo dan didekap seolah tak mau berbagi. "Berarti ini milik saya. Anda jangan berani minta, ya."
Toushiro melongo, lalu tertawa singkat tanpa suara. "Siapa juga yang akan minta. Aku sudah cukup puas menikmati masakan Baa-chan yang dikirim untukku setiap bulan."
Rukia manggut-manggut ringan. "Kalau begitu, janji."
"Aku janji."
"Janji kelingking, maksud saya. Jangan cuma bicara."
"Kau ini seperti anak-anak saja yang harus menggunakan janji kelingking."
"Janji seperti ini lebih mudah dipercaya ketimbang diungkapkan lewat mulut. Karena kalau tidak ditepati, jari kelingking akan langsung hilang, dan jadi makanan Dewa."
Toushiro menjamin, Rukia adalah pecandu buku-buku dongeng. "Dewa tidak selera melahap jari." Dan kenapa ia malah melayani?
"Benarkah? Lalu, apa kesukaan Mereka?" Rukia percaya-percaya saja. Padahal, Toushiro cuma asal-asalan.
"Kuping, kupikir."
"Eh, kuping? Selera Dewa sangat buruk. Bagaimana jika kuping itu penuh kotoran?"
"Tentu saja, dibersihkan."
"Tapi tidak mungkin kan Mereka langsung menyantapnya. Pasti rasanya hambar. Apa diberi bumbu penyedap?"
"Mungkin saja. Diberi garam, lada, kecap, gula, bawang putih, bawang merah, bawang bombay ..." Jeda. Berpikir, apa lagi bahan-bahan dapur yang belum ia sebutkan, "tomat, jeruk, bayam, susu, terigu, mentega."
Rukia beraut tak percaya, pura-pura. "Itu bahan-bahan makanan favorit Anda, Hitsugaya-taichou? Anda tidak muntah?"
Toushiro menganga. "Apa maksudmu? Itu makanan Dewa."
Rukia mengerjap. "Saya baru tahu, Anda percaya hal kekanak-kanakan."
Muka Toushiro semerah cabe, ia dipermainkan.
Rukia tergelak geli. Berlari menjauh, jari telunjuk mengacung, lalu berseru di sela-sela tawa riangnya. "1-0, Hitsugaya-taichou."
Toushiro berdecak, tapi tidak kesal. Ia malah tersenyum lebar. Namun tidak bertahan lama ketika punggung Rukia kian mengecil. Kemelut resah itu kembali, membelenggu sekujur batinnya. Menyentak-nyentaknya untuk berlari sebelum punggung itu menghilang.
Happ!
Punggung itu kembali dekat. Toushiro menarik lengan Rukia, menolongnya dari sandungan jalan berlubang. Nyaris saja insiden di jembatan terulang, wajah bertemu ubin.
"Lihat. Inilah akibat kau melepas tanganku."
Tenang, tapi tegas dan penuh penekanan. Toushiro berupaya meredam dan menyembunyikan risau yang menyulubunginya. Ia menarik Rukia, lebih dekat.
"Jangan terlalu jauh dariku, Rukia. Aku takut, aku tidak bisa melindungimu."
Takut. Toushiro tidak pernah melontarkan kata sifat tabu itu se-gamblang ini. Ia takut Rukia tidak bersamanya lagi? Atau takut Rukia terluka?
Rukia tersenyum menenteramkan. Perlahan, melepas genggaman Toushiro di lengannya. Kini, ia yang duluan menggenggam jemari pemuda itu, erat. Seiring anggukan pelan, tapi penuh keyakinan.
Pun, berbuah cengiran Toushiro tak lama kemudian, dan jentikan jari di hidungnya.
"Berterimakasihlah padaku. Hampir saja hidungmu pesek lagi seperti di jembatan. Dasar Ceroboh."
Rukia mengerucutkan bibir, kesal. "Anda pikir, itu salah siapa?"
"Tentu saja, salahmu. Kau sendiri yang lari."
Rukia membuang napas, kapten ini pikir karena siapa ia lari. Lalu Toushiro menoleh ke samping, dan tersadar kalau mereka telah tiba di lokasi yang mereka tuju.
Tepat di depan kantin divisi ke-11.
Di hari-hari biasanya, kantin ini sangat ramai, sesak, dan berbaris belasan pengantri. Ya, di hari tanpa Toushiro Hitsugaya. Pemuda ini datang bukan karena masalah level makanan di kantin divisi ke-10 di bawah kantin divisi ke-11. Percayalah, masih jauh lebih lezat, bergizi, dan bervitamin. Bukan juga karena lebih murah. Sungguh, hanya berbeda beberapa keping. Bukan pula karena dekorasinya. Masih lebih menarik mata dan nyaman. Dan jelas bukan karena penghuninya. Tentu saja kita tidak akan diusik teriakan rebutan makanan, ancaman, atau pelototan mata khas prajurit divisi pertarungan.
Alasan sesungguhnya adalah divisi ke-11 merupakan satu dari dua divisi (selain divisi ke-7) tanpa prajurit bergender perempuan, kecuali letnannya yang masih di bawah umur. Toushiro paham betul jika sudah berkenaan dengan makhluk yang namanya perempuan, pasti tak akan jauh-jauh dari kata gosip. Bisa dimaklumi, puluhan tahun ia habiskan bersama wanita bertipe seperti itu.
Aslinya, Yumichika mendekati profil raja gosip bersanding dengan Rangiku. Tapi ia bertekuk lutut di hadapan lembaran uang. Toushiro tahu menyogok itu tidak baik, tapi maafkanlah ia untuk kali ini. Menyuap Yumichika dan Ikkaku untuk menyingkirkan rekan-rekannya ketika ia dan Rukia datang bertamu ke kantinnya. Tak lain, untuk makan siang bersama seperti saat ini.
Meja favorit mereka adalah ketiga sebelah kiri. Bukan apanya, tempat itu paling bersih, sedangkan meja lain penuh upil. Alih-alih makan siang, baru duduk selera makan langsung lenyap.
Duduk berdampingan. Rukia membuka bungkusan titipan Baa-chan. Dua kotak makanan, berwarna hijau dan di bawahnya berwarna maroon. Kenyataan ini berlawanan dengan gurauannya tadi. Ia pun tidak serakus Omaeda-fukutaichou yang mampu menghabiskan dua kotak.
"Ada apa?" Toushiro heran ketika Rukia mengangsurkan kotak sewarna selempang Hyourinmaru. "Kau bilang kau tidak ingin berbagi?"
"Kapan saya bilang saya tidak ingin berbagi? Saya cuma bilang Anda jangan minta. Tapi kalau saya yang memberi lain lagi ceritanya."
Diulurkannya sepasang sumpit pada Toushiro yang masih terheran-heran, sebelum menyantap nasi yang seketika melumer di mulutnya.
"Lembut. Obaa-sama jago masak."
Toushiro menimpali sebelum mengunyah se-sumpit mie, "Kalau begitu, belajarlah pada Baa-chan supaya masakanmu tidak hambar."
"Tidak masalah jika masakan saya hambar," Rukia memberi Toushiro kue ikan, kesukaan pemuda ini. "Setidaknya ada satu orang yang senantiasa menyukainya, dan selalu jadi langganan masakan saya. Saya sudah puas."
Toushiro membarternya dengan kacang merah, kesukaan gadis ini. "Kau puas dengan cuma satu orang?"
"Satu orang lebih baik ketimbang tidak ada," Rukia melahap penuh hikmat sebutir demi sebutir kacang merah. "Apalagi orang itu adalah ..."
Rukia tersenyum di sela-sela gantungan kalimatnya sembari mengerling. Sementara Toushiro berpaling pada pemandangan luar jendela yang hanya menyajikan tembok putih.
Sang pelanggan setia masakan Rukia, merona.
Lalu kita berpindah ke balik jendela seberang paling belakang. Satu orang duduk di bangku, seorangnya lagi berdiri bersandar. Mengapit kisi jendela
"Apa kau merasa aneh mendengar mereka seakrab itu," Yumichika meniup kepulan teh, "Ikkaku?"
"Hitsugaya-taichou dan Kuchiki?" Ikkaku menatap langit berawan. Katana jadi perpanjangan pundaknya, ditahan oleh kalungan lengannya. "Biasa saja."
"Aku merasa aneh bukan karena obrolan mereka terdengar sangat akrab," Yumichika menyesap teh, hangatnya mengalir di kerongkongan, "tapi karena aku tidak merasa aneh ketika mereka akrab."
Kening Ikkaku berkerut. Kalimat rekannya agak sulit dipahami oleh orang yang jarang memutar otak. "Kalau aku sudah merasa akan berakhir seperti ini saat melihat mereka di Owari."
"Saat mereka berpegangan tangan?" Yumichika meletakkan cangkir teh. Sebelum memangku paha di atas paha lainnya sambil berpikir sejak kapan Ikkaku punya firasat setajam Rangiku, karena wanita itu mengatakan hal sama beberapa waktu lalu. "Betul juga."
"Apakah mereka sangat mesra di Owari?"
Umur panjang. Baru dipikirkan, Rangiku menampakkan batang hidungnya. Langkah cepat mengirimnya berdiri di depan jendela, membungkuk untuk mengintip, dan tak lama desahan kecewa terdengar. Sosok pasangan baru di dalam kantin terhalang oleh pagar pembatas antar meja.
"Kau membolos dari kerjamu, Matsumoto?"
"Jangan bicara seenaknya, Ikkaku," ia berbalik, berkacak satu pinggang. "Semua tugas yang diberikan Taichou-ku sudah selesai."
"Hitsugaya-taichou mengurangi pekerjaanmu," spekulasi Yumichika terdengar kendati ia tahu itu tidak mungkin. Lalu menyesap tehnya lagi.
"Enak saja," Rangiku merebut di kala kurang berapa inci bibir cangkir mendarat di bibirnya. "Sama sekali tidak. Porsinya tetap sama. Hanya ... Taichou sangat bersemangat."
Ikkaku dan Yumichika berpandangan. Sementara Rangiku bersandar di jendela, mendekap satu lengan sambil menenggak isi cangkir hingga kering. Lalu mengeluh tentang sake jauh lebih nikmat ketimbang teh hijau.
"Aaah~ rasanya ingin merasakan lagi semangat seperti Taichou." Mendadak diterawangnya masa lalu, saat-saat mengawali kehidupan baru di Seireitei. Sungguh bersemangat demi mencapai posisi setara dengan Gin yang kala itu merupakan perwira ke-3. "Kalian juga," singgungnya pada sepasang sahabat. "Mungkin kalian akan bersemangat jika belajar tentang cinta."
"Hah, yang membuatku bersemangat hanyalah jika bertemu lawan sekuat Zaraki-taichou," bagi Ikkaku beradu pedang sambil berdarah-darah adalah sumber utama pemacu hidupnya.
"Saya akan sangat bersemangat jika harga salon menjadi lebih murah, Rangiku-san," dan bagi Yumichika, terlarang hukumnya menginjakkan medan pertempuran dengan rambut kusut.
Dan Rangiku pun merasa sangat bodoh telah berdiskusi topik romansa dengan mereka.
Tidak lama setelah obrolan singkat di atas, pasangan baru Seireitei angkat kaki dari kantin. Tampak menyusuri jalan sama dan pose yang sama pula, berpegangan tangan, seperti saat mereka datang. Ketika menempuh setengah jalan, Rukia mengeluh tentang sulitnya menginap di tempat Obaa-sama lagi. Lantaran himpitan kesibukan baik dirinya, atau Toushiro.
"Kau ada waktu besok sore?" Tapi dalam hitungan detik, Toushiro memantik sepercik harapan. "Sebenarnya, aku punya waktu kosong hingga malam. Itu pun jika kau punya waktu luang, Rukia."
Rukia tidak lantas mengiyakan, mengingat tumpukan laporan yang mesti ia kumpulkan lusa. Tapi kalau kelar besok sebelum sore, lain lagi ceritanya, kan?
"Kita bisa cari waktu lain jika—"
"Saya akan usahakan. Akan lebih sulit bagi seorang Taichou memiliki waktu kosong lain. Jadi, saya akan berusaha untuk besoknya."
"Tidak usah memaksakan diri."
"Tidak," ia benar-benar akan berusaha. "Seperti saat ini, punya waktu untuk bertemu saja sudah sangat beruntung. Saya pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan besok."
Sempat terlintas, seberapa keras kepalanya gadis ini?—sebelum Toushiro tersenyum.
Atau sebelum mereka tiba di perempatan.
Bagi Toushiro dan Rukia, perempatan bukan hanya lokasi untuk berjumpa, berjumpa lagi, dan berjumpa lagi. Tapi pula lokasi untuk berpisah, berpisah lagi, dan berpisah lagi. Berpisah tidak semudah mengucapkannya. Sesulit saat Toushiro melepas tangan Rukia atau Rukia yang memandang jauh punggung Toushiro. Tapi sulit tidak akan berubah jadi mustahil karena ...
"Besok—ah, tidak," Rukia menggleng. "Lusa—terlalu cepat. Lusanya lagi—"
"Besok saja," Toushiro pun memotong.
"Iya," Rukia kembali kalem. "Besok bisa bertemu lagi, kan?"
Pertanyaan itu berbuah cengiran Toushiro. "Aku tidak akan ke mana-mana, Rukia. Dari sini jarak divisiku cuma belasan kilometer. Soutaichou pun tidak punya rencana untuk memindahkannya ke Hueco Mundo."
Rukia tersenyum. Entah sejak kapan kapten ini belajar bercanda, ia tidak peduli.
"Baiklah, kalau begitu kita bertemu besok."
"Besok."
"Besok."
"Besok."
... selalu ada sebersit harapan dan keyakinan bahwa mereka akan bertemu besok.
Selangkah, dua langkah, tiga, ... , lima, ..., tujuh langkah—Rukia menjauh. Telah jadi kebiasaan baginya untuk beranjak lebih dulu dengan Toushiro yang bergeming di posisi sama. Jika tidak begitu, mereka tidak akan pergi ke mana-mana. Kapten itu kerap gelisah jika tidak dengan matanya sendiri mengawasinya hingga berbelok di tikungan jalan. Baru setelah itu, giliran Toushiro berjalan ke arah berlawanan.
Tanpa tahu bahwa Rukia pun mengawasinya di balik tikungan, menunggu sampai punggungnya tertelan jarak.
Menarik sekali, bukan?
.
.
.
.
.
Selain topik kekosongan kepemimpinan tiga divisi, Kiyone tidak akan kaget jika rapat utama para kapten pertengahan tahun ini ikut membahas kenaikan pangkat adik kapten divisi ke-6. Menapaktilasi performa gemilang Kuchiki-san saat invasi Arrancar di Karakura, pertempuran Hueco Mundo, dan andil besarnya dalam membongkar kasus terkelam Central 46 baru-baru ini. Dipertegas pula dengan kinerja Kuchiki-san belakangan ini yang melebihi para perwira. Tanpa hirau fakta bahwa dirinya sebatas Shinigami tanpa pangkat.
Namun, Kiyone turut senang dengan semangat gadis itu. Terutama raut cerah sumringah Kuchiki-san akhir-akhir ini. Kerap, ia mendengar senandung ceria 'Lalalalala' atau 'Nanananana' ketika gadis itu sedang mengerjakan laporan, menyapu halaman, mengepel lantai, atau menyeduh teh di dapur. Hampir setiap aktivitas. Senyum manis pun acap tak lupa diumbar si nona bangsawan.
Jika tidak percaya, bisa dilihat di meja paling pinggir sebelah jendela urutan ketiga dari depan. Pemandangan Rukia Kuchiki yang sedang membereskan laporan setelah nyaris tidak menutup mata semalam suntuk. Tapi senyum masih tak ragu tersungging di bibirnya. Kiyone tidak tahu apa yang terjadi, namun yakin itu pasti hal yang menggembirakan.
Atau jangan-jangan berhubungan dengan buku romansa yang ia sembunyikan di bawah meja kerja dan mendadak dipinjam oleh Kuchiki-san.
"Kotetsu-sanseki," lamunan Kiyone buyar, "ini, sudah selesai." Rukia mengulurkan segenggam laporan dalam map.
Kiyone meraihnya, tercengang. "Kau menyelesaikan sebanyak ini hanya dalam waktu semalam, Kuchiki-san?" Laporan dua map biasanya rampung dalam tiga hari, tapi gadis ini malah ...
Rukia tertawa kecil. "Jadi saya lowong kan sore ini hingga malam?"
Apa boleh buat, anggukanlah yang diberikan Kiyone. "Tapi kenapa kau sangat menginginkan waktu kosong? Apa ada acara penting di rumah besar Kuchiki?"
"Tidak. Hanya, saya ingin ke suatu tempat."
"Sendirian?" selidik Kiyone, dan tepat sasaran. Kurun waktu tiga detik, Rukia gugup. Membuat bibir si gadis pirang menarik cengiran jahil. "Jangan-jangan—"
"Kita bisa bicarakan nanti, Kotetsu-sanseki."
"Eh, kau ingin membicarakannya denganku?"
Gawat. Rukia salah kata.
Kiyone menepuk bahunya. "Tenang. Aku tidak akan memaksa. Tapi jika kau butuh teman bicara, apalagi soal pria kau bisa datang padaku, Kuchiki-san."
Diakhiri senyum menggoda Kiyone sebelum meninggalkan si gadis bangsawan dan berkomat-kamit dalam hati tentang: 'Kurosaki-san? Abarai-fukutaichou?', 'Kurosaki-san? Abarai-fukutaichou?', 'Kurosaki-san? Abarai-fukutaichou?'. Sedang Rukia menyusuri koridor menuju gerbang depan sambil menghela napas selega-leganya. Hampir saja ketahuan.
Ia berhenti, merogoh surat yang dibuat semalam. Lalu lanjut melangkah dengan hati riang-gembira. Jika perlu, ia akan memanifestasikannya dengan senyum-senyum kegirangan sepanjang jalan. Dengan syarat mutlak, jalan sedang tidak padat, dan rela jadi bahan selentingan pejalan kaki lain bahwa ia butuh waktu khusus bersama Kurotsuchi-taichou membahas masalah kejiwaan.
Tapi tak apalah. Senyum-senyum dalam hati pun sudah cukup. Kebahagiaan bertemu kembali dengan Obaa-sama biar sendiri saja yang merasakan. Kebahagiaan yang serupa dengan hangatnya kebersamaan dan kekeluargaan yang dirindukannya semasa kecil saat di Inuzuri. Bersama keluarga pertamanya, duduk mengepung api unggun sambil melahap ikan bakar. Tertawa dan bernyanyi dengan Renji dan ketiga sahabatnya yang telah pergi.
Tiba di hadapan gerbang yang setengah tertutup, Rukia lantas melongokkan kepala, mengamati halaman depan divisi ke-10. Sepi. Hanya seorang prajurit non-pangkat seperti dirinya sedang menyapu. Tapi ketika pria itu berbalik, ia salah besar. Prajurit itu seorang perwira, kalau tidak salah posisi ke-7 bernama Takezoe. Rukia melangkah masuk ketika si pria berkumis melihatnya dan menghampirinya.
"Kuchiki-san?"
Rukia menggangguk hormat. Ia perlu berbasa-basi sebentar sebagai wujud ramah-tamah. "Apa Anda sedang dihukum, Takezoe-nanaseki?"
Pria itu cengar-cengir sambil melirik sapu yang tidak sempat disimpannya. "Begitulah. Hitsugaya-taichou sangat tegas pada kami jika terlambat mengumpulkan laporan setengah jam saja."
Tawa Rukia teredam di balik senyum tipisnya.
"Ano ... Anda ke sini untuk mencarinya?"
"Aaah. Iya," Rukia kikuk yang mestinya tidak perlu. Pria ini salah satu dari dua yang menangkap keakraban berbeda antara dirinya dan Toushiro, selain Rangiku tentu saja.
Cengiran jahil Takezoe terpampang sebelum memberi jawaban yang mengecewakan. "Tapi, maaf. Hitsugaya-taichou sedang berada di camp latihan para prajurit baru bersama Matsumoto-fukutaichou. Tapi tenang saja, biasanya sore begini mereka pulang. Pasti sebentar lagi. Kalau mau, Anda bisa menunggu dalam."
"Tidak perlu," Rukia menolak halus. "Saya cuma mau minta tolong berikan ini pada Hitsugaya-taichou," ia menyodorkan surat. "Maaf, merepotkan," lanjutnya setelah pria itu menerimanya.
"Tidak perlu sungkan begitu, Kuchiki-san. Saya tidak akan ragu membantu, apalagi untuk kekasih Hitsugaya-taichou."
"Eh? Takezoe-nanaseki ..."
Pria itu tergelak dan Rukia merona malu bukan main.
Lalu di tempat lain ...
Bangunan bertingkat dua itu tidak seramai rumah sakit, dari jumlah pasien, perawat, dan pengunjung. Lokasinya pun berbeda, di barat dengan di timur. Detilnya, hanya berjarak selemparan batu dari Gedung Penelitian dan Pengembangan, tepatnya terletak di cabang markas ke-3 divisi ke-4. Selain pemandangan jalan setapak yang membelah taman bellflower, bagai karpet ungu menawan mata, tidak ada lagi yang membuat Unohana kerasan di tempat ini. Alasannya adalah bangunan menjulang di sebelahnya dan bau-bau kimia yang menguar. Mungkin itulah alasan bellflower koleksinya banyak yang layu.
Membuka dan menutup pintu, membalas sapaan petugas di meja registrasi, menyusuri lorong temaram dengan berkas-berkas sinar jingga sore yang menelusup di jendela, lalu berbelok. Derap langkah kalem menyisir tangga sebelum tiba di kamar terpojok. Digesernya pintu, dua perawat yang bertugas nyaris menoleh bersamaan.
"Kondisinya semakin stabil, Unohana-taichou."
Unohana meraih kertas laporan pemeriksaan pasien yang belum genap dua minggu di bawah pengawasannya setelah sebelumnya terdaftar sebagai pasien Kurotsuchi-taichou. Mengamati dan menganalisis penuh fokus hingga sempat tersentak ketika suara pekik salah seorang perawat menggema.
"Taichou!"
Unohana pun bergerak cepat menghampiri ranjang.
Jari-jari kurus si pasien bergerak meraba, menyusul kedutan kelopak mata, dan perlahan tersingkap. Masih setengah sadar, namun bibir kering mengecap berkali-kali. Unohana mendekatkan telinga, pasien itu ingin berkata sesuatu.
Dan kurang dari lima detik, Unohana menarik diri, dan setengah menoleh:
"Hubungi Isane sekarang."
.
.
.
.
.
Sore itu tampak seperti sore-sore di hari sebelumnya di musim dingin. Langit jingga dengan arakan awan pelan. Semilir senja yang kadang mengigit kulit, tapi menenteramkan. Juga, pemandangan letnannya yang merecoki kaptennya tentang ini-itu setelah menyelesaikan kunjungan di camp latihan.
Takezoe menyerahkan korek api pada rekannya ketika kedua atasan menyusuri koridor menuju ruang kerja utama. Berlari pelan ke arah mereka, dan jika bukan karena kesopanan, ia akan berseru:
"Hitsugaya-taichou!"
Iya. Takezoe akan berseru seperti itu, persis seperti Kotetsu-fukutaichou yang menghampiri atasannya. Mungkin juga akan berlari secepat letnan divisi ke-4. Tapi fakta tidak berubah bahwa ia kalah cepat, termasuk dalam menyampaikan amanah.
"Hitsugaya-taichou, Anda harus segera ke divisi ke-4 ..."
Iya. Sore itu tampak seperti sore-sore di hari sebelumnya di musim dingin. Langit jingga dengan arakan awan pelan. Semilir senja yang kadang mengigit kulit, tapi menenteramkan. Juga, pemandangan letnannya yang merecoki kaptennya tentang ini-itu setelah menyelesaikan kunjungan di camp latihan—
"... Hinamori-fukutaichou sudah sadar ..."
—Semuanya tetap sama, kecuali satu hal bahwa sore itu—
"... dan orang yang pertama kali dipanggilnya adalah Anda."
—merupakan prolog dari kisah kecil kaptennya, Toushiro Hitsugaya.
.
.
.
.
.
To be Continued
.
.
.
.
.
[1] Judul fic saya ambil dari salah satu theme song Bleach, berjudul sama, Never Meant to Belong by Shiro Sagisu.
A/N: Konflik dimulai. Fic ini gak sepanjang 320 DISTRICTS. Melihat masalahnya gak serumit di fic itu, saya perkirakan tamat di ch 8. Mudah2an saja.
Ray gak tau mau cuap2 apa lagi, jadi temen2 aja yg cuap2 ya(plak). Jika ada pertanyaan atau sesuatu yg mengganjal, kotak review selalu tersedia di bawah sana. Sampai jumpa di ch berikutnya.
Ray Kousen7
24 Maret 2013
