Kuroko no Basuke Fanfiction
disclaimer: Tadatoshi Fujimaki
cover: tumblr
warning: too many dots
.
.
Satsuki Momoi tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
Sambil menggenggam erat mouse di tangan kanannya dan men-scroll halaman tampilan inbox yang dilihatnya dari atas ke bawah berulang kali. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya karena perasaan senang yang mulai bergejolak di hatinya. Nafasnya pun tak karuan, seperti habis lari marathon.
"..Ha," hanya satu kata itu saja yang keluar dari bibirnya sebelum pandangan matanya kabur karena air mata yang sudah menumpuk di ekor matanya.
"HAH?!" Ia berusaha berdiri dari kursinya, tetapi kakinya sangat lemas sampai ia jatuh dari kursinya sendiri. Suara jatuhnya cukup keras sampai ia mendengar suara ibunya memanggil dari bawah.
"Satsuki-chan? Ada apa?"
"…I-ittai," Momoi berusaha berdiri dari tempat ia jatuh ketika ia mendengar suara langkah kaki ibunya menaiki tangga. Namun, ketika ia meraih kursinya yang beroda itu, ia kembali jatuh ke lantai karena roda kursinya yang tidak mau diam. "Wa!"
Saat itulah ibunya masuk ke kamarnya dengan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajahnya. Segera ia hampiri putrinya itu walaupun di tangan kanannya masih menggenggam sendok sayur.
"Aduh, kamu itu kenapa sih, Satsuki-chan?" ia membantu putrinya berdiri sebelum merapikan kursinya. "Ibu kan kaget jadinya—"
"Kaa-chan, kaa-chan!" Momoi menggenggam erat kedua lengan ibunya sambil tersenyum lebar. "Aku! Aku!"
"Aduuh, Satsuki-chan! Jangan goyangkan tubuh Ibu sekencang itu!" kata ibunya sambil berusaha menghentikan putrinya yang sudah seperti gunung meletus itu. "Nah, ada apa?"
"Kaa-chan…," Momoi tersenyum tulus, tidak peduli tatapan ibunya yang memasang wajah heran. Namun, wajah ibunya ikut terkejut dan seketika sendok sayur yang dibawanya jatuh ke lantai.
"Aku diterima."
.
.
A Little Bit Longer
...
"Sedikit lagi..."
...
Momoi tidak pernah menyangka. Jujur saja.
Tiga universitas yang ia ingin masuki, mengiriminya email kemarin.
Pertama, Universitas C.
"Mmh, ketemu Dai-chan lagi," Momoi tertawa sendiri. "Ah, tapi di sana ada Kagamin dan Ki-chan juga! Pasti bakal rame!"
Begitulah pikirnya. Namun, sayangnya ia tidak mendapat universitas itu. Berita mengejutkan? Ya, Momoi sampai mengurung diri di kamar.
Kedua, Universitas B.
"Ah! Tetsu-kun ada di sana!" Jantung Momoi berdebar-debar dan kedua pipinya merona ketika ia memikirkan pemuda itu. "Kalau tidak salah Mukkun juga! Baiklah aku akan berjuang!"
Begitulah pikirnya. Namun, sekali lagi, Momoi merasa kecewa terhadap dirinya sendiri. Untuk mengejar cinta pertamanya saja ia tidak bisa, apalagi untuk bisa berada di satu kampus dengannya.
Terakhir, Universitas A.
"Hmm… Midorin kalau tidak salah di sana," gumam Momoi dengan tampang datar. Ia tidak terlalu begitu berharap lagi. "Universitas A ya… tidak heran kalau Midorin diterima di situ. Dua universitas sebelumnya saja aku tidak diterima… apalagi i—"
Klik.
"…Ha."
.
.
Siapa sangka bahwa ia diterima di Universitas tersebut?
.
.
"Lalu apa alasanmu meneleponku, Momoi?" suara Midorima terdengar dari handphone Momoi setelah gadis itu menghabiskan tiga menitnya untuk menjangkau pemuda itu. Dari suaranya, Momoi bisa menebak bahwa kemungkinan Midorima sedang jengkel untuk menerima telepon dari siapa pun. Tapi Momoi tidak memedulikan hal itu ada hal yang lebih penting.
"Midorin jangan begitu dong," kata Momoi sedikit sedih, "Aku menelepon karena aku butuh bantuanmu."
Midorima menghela nafas sebelum bertanya, "Bantuan apa?"
"Umm… Sepertinya," suara Momoi memelan seperti suara anak kecil yang takut dimarahi oleh orang tuanya, "sepertinya aku tersesat…"
Momoi cukup menyesal dengan pilihannya untuk menelepon Midorima karena setelah ia mengakui bahwa ia tersesat dan tidak tahu ke mana ia harus pergi, ia harus mengorbankan beberapa menit berharganya untuk mendengar ceramahan dari pemuda itu. Yah, mau bagaimana lagi, orang yang dikenalnya di Universitas A hanya Midorima…
"Lalu aku harus ke mana?" tanya Momoi dengan nada putus asa. "Kampus ini besar sekali.."
"Haah…," Midorima kembali mengeluarkan nafas frustrasinya sebelum berkata, "Aku tidak bisa mengarahkan jalan padamu karena aku hanya ingat denah fakultasku. Aku juga tidak bisa menjemputmu-dayo. Fakultasmu cukup jauh dari fakultasku."
"…Begitu ya," gumam Momoi. "Baiklah, aku akan coba kembali cari jalan sebelumnya. Terima kasih, Midorin. Maaf, lho kalau aku mengganggu."
"Aku khawatir kau tidak bisa kembali-nodayo," kata Midorima. "Bukankah akan lebih baik kalau kau menelepon yang satu fakultas denganmu? Kau aneh sekali-nodayo."
"…Hah?" Momoi kini kebingungan. "Maksudmu?"
"Jangan bilang… kau kira hanya kau dan aku yang masuk ke universitas ini?"
Momoi mengangguk walau ia tahu Midorima tidak melihatnya. "Iya, memangnya siapa la—"
"Kau bercanda-nodayo!" Midorima terdengar terkejut dari ujung telepon. "Yang masuk tidak hanya kau dan aku, tahu!"
"Hah?! Siapa lagi memangnya?"
"Ckck… Ya siapa lagi kalau bukan A—"
"Momoi?"
Suara itu berhasil mengejutkan Momoi dan membuatnya menoleh. Untuk sementara, ia menjauhkan handphonenya dari telinganya. Namun, saat itu 'sementara' terkesan begitu lama baginya. Entah mengapa, suara itu berhasil memutus koneksi antara Momoi dan handphonenya, membuat gadis itu memfokuskan kedua matanya pada seorang pemuda yang berdiri di hadapannya.
.
「Tidak apa-apa… 」
.
Pemuda yang memiliki rambut merah itu tersenyum, "Ternyata benar Momoi. Pantas suaranya familiar."
.
「Jangan menangis, kau harus menghargai sedikit usahamu itu…」
.
"…," Momoi hanya terdiam di tempat ia berdiri sambil mematikan teleponnya perlahan-lahan. Seharusnya ia bisa menebak siapa yang dimaksud Midorima terutama karena universitas yang dimasukinya adalah universitas terbaik.
Tidak heran.
Namun, Momoi sendiri terkejut, terutama karena ketika ia melihat pemuda itu, beberapa kenangan terakhir di SMAnya kembali melintas di kepalanya.
.
「Memang sih, one-sided… tetapi tidak berarti itu menyedihkan.」
.
Perlahan Momoi tersenyum. Ia masih ingat mengapa akhirnya ia memilih untuk menghormati pemuda di depannya itu. Menghormatinya dengan amat sangat.
Itu karena…
.
「…Perjuanganmu itu…」
.
"Tidak kusangka, aku bertemu denganmu, Akashi-kun," kata Momoi dan merasa geli sendiri karena ia sampai sebodoh itu tidak menyadarinya. Seharusnya ia bisa menebaknya.
Pemuda bernama Akashi itu menganggukkan kepalanya sambil tertawa kecil, "Tidak menyangka? Apakah aku begitu mudah untuk dilupakan?"
Momoi tertawa lalu berjalan mendekatinya dan memberi Akashi pukulan kecil di lengannya.
"Jangan salahkan aku kalau kau sendiri tidak memberi kabar!" kata Momoi. "Yang lain saling menyaut di group chat kok ketika aku bertanya. Kenapa kau tidak?"
"Iya, iya, maaf," kata Akashi akhirnya mengalah. "Lalu di tanganmu itu, berkas-berkas yang harus diserahkan, ya?"
"Hehe, iya," jawab Momoi sambil tersenyum malu, "sebenarnya aku tersesat, jadi aku tidak tahu di mana aku harus menyerahkan berkas ini."
"Kalau begitu, ayo," kata Akashi. "Untuk permintaan maaf, kuantar kau sana. Kampus ini, jujur saja, memang sangat besar. Tapi tidak akan lama lagi juga akan ingat jalannya, kok."
"Oh, begitu ya?" kata Momoi. "Apakah dulu Akashi-kun juga begitu?"
"Hmm, yah, tidak separah kau sih," sebelum Akashi menerima kembali pukulan ringan di lengannya, ia berkata, "tapi aku yakin kau akan cepat mengingatnya, Momoi. Kau adalah orang yang sangat berusaha. Ah, ingatkah apa yang pernah kukatakan sebelumnya padamu?"
Momoi tersenyum. "Tentu saja," katanya.
Akashi pun balas tersenyum, "Bagus."
.
.
「…adalah sesuatu yang patut kau banggakan.」
A/N: hehe, datang lagi dengan pairing baru hehe: AkaMomo~
ngga tau nih, author tiba-tiba jadi suka sama pairing itu abis baca fanficnya author seizenber :3
settingnya di dunia kampus ya, terinspirasi setelah baca fanficnya Bone104.. tapi moga-moga aku ngga buat yang baper banget.. kasian momoi nya ntar :') hang in there Momoi!
thank you for reading! XD please leave a review supaya author bisa lebih baik lagi, mudah-mudahan ngga bingung sama fic nya author yaa hehehe
see you next chappie~
