Di antara suara debuman gelombang ombak yang menghantam bibir pantai, Sasuke melihatnya.
.
.
the girl at the edge of beach
1st part: the appering and the story
.
.
Sejak awal seharusnya ia sudah tahu bahwa ia tak berminat—dan tak akan, meskipun sudah berpikir beberapa kali—pada pantai saat ini. Sasuke merutuki dirinya dalam hati.
Musim panas memasuki fase puncak, dan semua orang tahu apa yang akan terjadi. Kipas mendadak laku keras di pasaran, begitupula dengan es krim juga minuman-minuman dingin yang sekiranya mampu meraibkan dahaga—ya, meski hanya sesaat—, pun benda apa saja yang dapat menghilangkan kegerahan.
Meskipun malam sudah mendekap, entah mengapa rasa gerah dikarenakan panas masih saja terasa, padahal matahari sudah berganti tugas dengan bulan, kan? Dan beginilah nasibnya, tidur terlentang di atas ranjang dengan kaki yang masih menjuntai ke bawah. Pendingin ruangan diatur dengan derajat celcius paling rendah.
Sekolah Menengah Atas Negeri Konoha dipecah menjadi dua bagian. Bangunan Utara menjadi sekolah khusus laki-laki, sementara Bangunan Timur menjadi sekolah khusus perempuan, letaknya cukup berjauhan pula. Tak hanya itu, pengurus osis-nya pun juga berbeda.
Jadi, sebelum masa liburan tiba, Sang Kepala Sekolah Tercinta, Hatake Kakashi, membuat sebuah acara rekreasi ke pantai selama tiga hari, yang wajib diikuti oleh baik siswa mampun siswi. (Dan Sasuke yakin, dengan alasan itu pula, Naruto Uzumaki—teman terdekat sekaligus merangkap sebagai teman sekamarnya saat ini—menjadi semangat empatlima, sebab Si Pirang yang tak kuasa lagi dengan melihat kaum sejenisnya di sekolah, mendadak mendapat kesempatan untuk memandang sepuasnya siswi bangunan timur dengan balutan busana bikini. Sasuke tak habis pikir.)
Sasuke melirik ranjang kosong di sebelah ranjangnya. Naruto belum kembali, berarti lelaki itu belum menyelesaikan makan malamnya (atau mungkin Naruto baru saja datang untuk makan malam, pasalnya saat Sasuke usai mengambil nampan makan malam dari lounge hotel dan hendak membawa nampan itu ke kamar, ia masih belum mendapati Naruto di sana). Sasuke menggerutu kecil. Remaja lelaki tujuh belas tahun itu meraba ponselnya di atas nakas samping ranjang. Dengan cepat mengetik pesan singkat pada Naruto.
Sasuke dimana?
Di menit-menit berikutnya, pesan darinya belum dibalas oleh yang bersangkutan. Sasuke memilih bangun dari rebahannya dan menyelipkan kaki ke sepasang sandal hotel. Ponsel dimasukkan ke saku celana pendek di atas lutut yang dikenakannya. Lelaki itu menyibakkan korden dan membuka jendela, langsung dihadapkan pada bibir pantai yang gelap dan sepi (tentu saja, kan? Ini malam hari!), hanya suara debuman ombak yang menghantam bibir pantai dan suara serangga malam terdengar sayup-sayup di telinga. Sasuke menyangga wajahnya dengan kedua tangan menangkup dagu, sementara sikunya bertopang pada sisi jendela yang terbuka.
Sepasang manik obsidian mengerayangi pelantaran pantai yang dapat ditangkap matanya. Lautan yang terlihat berwarna biru muda cerah tampak menggelap apabila dilihat di malam hari. Mungkin benar kata ibunya saat itu, laut memang merupakan cerminan langit.
Ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar. Sasuke segera mengambilnya, kemudian mendapati sebuah pesan balasan dari Naruto.
Naruto masih di lounge, bersama Kiba dan yang lainnya. Tertarik untuk ikut bergabung?
(—bergosip, tambah Sasuke dalam hati. Memangnya apalagi?)
Sasuke mendenguskan tawa geli. Badan yang tadinya membungkuk menghadap pantai, ditegakkan. Ia baru saja hendak menutup jendela sebelum netranya menangkap sesuatu yang ganjil (Sasuke sendiri tidak yakin apa dia harus menyebutnya begitu atau tidak).
Alisnya saling mengikis jarak satu sama lain, merajut lekukan di dahi. Matanya—yang sedikit lebih sipit dari mata milik Naruto—menyipit, berusaha meneliti objek yang berada jauh di ujung penglihatannya.
Apa itu? Putih, atau ... merah muda?
Masih bingung dengan warna samar yang tertangkap indera penglihatannya, tanpa sadar Sasuke sedikit mencondongkan tubuhnya ke luar jendela guna mempersempit jarak (meskipun tidak terlalu banyak membantu, sih, mengingat jarak yang terbentang cukup jauh antara dirinya dan sang objek). Sasuke tak terlalu percaya ada seseorang—atau mungkin seorang gadis—yang memiliki warna rambut yang berwarna eksotis begitu. Gadis itu duduk di sebuah batu besar di pinggir pantai, menghadap lautan. Sasuke bertanya-tanya apa yang dilakukan seorang gadis, sendirian, di pinggir pantai malam-malam begini.
Namun, lelaki itu menggedikkan bahunya, mencoba keras untuk tidak peduli. Toh, bukan urusannya, kan? Bergegas ia menutup jendela dan menarik korden agar menutupi pemandangan pantai (beserta si gadis) yang tersuguhi di balik jendela.
.
.
"Hei, Kawan!"
Saat Sasuke memasuki lounge, ia langsung mendapati Naruto yang tengah melambaikan tangan ke arahnya, sedang bersama beberapa teman-teman sekelas mereka. Tungkai-tungkainya bergerak melangkah mendekat. Ia langsung mendapat rangkulan di bahu oleh Naruto begitu sampai di meja, kemudian lelaki pirang itu menarik Sasuke duduk di sampingnya.
"Aku bertanya-tanya, Sasuke, apa saja yang kau lakukan di kamar sehingga kau bisa sebetah itu." Neji membuka percakapan, yang langsung menyedot atensi seisi meja ke arahnya.
Sasuke berdecak pelan. Ia benar-benar akan membatalkan niatnya bergabung bersama mereka jika tahu kalau dirinyalah yang akan menjadi topik perbincangan. "Di sana lebih tenang," jawabnya.
"Memangnya di sini tidak tenang?"
Sasuke merasa tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaan—tidak bermutu—dari Naruto. Neji melempari tatapan apa-kau-serius-? pada Naruto, yang langsung dibalas dengan kekehan. Oh, ayolah, semua tahu seberapa 'tenang'nya lounge saat jam-jam makan seperti saat ini.
"Ah, daripada itu, kalian sudah dengar kisah seram pantai ini?" Kiba membuat tanda kutip dengan kedua jari telunjuk dan jari tengah begitu mengucapkan kata 'seram', tubuhnya sedikit dicondongkan ke depan. Naruto sontak berjengit dari duduknya.
"H-hah? Jangan bercanda, Kiba!" Naruto tertawa hambar. Sementara Kiba mengangguk-angguk.
"Aku serius. Aku sempat mendengar beberapa murid membicarakannya saat aku melewati lobi tadi," tambah Kiba.
"Kau menguping?"
"Tidak! Aku tidak menguping, Neji! Aku tidak sengaja mendengarnya," tandas Kiba cepat, tak terima dirinya dikatai menguping.
Neji tersenyum mengejek, juga mendenguskan tawa. "Memangnya apa yang kau lakukan di lobi selain menguping?"
"Sudah kubilang, aku tidak menguping!"
"Apa itu penting?" sanggah Sasuke cepat. Tak kuasa juga jika harus mendengarkan perdebatan yang tak ada artinya ini jika terus dilanjutkan. Shikamaru yang sedari tadi duduk diam mendengarkan sambil sesekali menguap, menganggukkan kepalanya.
"Daripada berdebat, bagaimana jika kau menceritakannya saja, Kiba?"
Kiba membusungkan dada, bangga. "Bersyukurlah kalian karena aku secara tidak sengaja mendengar ini tadi."
"Maksudmu menguping?"
"Aku tidak—!"
"Hentikan!" Kini Shikamaru buka suara. "Kau ingin bercerita atau terus berdebat dengan Neji, Kiba?"
"Iya, iya." Kiba berdecak malas, tapi tetap bercerita. "Aku dengar, dia berwujud seperti gadis cantik bermata indah yang senang duduk di pinggir pantai di malam hari." Di setiap kata yang diucapkan lelaki dengan rambut cokelat itu, ia memajukan tubuhnya, mendekat ke arah Naruto yang duduk di seberang meja. Kemudian, "Arrrr!" Kiba mengejutkan Naruto dengan teriakannya.
Naruto berteriak kencang, "WAAAAA!?"
Perhatian seisi lounge beralih pada meja mereka. Neji menepuk dahinya. Lelaki bermata amethyst itu bangun dan membungkuk minta maaf. Beberapa guru tampak menggelengkan kepalanya maklum.
Tubuh Sasuke membeku. Ingatannya melayang ke beberapa saat yang lalu, saat ia masih berada di kamar dan memandang pantai.
Tidak mungkin ... kan?
.
.
.
tbc
Aduduh, saya tau ini maksa banget ;3 padahal di luar negeri lagi musim dingin, eh saya malah buat ff dengan tema summer HAHAHA #ditembak #dordor
Jadi ... ada yang bisa nebak Sakura itu siapa? Hihi XD
