Akihiko's POV

"Apaan lagi sih ini?" Lagi-lagi ada koran ga jelas datang ke atas meja di kelasku. Aku menyambar koran itu dengan kasar dan duduk sambil membacanya asal. Tapi sesuatu membuatku tertarik, dan kuputuskan untuk menemuinya.

"Ohayou, Sanada-senpai." Oh, itu anak di kelas yang sama dengannya! Aku memutuskan untuk berhenti dan menanyakan keberadaannya.

"Ada Mitsuru?" Tanyaku langsung.

Entah kenapa anak itu malah tersenyum geli diam-diam dan menunjuk ke dalam kelas. Aku mengikuti arah tangannya dengan bingung, dan menemukan Mitsuru sedang menulis dengan serius, maksudku, sangat serius.

"Terima kasih." Kataku pada anak tadi. Ia masih saja tersenyum geli ke arahku. Apa sih? Ada yang aneh di wajahku? Tanpa terasa aku menyentuh pipiku sedikit sambil beranjak masuk dan duduk di meja di samping mejanya.

Seperti yang kuduga, dia tidak menyadari kedatanganku. Kalau sudah begini, suara pun tidak bisa mengatasinya.

"Berhenti menulis." Kataku tenang sambil mengambil bolpen dari tangannya dan menaruhnya di meja tempatku duduk.

Ia mendongak ke arahku dan menopang dagunya dengan tangan. "Ada apa lagi?" Tanyanya dingin.

Sudahlah, aku sudah terbiasa dengan perilakunya yang satu ini. Aku mengeluarkan koran tadi dan menunjuk satu kasus. "Ada kasus, dekat dari sini." Jelasku singkat.

Mitsuru mengambil koran itu dari tanganku dan membacanya. Aku bisa melihat sedikit perubahan ekspresi—ekspresi marah. "Siapa yang memberimu koran ini?" Tanyanya tajam.

"Tiba-tiba sudah ada di mejaku pagi ini." Jawabku sambil melihat ke sekeliling. Aku belum pernah berani untuk menatap matanya yang sedang marah, bisa gawat.

"Lupakan kasus ini." Katanya singkat sambil berjalan dan membuang koran itu.

"Eh, hei! Tunggu! Apa maksudmu??" Protesku padanya. Mitsuru tidak menghiraukanku—seperti biasanya—dan itu membuatku agak jengkel. "Kubilang tunggu…!" Aku memberi tekanan pada setiap kata.

Mitsuru menoleh padaku yang menahan pundaknya. "Kasus itu ada hubungannya dengan—" Kalimatnya terputus di tengah, tapi aku tahu apa yang ingin ia katakan. "Pokoknya lupakan saja kasus itu, saat ini kita hanya murid SMA biasa, tidak perlu ikut campur soal hal-hal yang seperti ini." Lanjutnya sambil berjalan ke kursinya untuk melanjutkan kegiatannya yang tertunda. "Di mana bolpenku?" Tanyanya.

Aku berjalan mendekat dan mengembalikan bolpennya yang tadi kuambil secara paksa—tidak benar-benar memaksa kok… "Maaf." Kataku singkat.

"Tidak perlu minta maaf…" Balasnya dengan cuek dan melanjutkan tugasnya.

"Bagaimana bisa kau bilang tidak usah minta maaf tapi ekspresimu marah begitu??" Pikirku heran sambil meringis. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari situ, sebelum kelas ini jadi medan peperangan.

--

Mitsuru's POV

Malam ini ada yang aneh. Memang sama seperti malam-malam yang sebelumnya, tapi sesunyi apapun malam itu, aku tidak pernah tidak bisa tidur, bahkan sampai berpikiran yang macam-macam.

"Mungkin malam ini tidak usah tidur saja… Tidur pun tak ada gunanya…" Pikirku pasrah sambil bersandar di kusen jendela yang sengaja kubuka.

"Mitsuru?" Suara itu sedikit membuatku terperanjat sampai membalikkan tubuhku sampai aku melihat ke arah pintu. Tapi lalu aku mendesah dan membalikkan badan lagi.

"Heeey~ Kau di dalam??" Tanya suara itu. Aku sama sekali tidak berniat, dan bahkan tidak akan menjawab.

"Aku masuk ya…" Dan terdengarlah suara pintu kamarku dibuka kemudian ditutup lagi dengan pelan dan takut-takut, disusul langkah kaki yang mendekat ke jendela ini.

"Mau apa kau masuk kamar perempuan tanpa izin?" Kataku dingin tanpa memandang wajahnya.

"Maaf… Aku hanya mau minta maaf lagi, soal tadi siang…" Balasnya ragu-ragu.

Aku menghela nafas dan menoleh ke arahnya. "Akihiko, bukankah kuminta kau lupakan itu semua?" Jawabku, mencoba untuk tersenyum.

"O-oh… Ya… Uhm… Benar, lupakan…" Sudah lama sekali rasanya tidak kulihat kata-kata dan ekspresi yang keluar dari hati dan pikirannya yang gugup.

Aku pun tertawa kecil melihatnya gugup begitu, dan ia ikut tertawa.

"Sudah lama tidak melihatmu tertawa." Katanya sambil ikut bersandar di kusen jendela, memperhatikan langit malam yang gelap.

"Aku bukan patung." Protesku.

Akihiko malah tertawa lagi, membuatku agak jengkel. "Maaf, maaf. Aku cuma bercanda kok." Balasnya sambil tersenyum.

Kami terdiam selama beberapa menit, menikmati keindahan langit malam dengan bulan yang lebih besar daripada biasanya. Rasanya waktu berjalan cepat sekali, dan aku… bahkan tidak bisa melupakan satu pun kenangan buruk yang melintas di tali waktu ini…

Aku menyandarkan kepalaku di bahu Akihiko, dan merasakan sudah betapa tinggi dan dewasanya ia sekarang.

"Benar-benar tidak terasa, tau-tau kau sudah lebih tinggi daripadaku." Kataku.

"Ya, aku juga baru sadar kau menyusut." Balasnya sambil memegang kepalaku.

Mendengarnya berkata begitu malah membuatku jengkel lagi. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku dan berdiri tegak lagi. "Kenapa sih orang ini selalu ngajak berantem??" Pikirku sambil mendesah.

"Sekarang sudah larut, tidurlah." Katanya.

"Kalau aku bisa tidur, dari tadi aku sudah tidur." Balasku kesal.

"Cobalah pejamkan mata dan jangan pikirkan apa-apa, sebentar juga tidur." Usulnya.

Aku terdiam sejenak. "Baiklah, kucoba." Balasku singkat.

Ia tersenyum dan melangkah ke arah pintu. "Kalau begitu aku kembali dulu, sudah malam." Katanya.

Aku mengikutinya sampai ia membuka pintu. "Oyasumi." Kataku.

Ia membalikkan badannya menghadapku, lalu tersenyum nakal. "Oyasumi." Katanya, sekaligus mengambil sedikit rambut dari punggungku dan melemparkannya sampai menutupi wajahku.

Aku membalikkannya lagi dan melihatnya pergi sambil tertawa. "Akihiko~~!" Teriakku kesal.

Aku segera menutup pintu dan menguncinya, juga menutup dan mengunci jendela yang tadi terbuka lebar. Setelah mematikan lampu, aku berbaring di atas kasurku dan menarik selimut sampai menutupi leherku. Tapi tak lama kemudian aku menariknya lagi menutupi bibirku yang tersenyum malu.

"Usahanya cukup bagus untuk membuatku panas. Dalam dua arti yang berbeda, pada waktu yang bersamaan…" Pikirku sesaat sebelum aku terlelap.

--

Akihiko's POV

"Akihiko-senpai!!"

Mataku setengah terbuka mendengar ketukan pintu dan suara yang memanggilku dengan kencang itu.

"Akihiko senpai!! Bangun!!"

"Iyaaa! Tunggu!" Aku balas berteriak dengan kesal. Aku bangun dari tempat tidur dan meneguk air minum di sampingku. Setelah itu aku langsung beranjak ke pintu sebelum pintuku hancur diketuk sekeras itu.

"Ada apa pagi-pagi begini—"

"Mitsuru-senpai hilang!" Kalimatku dipotong oleh kalimat yang sama sekali tidak kutebak akan menjadi kalimat pertama yang kudengar pagi ini.

Mataku yang semua hanya terbuka setengah sekarang terbuka sepenuhnya. "Tunggu di sini!!" Aku menutup pintunya sampai menimbulkan bunyi yang mungkin akan lebih menghancurkan pintu itu daripada ketukan pintu Yukari tadi.

Aku hanya berganti baju, cuci muka, dan sikat gigi. Setelah itu aku langsung keluar dari kamar dan mendapati Yukari sedang mondar-mandir di depan kamarku.

"Oh, senpai!" Katanya setelah melihatku keluar dari kamar.

Aku mendekat padanya yang mengajakku ke kamar Mitsuru. "Tau dari mana kau dia hilang?" Tanyaku saat kami berjalan cepat.

"Aku pergi ke kamarnya pagi ini karena kurasa senpai pasti sudah bangun. Tapi kuketuk berapa kalipun tak ada jawaban, kupanggil juga tidak dijawab. Dan dari dalam tidak terdengar suara apa pun, hanya ada suara seperti suara angin yang membuat daun jendela mengayun." Yukari berhenti sejenak saat kami salah jalan dan lupa berbelok di belokan tadi. "Akhirnya kuputuskan untuk meminta kunci duplikat dari bawah, dan begitu kubuka tak ada siapapun di dalam. Tas, ponsel, dompet, dan bahkan sepatu masih ada di dalam. Senpai tidak mungkin pergi tanpa barang-barang itu. Uhm… bahkan pistolnya masih ada di tempat yang seharusnya…" Lanjutnya.

Kami sampai di kamarnya yang masih terbuka, dengan jendela yang pecah di daerah kuncinya. Aku segera masuk ke dalam dan melihat ke luar lewat jendela yang terbuka lebar. Mungkin ada jejak kaki di sana.

"Dan yang lebih parah…" Yukari mengalihkan perhatianku.

"Ya Tuhan, dia hilang saja sudah sangat parah. Apa lagi yang bisa lebih parah dari ini??" Pikirku dengan perasaan campur aduk.

"Aku menemukan ini…" Lanjutnya sambil menunjuk ke lantai. Setitik besar cairan berwarna merah ada di situ.

"Apa? Apa itu? Darah? Ah, tidak mungkin. Mungkin itu tinta bolpen yang bocor…" Pikirku lagi sambil membesarkan hati, walaupun jantungku berdetak dua kali lebih cepat.

Aku mendekat dengan pelan, berjongkok, dan menyentuh noda itu. "Masih belum kering." Kataku berusaha untuk tenang. Aku mendekatkan jariku yang telah kukenakan pada noda itu ke hidungku dan menciumnya. "Ini benar-benar darah…" Tambahku lemas.

"Mungkin senpai berusaha melawan, tapi tidak bisa. Siapa sih yang berhasil melawan penculik yang datang saat kita tidur?" Balas Yukari.

"Sebaiknya kita cepat mencarinya." Kataku, saat otakku mulai bisa bekerja dengan normal. Yukari membalas dengan anggukan, tapi sebelumnya aku berniat memeriksa kamar ini sebentar. Siapa tahu—walaupun hanya sedikit—ada sidik jari di sekitar sini.

Dan apa hasilnya?

"Zip, nada, zero. Nihil!!!" Aku membanting alat-alat yang sebenarnya percuma untuk dipakai.

"Senpai, kita tidak bisa bersikap seperti itu saat ini." Ujar Fuuka saat melihatku membanting semua itu ke lantai.

"Maaf." Aku menghela nafas dan mengambil alat—tak berguna—itu.

"Semoga… belum terlambat… Firasatku mengatakan ini semua lebih buruk daripada hal-hal buruk lainnya…" Pikirku. Sejenak kemudian aku menggelengkan kepala. "Tidak. Tidak akan terlambat. Karena aku akan berada di tempatnya tepat waktu. Karena itu…" Aku mengusap hidungku dengan punggung tangan.

"Tunggulah aku, Mitsuru."

--

Kyaaaa!! Akhirnya jadi juga!! Saya ini nekat, main Persona 3 aja belum, tapi udah bikin FanFic segala. =)) Makanya ini FanFic sampe bikin tangan-kaki dingin. XD

Ada pertanyaan? Kalau ada (saya minta, bukan nanya. Saya minta pertanyaan!! XD), nanti saya bikin Frequently Asked Question a.k.a FAQ di akhir/ awal chapter 2.

Arigatou gozaimashita m(_ _)m