Mereka bilang, takdir itu mutlak. Tidak bisa dibantah atau diubah, semenyakitkan apapun itu. Menyalahkan takdir berarti menentang Tuhan. Hidup akan terasa berat, bahkan satu detik rasanya seperti satu jam. Sangat lama dan menyakitkan. Jika itu sebuah takdir baik –ah rasanya tidak ada orang yang tidak bersyukur saat mendapatkannya.

Mereka sama-sama menatap ke arah langit biru kota Tokyo, tersenyum lebar berdua. Kemudian pilihan mereka sama, berpaling dan menatap satu sama lain. Seolah tertarik daya magnet yang begitu besar, wajah mereka hanya terpaut beberapa centi.

Di bawah langit yang sama itulah, bibir mereka bersen–

Bruk.

"Dan happy ending. Sekian," Sakura menutup bukunya kasar. Mulutnya ingin mengeluarkan helaan nafas panjang, namun tertahan hingga yang keluar hanyalah desisan mengganggu. Ia berikan tatapan khusus bagi Nona Yamanaka di depannya yang hanya memandangnya seolah-olah ada yang salah.

"Terimakasih Ino. Kado ulangtahun ini takkan terlupakan," lanjutnya dengan nada sarkastik. Ino menghentikan suapannya pada makanan rendah kalori –salad dengan anggun sebelum menjawab, "Terimakasih kembali."

"Kau seharusnya tau apa yang kubenci, Ino-pig!" suara itu lebih dari cukup untuk membuat seisi cafe menatapnya sinis.

Ino meringis, "Sakura, oh Sakura... aku jadi takut, jangan-jangan kau sudah berubah haluan, ya? Kau jadi lesbi hanya gara-gara ditolak senpaimu waktu SMA!"

"Kuralat Ino, lebih tepatnya dipermalukan," Sakura menghela nafas berat sebelum menabrakkan punggungnya ke sandaran sofa dengan tidak elit. Pudding rasa coklat utuh itu tak jadi dimakannya, ia sudah cukup kehilangan selera setelah membaca buku romance pemberian Ino, sahabatnya.

Namun nampaknya Ino Yamanaka menghiraukan Sakura sekali lagi, ia sibuk membereskan barang-barangnya setelah melihat e-mail masuk di benda layar sentuh itu. Setelah semuanya beres barulah ia mengeluarkan suara.

"Terserah. Pokoknya baca buku itu sampai benar-benar selesai. Kalau hanya melihat endingnya tidak akan menarik 'kan?" Ino tersenyum aneh seolah mengatakan; kalau tidak baca kupastikan jadi perawan tua seumur hidup.

"Sai sudah menjemputku, kita sambung besok, Sakura!" Ino melambaikan tangan sebelum benar-benar pergi dari cafe itu.

Sakura membalas lambaian tangan Ino dengan malas. Maniknya melirik kembali buku bersampul biru muda itu. Hanya ada sebaris tulisan berwarna keemasan yang tertera di sana.

Under The Same Sky.

Gadis itu tidak mengerti mengapa buku itu tidak mencantumkan nama penulisnya. Dan ia juga tidak mengerti mengapa buku itu selalu menjadi best seller sejak terbitan pertamanya tahun lalu. Tentu saja semua 'ketidak-mengertian' itu membuat Sakura enggan membacanya.

Dan tanpa sadar ia terdiam memandangi langit dari kaca cafe.


UNDER THE SAME SKY

Disclaimer : Naruto by Masashi K

Under The Same Sky by Sora KK

Enjoy!


Chapter 0 : Mimpi

"Haruno..."

"Haruno Sakura!"

"Eh?" Sakura menerjapkan matanya, seisi kelas menatapnya aneh, kemudian mereka tertawa keras bersamaan. Sakura mendengus, ia benci ditertawakan –walaupun sebenarnya karena kebodohannya sendiri, tapi tetap saja ia merasa direndahkan!

"Jika kau tertidur di kelasku lagi, jangan harap aku mengisi nilai matematikamu. Sebaiknya kau basuh wajahmu, Haruno," guru itu menatap Sakura dengan wajah sadis. Membuat Sakura bergidik dan segera meninggalkan kelas menuju toilet.

Haruno Sakura, bodoh, ceroboh, tidak populer –setidaknya itulah yang dipikirkan teman-teman yang mengenalnya. Cih, teman? Mereka bahkan tidak mau repot-repot menyapa Sakura ketika berpapasan. Sakura merasa tidak ada yang bisa berteman dengannya –tidak ada yang mau mengenalnya lebih jauh. Bahkan Hinata – kutu buku yang kuper di kelasnya saja punya banyak teman. Yah, tidak heran sih. Hinata pintar dan cantik.

Satu lagi yang membuat Sakura tambah aneh, warna rambut merah mudanya. Jika ia bisa, warna rambut yang sangat disukai ayahnya itu di cat hitam saja. Seandainya ia bisa, seandainya... ayahnya tidak pergi dan berpesan seperti itu –walaupun dengan nada bercanda saat sekarat. Ah, semua ini membuat Sakura teringat pada ayahnya.

Tanpa sadar gadis bermanik emelard itu sudah berdiri di ujung gedung, toilet terlewatkan beberapa blok ruang. Ia bisa melihat dengan jelas lapangan bisbol dan basket yang bersebelahan, dipenuhi anak klub yang akan mengikuti turnamen olahraga nasional. Turnamen ini begitu penting sampai harus menyita waktu belajar mereka, dan tentu saja diizinkan secara legal.

Dari jarak sejauh itu, bisa-bisanya mata Sakura auto focus ketika mendapati pemuda yang sangat ia kenal, bahkan dikaguminya. Semua orang juga kagum kalau yang mereka sebut adalah pemuda yang itu –Uchiha Sasuke. Namun yang membuat Sakura kaget sekaligus bingung adalah posisi Sasuke saat ini, ia menjadi salah satu pemain di lapangan basket. Setahu gadis itu, Sasuke mengikuti klub bisbol.

Apa mungkin dia mengikuti keduanya? Sakura menggeleng pelan, ikut satu klub olahraga saja sangat kewalahan apalagi dua klub sekaligus. Tapi, apa sih yang tidak bisa Uchiha lakukan? Sasuke begitu sempurna di mata Sakura, sejak pertama kali bertemu saat orientasi sekolah, ia langsung menyukai pemuda itu.

Uchiha Sasuke, siswa kelas tiga SMU Yokohama. Seorang atlet sekaligus ketua klub olahraga. Walaupun sibuk mengikuti turnamen, ia tidak pernah ketinggalan pelajaran. Jenius, keren, populer –semua orang tahu itu. Ia terkenal sangat disiplin dan murid kesayangan kepala sekolah. Sakura mendengus, Sasuke bagaikan raja dan ia hanyalah rakyat jelata. Sebegitunya Sakura mengibaratkan keadaannya saat ini.

DUAKK.

"Aduh! Sakit tahu!" Sakura memejamkan matanya, jidat itu akan tambah lebar terkena lemparan bola, apalagi bola basket. Namun ia segera tersadar saat seseorang berambut kuning jabrik berlari kecil ke arahnya.

"Bisa kau lemparkan bola itu?!" teriaknya setengah memerintah. Sakura mendesis sinis dan mendekap bola basket itu tanpa niat untuk memberikannya.

"Tidak mau! Kau harus bertanggung jawab! Lihat, jidatku memar!" ucap gadis itu sambil menunjuk jidatnya yang mulai memerah. Pemuda kuning itu mendecak kesal dan segera merebut bola basket yang dipegang Sakura erat. Kuat juga gadis ini, batin pemuda itu. Pemuda kuning itu akhirnya menyerah.

"Dengar ya," ia melirik nametag Sakura, "Haruno Sakura, bukan aku yang melemparnya. Jadi aku tidak perlu bertanggung jawab, masalah selesai. Sini, bolanya!"

Sakura menghindari sahutan pemuda kuning yang berusaha mengambil bola, "Pokoknya aku mau kau bertanggung jawab, ini sakit ta–"

Suara Sakura tercekat saat Sasuke sudah berdiri di samping pemuda kuning. Tunggu, sejak kapan ia ada di sini? Terlebih, tatapan itu sangat menusuknya. Satu lagi yang harus diketahui dari Uchiha Sasuke; sifatnya sangat dingin dan pelit senyum.

Beruntung bagi Sasuke, pemuda itu dapat mengambil bola basket dengan mudah karena Sakura terbengong-bengong seperti orang gila. Sementara ia mendapatkan kembali bola basketnya, satu hal yang tidak pernah terlintas di otak Sakura –terjadi secepat kilat.

Cup.

"Apa itu cukup? Aku sudah bertanggung jawab, 'kan?" Sasuke menyeringai.

"TIDAAAKK!" Sakura terengah-engah seperti sehabis lari maraton. Ia meraba-raba jidatnya. Aman, tidak terasa sakit, terlebih tidak ada bekas ciuman –tentu saja. Ia melirik cermin lemarinya, aman, tidak bewarna merah dan ia juga tidak mengenakan seragam SMU Yokohama.

Itu hanya mimpi, Sakura, batinnya terus bergejolak. Masalahnya mimpi itu mengingatkannya pada pemuda yang telah menghancurkan hatinya berkeping-keping. Ia memang pernah mengalami hal seperti yang ada dalam mimpinya –kecuali adegan terakhir.

Sasuke tidak mungkin menciumnya, apalagi menyeringai seperti itu. Sasuke orang yang irit kata dan tidak pernah menunjukkan ekspresi apapun kecuali wajah datar dan mengimitasi. Seringai itu... mengingat mimpinya saja membuat wajah Sakura horror. Ini pasti gara-gara Ino yang sempat menyinggung masalah Sasuke kemarin siang.

Ia segera bangun dari tempat tidurnya saat mencium aroma masakan khas di pagi hari. Seperti biasa, ibunya selalu bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan kedua anaknya. Kakak Sakura –Sasori sudah duduk manis di depan meja makan sambil menyantap sarapannya. Ia bahkan sudah memakai jas yang rapi, biasanya kalau penampilan seperti itu hanya digunakan untuk menghadiri rapat penting.

"Rapat sepagi ini?" tanya Sakura sambil menarik kursi sebelum menikmati masakan ibunya.

"Jangan tanya," balas Sasori sambil mengunyah makanan. "Aku terburu waktu –uhuk!"

"Pelan-pelan, Sasori!" ibu Sakura –Haruno Mebuki memperingatkan anak sulungnya dari dapur. Sakura segera menyodorkan segelas air mineral dan langsung diteguk dengan kasar oleh kakaknya.

Pria berambut merah itu mengelap sisa-sisa yang ada di bibirnya sebelum mencium dahi lebar Sakura singkat, "Dah, Sakura-chan."

Kemudian beralih pada ibunya, "Aku berangkat dulu, Bu!"

Sakura mengelus dahinya pelan, kenapa rasanya agak sakit ya? Padahal hanya dicium, pikirnya. Teringat akan mimpi itu kembali, Sakura menggelengkan kepala dan memilih untuk menghiraukannya.

"Kau ada kelas hari ini Sakura?" tanya wanita paruh baya itu, ia melepas celemeknya sebelum bergabung di meja sambil membawa sup yang baru saja ia masak. Sakura mengangguk, menyiduk sedikit sup ke dalam mangkok yang kosong.

"Sangat padat, Bu. Padahal belum sampai tengah semester," tuturnya sebelum menyicipi sup panas itu.

"Jika kau ada waktu ketika liburan musim panas, Paman Kakashi membutuhkan bantuanmu untuk mengurus penginapan," ucap ibunya, juga ikut menyicipi masakannya sendiri. Sakura memutar matanya sarkastik, paman yang satu ini memang terkenal pintar untuk memanfaatkan peluang –bahkan keponakan sendiri pun dimanfaatkannya. Selama ini yang Sakura lihat adalah ia selalu membawa buku dewasa dan membacanya sepanjang waktu, tidak terlihat bersemangat, dan terkesan malas. Entah kenapa ia bisa berpenghasilan lebih, sangat aneh mengingat sifatnya itu.

"Penginapan yang mana, Bu? Dia 'kan punya banyak," tanya Sakura menghentikan acara makannya. Ibunya tahu kalau tatapan dan nada bicara Sakura saat ini menyiratkan kemalasan yang amat tinggi.

"Tidak jauh, hanya di dekat pantai Odaiba. Ayolah, Sakura-chan. Dia sudah banyak membantu masa-masa sulit kita bukan?" ucap Mebuki sambil menatap Sakura lekat, kalau sudah begini Sakura mana bisa menolak. Akhirnya ia hanya mengangguk pelan sebagai persetujuan.

-skk-

Haruno Sakura mendadak tercekik ketika sepasang lengan mendekap lehernya erat. Ia hapal betul siapa pelakunya. Dan kalau saja orang itu bukan sahabatnya, bogem mentah sudah ia keluarkan sejak tadi-tadi.

"Biarkan aku belajar dengan tenang, Ino!" desis Sakura. Ino akhirnya melepaskan dekapannya dan memilih duduk di samping Sakura. Wajahnya terlihat kegirangan dan antusias.

"Kau punya rencana liburan musim panas?" tanyanya, "jika tidak, aku mendapat tiket ke–"

"Sayangnya Paman Kakashi sudah membookingku di Odaiba," jawab Sakura tanpa mengalihkan buku kedokterannya. Namun Ino malah tambah sumingrah.

"Itu dia Sakura! Kita liburan ke Odaiba!" suara melengking Ino sukses membuat pengunjung perpustakaan kampus menoleh ke arahnya sambil berguman 'berisik' atau menempelkan jari telunjuk ke bibir mereka.

"Lebih tepatnya pekerjaan musim panas," ucap Sakura, Ino menggeleng melihat Sakura yang cuek saja, gadis berambut pirang itu langsung menutup buku setebal kamus di depan Sakura dan mampu membuat gadis pink menatapnya cemberut.

"Kau tidak lelah apa belajar terus? Kau ini sudah pintar, Sakura. Manfaatkan masa muda untuk bersenang-senang!" rajuk Ino sambil bergelayutan di lengan gadis berambut pink itu.

Sakura mengangguk pelan, ia seperti memikirkan sesuatu sebelum membuka suara kembali, "Asal kau membantuku di penginapan Paman Kakashi."

Tanpa pikir panjang gadis bermata baby blue itu menjabat tangan Sakura erat, "Deal."

-skk-

Suara bel khas sekolah berbunyi dua kali memandakan berakhirnya pelajaran. Saat-saat yang dinantikan bagi seluruh siswa dan siswi adalah liburan musim semi tinggal menunggu hari saja. Walaupun liburan ini terbilang pendek karena awal semester, namun guru-guru sudah memulai beberapa tes dan kuis mata pelajaran.

"Haruno Sakura," Ibiki -sensei, guru paling killer seantero sekolah itu menatap tajam anak didiknya, mengamati penuh teliti seolah-olah ingin menemukan apa yang salah dari gadis itu. Dari hasil semua tes, hanya Sakura-lah yang nilainya dibawah rata-rata.

"Nilaimu paling rendah di antara yang lain," tanpa rasa ragu Ibiki-sensei mengatakan hal itu di depan semua teman-teman sekelas, membuat gadis bermata hijau emelard itu menunduk malu. Sakura memang berusaha, ia selalu belajar untuk menghadapi ujian, namun entah kenapa pikirannya tidak fokus. Semua berujung pada Uchiha Sasuke. Pemuda itu sudah memenuhi otak Sakura sekarang.

Semuanya berakhir pada bangku taman untuk meratapi sebuah angka bewarna merah, semerah langit senja saat ini. Entah kenapa, Haruno Mebuki tidak pernah bosan memarahi anaknya ketika mendapat nilai merah. Kenapa ia begitu bodoh? Padahal Sasori saja punya otak cemerlang dan bisa lulus kuliah lebih cepat, pikir Sakura.

Bruk.

Sakura bahkan siap memarahi siapapun yang menganggu hari tenangnya, di sini, jika saja suara kasar itu bukan berasal dari orang yang ia kagumi. Uchiha Sasuke duduk di sampingnya sambil meneguk air mineralnya dengan rakus. Tubuh atletis yang dibalut seragam tim basket itu terlihat menggoda karena keringat.

"Sa-sa-Sasuke?"

Pemuda yang dipanggil hanya melirik, "Hm?"

Wajah Sakura begitu merah –rasanya hampir seperti bunyi popcorn yang meletup. Ia tak sanggup menatap pemandangan begini lama-lama, apalagi saat Sasuke tiba-tiba mencondongkan badan ke arahnya. Oh tidak Sakura, ia begitu dekat.

"Aa, kau gadis waktu itu," Sasuke kemudian melirik secarik kertas di genggamannya, ia mendengus geli.

Oh bumi, telan aku sekarang!

Sakura mendidih, ia sangat malu sekarang. Bahkan untuk membalas ucapan Sasuke saja ia malah terbata-bata tak jelas, "A-a-aku akan berjuang, tes berikutnya pasti nilaiku sempurna!"

Ctak!

"I-ittai!" Sakura mengelus dahinya yang memerah. Kenangan terbentur bola basket itu kembali terlihat jelas. Bahkan sentilan Sasuke sama sakitnya.

Sasuke menyeringai mengerikan, "Jangan kecewakan aku, Haruno."

Huh? Apa?

Pemuda berambun raven itu meraih dagu Sakura, wajahnya semerah tomat kesukaan Sasuke sekarang. Oh, Tuhan... jantung gadis itu seakan meloncat dari tempat yang seharusnya.

Cup.

"ARRRGHHH!"

Tunggu, suara orang yang sedang dicium bukan begini 'kan?

"Sasori!" gadis rambut sewarna permen kapas itu memeluk kakaknya erat. "Ah, aku merasa tertolong!"

"Hah? Apa sesakit itu? Aku hanya memencet hidungmu seperti biasa, kau itu susah sekali dibangunkan tahu."

Sakura menghela napas. Ia beranjak ke kamar mandi dan mengiraukan omelan kakaknya karena keanehan pagi ini. Ya memang, ia aneh –atau lebih tepatnya mimpi-mimpi mengerikan itu selalu menghantuinya setiap malam. Sasuke tidak mungkin menyeringai, mencium, apalagi menyentil dahinya dengan jarak yang hanya terpaut beberapa centi. Ia bukan seorang penggoda. Sasuke itu kaku, pendiam, dingin.

Tidak-tidak, Sakura sadarlah. Itu hanya mimpi, tidak lebih. Ini pasti pengaruh pergantian musim.

Sakura menatap dirinya lekat-lekat di cermin, ia patut menyalahkan orang itu. Berkat dia, sepasang kantung mata kini mulai terlihat jelas di sana. Cih, Uchiha, jadi masa lalupun masih saja menganggu pikirannya.

Ctak!

"Ittai!" Sakura mengelus dahi lebarnya. Kini ia merasa begitu bodoh menyentil dahinya sendiri.

"Menyebalkan..."

-skk-

"Saku..."

"Hm?"

"Sakuraa!" gadis blonde ini begitu benci ketika diacuhkan. Begitu pun Sakura, ia tidak suka waktu belajarnya diganggu. Apalagi menyentuh bukunya dengan kasar, satu lekukan saja pada lembarnya –satu uratnya akan pecah. Lagipula ia bukan satu-satunya orang yang overprotective terhadap buku.

"Inooo! Apa maumu, sih?" akhirnya gadis musim semi itu peduli.

Gadis blonde yang dipanggil Ino itu mendekap buku kedokteran Sakura erat, tak mau sang pemilik terfokus padanya lagi, "Kau sudah baca berapa halaman?"

"Semuanya."

"Wah, hebat!" Ino menunjukkan kedua jari jempolnya, ia tersenyum seperti berhasil mencomblangkan sahabatnya dengan cowok keren.

"Ceritakan padaku pendapatmu!" kali ini Ino tambah bersemangat.

Sakura menyeruput jus wortelnya, "Keren, aku tak menyangka buku itu juga berisi bagaimana virus terbentuk dan berpindah dari hewan ke manusia, lalu di bab akhir ada profil penemu hebat –"

"Tunggu dulu!" raut gadis Yamanaka itu berubah dingin. "Kau benar-benar belum membacanya 'kan?"

"Under The Same Sky," sambungnya dengan tekanan di setiap kata.

Sakura berhenti menyeruput jusnya, "Oh, kukira sekarang benda itu ada di tukang loak, siapa sangka?"

"SAKURAAAA!" napas Ino tersenggal-senggal seperti banteng. Ia siap merobek buku kedokteran Sakura kapan saja. Sayangnya nyali Sakura mendadak ciut melihat Ino marah seperti gorila bernapas banteng.

"S-stop! Jangan buku itu Ino!" rengek si Haruno. Ino masih tetap sama, uratnya bisa langsung meledak dalam satu waktu.

"Masih kusimpan, lihat?" akhirnya Sakura berhasil menenangkan Ino. Beruntung gadis itu membawa buku yang dimaksud. Gadis bermarga Yamanaka langsung menghela napas panjang dan ia menyilangkan tangan di atas dada, berlagak seperti bos.

"Selama kau belum selesai membaca itu, aku akan menahan bukumu, Haruno."

Ini gila, Ino. Begitulah inner Sakura sebelum ia teringat kembali bagaimana rupa si Yamanaka jika sudah meradang tingkat akut. Tidak, ia tidak ingin melihat sesuatu yang lebih mengerikan daripada bau natto kuadrat untuk kedua kalinya.

Mantapkan hatimu Sakura. Siapkan mentalmu untuk menjelajahi dunia romansa novel anak SMA.

-skk-

"Jadilah anjingku."

Nadanya biasa, tidak menunjukkan ekspresi apapun, bahkan gadis itu yakin hanya ia satu-satunya yang mendengar kata itu. Kenapa? Ia hanya bisa terbujur kaku –oh, tentu saja syok. Alam bawah sadarnya menunjukkan sebuah asap putih baru saja keluar dari mulutnya, ruhnya seakan melayang mendengar ucapan konyol itu.

Anjing.

Tunggu, apa? Ia tidak salah dengar 'kan? Ok, mungkin ini salahnya tidak pernah datang menemui dokter THT –atau dokter ahli lainnya, terutama untuk menjelaskan bagaimana tubuhnya bisa berhenti bergerak dalam jangka waktu lama dengan kulit memucat. Ya, Tuhan.

Oh, Sakura... mimpi apa kau semalam?

To Be Continue

Footnote:

Chan: suffix untuk perempuan, kadang laki-laki.

Ittai: sakit/aduh.

Natto: makanan paling bau, terbuat dari kedelai yang difermentasi.

Writer's Note:

Ah, apa yang terjadi padaku? Rasanya Sora barusan bangkit dari alam kubur #halah. Hm.. daripada bingung, Sora mengucapkan Halo kembali, senang berkenalan dengan wajah-wajah baru fanfictioners! #soktua #plak

Sora usahakan update secepatnya, jaa!