Sebut saja Park Woojin brengsek atau seorang bajingan, karena dia dengan suka rela menjadi orang tua asuh Jinyoung dengan maksud terselubung. Bersembunyi dalam kedok ayah angkat untuk memenuhi hasratnya sendiri.

Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua Jinyoung seakan menjawab doa-doa Woojin selama ini untuk memiliki bocah manis berumur 13 tahun itu. Ditambah sanak saudara yang entah dimana keberadaannya, Woojin menjadi satu-satunya kerabat dekat yang ditawari tanggung jawab. Jinyoung juga tak bisa menolak kalau tidak mau berakhir hidup menderita di panti asuhan. Lagipula, apa yang bisa anak berumur 13 tahun pikirkan tentang paman baik yang selalu memberikannya hadiah-hadiah manis sedari kecil?

Sayangnya, Jinyoung tidak tahu kalau panti asuhan mungkin lebih baik daripada tinggal dalam pangkuan serigala kelaparan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Baeby, kemari." titah Woojin, memutar kursi kerjanya ke samping agar Jinyoung lebih leluasa masuk dalam pangkuannya.

Jinyoung menurut, menduduki pantatnya pada paha sang paman dengan patuh. Kepalanya tak berhenti memandangi permadani yang melapisi seluruh lantai ruang kerja. Jemarinya saling meremat dengan gugup.Tungkai-tungkai mungilnya menjuntai dari kursi menekuk kaku. Tidak lupa bibirnya yang terus tergigit sedari tadi. Siapapun yang melihatnya akan langsung berpikiran sama dengan Woojin, menggemaskan. Mungkin bedanya pikiran Woojin mengarah ke sesuatu yang lebih kotor.

"Kau paham yang hyung katakan kemarin kan?" Woojin bertanya dengan lembut, menarik dagu mungil bocah itu untuk menatap matanya.

Jinyoung berusaha mengalihkan pandangan, "I-iya paman."

"Sudah kubilang jangan memanggilku begitu." Tubuh mungil itu menegang, buru-buru membenarkan ucapan begitu mendengar nada dingin dari sang dominan.

"I-iya hyung. Maaf." cicit Jinyoung, Woojin tersenyum menang. Sebuah kecupan ia hadiahkan pada bibir mungil itu disertai seringaian mengerikan saat melihat ekspresi Jinyoung yang menghibur untuknya. Mata Jinyoung membelalak lucu dengan tubuh menegang.

Jinyoung ingin mengelak dan buru-buru beranjak dari sana tapi ingatan dua malam lalu kembali menyeruak dalam kepalanya. Saat Woojin, paman baik yang juga teman papanya, dengan tidak tahu malu melecehkan dirinya.

.

.

.

.

.

Pemakaman resmi selesai setelah guci berisi abu mendiang kedua orang tua Jinyoung dimasukan dalam lemari kolumbarium. Jinyoung menatap potret keluarganya untuk terakhir kali sebelum mengikuti paman—ayah angkatnya masuk ke dalam mobil menuju rumah barunya. Rasa sedih akan kehilangan memberikan kehampaan pada bulatan indah itu. Semuanya terasa begitu mendadak bagi Jinyoung. Seingatnya baru tadi pagi sang papa mengantarnya ke sekolah dan mengelus kepalanya dengan sayang. Baru tadi pagi mama mengingatnya untuk tidak menyisakan bekalnya lagi. Tapi sekarang, dia sedang duduk di mobil asing, melewati jalanan yang tidak pernah dia lewati, bersama seseorang yang tak begitu ia kenal. Apa hidup sedang bermain-main dengannya?

Paman itu, Jinyoung tidak begitu mengenalnya selain lewat pertemuan-pertemuan singkat. Papa bilang dia sahabat lama yang banyak membantu keluarga mereka. Papa bilang paman Woojin orang baik, dan Jinyoung percaya karena memang setiap kali datang paman akan memberikannya hadiah, kadang mainan ataupun makanan kesukaan Jinyoung. Makanya dalam hati kecilnya, Jinyoung sedikit bersyukur paman Woojin mau merawatnya.

"Ini rumah barumu. Bagaimana? Kau suka?"

Ia mengedarkan pandangan pada rumah dua lantai bercat gading dan taman besar yang mengelilinginya begitu Woojin bertanya. Berbeda dengan rumahnya yang sederhana, rumah ini terlihat sangat megah di mata Jinyoung. Jinyoung mengangguk sebagai jawaban dan mengikuti tarikan Woojin pada tanganya untuk masuk ke dalam.

Memasuki rumah, mulut Jinyoung menganga tanpa sadar. ruang tamu rumah itu begitu megah dengan tangga besar di tengah yang menuju lantai dua lalu sofa-sofa kulit yang tampak mahal di sisi kiri dan bangku-bangku bulat tinggi di depan meja panjang dan rak berisi botol-botol minuman pada sisi kanan ruangan. Woojin memandunya menaiki tangga menuju lantai dua dan menunjukannya kamar yang berada di lorong kanan. Kamar dengan pintu bercat biru muda.

"Ini kamarmu sekarang. Barang-barangmu sudah ada di dalam. Tidak banyak tapi aku membawa seperlunya. Aku akan membuat makan malam dulu. Beristirahatlah dulu Jinyoungie." ujar Woojin sebelum menuruni tangga, meninggalkannya sendirian.

Jinyoung memutar knop pintu dan terkesima dengan kamarnya yang bernuansa antariksa, ruangan itu terlalu luas untuk disebut kamar. Bahkan ranjangnya dua kali lipat dari ranjang miliknya di rumah, begitu empuk dan lembut saat Jinyoung mendudukinya. Jinyoung menelisik ke seluruh penjuru kamar dan jatuh pada pajangan miniatur karakter pokemon dan super hero kesukaannya yang tertata rapi dalam lemari kaca setinggi dua meter di sudut kamar dekat pintu bercat putih, itu semua mainan yang memerlukan rengekan dan nilai ujian sempurna untuk Jinyoung dapatkan dulu, tapi semuanya tersedia secara cuma-cuma di sini. Jinyoung memutuskan memeriksa pintu bercat putih tadi, ternyata kamar mandi. Dia jadi ingat belum membersihkan diri sama sekali.

Usai mengambil asal piyama dari dalam lemari, Jinyoung melangkah pelan ke kamar mandi dan menaruh setelah hitam yang ia tanggalkan pada keranjang di bawah wastafel. Ia melangkah pada pancuran di atas bathtub dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat. Airnya benar-benar hangat sampai uap yang keluar menciptakan embun tipis pada tirai tranparan yang menutupi bathtub, tapi tidak dengannya. Jinyoung tidak merasakan kehangatan sama sekali, ia justru merasa begitu kedinginan. Kedinginan yang tercipta akan kesepian dan rindu pada orang-orang yang dicintainya.

Tempat ini memang memiliki segalanya dan mungkin juga Woojin bisa memberikan segalanya pada Jinyoung. Seharusnya Jinyoung merasa senang mendapatkan semua ini tapi dia lebih merindukan rumahnya yang sederhana. Dia merindukan kamarnya yang tak begitu luas tapi penuh kenangan. Jinyoung rindu pada orang tuanya.

Tanpa sadar air matanya ikut turun menyaru dalam bulir air yang menghujaninya. Jinyoung menangis dalam diam. Berusaha sekuat tenaga menyakini perkataan paman kalau ia tidak boleh menangisi papa dan mama terus menerus atau mereka tidak bisa beristirahat dengan tenang. Dia mengusap air matanya dan mematikan air sebelum melanjutkan kegiatan mandinya.

Suara decit pintu memaksa Jinyoung menoleh pada asal suara, dan terkejut mendapati seseorang berdiri di muka pintu.

"Umm.. paman. Kenapa masuk kesini? Jinyoung belum selesai mandi." Jinyoung bertanya dengan sungkan, menutupi area privasinya dengan busa.

Woojin memandanginya dengan tatapan aneh, "Ah, aku pinjam toiletnya sebentar." lalu menuju kloset dan membuka risleting celana hitamnya.

Jinyoung memalingkan muka, terheran-heran dengan jawaban yang Woojin berikan. Bukankah rumah sebesar ini harusnya memiliki lebih dari satu kamar mandi? Kenapa memakai kamar mandi di kamarnya?

Suara air yang memancur diikuti flushing toilet terdengar sangat jelas menandakan prosesi buang air Woojin telah selesai. Jinyoung tidak berani bertanya lebih banyak ataupun melihat langsung, hanya terus memalingkan muka sampai suara pintu tertutup tertangkap telinga. Setelahnya ia bernafas lega.

Ia langsung menyalakan air pancuran untuk membasuh tubuh, tidak ingin berada di sini lebih lama lagi. Jinyoung menggosok seluruh tubuhnya untuk menghilangkan busa-busa yang menempel sampai hilang seluruhnya.

Suara decakan membuat Jinyoung terlonjak sesaat setelah ia mematikan keran. Jinyoung menoleh pada sumber suara dan terkejut bukan main.

"Ck, dilihat langsung memang beda." Woojin berdecak kagum selagi memandangi tubuhnya yang tak terhalangi apapun lagi.

"Pa-paman ke-kenapa masih disini?"

Tubuh Jinyoung bergetar. Bukannya mendapat jawaban, Woojin malah menyibak gorden mandi dan mendekatinya. Memojokkan Jinyoung di sudut bathtub dalam kungkungan kedua tangannya.

"Jangan takut. Aku takkan menyakitimu Jinyoungie. Aku pikir bisa melakukannya nanti tapi sepertinya kesabaranku tidak sebesar yang ku kira." Jinyoung bergidik geli pada belaian di pipinya.

"Pa-paman ma-mau apa?" tanyanya dengan takut. Woojin tersenyum miring, kembali membelai surai basah Jinyoung lembut.

"Kita akan bermain malam ini. Ah, satu lagi. Jangan memanggilku paman, aku tidak setua itu. Panggil aku hyung, mengerti?"

Tidak, Jinyoung tidak mengerti! Dia tidak mengerti pada keadaan yang tengah dihadapinya sekarang selain merasakan takut luar biasa. Kenapa ia harus memanggil teman papa dengan sebutan itu disaat pria itu tidak jauh lebih muda dari papanya? Lagipula permainan apa yang dimaksud paman itu? Tidak bisakah menunggu Jinyoung selesai mandi? Atau, nanti setelah ia selesai berkabung?

"Tidak. Jinyoung lelah, ingin tidur saja paman." tolaknya lalu meloloskan diri dari celah kungkungan. Sedetik kemudian, geraman marah dan tarikan pada lengannya hampir membuat Jinyoung jatuh tergelincir kalau saja tidak ditangkap.

Tangan Woojin memeluknya erat dari belakang, Jinyoung berusaha melepaskan diri tapi sulit. "Lepaskan paman. Jinyoung mau pakai baju!" pintanya kesal.

Woojin terkekeh, "Kau tidak memerlukan baju untuk permainan ini Jinyoung sayang."

Sesaat kemudian Jinyoung meremang, ia bisa merasakan helaan nafas pada tengkuknya disusul sentuhan basah pada bahunya. Ia menoleh dan mendapati sang paman menciumi bahunya dengan aneh.

"Apa yang paman lakukan? Lepaskan Jinyoung sekarang!"

"Ssshhh. Diam dan nikmati saja Jinyoungie. Aku sudah lama ingin melakukan ini." ucapan Woojin bertepatan dengan sentuhan pada bongkahan Jinyoung dibawah sana. Jinyoung meronta sekuat tenaga saat tangan besar itu menggerayangi pantatnya. Meremasnya kuat hingga nyeri begitu terasa.

Jinyoung mulai merasa ada yang salah. Dia tidak pernah disentuh seperti ini sebelumnya oleh siapapun. Tiba-tiba dia teringat perkataan mama tentang larangan membiarkan orang lain menyentuh daerah privasinya. Bukankah yang dilakukan pamannya sudah melanggar larangan mama?

Sikutan keras Jinyoung telat mengenai rusuk kiri Woojin hingga pelukannya terlepas. Woojin menyender pada dinding dibelakangnya merasakan sakit pada badannya. Jinyoung tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia berlari cepat menuju pintu.

Jinyoung hampir menyentuh knop pintu tatkala cengkraman pada bahu memaksanya mundur ke belakang. Woojin mendorongnya hingga membentur dinding. Ia kehilangan keseimbangan akibat benturan keras itu dan terduduk di lantai, memegangi kepalanya yang sepertinya terkena benturan paling keras.

Woojin langsung menarik rambutnya kuat dan menyeretnya keluar kamar mandi menuju ranjang dalam kamar. Usaha Jinyoung dengan memohon dan memukuli tangan kekar itu tak membuahkan hasil sama sekali. Seakan Woojin menulikan pendengaran pada rengekannya.

"Aku takkan bermain kasar kalau kau menurut. Tapi sepertinya aku harus mengajarimu dulu sekarang." desis Woojin ditelinga Jinyoung sebelum melemparnya ke ranjang. Jinyoung menggeleng ribut, merangkak naik ke kepala ranjang untuk menjauhkan diri dari Woojin. Tapi sayangnya itu pilihan yang salah.

Woojin menarik kedua kakinya hingga Jinyoung jatuh menelungkup lalu melesakkan dua jari sekaligus pada lubang anus yang masih menyempit. Jinyoung meraung, tubuhnya terasa disobek dari bawah. Sakitnya beribu kali lipat dari luka pada dengkulnya saat jatuh dari sepeda. Kakinya berusaha menendang-nendang udara kosong berharap mengenai lelaki itu dan ia akan terlepas. Tapi, Woojin tak memberinya ampun sama sekali.

Bahu Jinyoung ditekan kuat menempel pada kasur dan jari-jarinya bergerak cepat dalam rektum kecil itu. Woojin menggeram nikmat, membayangkan miliknya dijepit dalam lubang sempit yang memakan jarinya rakus. Tak perduli pada isakan pilu dari tubuh kecil dibawahnya, Woojin hanya memikirkan kenikmatannya sendiri.

"Kau harus mengingat ini Jinyoungie. Kalau kau melawan lagi, kau akan merasakan sakit yang lebih parah dari ini." Bisik Woojin semakin membuat Jinyoung terisak. Gerakan jemari Woojin semakin intens di dalam sana, berusaha melebarkan lubang itu agar siap menerima miliknya.

Jinyoung hanya bisa pasrah, tenaganya sudah terkuras habis setelah belasan menit lewat untuk melawan Woojin yang kekuatannya jauh lebih besar darinya. Dia hanya bisa meringis tiap kali jemari Woojin melesak masuk dan menggesek dinding anusnya. Rasanya aneh. Sakit tapi juga aneh.

Lenguhan tanpa sadar keluar dari mulutnya. Jinyoung sekilas merasakan sesuatu tadi tapi tidak tahu harus mendeskripsikannya bagaimana.

"Ah, jadi di sini? Suara desahanmu manis sekali Jinyoungie."

Suara desahan?, batin Jinyoung tidak mengerti. Ia melirik dari sudut matanya dan mendapati lelaki itu sedang menyeringai mengerikan. Perasaan Jinyoung jadi tidak enak.

"Ahh! Ah! Ah! Akhh paman ahh! hentikan!" Raung Jinyoung memohon pada Woojin, tak kuasa menahan suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya tiap kali Woojin menyentuh titik tadi. Woojin terus-menerus menusuk tempat tadi tanpa jeda. Jinyoung serasa akan gila atas sensasi aneh yang menderanya. "Jangan ahh sentuh lagi akhh hiks kumo-ahh!"

Woojin tak mengindahkan permintaannya sama sekali. Ia menikmati suara memelas diselingi desahan manis itu, suara yang begitu adiktif dan membuatnya kecanduan. Jari manisnya ikut melesak masuk dan melebarkan lubang anus anak itu selagi telunjuknya menggaruk prostat Jinyoung hingga tubuhnya menggelinjang tidak karuan.

Desahan demi desahan terus mengalun indah dari mulutnya yang terbuka. Woojin tersenyum menang melihat cairan bening yang lolos dari penis kecil Jinyoung, tanda anak itu menikmati permainannya. Dia semakin intens menggoda titik kenikmatan Jinyoung tanpa ampun.

Pandangan Jinyoung mulai memburam. Kepalanya terasa pening tapi sentuhan Woojin tak membiarkannya istirahat barang semenit. Kesadarannya mulai diambang batas, Jinyoung merasa diawang-awang hingga sesuatu terasa meledak dari dalam dirinya. Jinyoung tak mengingat apa-apa lagi setelahnya.

Begitu sadar, ia tidur terlentang di ranjang dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Jinyoung berusaha bangkit tapi urung, tubuh bagian bawahnya terasa begitu menyakitkan saat dia mencoba duduk. Dia mencoba meraba selangkangannya yang terasa tak nyaman. Cairan merembes keluar dari lubang anusnya begitu Jinyoung menyentuhnya, ia melihat jarinya yang berlumuran cairan itu lalu menangis.

Jarinya berlumuran darah yang bercampur dengan lendir aneh berbau amis. Ingatannya kembali pada malam sebelumnya, Jinyoung tidak berhenti menangis seharian.

Menjelang malam Woojin kembali ke kamarnya. Jinyoung meringkuk ketakutan saat melihat lelaki itu, tak peduli pada tubuhnya yang melolong kesakitan. Rasa takut pada Woojin jauh lebih besar daripada memikirkan kondisinya.

Woojin melonggarkan dasinya dan berjalan menghampiri Jinyoung. Keadaanya masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkannya untuk bekerja, dengan kata lain Jinyoung tidak beranjak dari ranjangnya seharian ini.

"Kau sudah makan?"

Jinyoung tidak menjawab. Tubuhnya masih bergetar dan meringsut mundur ke sudut lain dari Woojin yang duduk di tepi ranjang. Woojin menghela nafas.

"Kemari lah aku takkan menyakitimu." Jinyoung memunggungi Woojin, mengabaikan uluran tangannya. Woojin mengernyit tidak suka.

"Bukannya aku sudah bilang tidak suka kau melawan. Cepat kemari atau aku akan menghukummu." desisnya tajam. Tubuh mungil itu lantas menegang, teringat ancaman Woojin yang tak main-main. Ia melirik takut-takut pada Woojin. Air matanya semakin deras menuruni pipi pucatnya.

Woojin mengulurkan tangannya lagi. Jinyoung menatapi wajahnya dan tangannya bergantian. Keraguan dan ketakutan jelas terpancar dari mata merah membengkak. Dada Woojin ikut berdenyut ngilu melihat pemandangan itu, sadar perbuatannya kemarin sudah keterlaluan.

"Aku takkan menyakitimu. Hyung janji Jinyoungie. Kemari lah." pinta Woojin sekali lagi, dengan lebih lembut. Dan, berhasil. Jinyoung menyambut uluran tangannya, Woojin bisa merasakan bagaimana tangan mungil itu bergetar dalam genggamannya.

"Maaf, kemarin hyung menyakitimu. Kau pasti takut sekali ya?"

Jinyoung mengangguk kaku, reflek menghindar saat Woojin akan menyentuh kepalanya. Dia buru-buru memeriksa muka lelaki itu takut membuatnya marah lagi tapi Woojin tidak terlihat terganggu.

"Hyung hanya tidak suka kalau Jinyoungie tidak menurut. Jadi, jangan melawan lagi ya?"

Jinyoung mengigit bibir bawahnya, "Pa-paman membenciku?" tanyanya dengan parau.

"Siapa bilang? aku sama sekali tidak membencimu. Aku menyayangimu Jinyoungie."

Satu isakan lolos, "La-lu ke-kenapa paman melakukannya? hiks." tangis Jinyoung kembali pecah. Woojin mencoba merengkuhnya dalam pelukan tapi Jinyoung dengan cepat berontak. Ia kembali meringsut mundur menjauhi Woojin dan menatapnya nyalang. Woojin menghela nafas lagi, sebelum melemparkan senyuman meneduhkan.

"Itu karena aku mencintaimu, Jinyoung-ah."

Jinyoung melayangkan tatapan tidak mengerti. Cinta yang Jinyoung tahu adalah cinta yang dia dapatkan dari kedua orangtuanya dan kedua orang tuanya tidak pernah menyakitinya begitu. Kalaupun ia berbuat nakal dan melawan, mama hanya akan menghukumnya tidak boleh bermain di luar. Tidak pernah sampai membuatnya berdarah. Jadi, cinta apa yang dimaksud pamannya?

"Kemarilah Jinyoungie. Kita harus membersihkanmu dan mengobati lukamu." Woojin kembali mengulurkan tangannya, "Lagipula kau pasti laparkan? Aku akan memasakan makanan kesukaanmu atau mau memesan makanan hm?"

Mendengar kata makanan, perutnya yang melilit sedari siang kembali melolong hingga nyaring terdengar olehnya, juga Woojin. Jinyoung menunduk malu lalu menatap uluran tangan itu kesekian kalinya dengan ragu. Akhirnya ia merangkak perlahan pada Woojin yang langsung menggendongnya ke kamar mandi.

Jinyoung berusaha menyamankan posisi duduknya pada kursi yang dilapisi bantal. Pantatnya masih terasa sakit kalau tertekan tapi tidak seburuk tadi pagi setelah pamannya mengoleskan salep entah apa pada pantatnya. Tetapi tetap saja, ini sangat tidak nyaman.

Woojin sendiri sedang memasak omelet sambil bersenandung di dapur. Jinyoung bisa melihat betapa senangnya pria itu dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Kalau saja Jinyoung tidak mengingat kejadian kemarin malam, mungkin Woojin akan terlihat sangat keren di matanya, dengan gaya memasak seperti koki terkenal di tv yang melempar-lempar masakannya ke udara. Bahkan papanya sendiri tidak bisa memasak ramen dengan benar.

Sayangnya senyuman tampan itu selalu terganti dengan seringaian mengerikan dalam bayangannya, Jinyoung bergidik ngeri saat Woojin melangkah padanya dengan dua piring makanan.

"Kenapa? Tidak suka makanannya? Padahal seingatku Minhyun hyung bilang kau suka omelet." Woojin meletakkan hasil masakannya pada meja dan duduk di seberang Jinyoung.

Jinyoung mengalihkan tatapannya pada sepiring telur olahan yang tampak menggiurkan, "S-suka paman." cicitnya.

Woojin tersenyum senang, "Makan yang banyak, Jinyoungie." katanya, mengusak rambut Jinyoung pelan lalu mulai menyantap makanannya sendiri.

Jinyoung mencuri pandang pada Woojin yang makan dengan lahap, lalu mengambil sendoknya dan memasukan sesuap nasi berlapis telur itu ragu-ragu ke dalam mulutnya. Seketika matanya membulat dengan binar terang, Jinyoung menyendok suapan selanjutnya dengan terburu-buru.

Tawa pelan keluar dari yang lebih tua, menatap gemas pada Jinyoung yang makan dengan belepotan. Tangannya terulur untuk mengambil butiran nasi yang menempel di sekitar mulut kecil itu.

"Pelan-pelan makannya. Kau bisa tersedak." kata Woojin, Jinyoung tidak mempedulikannya. Omelet lezat di depannya lebih menggiurkan.

"Ah iya, ini mengingatkanku waktu Minhyun hyung menunjukan foto bayimu. Kau masih sama seperti itu. Seperti bayi." lanjutnya lebih kepada gumaman pelan dengan mata menerawang. Jinyoung kali ini menaruh perhatian setelah mendengar nama papanya kembali disebut.

"Papa.." Jinyoung menggigit bibir bawahnya, mengingat sang papa kembali membuatnya sedih.

"Kau tahu Jinyoungie. Sewaktu Minhyun hyung menunjukan fotomu aku langsung jatuh cinta saat itu juga. Aku jatuh cinta pada bayi manis yang baru bisa menyebut papa untuk pertama kalinya. Gila bukan? hahaha." Woojin tertawa seperti orang gila, Jinyoung sama sekali tidak mengerti perkataanya.

Woojin cepat-cepat menyudahi tawanya, " Ah, tapi aku hanya merasakannya padamu. Jadi sepertinya aku tidak sepenuhnya gila. Mungkin takdir yang gila? Iyakan?"

Jinyoung tidak tahu harus menjawab apa karena sejujurnya ia masih tidak mengerti perkataan Woojin, tapi tatapan matanya menuntut jawaban. Jadi dengan asal dia membalas dengan jawaban yang sekiranya tidak membuat lelaki itu marah.

"I-iya paman."

Senyum Woojin semakin lebar, "Benar. You're the only one. My one and only Baeby."

Jinyoung kembali melanjutkan acara makannya tapi lagi lagi Woojin mengajaknya bicara.

"Oh iya, aku paling tidak suka dibantah. Selama kau menurut hyung takkan menyakitimu. Jadi, Baeby harus menjadi anak baik mengerti?" Kali ini Woojin berkata dengan nada memerintah dan intimidatif, Jinyoung mengangguk dengan takut.

Woojin tersenyum senang, "Bagus. Kalau sudah selesai makannya langsung masuk ke kamar dan tidur. Hyung harus memeriksa beberapa dokumen dulu. Good night Baeby." ujarnya dengan kecupan singkat pada kepala Jinyoung yang mematung di tempat.

Woojin tidak langsung pergi, dia menatapi Jinyoung yang menunduk dalam. Merasa diperhatikan Jinyoung melirik takut-takut, Woojin menaikan sebelah alisnya.

"Iya paman." Woojin mengusak rambutnya pelan.

"Satu lagi. Jangan memanggilku paman, Baeby." katanya sebelum benar-benar menghilang ke lantai dua. Jinyoung menghela nafas lega.

.

.

.

.

.

"Apa masih sakit?"

Jinyoung lama diam sebelum mengangguk pelan. Menyamankan posisi duduknya pada paha Woojin agar tidak terlalu menekan bagian bawahnya yang masih nyeri. Woojin mengusap rambutnya perlahan, lalu kembali mengecupi pipi gembilnya dengan sayang.

"Maaf, nanti hyung akan melakukannya dengan lembut." ujarnya, Jinyoung langsung menatapnya dengan mata membelalak.

"Na-nanti hyung?" ulangnya demi memastikan pendengaran.

"Kenapa? Tidak mau?" Jinyoung menggeleng cepat, bergegas turun dari pangkuan Woojin dan melangkah tertatih menuju pintu keluar.

"Baeby, mau melawan?"

Jinyoung mematung. Nada suara Woojin terkesan sangat intimidatif dan tajam.

"Kau mau melawan?" ulangnya dengan penuh penekanan berhasil membuat Jinyoung membalikkan badan.

Air mata sudah mengenang di pelupuk matanya saat menatap Woojin.

"Ta-tapi Jinyoung tidak mau hiks sakit hyung hiks." katanya disela isakan yang mulai keluar.

Woojin tampak berpikir sebelum menyeringai, "Baiklah karena Baeby sudah menjadi anak baik seharian ini hyung akan memberikan penawaran kecil." ujarnya lalu memberikan isyarat pada Jinyoung untuk mendekat.

Perlahan Jinyoung menghampiri Woojin dan berhenti setelah jaraknya masih tersisa satu meter dari pria itu.

"Kemari dan berlutut." perintah Woojin.

Jinyoung menurutinya, ragu-ragu ia berlutut di depan Woojin yang memberikan isyarat lainnya.

"Ck, kurang dekat!" Jinyoung tersentak begitu mendengar bentakan itu, buru-buru merangkak mendekat sampai berada di tengah-tengah kaki Woojin yang melebar. Lantas menunduk karena tanpa sengaja menatap gembungan ditengah celana piyama yang Woojin kenakan.

Woojin tersenyum senang, membelai surai halus Jinyoung yang bergetar ketakutan. Lalu menarik dagu Jinyoung agak mendongak, "Baiklah kita bisa menggunakan ini selama Baeby masih sakit." seringainya sembari mengusap bibir mungil Jinyoung dengan ibu jarinya.

Jinyoung memandang dengan tatapan polos, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang menantinya.

.

.

.

-Bersambung-