Halooooooo. Salam Sasusaku semua awal mula cerita dibuat sebenarnya untuk dimasukan ke dalam kontes cerita bertema Sasusaku, tapi karena telat dan lain hal, jadilah dibuat untuk konsumsi pribadi terlebih dahulu. Ide ceritanya simple, ingin tahu apa yang terjadi selama time skip antara Sasuke dan Sakura.
Cerita lebih ditujukan bagaimana masing-masingnya menyadari perasaannya sendiri. Bagaimana Sakura bisa sadar bahwa Sasuke ternyata menerima perasaannya. Sebaliknya bagaimana Sasuke sadar bahwa Sakura lah 'orangnya'. Kita semua tahu bahwa keduanya tidak banyak bicara, Masashi Kishimoto begitu apik membuat hubungan keduanya begitu kompleks :') sebagai penikmatromansa sejati rasanya tidak kecewa dengan hasil akhir tapi yaaa kecewa dengan progressi dari keduanya. Jadi karena ketidakpuasan itu muncul cerita ini. Sedikit bumbu cerita tambahan bolehlah penulis buat :p
Jangan segan untuk memberikan saran ya. Revieeeeewnya ditunggu!
Perang telah usai. Kelima negera merayakannya dengan bersuka ria. Diantara puluhan ribu orang yang terluka, kebahagiaan rakyat ke-lima negara tak terbendung riuhnya. Semua Shinobi yang selamat disambut sebagai pahlawan perang. Sorak sorai. Tangis haru. Melebur bersama wajah-wajah penuh peluh. Gurat-gurat senyum terbingkai di setiap langkah pahlawan-pahlawan tersebut. Jalanan penuh sesak. Dinaungi pucuk-pucuk daun dan tunas-tunas bebungaan pohon yang tersebar di seluruh daerahnya, konoha seperti sedang berfestival.
Tiga orang pria berjalan gontai berusaha melewati kerumunan. Menyeret kaki, bahu ke bahu, menyelinap ke balik punggung-punggung manusia, mencari jalan menuju gedung putih di ujung jalan. Mereka terhenti ketika sekerumunan orang tetap berdiri di tempatnya. Tidak berniat memundurkan langkah. Para Shinobi-para pahlawan perang yang dielu-elukan-menatap ketiga pria gontai tadi. Keringat, tanah, dan darah menyelimuti mereka. Para Shinobi, disusul rakyat biasa di sekelilingnya, dengan tangan-tangan panjang mereka, meraih satu persatu lengan ketiga pria gontai tadi. Kedua darinya tak lagi berlengah utuh. Hati-hati mereka memperlakukan mereka bagaikan harta. Pahlawan yang sebenarnya. Dengan senyuman hangat dan tatapan penuh rasa bangga. Naruto, Sasuke dan Kakashi berjalan bersama-hampir-seluruh Konoha di samping mereka.
.
.
.
Sinar matahari menembus Konoha.
Angin di akhir musim gugur mengiringi.
Menyentuh pelan di pipi kirinya.
Sasuke berdiri di balik ilalang setinggi pinggang.
Kedua mata terpejam. Wajah menengadah tinggi ke hamparan langit biru.
Di antara mimpi dan nyata dunianya-
suara rerumputan bergerak dan bergeser menghampirinya dari belakang.
Sasuke membuka mata, menengok ke balik bahu. Wajahnya putih, bulat dengan rambut sehitam kedua bola mata indahnya. Menatap Sasuke dari bawah.
"Sasuke-kun?"
Sasuke menoleh ke samping. Seorang gadis kecil muncul bergandengan tangan dengan temannya yang berambut pirang terang. Orange. Menyelinap di balik ilalang, gadis kecil itu mengambil tangan Sasuke dan membawanya dalam genggaman. Sasuke kecil mengikutinya. Ketiganya berlari melewati Sasuke.
Sesuatu menggelitik wajahnya.
Rerumputan berdesir tertiup angin. Mengiringi langkah ketiga sahabat yang bergandengan tangan melewatinya. Mata Sasuke mengikuti anak kecil berambut hitam tadi. Alis matanya bergerak seiring mata yang berbinar melengkung tersenyum. Senyum miliknya sendiri. Sesuatu darinya membuat Sasuke iri.
Harum.
Semilir wangi bunga tiba-tiba melewati rongga penciumannya.
Sasuke mengamati sekelilingnya. Hanya ilalang sepanjang matanya memandang.
Di ujung lurus di hadapannya, tenggelam di balik ilalang Sasuke masih dapat melihat sekilas rambut pink milik sahabatnya.
Bergerak ke kanan dan kiri mengikuti langkah kecilnya.
Sakura.
.
.
.
Sakura menaruh kembali vas bunga kecil ke tempatnya semula. Puas dengan pilihannya. Ia melangkah mundur dan mulai mengamati.
Dari sudut pandangnya ia dapat melihat sesuatu membuat tidur Sasuke terganggu. Bulu mata panjang, hitam, yang menghiasi kedua matanya bergerak.
"Sasuke-kun?"
Sakura mendekatkan wajahnya. Ketakutan menyergapnya, ia mengepalkan tangan. Sakura tidak berniat menyingkirkan rambutnya yang menjuntai di atas wajah Sasuke. Tidak sampai Sakura mendapati Sasuke bernapas. Baru kemarin Sakura mendapat kabar napas Sasuke berhenti ditengah tidurnya, hampir satu menit, disaat ia dibuat sibuk oleh ke-lima kage. Sakura merasakan beban di kedua pundaknya. Ia meninggalkan mereka; Kakashi-sensei, Naruto dan Sasuke, untuk membawa ke-lima kage dalam keadaan hidup. Ia menjadi benar-benar jauh dari ketiganya selama beberapa hari.
Sakura merasakan hembusan pelan, teratur, ke wajahnya. Lega. Sakura terpejam. Mencoba merasakan apa sekiranya yang menganggu Sasuke dari tidurnya. Hembusan pelan lainnya datang membelai rambutnya. Ia mengangkat wajah, menjauh dari Sasuke, lalu tersenyum. Ia mendapati angin berhasil melewati sela-sela jendela yang tidak tertutup oleh tirai.
"Kau rupanya."
Sakura menutup tirainya serapat mungkin. Pandangannya kemudian menyapu ke seberang ruangan. Ia berjalan melewati kasur Sasuke, mendekati seseorang yang mendengkur pelan dalam tidurnya. Ia bersyukur. Naruto dan Sasuke tertidur hampir dua hari, setidaknya satu di antara mereka mampu membuat gurat cemas di wajah Sakura berkurang. Sakura tersenyum, meletakkan kedua tangannya ke atas lengan Naruto.
"Terima kasih. Kau sudah menepati janjimu."
.
.
.
Sasuke terduduk menghadap jendela di pinggir kasurnya. Tangan kanannya memutar-mutar tangkai mawar tidak berduri. Bunga mawar itu melengkung dengan kelopaknya sudah terlampau merah.
Seseorang memberikannya tanpa datang kemudian untuk menggantinya. Pandangannya teralih ketika seseorang membuka pintu di belakangnya.
"Hai," Naruto muncul bersama Hinata dari balik pintu. Berpakaian hitam.
"Selamat pagi, Sasuke-kun." Hinata menyapa sambil menunduk. Kedua pipinya masih memerah. Tentu bukan karena bertemu Sasuke. Air matanya mengalir terus di pemakaman hari ini. Neji Hyuuga, salah satu di antaranya.
Sasuke menundukkan kepalanya ke arah Hinata. Kemudian membalikkan badan ketika Naruto memecah keheningan.
"Kau mau menemaniku disini?"
Hinata baru saja terduduk di kursinya. "Kalau kau tidak keberatan," jawab Hinata, memiringkan kepalanya ke arah Naruto.
"Tidak. Tentu, tidak." Naruto menyeringai. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sasuke melihat orang-orang berbaju hitam masih mengisi jalanan di bawahnya. Pemakaman untuk mengenang para pahlawan perang yang gugur dalam perjuangan dilakukan pagi ini. Sasuke menolak untuk datang saat Naruto mengundangnya. Sasuke tahu keadaannya akan sedikit berat hari ini-tidak untuknya tentunya itu-tapi bagi Naruto dan seluruh Konoha, meskipun dibandingkan cuaca yang luar biasa cerah dan menyejukkan. Naruto memaklumi sahabatnya yang sedang memungguninya saat ini. Apapun alasannya.
.
.
.
Satu minggu berlalu.
Sasuke mengamati bunga mawarnya mulai kehilangan dua dari kelopaknya.
Terjatuh lemas ke atas meja.
.
.
.
Keesokan harinya Hinata datang untuk kedua kalinya bersama yang lain.
"Aku dengar kalian belum dibolehkan untuk makan-makanan seperti ini," Chouji menatap bingkisan di tangannya dengan bersemangat, "ini akan membuat kalian lebih baik, percaya padaku!"
Naruto meloncat turun dari kasurnya. Menerima bingkisan dari Chouji dengan tangan kirinya. Kemudian menyeringai, "Yosh! Terima kasih!"
"Kau tidak akan memakannya sendirian saja kan, Naruto-kun?" Hinata mengarahkan kedua bola matanya pada Sasuke.
"Sasuke tidak suka manis." Jawab Naruto cepat.
"Oh," Chouji melirik Sasuke, "Sayang sekali."Hinata menghela napas, kemudian berjalan menghampiri Sasuke. "Kalau begitu, aku membawakanmu ini," setumpuk buku keluar dari tas di tangannya, "Naruto meminta tolong padaku," jelasnya.
Sasuke menerima dengan tangan kanannya. Wajahnya datar mengamati tiga tumpuk buku di tangannya. Ia tidak berharap banyak Hinata dapat membawakan buku yang tepat untuknya atas permintaan Naruto, yang mana-tidak mungkin-pengetahuannya tentang buku akan memuaskan Sasuke. Tiga buku dengan tema peperangan yang jelas milik keluarga Hyuuga berada di atas telapak tangannya. Sasuke merasa lelah bahkan sebelum mulai membacanya.
"Terima kasih."
Hinata tersenyum.
"Hey," Shikamaru berseru mendorong tubuhnya menjauhi tembok di seberang kasur Naruto dan Sasuke. "Aku tidak tahu haru memberikan apa."
"Aku juga, aku juga!" Kiba menyahut dari balik bahu Chouji.
"Tapi, aku datang," Shikamaru memamerkan sederatan giginya, "Kuharap kalian cepat keluar dari sini, setidaknya... kalian perlu sedikit merayakan kebebasan kita," Sasuke mendapati matanya bertemu mata Shikamaru. Selama beberapa waktu Sasuke dapat merasakan ketegangan menggantung di antara mereka.
"Aku dan Akamaru akan senang menemanimu makan di Ichiraku, Naruto," Kiba meloncat ke kasur Naruto. Menyikut bahu kirinya.
"AAA! Kau mau minta ditraktir?" Naruto menurunkan setumpuk biskuit dan coklat dari tangannya ke atas meja di samping kasurnya. Beberapa bungkus sudah kosong.
"Kita semua," jawab Chouji. "Kau akan tahu bahwa paman di Ichiraku mulai mengolah bahan baru setelah keluar dari sini."
"EEE? Benarkah?" Naruto berseru dengan coklat menempel di kedua gigi depannya.
"Chouji jangan memancing," Shikamaru menyikutnya.
"Kau masih akan cukup lama disini, Naruto-kun. Perawat sudah melarangmu makan-makanan yang merangsang perutmu untuk mencerna lebih," Hinata menghampiri Naruto dan membereskan beberapa bungkus plastik dari mejanya. Memasukkan coklat dan biskuit yang masih isi sebagian ke dalam tas di tangannya secara diam-diam.
"Berapa lama?" tanya Kiba. Ia meraih beberapa biskuit dari tangan Naruto.
"Tapi aku sudah benar-benar sehat," Naruto mengepalkan tinjunya berulang kali, remah biskuit bertebaran ke arah Kiba yang duduk di sampingnya, "Sasuke akan semakin membusuk jika berlama-lama disini, sama seperti bunga mawar yang terus ia simpan di sampingnya."
Sasuke mengangkat wajahnya. Naruto meliriknya. Sasuke membalas lelucon Naruto dengan memasang wajah datar ke arahnya.
Shikamaru memutar mata dan bergumam, sesuatu melintas di kepalanya, "Sebulan, ya sebulan. Sakura mengatakannya kalau tidak salah waktu itu."
Naruto menyapu pandangan ke arah Shikamaru yang berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya, "EEE!?" Suara Naruto melengking dalam ruangan.
Kiba dan Shikamaru melemparkan senyuman satu sama lain. Chouji mengulum mulutnya ke dalam. Hinata menenangkannya, "Jangan khawatir, Naruto-kun."
"Tapi... kalau Sakura-chan yang bilang mungkin benar juga. Terkadang... kalau malam aku masih merasakan sakit, sih," Naruto meraba dadanya. Sasuke memerhatikan Naruto dari sudut matanya.
Senyum Kiba dan Shikamaru tidak lagi terlihat. Tidak satu pun dari mereka mencoba memecahkan keheningan.
"Tapi tentu aku tidak merasakannya sendirian," Sasuke mendapati mata Naruto mengarah padanya, "Kami berbagi seperti sepasang pengantin baru yang tidak terpisahkan."
Semua langsung tertunduk. Kiba bergumam tentang kewarasan Naruto yang mulai dipertanyakan. Hinata menaruh tangan kiri menutupi mulutnya, tawa kecil keluar dari balik jari-jarinya.
Naruto terus menerus membuat bentuk hati dengan telunjuk tangan kirinya. Kemudian berpura-pura meniupkannya ke arah Sasuke.
Shikamaru memutar badan, mengusap-usap tengkuknya sambil menghela napas. Ia melengos ke arah pintu, "Kita harus meminta perawat memeriksakan kepalanya lebih lanjut. Ayo!"
"Eeeh!? Mau pulang, Shikamaru?" Chouji mengikutinya dari belakang, "Sampai nanti, Naruto...", kemudian menyapu pandangannya ke arah Sasuke, "Sasuke."
"Sampai nanti, Naruto-kun, Sasuke-kun," Hinata menutup tasnya yang sudah setengah terisi coklat. Kiba mengikuti di belakangnya, "Aku minta ya, Hinata," berbisik di telinga Hinata. Kemudia ia melambai cepat-cepat sambil menutup pintu, "Sampai nanti!"
Naruto melambai bersemangat. "Sampai nanti, teman-teman!"
Tangannya masih terangkat di udara. Sampai suara langkah mereka menghilang di ujung lorong. Naruto menurunkannya perlahan, begitu pun wajahnya, "Sebulan, ya."
"Seperti kau bilang,"
Naruto menengok ke arah Sasuke.
"Kau tidak merasakannya sendirian."
Naruto menaikan pandangannya dengan ujung bibir tertarik ke belakang. Sasuke membalasnya. Ia menyeringai dari balik rambut hitam panjangnya yang menutupi sebelah matanya. Naruto merasa sesuatu yang hangat mengalirinya. Dada yang sebelumnya berdenyut nyeri-hampir setiap saat-tidak lagi begitu.
"Kau... hssh!" Sasuke mengerang.
Sasuke membenamkan dirinya dalam selimut ketika Naruto mulai membentuk hati menggunakan telunjuknya dan meniupkannya ke arah Sasuke. Lagi. Dan lagi.
.
.
.
Dua minggu.
Sasuke mendapati Hinata memerhatikan bunga mawarnya. Atau tangkai mawarnya.
Bunganya sudah tidak lagi berbunga. Tidak satu pun kelopak tertinggal.
"Buang saja."
Hinata mengangkat alis, "Kau yakin?"
"Hn."
.
.
.
Kakashi duduk di atas kasurnya, memastikan semua orang sudah keluar kecuali Naruto dan Sasuke. Sai dan beberapa orang dari Anbu datang menjenguk Kakashi sebelum Naruto dan Sasuke datang. Mereka saling berpapasan di pintu masuk. Kekauan dan hawa tidak nyaman melewati Naruto dan Sasuke seiringan kepergian tamu sebelumnya tersebut. Sai tidak melepaskan pandangannya dari Sasuke ketika pintu tertutup di depan wajah putih pucatnya.
"Mereka sudah memutuskan," Kakashi berbicara dari balik penutupnya, "para petinggi sudah memutuskan agar Sasuke diperiksa. Mereka akan melakukan penyelidikan dan mewawancaraimu terlebih dahulu."
Naruto terlihat membuka matanya lebar-lebar. Ia terkesiap dari duduknya, berkebalikan dengan empu-nya pembicaraan sendiri. "Kapan?" tanya Sasuke tanpa eskpresi, baik nada bicara juga wajahnya.
"Selepas kau keluar dari rumah sakit."
"Tidak bisakah kita melakukan sesuatu, Kakashi-sensei? Menjadi saksi?"
"Bisa. Aku sudah mengajukan diri."
"Aku!? Aku bagaimana!?"
"Mereka menilaimu kurang kompeten dan akan jauh memihak pada Sasuke."
Kepala Naruto tertunduk dalam. "Tentu saja aku akan jauh memihak pada Sasuke."
"Begitu aku keluar nanti, akan kupastikan pihak yang memegang wewenang saat ini bukanlah orang dari Anbu atau petinggi desa yang ada kaitannya dengan Danzo. Sehingga hal tersebut tidak akan memberatkanmu, Sasuke."
Tatapan Kakashi tajam lurus ke arah dimana Sasuke terduduk. Punggung Sasuke menegang dibalik kursi.
"Danzo?"
Kakashi mencoba memberikan pandangan kau-tahu-apa-yang terjadi pada Naruto. Tentu saja gagal . Naruto memiringkan kepalanya. Kening dan hidungnya membuat kerutan secara bersamaan. Hening menggantung diantara keduanya. Kakashi melirik muridnya yang satu lagi sedang duduk di kursi tanpa ekspresi.
"Naruto." Sasuke bersuara.
"Apa?"
"Kau tahu," lanjut Sasuke, "Aku yakin Shikamaru benar tentang meminta perawat untuk memeriksakan kepalamu lebih lanjut."
Naruto mengerang, "Kau tahu! Kau tidak menjawab pertanyaanku!"
Sasuke memutar mata. Melihat ke arah Kakashi yang sudah tertunduk menepuk-nepuk bagian belakang kepalanya.
"Ngomong-ngomong kapan kau diperbolehkan keluar dari rumah sakit, Sensei?"
Kakashi tiba-tiba mengacungkan dua jarinya ke hadapan Naruto yang duduk dekat kakinya, "Dua hari lagi!" Dari balik penutupnya, Naruto dapat melihat Sensei-nya menyeringai lebar.
"Secepat itu!? Payah! Kau, kan sudah tua, kau bisa beralasan untuk pulang lebih lama."
Tawa Kakashi pecah memenuhi ruangan. "Selamat menikmati kebersamaan kalian murid-muridku!" Kakashi memberikan pandangan-mata sipitnya- ke arah Naruto dan Sasuke secara bergantian. Ia tersenyum dengan mata yang melengkung.
"AAA!" Naruto menunjuk Sasuke, "Kau tahu Sensei," badan Naruto bergeser mendekat ke arah Kakashi, "dia mulai berbicara dengan bunga mawar pemberian Sakura-chan karena terlalu lama terkurung di kamar."
Sasuke menggeleng pelan.
Leher Naruto menjulur maju melewati Kakashi, lalu ia memicingkan mata pada Sasuke. "Kau tidak menyangkal berbicara dengan bunga mawarmu, Sasuke~?"
"Kau jangan mulai."
"Benar, kan~?"
"Bunganya sudah kubuang."
"Heh, tidak termasuk kau menyangkal," Naruto duduk melipat kedua kakinya di pinggir kasur Kakashi. "Lagipula kau tidak akan membuangnya kalau bukan karena Hinata."
Sasuke membalas dengan wajah datarnya. Ia menumpukan kaki kanan ke atas kaki kirinya.
"Jadi Sakura belum datang menjenguk kalian, ya?" Mata Kakashi terarah pada Sasuke yang masih melihat ke arah Naruto.
"Begitulah," jawab Naruto dengan helaan napas panjang.
"Begitu, ya," Kakashi meletakkan tangan kirinya ke bawah dagu. Mengusap-usapnya perlahan. "Aku dengar dari Sai, Sakura bertanggung jawab atas camp penampungan korban. Aku dapat membayangkan betapa sibuk dirinya. Ditambah proses penyelamatan ke-lima kage sebelumnya juga dipegang olehnya."
Mengetahui murid medic kesayangannya bahkan tidak menyempatkan diri untuk menjenguk Sasuke. Kakashi tahu pasti bukan pekerjaan mudah yang sedang dibebankan pada Sakura sekarang.
"Semoga Sakura-chan baik-baik saja," Naruto menghela napas lagi.
Mata Sasuke masih pada Naruto. Tidak sadar Kakashi terus mengataminya. Sasuke menjaga eskpresinya yang datar. Tidak ada yang dikatakannya. Tidak ada yang perlu dikatakan olehnya, pikirnya. Sinar matahari menangkap perhatiannya. Menembus dari balik jendela Kakashi, matahari mewarnai ruangan dengan terang jingganya. Sasuke lalu menatap lantai di bawah kakinya.
"Tidak ada lagi yang perlu disampaikan?" Sasuke mengarahkannya pada Kakashi.
Kakashi menggeleng.
"Sasuke!?" Naruto meloncat turun dari kasur ketika Sasuke berjalan melewatinya, "Sampai nanti, Kakashi-sensei." Punggung tangan kiri Naruto melambai ke arah Kakashi.
"Kalau begitu kutunggu kabar darimu lagi, Sensei."
Pintu geser tertutup tepat ketika Naruto menyelinap ke bawah lengan Sasuke. Kakashi merasakan udara mengisi paru-parunya secara perlahan. Kemudian bulir-bulir udara keluar beriringan dengan rasa hangat dan nyaman yang entah datang darimana. Mata Kakashi melihat bulat besar Matahari tidak lagi sempurna. Tenggelam di balik bangunan-bangunan gedung di Konoha. Sesuatu dari murid berambut hitamnya menggelitik di hati Kakashi.
"Sensei, ya."
.
.
.
Sakura berdiri di depan pintu menahan Naruto dari kepergiannya, "Sakura-chan!?"
Sasuke memutar kepala.
"Ohayou."
Rambut pink muncul terhalang tubuh besar Naruto yang masih berdiri menggenggam gagang pintu dengan tangan kirinya. "Kau datang!" Naruto berteriak membuat seisi lorong rumah sakit mengetahui akan kedatangan Sakura.
"Maaf, ya." Sakura memelas. Memelas pada orang-orang yang melihat ke arahnya.
"Apa yang terjadi padamu?"
Sakura mengerutkan dahi, "Kau tahu aku berusaha membantu di camp penampungan," kemudian menghembuskan napas. Ia berjinjit di atas sepatu bootsnya. Melirik dari balik bahu Naruto, Sakura mendapati seseorang duduk di pinggir kasur dengan wajah menghadap ke arahnya. Rambut hitam panjangnya menggantung menutupi sebelah matanya.
"Senang sekali melihatmu, Sakura." Sakura melirik Naruto yang tersenyum ke arahnya.
"Aku juga." Sakura menarik senyum lebar. Ia baru menyadari dirinya begitu lega melihat Naruto dalam keadaan utuh dan sempurna tersenyum di hadapannya. Kemudian matanya beralih pada kain menggantung di bahu Naruto. Menutupi bagian kosong dari tangan kanannya yang tidak lagi disana. Nyeri di dadanya membuat ia beralih lagi, "Kalian sudah mau pergi, ya?"
Naruto menengok ke balik bahu, "Aku? Iya. Tapi, Sasuke sepertinya masih harus menunggu seseorang."
"Oh."
"Kau mau masuk dulu? Atau kau akan langsung pulang lagi?"
Sakura mengulum bibir. Kemudian menganggukkan kepalanya sekali. Ia khawatir kedatangannya terlalu terlambat bagi kedua sahabatnya. Sasuke menurunkan pandangannya dan terdiam, Sakura melihat dari celah dimana Naruto berdiri.
"Tentu saja kau tidak akan langsung pulang, ya." Naruto mengamati Sakura yang mengintip dari celah antara tubuhnya dan pintu tempat ia berdiri.
Sakura tersenyum setelah Naruto terkekeh dihadapannya melirik ke arah sahabat berambut hitamnya. "Sasuke, kau lihat! Sakura-chan akhirnya datang!"
Sakura melambai pada seseorang di seberang ruangan yang melemparkan tatapan datar, "Ohayou, Sasuke-kun."
"Ohayou." Sasuke menyahut tanpa sempat membiarkan dirinya berpikir dua kali untuk membalas.
Naruto berjalan masuk kembali ke ruangan dengan Sakura mengikuti langkahnya. Sakura menarik napas, menghitung langkahnya-menarik napas lagi, mencoba menenangkan apapun itu yang meluap-luap dalam dadanya.
"Kau terlihat baik, senang melihatmu lagi, Sasuke-kun."
Mata Sasuke menyapu dari ujung kaki Sakura, berhenti pada sepasang kilauan hijau bola mata miliknya, kemudian ia mengangguk.
"Maaf... aku baru sempat menjenguk kalian hari ini. Baru hari ini aku mendapatkan jadwal lepas. Aku bisa menjenguk kalian pada malam hari sebenernya, tapi terlalu larut-ditambah kalian pasti sudah tidur-aku rasa..." Sakura bergumam kecil sembari melangkah menjangkau kursi terdekat darinya, duduk diatasnya menghadap Naruto dan Sasuke.
"Kami tahu kau sibuk. Tenang saja, Sakura-chan." Naruto melihat Sakura menekuk lutut rapat-rapat, jemarinya yang terbalut kain hampir disetiap ujungnya meraih lututnya. Rambut Sakura terikat ke belakang. Beberapa helai pink keluar dari ikatannya dan terjatuh di samping wajahnya. Dilihat dari keringat yang membasahi helaian rambut di pinggir dahi juga wajahnya yang terlampau lelah, jelas bahwa Naruto mengetahui Sakura berlari datang kemari setelah beberapa hari menghabiskan waktunya tidak tidur.
Naruto menyeringai di samping Sasuke. Ia berdiri dengan lengan kiri menempel ke bahu Sasuke.
"Jadi," Sakura melunakan wajahnya yang baru disadari terlalu tegang dengan senyum simpul, "Kalian baik-baik saja, kan?"
Naruto menangguk cepat-cepat, "Sudah pasti, bukan?" menyeringai dengan menyikut bahu Sasuke.
Sasuke tidak merespon.
"Lalu bagaimana dengan camp penampungan?"
"Baik," dari sudut mata Sakura melihat vas bunga yang sudah kosong di ujung ruangan. "Ya... aku rasa. Baik." Sakura tersenyum menatap mata biru laut Naruto. Ia tidak yakin dengan jawabannya.
Alis Naruto bertaut, lalu mengulum bibir. Naruto merasakan sesuatu janggal pada sahabatnya. Mata Sakura berkali-kali menatap ke arahnya. Tidak sekalipun mata hijau itu menatap ke arah Sasuke. Sakura duduk tegap dihadapannya dengan tangan memegang pinggiran kursi di bawahnya. Naruto memiringkan kepala memutar otak. Sahabatnya yang satu lagi pun tidak bergeming.
"Para korban yang terluka parah hampir sudah pulih seluruhnya. Terima kasih pada bantuan yang datang dari desa lainnya. Lalu, para korban yang tidak terluka parah sudah banyak dari mereka yang kembali bertugas. Jadi kurasa semuanya sudah kembali baik. Aku berharap."
Sakura berhenti bicara dengan menatap lurus ke lantai di bawahnya. Lalu tiba-tiba kembali mengangkat kepala, "Ke-lima kage pun sudah sangat membaik. Aku dengar mereka akan kembali bertugas dalam waktu dekat, itu hal yang sangat penting untuk saat ini. Mengingat kekosongan jabatan dapat sangat berbahaya."
Naruto tidak melepaskan pandangannya dari Sakura ketika akhirnya Sakura melirik Sasuke. "Aku juga mendengar sesuatu tentangmu," Sasuke mengangkat wajah, "aku dengar mereka akan mulai melakukan penyelidikan padamu, Sasuke-kun?"
"Begitulah. Aku sedang menunggu seseorang karena itu."
"Sekarang ini?"
Kepala Sasuke mengangguk pelan. Matanya masih pada Sakura yang sekarang terdiam cemas. Kedua alisnya berkerut. "Kau yakin akan baik-baik saja?"
"Iya." Tidak senang dengan ekspresi Sakura di hadapannya yang mengerutkan tangan dan menahan nafas, Sasuke hampir tersenyum berusaha menghilangkannya.
"Kakashi-sensei akan menemaninya nanti, kau tidak perlu khawatir Sakura-chan." Naruto mengalihkan pandangan Sakura. Bibirnya terlipat, ia berusaha mencerna perasaan lega dan tenang yang datang dari bola mata biru laut milik Naruto. Sasuke memerhatikan Sakura menurunkan bahu tegangnya.
"Naruto-kun?" Hinata tiba-tiba muncul di depan pintu. "Ah, Sakura-chan," Hinata yang terkejut membuat Sakura melakukan hal yang sama.
"Ohayou, Hinata," Sakura melambaikan tangannya. Mendapati Hinata menatapnya dan Sasuke bergantian. Kemudian membalas lambaiannya, "Ohayou."
"Apakah kau jadi mau pulang sekarang?" Hinata melirik Naruto bertanya dengan suara lembutnya.
"Tentu, tentu!" Naruto meloncat berdiri dari posisinya. "Aku lupa teman-teman yang lain menunggu di luar rumah sakit menjemputku. Sakura-chan, terima kasih sudah mampir. Aku akan menemuimu lagi, Sasuke! Ja ne!" Ia melangkah panjang ke hadapan Hinata. Dan dengan itu pintu tertutup meninggalkan Sakura yang mematung di kursinya.
.
.
.
"Kau tidak keberatan aku berada disini?" Sakura mengerutkan dahi, "Sasuke-kun?" Suaranya lembut. Ada keraguan-ketakutan lebih tepatnya-mengisinya.
"Tidak."
Sakura merasakan berat di bahunya berkurang.
"Bagaimana keadaanmu..." Sakura menarik senyum, "...Kau tahu... kau tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya?"
"Aku baik-baik saja," Sasuke membalas tatapannya.
Keduanya kemudian lama menghabiskan waktu untuk menatapi lantai kayu di bawah kaki masing-masing. Sakura sesekali mengangkat kepala, mencuri pandang akan pria tegap dihadapannya. Melihat tidak satupun bekas luka berbekas di wajahnya. Sakura membayangkan bekas luka lain di tubuh Sasuke. Begitu dekat jarak mereka sekarang. Sakura dapat mencium aroma pengharum pakaian yang Sasuke kenakan. Begitu dekat sampai Sakura dapat melihat ujung helaian rambut Sasuke dengan jelas. Bahkan hal tersebut tidak mampu menutupi rasa cemasnya.
Sakura mengulum bibirnya beberapa saat, "Tentang penyelidikanmu, Sasuke-kun."
Sasuke memberikan perhatian penuhnya.
"Bagaimana perasaanmu?"
Beberapa saat Sasuke terdiam. Perasaan. Kilasan ingatan akan apa yang dilakukannya selama beberapa tahun ini membuatnya tidak yakin dengan apa yang harus ia rasakan.
"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa aku harus melalui ini karena semua yang telah kulakukan."
"Kau akan menerima apapun keputusan penyelidikanmu nanti?" Sakura menyuarakan ketakutannya.
"Tentu."
Sakura tertunduk dalam. Sasuke mengamati helaian rambut yang lepas dari ikatannya berjatuhan dikedua pipi Sakura.
"Setidaknya hal itu akan membuatku merasa lebih baik."
Sakura melirik, alisnya terangkat. "Merasa lebih baik?"
"Mempertanggungjawabkan kesalahanku. Aku akan merasa lebih baik karena itu."
Sekarang alis Sakura bertaut, "Apa... kau menyesalinya?"
Sasuke ingin sekali menjawab tidak. Namun, ia merasa akan tertawa pada jawabannya sendiri. Tentu saja ia menyesali banyak hal yang telah dilakukannya.
"Ada beberapa hal yang tidak seharusnya aku lakukan. Namun, tetap ada beberapa hal yang memang sudah seharusnya."
Sakura menggantung mulutnya terbuka kecil. Mematung di kursinya mendengar jawaban Sasuke, Sakura menerka-nerka arti dari kata-kata Sasuke, membayangkan dari 'beberapa hal yang tidak seharusnya aku lakukan' apakah meninggalkan Konoha adalah salah satunya. Meninggalkannya dan Naruto.
"Bagaimana denganmu?" kata Sasuke datar mengalihkan pandangan Sakura kembali padanya.
"Jujur saja aku juga tidak tahu sama sepertimu. Tapi...",
"Aku tidak berbicara tentang penyelidikanku, Sakura. Aku bertanya tentangmu." Sasuke mengamati Sakura yang terkejut.
Mata mereka lama bertemu sampai akhirnya Sasuke mengulangi pertanyaannya. "Bagaimana kabarmu?" tangan Sasuke menyusuri pinggiran tempat tidurnya untuk bersandar.
Pipi Sakura tiba-tiba memerah, bahu tegangnya menurun perlahan. Sasuke mengamati Sakura mengangguk cepat-cepat. Tangan kirinya menyisir helai-helai pink yang menjuntai, lalu menaruhnya ke balik telinga. Dari balik rambut hitamnya mata Sasuke masih dapat jelas melihat gurat bekas luka di lengan kiri Sakura.
