Disclaimer : KHR adalah milik Akira Amano-sensei

Warning : two-shot, 1827, of course this is shounen-ai, OOC selalu, typo(s), humor tidak bermutu, awkward, gaje, dan lain-lain.

OC (Original Character) : Yuu (Hikari Chrysant), Iruko dan Irusa (Kirushina Iru)

A/N :

Ini adalah fic yang saya persembahkan khusus untuk Hikari Chrysant yang berulang tahun lebih dari sebulan yang lalu. Otanjoubi omedetou, Hikari-san :3. Dan juga, merupakan kelanjutan dari Secret Mission (3 Days) saya beberapa bulan yang lalu.

Karena menurut saya kebanyakan, akhirnya saya bagi menjadi 2 chapter. Supaya tidak terlalu capek membaca seperti cerita sebelumnya.

Oke, cukup basa-basinya, langsung kita mulai saja.. :v)/


Chapter 1 : Ah, Aku Ingin—

Kioku

By : Kirushina Iru

.

.

Hajimemasu.. :v)/

.

.

.

"Dengar kalian semua! Sebentar lagi kalian akan menempuh ujian akhir. Jadi, persiapkan diri kalian!"

Hibari menghela napas. Baru kali ini ia mengalami hal seperti ini. Suara tegas gurunya yang ia dengar beberapa jam lalu masih terngiang-ngiang di telinganya. Aneh, ini benar-benar aneh. Biasanya yang ada di kepalanya hanyalah sang kekasih—, sekolahnya, dan Hibird tentu saja. Entah bagaimana ini bisa terjadi, ia juga tidak terlalu mengerti.

Cklek!

Bunyi pintu yang dibuka mengalihkan perhatiannya dari Hibird yang sedang bertengger di tangannya. Ia yang sedang duduk di lantai atap menoleh ke belakang, waspada kalau-kalau itu adalah musuhnya. Dan ia hanya menghela napas begitu tahu bahwa yang berada di balik pintu itu adalah kekasihnya. Seseorang dengan kepala caramel dan raut wajah yang sedikit kesal.

"Hibari-san."

Hibird seolah mengerti jika kedua pasangan lovey-dovey itu ingin berduaan, maka ia pergi. Hibari menatap kepergian Hibird seakan-akan mengabaikan pasangannya. Cukup membuat sosok itu bertambah kesal.

"Kyoya."

Barulah Hibari mau menyahuti. "Apa?"

Pemuda manis itu berjalan mendekati Hibari. Kemudian duduk di sampingnya. "Aku mencarimu dari tadi."

Hibari sedikit heran. "Hn? Memangnya ada apa?"

Menarik napas sebentar. Sosok yang menurut Hibari sangatlah kawaii itu menggembungkan kedua pipinya. "Kau sudah makan siang?"

Hibari sedikit menahan napas saat melihat ekspresi yang dikeluarkan kekasihnya itu. Namun, sekejap ia menyadari kalau pemuda itu membawa dua bungkusan yang terlihat seperti bekal.

"Belum," jawaban singkat diberikan. Tapi, entah mengapa justru semburat merahlah yang mampir di pipi sang pemuda manis.

Perlahan-lahan, dengan gugup, pemuda itu menyodorkan salah satu kotak yang dibawanya. Dibungkus apik dengan kain berwarna biru tua. Berkebalikan dengan kotak yang satunya yang dibalut dengan kain berwarna coklat terang.

"U—untukmu."

Hibari hanya menatap kotak itu. Kelihatannya dia sedikit kaget.

"Bu—bukannya aku ingin membawakanmu bekal. Hanya saja tadi pagi aku sudah membuat satu untuk diriku sendiri, tapi ternyata ibuku juga membuat satu untukku. Dari pada dibuang, mending kubawa saja semuanya," ucapnya dengan sedikit nada tinggi dan bumbu malu-malu kucing. Juga tanpa menatap sosok raven di depannya.

Hibari mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu, tersenyum lembut. Tangan kirinya ia bawa untuk mengacak surai caramel yang terlihat sangat lembut itu.

"Arigatou. Tanpa berbohong juga akan kuterima, dasar tsundere."

Blush~

Akhirnya, seluruh wajahnya dihiasi warna merah. "Si—siapa yang tsundere! Ba—ka!"

"Kau berisik Tsuna. Sudahlah, ayo kita makan."

Tsuna mengangguk. Lalu, mengikuti Hibari membuka kotak bekalnya. Dan memakannya dengan khidmat.

Hening beberapa menit, hanya ada suara sumpit dan kunyahan dari keduanya. Sesekali, Hibari maupun Tsuna akan saling melirik. Kontak mata mereka langsung putus begitu menyadari jika mereka saling bertatap-tatapan.

Dasar, pasangan tsundere.

10 menit kemudian, acara makan siang mereka selesai. Tsuna segera merapikan kedua kotak bekalnya yang telah kosong itu. Tidak sadar bahwa Hibari sedang mengawasi setiap gerak-geriknya.

"Na, herbivore."

Tsuna mengernyit. Ia tidak suka dengan panggilan memuakkan kekasihnya itu. "Namaku Sawada Tsunayoshi."

"Terserah."

Tsuna cemberut. Berdebat dengan orang dingin macam Hibari Kyoya memang tidak ada gunanya. Karena ujung-ujungnya pasti adalah adu fisik. Dan ia tidak mau tertusuk tonfa kesayangan kekasihnya itu.

Tenang, Tsuna, Hibari tidak pernah menyakitimu, kok.

"Jadi, ada apa, Hibari-san?" sedikitnya ia ingin membalas panggilan eneg tadi. Tapi, harapan untuk membuat Hibari kesal tidak terkabul. Pemuda raven itu justru hanya diam.

"Sebentar lagi aku ujian akhir."

"Ya, aku tahu."

Hibari mengernyit kesal. "Hanya itu responmu?"

Tsuna memiringkan kepalanya, berpikir. "Memangnya, aku harus merespon apa?"

Sungguh, Hibari ingin sekali melempar Tsuna ke laut. Tentu saja tidak ia lakukan. Kecintaannya pada pemuda satu itu lebih besar dari keinginan nistanya. Ia pun memilih diam, sembari menatap langit siang yang agak mendung itu.

"Hm, ujian akhir, ya," gumam Tsuna. "Berarti, sebentar lagi kau lulus kan?"

Pertanyaan aneh. Benar-benar herbivore, tapi lucu. Batin Hibari tersenyum geli.

"Kalau begitu, sebentar lagi kita berpisah."

JLEB!

Kata-kata Tsuna barusan sepertinya sukses menohok hati Hibari dengan sempurna. Membuat ia tersedak jus jeruk yang dibawakan Tsuna tadi.

Prihatin, Tsuna menepuk-nepuk punggung Hibari yang di matanya saat ini sungguh tidak elit. "Aku akan mengambilkanmu air putih, tunggu sebentar, Kyoya."

Tsuna segera berlari ke arah pintu, membukanya dan berlari lagi menuju kantin. Hendak membeli air putih untuk kekasihnya. Dan Hibari pun ditinggal sendirian. Poor you, Hibari.

"Berpisah—kah?"

Satu kata yang akhirnya bisa ditemukannya. Menjawab pertanyaannya tadi sebelum Tsuna datang menghampirinya.

Ya, benar.

Jika sudah melewati ujian akhir, maka ia akan lulus. Lulus, artinya ia akan meninggalkan Namimori-chuu dan—Tsuna. Katakanlah ia bodoh dan lelet. Sejak tadi berpikir dan ia baru menyadari sekarang—berkat Tsuna lagi.

Tidak, ia tidak mau meninggalkan kedua hal itu. Meski berbeda, tapi ia sama-sama mencintai mereka. Tidak pernah terbayangkan ia akan meninggalkan mereka secepat ini. Yah, tiga tahun adalah waktu yang cepat. Bahkan kau akan merasa seakan baru masuk kelas 1 kemarin, nyatanya sudah 3 tahun berlalu.

Ia bahkan belum memiliki kenangan yang terkesan dalam bersama kekasihnya itu. Kegiatan mereka sehari-hari hanya mengobrol, makan siang bersama, pulang bersama, atau terkadang bermain di rumah Tsuna atau rumahnya sendiri. Sesekali, Reborn—tutor Tsuna—akan mengajak mereka training camp di tempat-tempat yang sulit dipercaya. Training camp itu memang mengesankan, tapi tidak bisa disebut kenangan yang 'menyenangkan'. Berkali-kali ia harus menahan emosi saat melihat Tsuna yang dilatih—disiksa—oleh hitman bertubuh bayi itu.

Oh, benar juga.

Itu dia.

Ia harus membuat kenangan yang akan sangat berkesan dan selalu diingat olehnya dan kekasihnya.

Ya, apapun caranya.

Tapi, bagaimana?

Brak!

Hibari tersentak. Suara benturan itu membuyarkan pikiran dan khayalannya. Sontak ia mencari sang pelaku. Dan ia hanya bisa sweatdrop melihat Tsuna berdiri di ambang pintu sedang terengah-engah.

"Gomen, Kyoya. Tadi aku dikejar-kejar Iruko-san dan Yuu-san," ujar Tsuna sembari mendekat ke Hibari dan menyerahkan sebotol air mineral padanya.

"Mengejarmu? Kenapa?" tanya Hibari, meminum air mineral itu. Kering juga, maklum habis tersedak.

"Aku disuruh mentraktir mereka," jawab Tsuna lesu. "Eh, jangan dipikirkan, ya," lanjutnya begitu mengingat bahwa kekasihnya ini mudah tersulut emosi.

"Hn," sahut Hibari.

Tunggu.

Sepertinya Hibari baru saja mendapatkan ide bagus.

Kenapa tidak meminta bantuan pada dua bocah herbivore bodoh itu?

Tapi, masa' seorang Hibari Kyoya meminta bantuan pada herbivore?

Tidak elit, dan bukan dirinya sekali.

Hm, tidak apa-apalah, untuk kali ini saja.

Dan, oh, ia baru saja melupakan seseorang.

"Kyoya, ada apa?" tanya Tsuna cemas. Baru kali ini ia melihat Hibari bengong dan mengabaikan ocehannya.

Hibari menoleh, dan seketika dia blushing—walau tidak kentara. Lihat saja, kekasih imutnya itu duduk sangat dekat dengannya. Dekat sekali, sampai wajahnya hampir bertubrukan jika saja dia tidak menahan kepalanya. Apalagi ekspresi khawatir yang sedang Tsuna perlihatkan. Ekspresi itu, sungguh sangat kawaii! Jika dia bukan cowok yang dianugerahi sifat stay cool, dia pasti akan langsung menyerang pemuda manis ini.

Stop! Tolong jangan berpikiran macam-macam, ini hanya panpik dengan rate T. Tidak lebih dan boleh kurang. Jika menginginkan lebih, kimitachi wa hentai desu.

"Kyoya?" panggilan lembut itu kembali menyadarkan seorang Hibari Kyoya dari lamunannya.

Mencoba tetap stay cool, Hibari meneguk habis air mineralnya, "Istirahat sudah hampir selesai, sebaiknya kita segera kembali ke kelas."

Meski sedikit bingung, tapi Tsuna tetap mengikuti kekasihnya yang sudah berjalan duluan keluar dari atap.

.

.

.

Di atas salah satu besi pagar pembatas atap itu, ada seseorang yang sejak tadi mengawasi mereka.

.

.

.

Esoknya…

Hibari baru memasuki wilayah sekolahnya dan langsung disuguhi pemandangan tidak mengenakkan—mengenegkan kalau boleh. Di mana kekasih mungilnya sedang diganggu oleh beberapa anak kelas 3. Sama seperti dia, hanya saja lebih brengsek.

"Kalian, minggir," ucap Hibari singkat, tegas, dan dingin—jangan lupa. Tangannya menggenggam pergelangan lengan Tsuna dan menyeretnya untuk masuk ke dalam gedung sekolah.

"Hibari-san."

Sedangkan, anak-anak kelas 3 itu tampak mendecih kesal begitu melihat siapa orang tidak tahu sopan santun yang menganggu kesenangan mereka. Yaitu, mem-bully adik kelas yang tampak lemah—contohnya Tsuna. Mereka pun memutuskan pergi dari tempat itu daripada di-kamikorosu oleh sang ketua komite disiplin.

Ah, andai saja mereka tahu bahwa kedua orang itu memiliki suatu hubungan khusus.

"Ano, Hibari-san, arigatou."

Mengacuhkan ucapan terima kasih dari Tsuna, Hibari memilih untuk membuka lokernya. "Lain kali, jika bertemu mereka langsung pergi saja," ucapnya sembari mengambil sepatu khususnya. Dibalas anggukan kecil oleh yang bersangkutan.

'Apa ini?'

Manik kelabu Hibari menangkap secarik kertas mencurigakan yang tergeletak manis di dalam lokernya. Curiga, diambilnya kertas itu dan dibacanya sekilas. Seketika, kedua irisnya melebar—terkejut.

Tsuna yang heran dengan perubahan ekspresi yang tiba-tiba dan tidak wajar dari kekasihnya menepuk bahunya pelan. "Kyoya, ada apa?"

Untuk yang kesekian kalinya, Hibari tersentak. Cepat-cepat, disembunyikannya kertas itu ke blazer hitamnya. Menarik napas dalam-dalam, mencoba kembali menjadi dirinya lagi. Berusaha agar pemuda mungil di sampingnya itu tidak curiga dengan sikap anehnya barusan.

"Tidak bukan apa-apa."

Dan berjalan menuju kelasnya, meninggalkan Tsuna dengan tanda tanya besar di benaknya.

.

.

.

Beruntung, lorong menuju kelasnya sedang sepi. Jadi, Hibari bisa melihat isi kertas tadi dengan leluasa tanpa ada gangguan. Kertas berwarna biru muda itu ditatapnya tajam. Pikirannya seolah menolak untuk mempercayai apa yang tertulis di kertas itu. Tanpa sadar, ia meremas kertas itu agak kuat.

'Hibari-san, kami bersedia membantumu. Datang saja ke atap pulang sekolah hari ini. Ingat, jangan membawa Tsunayoshi-kun. I2 & Y.'

Dari inisial di pojok kanan kertas itu ia sudah bisa menduga siapa yang pengirimnya. I2 berarti adalah huruf I berjumlah 2. Maksudnya pasti 'I'ruko dan 'I'rusa. Sedangkan Y sudah pasti adalah 'Y'uu.

Tidak ia sangka, sama sekali malah. Ketiga herbivore itu tahu apa yang ada di pikirannya. Padahal semestinya, mereka baru akan tahu jika ia mengatakannya. Lagipula, ia sudah mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan mereka. Ini benar-benar menjadi sebuah misteri.

Bagaimana mereka tahu?

Apakah mereka mempunyai indera keenam sehingga bisa membaca pikirannya?

Apakah mereka hanya memperkirakan?

Atau, mereka mengintainya sehingga tahu?

Ah, yang mana saja bisa menjadi kemungkinan yang pasti. Memikirkannya sekarang tidak ada gunanya. Jika ingin tahu, lebih baik ia tanya langsung pada mereka bertiga. Jika mereka tidak mau menjawab—mudah, tinggal disodori tonfa, mereka pasti mau menurut. Pengecualian untuk satu-satunya lelaki di antara mereka.

"Cih, mau bagaimana lagi," gumam Hibari pasrah, walau sedikit kesal.

Ya, sudah ia putuskan. Ia akan memenuhi undangan rahasia dari murid baru di kelas kekasihnya itu. Entah sudah dikemanakan harga dirinya yang sangat tinggi itu.

Hampir lupa, pemuda raven ini rela mengorbankan apapun demi sang kekasih kawaii tercinta. Termasuk harga dirinya sebagai Hibari Kyoya, ketua komite disiplin yang disegani dan dihormati—ditakuti.

.

.

.

Pulang sekolah, atap…

Cklek!

Pintu penghubung antara langit dan bumi—atap sekolah dan gedung sekolah—dibuka dan mengekspos seorang pemuda bersurai raven yang kita ketahui sebagai Hibari Kyoya. Iris kelabunya langsung meneliti setiap sudut wilayah atap itu dengan tajam. Mencari tiga herbivore yang sudah dengan lancang mengundangnya kemari.

Tak perlu waktu lama, di sudut kiri atap yang langsung menghadap ke dunia bawah sana terdapat 3 siswa yang sedang menekuni kegiatan masing-masing. Cewek bersurai biru tua itu sedang serius membaca bukunya. Cewek bersurai biru kehitaman di sebelahnya sedang memainkan ponselnya. Dan seorang cowok sedang duduk di pagar pembatas atap sembari menatap langit, membiarkan surai biru tuanya sedikit berkibar ditiup angin.

"Ah, kau sudah datang, Hibari-san!"

Seruan dari gadis yang membaca buku itu membuat kedua orang lainnya mengalihkan pandangan mereka pada Hibari. Hibari hanya diam dan menghampiri mereka dengan tatapan tajam.

"A—ano, Hibari-san, apa kami membuat kesalahan?"

Hibari tetap diam. Tidak menggubris pertanyaan gadis bersurai biru kehitaman itu. Tonfa diambilnya dari balik blazernya. Sekejap, dying will flame-nya sudah menyelimuti tonfa itu. Membuat kedua gadis di sana bergidik ngeri.

"Kenapa kalian bisa tahu?"

Lagi, pertanyaan ambigu sang Hibari. Kedua gadis itu mengerjapkan mata bingung, saling melirik dan berkesimpulan bahwa mereka tidak mengerti apa yang dikatakan pemuda itu. Mereka semakin ketakutan saat Hibari semakin mendekat ke arah mereka.

"Aku, memangnya kenapa?" akhirnya pemuda lain di sana angkat besi—bicara maksud saya. Ia pun melompat turun dari atas besi pembatas. Mendarat mulus tepat di depan Hibari.

"Ho, jadi yang mengintipku dan herbivore itu kau?" tanya Hibari penuh nada menyelidik.

Irusa—pemuda itu mengangguk. "Kemarin tidak sengaja aku mendengar pembicaraan kalian. Dilihat dari sikapmu kemarin mungkin kau—etto—butuh bantuan kami," ucapnya sedikit gugup, meski wajahnya tetap datar.

"Begitu," sahut Hibari, api di tonfanya perlahan menghilang.

"A—ano, bisa kita mulai diskusinya?" interupsi Iruko, sesaat setelah ia merasa kalau atmosfer di antara adik kembarnya dan sang ketua komite disiplin mereda.

"I—iya, sebaiknya langsung kita mulai sebelum Tsunayoshi-kun mencari Hibari-san sampai ke sini," tambah Yuu, sama berkeringat dinginnya dengan Iruko.

Hibari mengangguk. Dalam hati ia terus merapalkan, 'Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.' Maksudnya, ia berusaha menenangkan hatinya yang masih ragu-ragu dengan keputusannya ini. Apakah meminta bantuan pada ketiga bocah ini tepat atau tidak.

"Nah, jadi, kami sudah membuat ini tadi malam."

Hibari yang sudah ikut duduk membentuk lingkaran bersama ketiga bocah itu menerima kertas dari Iruko. Membacanya dengan seksama. Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di raut wajahnya, Iruko dan Yuu menghela napas lega.

"Akan kupertimbangkan."

Iruko dan Yuu langsung bersorak kegirangan walau tanpa suara. Irusa yang duduk di samping kakak kembarnya justru menghela napas berat. Bisa-bisanya musuh barunya ini setuju dengan ide nista kedua rekannya. Ia sedikitnya tidak percaya walau sudah kenyataan.

"Kalau begitu, Hibari-san, hubungi saja kami jika kau setuju. Kami akan mempersiapkan segalanya," ujar Yuu. Disambut anggukan mantap dari Iruko.

"Baiklah," sahut Hibari dan langsung pergi dari tempat itu.

Selepas Hibari pergi, Iruko dan Yuu langsung menyeringai lebar, seringai khas seorang fujoshi—mau bagaimana seringainya itu terserah kalian. Sedang Irusa langsung berbaring di lantai atap yang panas akibat cahaya matahari itu. Tampaknya ia lelah dengan kelakuan aneh kakak kembar dan temannya itu.

"Tunggu dulu, bukankah Hibari belum mempunyai nomor ponsel kita?"

KRAK!

Pertanyaan Irusa barusan berhasil meretakkan dinding kebahagiaan kedua fujoshi itu. Benar, perkataan Irusa benar. Hibari belum mempunyai satu pun nomor ponsel mereka, jadi bagaimana ia akan menghubungi mereka nanti?

.

.

.

Setelah melakukan percakapan atau diskusi singkat bersama trio labil tadi, Hibari memutuskan untuk pulang saja. Kali ini ia sendiri. Saat istirahat tadi dia sudah bilang pada Tsuna untuk pulang tanpanya. Biarlah, lagipula, kekasihnya sudah dijaga 2 guardian lain.

Di tengah jalan, ia mengambil kertas yang diberikan Iruko padanya. Menatap dengan sorot bimbang. Akankah ia menyetujui rencana ketiga herbivore itu, atau menolak dan memilih mencari cara lain sendiri?

"Hah…," menghela napas sekali, merogoh saku celananya dan mengambil sebuah ponsel flip berwarna hitam. Dibuka dan ditekan beberapa nomor, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

PIP-PIP-PIP

"Halo?"

"Herbivore, ini aku."

"Heh? Hibari-san? Dari mana kau tahu no—,"

"Itu tidak penting. Jadi, aku hanya ingin bilang kalau aku setuju, itu saja. Jaa."

"Eh, tung—,"

TUK!

Ponsel hitam itu ditutup, memutus sambungan dengan seseorang di seberang sana. Hibari tersenyum puas. Mungkin, hari liburnya besok akan sangat menarik.

.

.

.

"Etto, aku harus pakai baju apa?"

Tsuna berpikir keras. Tangan kirinya berada di pinggang, sedangkan jari telunjuk tangan kanannya berada di bibirnya yang ia gigit bagian bawah. Pose yang kawaii. Jika kekasihnya melihatnya seperti ini, pasti akan langsung diabadikan, dicetak dalam ukuran besar, lalu ditempel di langit-langit kamar. Lebay.

Di hadapannya—lebih tepatnya—di atas tempat tidurnya, sudah berserakan berbagai macam baju. Dari yang santai sampai yang formal. Dari yang berwarna cerah sampai yang paling gelap. Dengan berbagai model pula.

Memangnya, baju-baju itu mau diapakan?

"Kira-kira, Kyoya pakai baju apa ya?"

Oh, ternyata..

Hari ini Hibari mengajaknya jalan-jalan. Hari Minggu, memanglah hari di mana berpasang-pasang pemuda-pemudi atau pemuda-pemuda(?) seperti mereka menghabiskan waktu bersama. Menurut pesan yang diterimanya dari Hibari, mereka akan pergi ke taman hiburan. Tempat paling umum untuk pacaran.

"Yosh, ini saja."

Kurang dari 5 menit, satu set pakaian casual sudah melekat sempurna di tubuhnya. Sebuah kaos biru muda, dipadu dengan jaket tipis putih bertudung. Untuk bawahan, ia memilih celana jeans hitam kebiruan alias biru dongker. Sandal sepatu hitam membalut kaki-kakinya pas.

Memasukkan beberapa barang tambahan ke dalam tas selempang kecilnya, tak lupa 2 kotak bento—permintaan khusus Hibari. Disampirkannya ke bahu dengan mantap. Satu helaan napas, melangkahkan kaki keluar kamar dan menutup pintu dengan gantungan ikan tuna itu pelan.

Ya, dia sudah siap untuk menemani kekasihnya hari ini.

.

.

.

Terlihat di sebuah tiang listrik(?)—di samping maksud saya—seorang pemuda bersurai raven tengah bersandar dengan memainkan ponsel flip hitamnya. Ia hanya mengenakan kaos putih yang dilapisi kemeja hitam yang kedua lengannya dilipat hingga siku dan tidak dikancingkan. Celana jeans hitam, juga sepasang sepatu putih dengan aksen hitam melengkapi penampilan kasualnya hari ini.

Satu kata untuk menggambarkannya.

Keren. Kakkoi.

Bukankah itu 2 kata?—abaikan.

Jika kita intip sebentar, ternyata yang sedang dilihatnya adalah foto-foto pemuda bersurai karamel yang kita ketahui sebagai kekasihnya. Sesekali ia tertawa kecil melihat foto-foto yang ia lihat tersebut. Lucu, manis, atau kawaii yang akan muncul di benaknya.

Hoi, author tukang ngintip. Jangan buka aib seseorang.—Hibari.

Gomen, gomen, Hibarin.—Author.

"Kyoya!"

Suara cempreng yang sangat dikenalnya memanggilnya. Itu milik kekasihnya—pasti. Tangan kanan pemuda itu melambai ke arahnya, dan dibalas dengan senyuman singkat. Menutup ponselnya lalu dimasukkan ke saku celananya. Merespon baik sang kekasih yang langsung berlari dan memeluknya erat.

"Apa aku terlambat?" tanya Tsuna dengan ekspresi cemas yang sungguh kawaii.

Hampir saja Hibari nosebleed. "Sangat. Aku sampai hampir lumutan di sini, Tuna."

Mood Tsuna sontak menurun drastis. Hawa-hawa seram menguar cepat dari pori-pori tubuhnya. Kepalanya pun ditundukkan hingga tertutup poni-poninya, menambah kesan suram.

"Oh, begitu. Baiklah, aku pulang saja."

Sayangnya, niat memang hanya sekedar niat. Baru berjalan satu langkah ke belakang, tangannya sudah ditarik Hibari kembali sehingga membuatnya terjengkang ke belakang. Beruntung, kekasihnya punya tubuh atletis yang lebih besar darinya, sehingga bisa dengan sigap menangkap tubuh mungilnya.

Tidakkah readers berpikir kalau penjelasan Author ini berbelit-belit?

"Kau mau ke mana?" tanya Hibari datar. Sebisa mungkin untuk menahan tawa. Ya, ia tahu, kekasihnya ini paling anti dengan kata 'Tuna'. Dan sifat kekanakkannya akan muncul bila ada orang yang menyebutnya dengan kata laknat itu.

Hibarin, bukankah Tsuna itu dasarnya memang kekanakkan ya?

"Pulang."

Jawaban ketus Tsuna benar-benar meruntuhkan dinding pertahanan tertawaan Hibari. Tawa kecil yang terdengar seperti kekehan lembut itu keluar dari pita suaranya.

"Baiklah, aku minta maaf. Ayo, kita segera pergi, Tsunayoshi."

Walau masih cemberut, pada akhirnya Tsuna tetap mengikuti Hibari yang menariknya keluar dari wilayah sang tiang listrik(?).

.

.

.

Syuu—

Facepalm.

Tsuna dan Hibari menunjukkan ekspresi yang sama.

Angin berhembus pelan menyapu debu-debu di depan mereka.

Burung-burung bercicit-cicit ketika lewat di atas mereka.

Sebulir keringat dingin tampak di pelipis mereka.

"Hibari-san, apa maksudnya ini?"

Meski tidak segera menjawab, tapi Author yakin, Hibari tahu jawabannya.

"Apa kau menjebakku?"

Lagi, pemuda raven itu hanya diam.

"Jawab, Hibari-san."

Menghela napas panjang, barulah ia menjawab, "Jangan tanya aku, aku juga tidak tahu."

Urat-urat kekesalan tampak menonjol di dahi pemuda manis itu. Bahunya bergetar menahan amarah. Menunjuk pemandangan di depan mereka, ia pun berteriak lantang juga cempreng, "Kalau begitu, setidaknya jelaskan apa maksudnya ini!?"

Biar saya jelaskan dulu, pemandangan yang ditunjuk Tuna-kun itu.

Jadi, masih ingat kan, di atas tadi, saya bilang bahwa Hibari mengajak Tsuna ke taman hiburan. Nah, apa yang ada di hadapan mereka inilah tempat tujuan mereka hari ini.

Taman hiburan.

Atau bisa saya katakan…

Taman mafia.

Kenapa?

Karena, lihat saja itu!

Memang, suasana yang ada di sana mirip taman hiburan biasanya. Stand-stand permainan dengan berbagai macam hadiah di rak-rak dinding. Permainan skala besar, yang bisa dimainkan banyak orang sekaligus, seperti roller coaster, bianglala pun ada. Penjual makanan ringan, permen, atau agak berat seperti popcorn juga tersedia.

Lantas, apa yang membuatnya berbeda?

Mafia.

Penjaga atau penjual stand di sana bukanlah orang biasa, om-om ramah atau kakek-kakek penyuka anak kecil. Melainkan, mafia. Ya, mafia. Orang-orang dengan setelan kemeja putih, celana panjang hitam, dan jas yang tentunya juga hitam. Ekspresi mereka garang. Tidak segan-segan menatap tajam kucing yang tidak sengaja lewat di depan mereka. Pistol semi-automatic dilap untuk berjaga-jaga. Ada juga yang sedang menyulut api tepat di bawah arena bianglala dan memeriksa pedang kembar raksasa yang otomatis memotong jika ada yang lewat di lintasan roller coaster.

Tunggu, bukankah itu berbahaya?

"Hi—ba—ri—san?"

Hibari tersentak. Tidak biasanya Tsuna memanggilnya dengan dieja seperti itu. Apakah pemuda mungil itu benar-benar marah?

"Nanda?"

Tsuna makin cemberut saja. Hibari tidak sadar sedikit menelan ludah. Lalu—

.

.

.

JREENG~

.

.

.

"Selamat datang di taman impian yang penuh dengan tantangan, Mafiland~!"

Teriakan cempreng dua orang gadis berpakaian meriah seperti idol yang ikut karnaval. Tangan di rentangkan ke atas belakang, seperti mbak-mbak SPG yang memperkenalkan produk baru—kalian bisa bayangkan sendiri. Konfeti tembak dengan kertas warna-warni berterbangan di sekitar mereka. Sebuah spanduk melengkung bertuliskan 'Welcome to Mafiland' dihias beberapa aksesoris aneh yaitu gambar senjata terpampang lebar di atas kepala mereka. Dan seorang pemuda yang hanya bertepuk tangan di sisi kiri.

Tik

.

.

Tik

.

.

Tik

.

.

SYU~

.

.

Meow-nyan

.

.

Krik krik

.

.

"Diamlah, jangkrik."

Jangkrik pun kabur begitu diberi tatapan intimidasi oleh Hibari. Poor you, jangkrik.

.

.

"Etto, Yuu-san, Iruko-san, dan—Irusa-kun? Apa yang kalian lakukan di sini?"

.

.

Nah, lho, ketahuan.

.

.

"Nee-chan, Yuu-nee, kita ketahuan."

.

.

Sementara itu, sang pelaku teriakan tadi, Yuu dan Iruko hanya bisa mematung dalam posisi yang belum berubah. Keringat dingin mengucur deras di kepala mereka. Menghiraukan Irusa yang—malah dengan tenangnya—memunguti kertas-kertas yang berserakan dan spanduk tadi dan membuangnya ke tempat sampah terdekat.

Berpandangan sejenak, akhirnya mereka merubah posisi berdiri mereka menjadi tegap. Diiringi dengan sedikit deheman(?).

"S—seperti yang barusan kami katakan. Selamat datang di Mafiland!" seru Yuu dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.

"Y—ya! Taman impian yang penuh tantangan!" Iruko juga tidak kalah dalam hal senyuman.

Lagi, Tsuna dan Hibari facepalm.

Namun, tak lama raut wajah Tsuna berubah. Lebih muram, gelap dari kedua gadis di depannya. Tatapan matanya pun lebih mengintimidasi.

"Kyoya, ini—,"

Oke. Hibari sadar. Sepertinya pacarnya ini sudah tahu bahwa ini semua karena dia. Tidak, tidak. Ini bukan karenanya. Tapi, karena trio labil di depan sana. Dia hanya menyetujui rencana mereka saja. Pokoknya, bukan dia yang menrencanakan ini semua. Tapi, mereka bertiga. Ya, ya, Author benar.

"—kita tersesat ya?"

Hibari menghela napas. Ia sudah menduga kalau Tsuna akan marah pada—

Tunggu.

Apa katanya tadi?

Tersesat?

"Tuna, kau pikir kita tersesat?" tanya Hibari, memastikan apakah indera pendengarannya masih normal atau tidak. Bisa saja karena suatu pertarungan, telinganya terluka dan bermasalah jadi dia salah dengar.

"Iya, tersesat," Tsuna memberikan senyum manis terbaiknya. "Tidak mungkin kita ke sini kan? Bukankah kemarin kau bilang mau mengajakku ke taman hiburan? Ini kan bukan taman hiburan. Iya, kan, Hibari Kyoya-san?"

Hibari ingin sekali menepuk dahinya sekeras yang ia bisa, sayang ia masih menyayangi dahinya agar bisa dikecup setiap saat oleh kekasihnya—lebay. Dengan sabar, Hibari mengacak surai karamel Tsuna dan menatapnya iba. Iba karena kekasihnya ini kurang pintar.

"Dengar, Herbivore. Kita tidak tersesat. Tujuan kita memang ke sini."

Seketika, Tsuna membeku. Tidak percaya dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh Hibari. Ia sangat berharap kalau kekasihnya itu mengatakan kalau mereka memang tersesat. Lalu, segera pergi dari tempat nista ini.

"Nah, untuk pasangan yaoi, kami punya peraturan khusus," ujar Yuu, senyumnya sudah berubah menjadi seringaian.

"Peraturan?" ulang Tsuna, sudah mencair(?).

"Hai," tiba-tiba Iruko sudah memegang pundak Tsuna, mencegahnya pergi. "Kau harus memakai pakaian khusus dari kami, Tsuna-kun."

Tsuna langsung merinding heboh. Hyper intuisi-nya mengatakan akan terjadi hal buruk padanya hari ini.

"Mari kita segera ganti pakaian!" dengan sekuat tenaga, Iruko segera mendorong Tsuna menuju ke sebuah tenda yang berjarak sekitar 7 meter dari tempat mereka semula. Di sana ternyata sudah ada Yuu yang sedang sibuk dengan kotak besar di depannya. Terlihat di wajah kedua gadis itu seringai menyeramkan. Membuat Tsuna semakin merinding dan berkeringat dingin.

Iruko mendudukkan Tsuna di sebuah kursi tanpa sandaran di depan sebuah cermin lengkap dengan meja rias. Yuu menghampiri Tsuna sambil tersenyum-senyum tidak jelas. Kedua tangannya di belakang tubuh menyembunyikan sesuatu.

"Kau harus memakai ini! Ta-da!" seru Yuu sembari memamerkan sebuah baju maid.

Ya, baju maid. Sebuah baju mirip gaun bernuansa gothic berwarna hitam dengan renda dan celemek kecil putih. Bagian lengan sepertinya hanya sebatas setengah lengan atas manusia. Sedangkan, roknya mungkin hanya kurang dari setengah paha Tsuna. Pendek sekali. Dilengkapi sarung tangan putih dan stocking hitam dengan aksen putih di bagian atas. Tak lupa sepatu pantofel feminin dihias kupu-kupu dan bunga kecil bercat perak(mbak Hikari : bayangkan saja sepatu kita, Readers : bayangkan sendiri).

Kenapa bukan high heels?

Karena Yuu dan Iruko tahu, Tsuna itu laki-laki. Mereka tidak mau menambah penderitaan pemuda itu. Kasihan.

"Ti—tidaaaaakkkk!"

Dan teriakan Tsuna pun mengawali proses make over-nya untuk menjadi seorang maid dadakan.

.

.

.

5 menit dan ditambah 5 menit lagi, bonus 5 menit kemudian…

(abaikan saja Author yang lagi promosi produk SIM card terbaru)

Terlihat 2 sosok pemuda dengan ekspresi datar yang sama sedang bertarung di dekat pintu masuk Mafiland. Salah satunya pemuda bersurai raven yang memegang tonfa di kedua tangannya, diketahui sebagai Hibari. Dan yang satunya pemuda bersurai biru kehitaman sedang memegang half blade di kedua tangannya juga, kita ketahui sebagai Irusa. Pertarungan sengit mereka harus terhenti begitu mendengar suara cempreng yang memekakkan telinga.

"Minna! Lihat! Maid baru kita sudah datang!"

Hibari dan Irusa seketika menoleh menuju sumber suara—tenda tadi. Pintu tenda itu terbuka. Menampakkan sesosok malaikat cantik—err—manis. Tubuh mungilnya dibalut pakaian maid lengkap dengan sangat pas. Wajah manisnya dipoles dengan make up natural. Ditambah ekspresi malu-malu dan semburat merah muda di kedua pipinya semakin membuatnya semakin kawaii.

Yuu yang berdiri di belakang malaikat itu mendorongnya pelan. Menyuruhnya mendekati sang kekasih. Langkah perlahan namun pasti. Tepat 1 meter di depan Hibari, dia membungkuk. Kedua tangannya mengangkat sedikit rok bagian samping kanan dan kiri. Kaki kirinya sedikit ditarik ke belakang.

"Saya siap melayani Anda," mengangkat wajahnya hingga menatap sang kekasih yang masih cengo di tempat, "Master."

Hibari Kyoya hampir nosebleed lagi.

"Tsu-Tsu-Tsunayoshi?" gumam Hibari dengan nada tidak percaya. Entah ke mana sifat stay cool-nya saat ini.

"Hai, Master. Ini aku," Tsuna mengangguk kecil. Tak lupa kedua tangannya di depan menyatu dengan sopan. Layaknya pelayan-pelayan di rumah mewah atau di istana.

Hibari melongo lagi. Otaknya masih memproses apa yang sedang dilihatnya saat ini.

.

.

.

1 menit ditambah 10 menit dikurangi 6 menit kemudian…

(lagi-lagi Author promosi, maklum baru masuk agen distribusi—bohong masih SMP)

.

.

.

Bingo!

Akhirnya dia ingat juga.

Di kertas misterius pemberian Iruko kemarin, tertulis 'Tsuna-kun akan menjadi maid-mu selama seharian penuh'. Dari data itu, dia menyimpulkan bahwa seharusnya tidak perlu terkejut jika melihat Tsuna-nya memakai pakaian maid. Juga, menampilkan ekspresi yang sangat bukan dirinya sekali. Ingin sekali ia terjun ke laut lalu menghilang terhayut ombak. Tapi, nanti kasihan Tsuna, bisa-bisa pemuda caramel itu menangis selamanya karena dia pergi.

Yah, apa daya, ke-kawaii-an Tsuna sudah over dosis. Cukup untuk membuat sang ketua disiplin Namimori-chuu menunjukkan sifat aslinya.

"Master."

Sebuah panggilan lembut menyadarkan Hibari dari pemikiran rumitnya. Ia menatap kekasihnya yang juga sedang menatapnya cemas.

"Master sakit?"

Hibari menggeleng. "Tidak, ayo kita bermain, Tsunayoshi."

Dipanggil lembut begitu, membuat Tsuna semakin blushing. Jarang-jarang Hibari memanggilnya seperti itu, apalagi di tempat umum seperti ini. Pulang nanti dia harus segera menulisnya di buku hariannya.

Dan dimulailah, kencan istimewa pasangan paling fenomenal kita, Hibari dan Tsuna di Mafiland!

.

.

.

.

.

.

.

.

Bersambung.. :v)/


Seperti yang sudah saya katakan di atas, saya akan membuat fic ini menjadi 2 chapter.. :v

Anda akan memberi atau tidak memberi fic ini review, favo, atau follow, saya tidak peduli, itu terserah Anda. Yang penting, Anda sudah bersedia berkunjung ke sini.. Arigatou gozaimasu, minna-san.. :3

Sore de wa, mata ashita ne.. X3)/

Salam,

...

Kirushina Iru