[1] akhirnya dapet juga nulis nielwoon ;;;;;
[2] happy reading :)
.
-:-
.
i. daniel
Ada saat dimana Sungwoon kehilangan kemampuan meniti masalah, yaitu saat masalahnya bersinggungan dengan hati, dengan rasa suka yang meletup-letup seperti popcorn baru matang; dengan Kang Daniel.
"Rambut hyung harum, aku suka."
Sungwoon tertawa, dari hatinya. Tangan Daniel yang melingkar di bahu kananannya ia tepis, pelan, natural, agar dirinya tidak terlanjur memunculkan harapan.
"Makanya rajin-rajinlah keramas."
"Keramasi aku! Hehe."
Daniel manja dengan semua orang. Sungwoon mengulang seratus kali, Daniel menyukai dan disukai semua orang.
"Pokoknya nanti aku minta sampo seperti punya hyung!"
"Iyaaa, sana cepat pergi."
Daniel tertawa kecil lalu beranjak dari sisinya untuk menghampiri yang lain. Daniel manja dengan semua orang. Ya. Endusan di rambut yang Sungwoon terima tadi tidak ada apa-apanya dibanding afeksi yang didapat Seongwu.
Ia hanya satu dari sekian.
.
.
ii. memori
Sungwoon seringkali menggali memorinya tentang Daniel. Rambut merah muda, mata sipit, senyum kanak-kanak. Tapi ketika ia menari, sungguh, berkelap-kelip. Sungwoon tak ingin berpaling.
"Kang—Daniel imnida."
Sungwoon selalu menyukai aksen itu. Tenang, dalam, laksana danau. Dan tawa Daniel; tak pernah dibuat-buat. Bagaimana bisa ada manusia semurni itu? Sungwoon selalu penasaran. Ditelusurinya sosok Kang Daniel, lebih, lebih dalam, hingga ia jatuh dan tak bisa lagi memanjat keluar.
Daniel datang padanya setelah stage "Downpour" berakhir. Daniel datang padanya, memberi selamat, memeluknya, dengan senyum lebar. Daniel datang padanya. Bukan Jisung, bukan Jaehwan, tapi dirinya.
"Sungwoon-hyung adalah yang terbaik!"
Bahkan jika akhirnya itu tidak berarti apa-apa, Sungwoon takkan menyesal telah jatuh hati.
.
.
iii. sebelas
Di panggung terakhir mereka, nama Daniel dan Jihoon bersandingan sebagai kandidat nomor satu dan dua. Tinggal satu kursi kosong, dan Sungwoon sudah menyerah.
Ada Taehyun di seberang sana, menyemangatinya lewat tautan mata. Diam-diam Sungwoon meremat jari-jarinya, lalu menghela napas. Jangan berekspektasi, batinnya mengulang, semakin sedikit kau berekspektasi, semakin sedikit kau kecewa.
Adanya jeda iklan di sela pengumuman peringkat satu dan dua memberinya ruang untuk bernapas. Netra cokelat gelap menangkap sosok Daniel yang tengah mengobrol dengan Jihoon. Ah, cocok sekali. Sama-sama menawan, berbakat, rupawan. Seperti itulah dunia para bintang. Sungwoon mana bisa masuk ke sana.
Lalu kursi kesebelas jatuh padanya. Sungwoon rasa ia bisa mati karena terlalu senang.
.
.
iv. surreal
Katakan hal yang lebih surreal dari setiap hari bersama Daniel. Jawab; tidak ada. Bahkan dalam mimpi terliarnya pun, Sungwoon tidak pernah membayangkannya.
Namun semua ini ternyata nyata. Daniel ada dalam jangkauannya, tak lebih dari satu depa. Ia bisa menikmati senyuman itu sesuka hati tanpa perlu sembunyi-sembunyi. Ia bisa mendekat tanpa perlu membuat sekat. Ia bisa mendengar suara Daniel, yang laksana danau, 24/7.
Sungwoon tidak meminta lebih dari ini. Tapi pada dasarnya, serakah adalah sifat alami manusia.
.
.
v. panggung
"Hyung, jangan menangis."
Mereka ada di panggung. Bersebelas. Jisung sedang memberikan kalimat-kalimat terima kasih. Teman-temannya—Jimin, Taemin, Jongin, tersenyun lebar padanya. Ah, andai Moonkyu juga disini—
Hamparan penonton dan teriakan riuh di depannya berganti menjadi langit-langit kayu, lampu temaram dan bau jokbal. Teman-temannya bicara tentang tur konser, program tv, dan penghargaan-penghargaan tak terhitung. Sementara ia dan Moonkyu selalu menjadi pendengar dan pemberi selamat. Suatu kali, Moonkyu menangis. Tolong aku, bisiknya, aku mulai iri pada mereka.
Tangisan Moonkyu menjadi samar, berganti kembali dengan suara gadis-gadis muda yang bersahut-sahutan. Wanna One mendapat penghargaan sebagai Best Male Group. Bukan EXO, bukan BTS. Tapi Wanna One; Ha Sungwoon.
Ha Sungwoon.
"Hyung?"
Sungwoon menoleh, mendapati Daniel dengan ujung mata yang basah. Diusapnya air mata Sungwoon yang tidak mau berhenti. Terkekeh pelan, Daniel berkata serak, "Hyung menangisnya seperti anak kecil."
Sesuatu di dadanya terasa membuncah, semakin naik, naik ke tenggorokan hingga terasa tercekat, naik lagi ke matanya hingga terasa panas. Sungwoon terisak-isak, Daniel tertawa sambil ikut menangis, mengusap-usap punggung Sungwoon.
Hari itu adalah hari terbaik dalam hidupnya.
.
.
vi. bintang
Bintang itu punya siklus hidup. Bintang akan terus membesar, membesar, lalu saat mencapai bentuk maksimalnya, ia akan meledak, lalu menyusut, menyusut, kemudian mati.
Popularitas Daniel meningkat tajam, stasiun tv berbondong-bondong mengundangnya. Bintang kecil yang dulu berkedip diantara beribu lainnya, kini semakin besar, dan terang, dan benderang. Sungwoon takut, semakin cepat ia bersinar, maka semakin cepat ia mati.
"Daniel?"
Di tengah malam, Sungwoon menemukan Daniel berdiri di dapur dengan segelas air dan pil di tangan lainnya. Dalam gelap, napas Daniel menderu cepat karena terkejut.
"Woon-ie hyung... kukira siapa."
"Obat apa itu?"
"Vitamin, vitamin."
Daniel tidak pandai berbohong. Jiwanya terlalu murni. "Katakan padaku. Ayolah."
Daniel bilang tubuhnya mulai sakit akhir-akhir ini jadi ia sering mengonsumsi pil pengurang rasa sakit. Ia juga susah tidur karena pola tidur yang terlanjur berantakan.
"Ikut aku."
Sungwoon menarik Daniel ke beranda, menikmati lampu warna-warni kota dari lantai delapan. Di bawah langit September, yang penuh bintang, Sungwoon menyanyi untuk Daniel.
Manusia terlahir bersama satu bintang.
Maka lihat ke langit, dan petiklah.
Bintangmu, adalah yang paling terang.
Sungwoon tidak keberatan terjaga sepanjang malam untuk membenahi posisi Daniel yang tertidur di bahunya, dengan senyum lepas.
.
.
vii. jauh
Ini gila. Popularitas Daniel tidak main-main. Seluruh Korea benar-benar miliknya.
Tapi memang benar; siapa yang tidak jatuh cinta padanya? Daniel begitu tulus. Tidak akan ada yang bisa memadamkannya.
Sementara Daniel bergelimang dalam dunianya yang penuh cahaya, Sungwoon meratapi dirinya yang pengecut. Daniel semakin jauh. Mungkin mereka satu bangunan tapi hanya saling menyapa sebab Daniel disibukkan jadwal ini-dan itu.
"Oh... hai, hyung."
Kantung mata Daniel membuat Sungwoon meringis, "Selesai jadwal nanti, datang padaku, ya? Kuberi perawatan khusus."
Daniel mengangguk semangat sambil menggumamkan terima kasih.
Hari itu ia bahkan tidak pulang ke dorm.
.
.
viii. skandal
"Itu tidak benar, hyung. kalian percaya padaku, kan?"
Daniel terkena skandal kencan yang konyol, oleh seorang gadis-entah-siapa yang jelas-jelas mencari sensasi. Tentu mereka percaya pada Daniel.
Jisung menyauti, "Apa akan dibawa ke ranah hukum?"
"Tidak tahu... aku serahkan sepenuhnya ke agensi."
Mereka mengakhiri pembicaraan itu dengan kembali ke kamar masing-masing. Sayup-sayup, Sungwoon mendengar Woojin mengeluh, Kenapa, sih, kita selalu tertimpa skandal-skandal aneh.
Dunia hiburan memang seperti itu. Sungwoon, dan ia yakin Minhyun juga, sudah pernah melihat yang lebih parah. Selalu ada skandal baru untuk menutupi skandal lainnya.
Tapi Daniel, Daniel tidak pantas dikotori seperti itu. Jiwanya tidak dirancang untuk menerima kepalsuan. Bagi Sungwoon, Daniel adalah bintang yang bersinar jauh, yang tak seharusnya jatuh ke bumi.
Sungwoon akan menjaga cahayanya. Daniel tidak akan redup. Meski itu berarti, ia harus memadamkan perasaannya bahkan sebelum rasa itu sempat berkobar.
.
.
ix. cahaya
Ternyata skandal kecil itu tidak berarti apa-apa. Daniel malah semakin terang, dan terang, hingga Sungwoon merasa silau.
Ketika di panggung, seolah ada sorot lampu yang menerangi Daniel seorang, sementara sekelilingnya gelap gulita. Daniel sudah ada di level yang berbeda, yang jauh, tak tergapai.
Apa yang dibicarakan orang-orang? Daniel, Daniel, Daniel. Siapa yang diundang kemana-mana? Daniel, Daniel, Daniel. Bahkan saat melakukan perform, nama daniel berserakan diantara properti pendukung yang dibawa fans.
Sungwoon mengulas senyum simpul. Ya. Memang seperti itulah seharusnya.
.
.
x. milik
Tapi kemudian, semua orang bersikap seolah Daniel itu milik mereka.
Cara mereka bicara, Daniel itu teman baikku, lho. Cara mereka menepuk pundak Daniel, Ayo bergabung, kau bagian dari kami.
Sungwoon tidak suka.
"Katanya PD-nim sangat suka padamu, ya? Sudah kuduga, sih."
Mereka bersebelas bersama Manajer tengah menikmati makan malam di sebuah restoran jokbal. Manajer memuji Daniel berlimpah-limpah.
"Mereka menghubungiku secara pribadi, hyung."
"Benarkah? Siapa saja?"
Yang lain menikmati daging mereka, sementara Sungwoon hanyut dalam percakapan Manajer dan Daniel. Anak itu menyebut nama-nama yang tidak Sungwoon kenal, dan manajer mereka terlihat begitu terkesan.
Sungwoon menggeleng lalu meneguk gelas kelima. Tidak, ini tidak benar. Gelas keenam, Daniel bukan mesin pencetak uang.
Tidak pernah ada yang mendengar tangis lirihnya dini hari, bersama keluhan rasa sakit di kepala dan rindu orangtua. Tidak pernah ada yang melihat wajah lelah Daniel yang hampir sekarat. Hanya Sungwoon, Sungwoon yang selalu melihat Kang Daniel.
Bukan mereka, yang selalu memintanya untuk tersenyum.
Gelas ketujuh.
Di suatu tempat yang gemerlap, ada Daniel yang tampan, tertawa senang. Di sekelilingnya, banyak orang yang berebut atensi—pria dan wanita, yang mengalungkan lengan-lengan mereka di pundak Daniel, membisikkan sesuatu ke telinga Daniel yang memerah. Lalu mereka menggamit tangan Daniel, membawanya pergi, hanya karena mereka tahu bahwa Daniel tidak akan bisa menolak, seakan-akan Daniel telah menjadi milik mereka.
—dia milikku.
Gelas kedelapan.
Sementara Sungwoon tidak bisa melakukannya. Apa lah dia, dibanding orang-orang besar itu? Daniel sudah melangkah jauh hingga bisa masuk ke sana, tapi Sungwoon setia menetap. Menjadi nomor sebelas. Menjadi bayangan.
Gelas kesembilan.
Tak bisakah ia, sekali saja, memiliki Kang Daniel untuk dirinya sendiri?
Gelas kesepuluh.
"Kudengar PD-nim tertarik memasangkanmu dengan aktris—"
"Yang benar, hyung? Wah, aku jadi gugup."
Tidak boleh.
Gelas kesebelas.
"Kalau lancar, nanti mungkin kau bisa dilibatkan dalam projek—"
Daniel itu milikku.
Gelas keduabelas.
"Siapa tahu nanti kau bisa punya pacar, hahahaha."
TIDAK BOLEH! DANIEL ITU MILIKKU!
Alkohol dalam botol sudah tak bersisa. Meski daya tahannya terhadap alkohol sangat baik, Sungwoon tetap sakit kepala. Dilihatnya Minhyun dan Jaehwan tengah menatapnya syok. Sungwoon mengernyit bingung. Ia mengedarkan pandang, dan menemukan tatapan yang sama di mata semua orang.
Dan Daniel.
"H-hyung... barusan—"
Kepala Sungwoon seperti ditimpa air terjun berisi pemahaman. Apa dia—keceplosan?
"Ma-maaf."
Sungwoon pergi, tidak peduli dengan semua orang yang menyuruhnya untuk berhenti.
.
.
xi. bodoh
Sungwoon adalah manusia terbodoh di dunia. Sial, sial, gara-gara alkohol.
Hampir tengah malam, dan Sungwoon masih berkeliaran di jalanan. Ia sudah meminta Manajer pulang duluan, jadi pasti anak-anak sudah sampai di dorm. Inginnya Sungwoon untuk menginap di tempat salah satu temannya, namun mereka semua sama-sama sibuk. Semakin lama berpikir, Sungwoon sadar bahwa ia tidak boleh lari. Ia tidak bisa lari.
Ponselnya berkedip, menampilkan pesan dari Manajer, Kemana saja terserah padamu, yang jelas kau harus ikut jadwal pemotretan besok pagi. Jaga dirimu.
Anehnya tidak ada pesan lain dari rekan-rekannya. Bukannya Sungwoon berharap... ah, lagipula saat ini ia memang tidak ingin diganggu siapa-siapa.
Sungwoon menguap hingga matanya berair. Ia lelah sekali, ia cuma ingin tidur. Dan destinasi terbaik hanya dorm saja. Sungwoon mengangguk mantap; ia akan pulang ke dorm.
Masa bodoh dengan cacian dan pandangan menilai dari Jisung dan adik-adiknya. Masa bodoh dengan Daniel—
Air matanya jatuh. Ternyata Sungwoon tidak bisa mengabaikan Daniel. Ia takut Daniel menolaknya, ia takut Daniel menjauhinya, ia takut Daniel tidak akan tersenyum padanya lagi, ia takut Daniel menjadi bintang yang tak bisa ia gapai selamanya.
Jika itu terjadi, Sungwoon siap hancur berkeping-keping.
.
.
xii. kejora
Saat keluar dari taksi, Sungwoon melihat bayangan manusia duduk di pintu masuk dorm. Sungwoon menyipitkan mata, berusaha mengenali, dan langsung merasa gila karena berpikir itu Daniel—
"Hyung!"
"Da-Daniel?!"
Daniel berlari tergopoh mendekatinya, membenamkan tubuh mungil Sungwoon dalam pelukannya yang hangat. "Aku kira hyung tidak akan kembali secepat ini!"
Jantungnya mulai amburadul. Sungwoon mati-matian mematikan percikan harapan yang muncul akibat perlakuan Daniel. "Ke-kenapa kau menunggu di luar? Bagaimana kalau aku tidak kembali?"
"Pasti kembali, kok." Daniel memperlihatkan gigi kelinci, "karena Sungwoon-hyung adalah yang terbaik."
Sungwoon ingin menangis saja—ah, dia memang sudah menangis.
"Un-untuk yang tadi—"
Tenggorokannya tercekat, Daniel baru saja menghapus air matanya penuh kasih. Dengan aksen lembut, yang laksana danau itu, ia berkata, "Kalau tahu begini, harusnya dari dulu sudah kunyatakan. Habisnya, hyung selalu menyuruhku jauh-jauh darimu, sih."
Kulakukan agar aku tidak berharap padamu. Tapi apakah, apakah itu berarti sekarang aku boleh—
"Jadi karena hyung tadi sudah bilang di depan semuanya, maka kali ini, aku juga."
Daniel menangkup pipi Sungwoon dengan kedua telapak tangannya yang besar. Sungwoon yang memerah dan berkaca-kaca nampak sangat menggemaskan. Dikecupnya ujung hidung Sungwoon, lalu dipeluknya si mungil erat-erat. "Hyung lucu, hehe."
Daniel yang benderang, Daniel yang tak tergapai, Daniel yang terus dikejarnya tanpa henti, kini berbalik untuknya. Sungwoon tidak perlu lagi iri pada semua orang, tidak perlu lagi berusaha mengingkari rasa.
"Mulai sekarang, Woon-ie hyung adalah milikku."
Karena sedari awal, Sungwoon tidak perlu naik ke langit untuk memetik, sebab sang bintang tak pernah keberatan menjadi kejora untuknya.
.
.
.
N.
Singkatnya, Sungwoon punya self esteem yang rendah. Dia selalu ngerasa dia itu nggak cocok sama Daniel. Apalagi semakin lama Daniel semakin terkenal, levelnya udah bukan idol biasa, dan itu yang bikin Sungwoon makin nggak percaya diri. Akhirnya dia memutuskan buat melupakan perasaannya. Ada di dekat Daniel aja udah cukup buatnya, nggak perlu jadi pacar juga nggak apa.
Tapi saat Daniel dikenal banyak orang, dan banyak yang makin akrab sama dia, Sungwoon jadi cemburu. Dia ngerasa orang-orang nggak mengenal Daniel sebaik dia, tapi dia juga ngerasa kalau dia nggak pantas bersanding sama Daniel. Akhirnya dia frustasi sendiri. Ditambah alkohol, maka kelar sudah. Dia keceplosan, tapi yang dia nggak sangka adalah—selama ini Daniel juga menaruh rasa padanya.
(Singkat apanya.)
Aku bener ngerasa Sungwoon itu kuat banget. Selama ini dia selalu dijauhkan dari apa yang dia pengen (cek thread BABlancar on twitter). Waktu Produce 101 juga awalnya dia nggak terlalu dinotis padahal rank A. Akhirnya setelah Downpour, dia dinotis banyak orang dan bahkan bisa ranking 3. Saat ranking 3 nggak nangis, di malam final nggak nangis, tapi waktu dapet penghargaan dia akhirnya nangis macem bocah. Dia pasti udah lama banget nunggu momen itu terjadi T_T
Sekarang banyak orang yang sayang sama dia. Aku seneng akhirnya bisa buat ini hehe. Untuk mas awan kita, sehat selalu mas :) love you!
