Ansatsu Kyoshitsu © Matsui Yuusei
.
Genre : Drama, Friendship, Romance.
.
Warn : OOC, Typo(s), EyD kurang diperhatikan, dll.
.
Selamat membaca.
.
.
.
"Kuso! Pak tua itu selalu memberi pekerjaan yang mustahil untukku."
Terasaka menulis cepat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk membolak-balik halaman buku yang ia jadikan referensi. Di hadapan pemuda itu berserakan buku dengan ketebalan beragam.
Rambut beda warnanya acak-acakan, jasnya sudah ia tanggalkan dan dasinya menggantung longgar di lehernya. Ia seperti orang frustasi.
"Apa-apaan dia itu? Menyuruhku seenaknya sendiri, melakukan ini itu bahkan sebelum satu perintahnya kuselesaikan. Menyebalkan sekali!"
Tap. Tap. Tap.
"Dilarang berisik di perpustakaan Tuan."
Terasaka tidak mengalihkan pandangannya. Tanpa harus menoleh pun ia tahu siapa pemilik dari suara itu.
Hazama Kirara.
"Diamlah! Aku sedang sibuk mengerjakan ini. Lagi pula tidak ada pengunjung lain kecuali aku."
Hazama menghela nafasnya panjang. Terasaka benar-benar tidak berubah sejak SMP. Gadis itu mengerlingkan matanya jengah. "Tentu saja, karena harusnya tempat ini sudah tutup. Tapi kau—"
"Aku memaksamu untuk memundurkan jam tutupnya karena tugasku belum selesai. Kau menyetujuinya karena iba padaku dan karena aku adalah temanmu." Terasaka kali ini mendongak. "Itu kan yang mau kau katakan?"
Hazama tersenyum sarkastik. "Kau tahu itu."
"Kalau begitu kau bersiap-siaplah lebih dulu, aku akan selesai saat kau selesai."
Hazama menunjukkan tas selempangnya pada Terasaka. "Aku sudah selesai."
"Aa."
Terasaka menggaruk bagian belakang kepalanya. Ia mengamati pekerjaannya yang masih belum selesai. Pemuda kekar itu memberi senyum memohon pada Hazama.
"Lima belas menit lagi akan kuselesaikan. Kumohon," pintanya.
Bruk.
Hazama memutuskan untuk duduk di hadapan laki-laki yang masih ketua gengnya itu. Ia berpangku tangan. "Biasanya orang-orang hanya meminta lima menit, kau kelebihan sepuluh menit Terasaka."
"Aku bukan orang yang suka menjanjikan hal yang tidak bisa kupenuhi," balasnya. "Berhenti mengajakku bicara, maka kita akan segera pulang."
Hazama tidak perlu merespons lagi. Ia menyibukkan diri membuka-buka buku yang digunakan Terasaka. Ia tidak begitu paham tentang politik, tapi membaca buku adalah kesukaannya. Ia cukup heran orang seperti Terasaka yang ia kenal dulu mampu bertahan berkutat dengan buku tebal yang ia akui sulit dipahami dan berbelit itu.
Terasaka dikenal karena bodoh dan hanya mengandalkan ototnya saja, bahkan dengan kemampuan otaknya yang bisa dibilang pas-pasan itu ia bisa dengan mudah untuk dimanfaatkan. Terasaka juga bukan orang yang betah belajar lama-lama untuk suatu hal. Hazama harus kagum untuk pemuda itu karena bisa mencapai yang sekarang ini. Ia merasa senang berada di dekat orang seperti Terasaka, menjadi orang yang menyaksikan perjuangan pemuda itu.
Ia cukup tahu Terasaka sangat bekerja keras untuk mencapai dirinya yang sekarang. Pemuda itu terlalu sering mengunjungi perpustakaan tempatnya bekerja sejak ia masih pemula sebagai mahasiswa. Ia sering menyaksikan pemuda itu pulang larut untuk mengerjakan banyak hal. Ia juga tahu selalu ada beberapa buku tebal yang Terasaka pinjam di akhir pekan.
Buk.
Terasaka menepuk buku terakhir yang ditutupnya. Ia tersenyum puas. "Selesai."
"Tidak kusangka kau akan menjadi pengunjung rutin di perpustakaan ini. Membayangkan dirimu yang dulu dan sekarang rasanya tidak dapat dipercaya," komentar Hazama. Ia menumpuk buku-buku bekas pakai Terasaka, berniat mengembalikannya.
"Waktu itu menakjubkan, ia bisa mengubah segalanya."
"Wow. Aku harus berkomentar apa untuk kata-kata tidak bodohmu barusan?"
Terasaka mengerutkan kening. "Apa sudah sejak dulu hobimu itu mencaci seseorang?"
Gadis itu tidak berkomentar. Ia sibuk berjinjit untuk mengembalikan buku paling tebal di rak paling atas. Ujung kaki dan tangannya pegal karena tidak segera berhasil.
"Biar aku saja."
Terasaka merebutnya. Hanya dengan sekali gerak ia berhasil melakukan pekerjaan yang sulit bagi Hazama. Ia berbalik menghadap gadis yang berdiri bersandar di meja, Terasaka melakukan hal sama, di rak buku belakangnya.
"Apa yang kau perhatikan nona?" tanyanya karena Hazama terus memandanginya.
"Aku hanya sekilas memikirkan bahwa kau sudah banyak berubah Terasaka."
"Huh?"
"Aku bilang kau itu sudah jadi orang yang sangat berbeda. Kau kelihatan seperti laki-laki dewasa sekarang," ulang Hazama.
Pemuda berbadan kekar itu meregangkan otot-otot lehernya. "Harusnya kau memberikan komentar itu untuk dirimu sendiri. Lihatlah penampilanmu, sikapmu juga. Rasanya kau kelihatan lebih seperti namamu."
"Begitu ya?" Hazama menerawang. "Aku sudah tinggal terpisah dengan orang tuaku, jadi tidak banyak tekanan yang kurasakan dari ibuku. Mungkin itu membuatku lebih baik."
Terasaka diam.
"Atau karena aku berada di tempat tenang dan yang kusukai, mungkin saja juga itu."
Terasaka mendengus. "Heh, tidak seperti dirimu saja, menceritakan semua itu dengan penuh perasaan. Harusnya kau mengatakannya dengan cara seperti saat kau bicara pada Kimura dulu. Kelihatan lebih ceria."
Hazama berkedut kesal. "Kau menganggapku ceria. Kau mencemoohku Terasaka?"
"Aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja ini bukan gayamu. Kau tahu, seperti itulah."
Hazama terkekeh kecil. "Aku sendiri tidak menyangka akan jadi seperti ini. Tapi ini lebih baik kan?" Ia sedikit mengibaskan rambut sepanjang punggungnya dengan tangan. Lalu tersenyum.
Terasaka sedikit bersemu. "Jangan berlagak seperti itu. Kau membuatku merinding saja."
"Akuilah kau mulai terpesona padaku."
Terasaka beranjak dari sana untuk mengambil jas dan tas kerjanya. Ia menoleh kepada Hazama. "Apa menjadi wanita penggoda menjadi identitasmu yang sekarang?"
Bukh.
Hazama menghantam punggung Terasaka main-main menggunakan tas selempangnya. "Kukutuk kau jika mengatakan hal konyol seperti itu lagi," ancamnya terlihat sungguh-sungguh.
Terasaka justru tertawa senang. Ia memukul bahu teman sejak SMP-nya itu main-main. "Ini baru Hazama Kirara yang aku kenal."
Hazama hanya tersenyum ringan.
Mereka keluar dari perpustakaan. Hazama melakukan tugas terakhirnya mengunci pintu. Ia mengambil sepedanya yang diparkir di samping gedung perpustakaan yang besar itu. Terasaka menunggunya di gerbang depan.
"Aku akan memboncengkanmu."
"Kau bodoh? Kita bisa tertangkap polisi," ujar Hazama.
"Tidak jika tidak ketahuan. Seandainya sampai tertangkap aku bisa minta bantuan Kimura."
"Kau mau merepotkan polisi yang baru diangkat itu?"
"Kalau begitu akan aku gunakan nama Karasuma-sensei."
"Kau tidak harus menggunakan nama kementerian pertahanan untuk masalah sepele seperti ini."
"Hahahaha...!"
Hazama menyerahkan sepedanya pada Terasaka, ia ke belakang dan naik di boncengan. Tangannya mendorong punggung pemuda itu.
"Ayo."
Terasaka mengayuhnya. "Bilang-bilang kalau ada polisi."
Hazama mengangguk.
Perjalanan keduanya diselimuti hening selama beberapa puluh meter. Hazama yang duduk di belakang memegangi rok dan rambutnya agar tidak tersibak oleh angin.
"Hazama."
"Hm?" balasnya dengan gumaman.
"Hanya mengecek, takutnya kau terjatuh di jalan."
Hazama tahu pemuda itu pasti sedang menampilkan seringaian usil di wajah bodohnya. Hazama memukul kepala Terasaka karena kesal.
"Aw! Sakit tahu!"
"Kau menyebalkan," ujarnya. "Ne Terasaka, kau tahu? Di perempatan depan sana aku mendengar ada seorang gadis yang mati tertabarak saat akan pergi kencan. Rumornya ia suka mengganggu pasangan yang lewat—"
"Hentikan Hazama. Jika kau ingin bicara, cari topik lain. Jangan mengatakan hal seram malam-malam begini."
Hazama menahan tawanya. "Kau penakut Terasaka."
"Hah?! Jangan menyebutku—"
"Oke, oke... Dasar maniak buku politik."
"Harus kau katakan itu pada dirimu sendiri Hazama. Kau itu yang selalu diselimuti bau buku."
"Terima kasih."
"Itu bukan pujian," ujar Terasaka. "Aku bukan maniak buku politik."
"Kau maniak. Setiap kali datang ke perpustakaan kau selalu pulang dengan meminjam buku, bahkan lebih banyak saat di akhir pekan."
"Benarkah begitu?"
"Ya."
"Aku tidak akan meminjamnya lagi kalau begitu."
"Jangan katakan hal yang mustahil. Jika kau tidak meminjamnya itu berarti kau sudah hapal semua buku politik itu." Hazama menambahkan dengusan di akhir kalimatnya.
"Kau membuat hal hebat terdengar konyol jika aku yang melakukannya."
"Maaf," ujarnya. "Oh ya, aku berniat meminjamimu novel ini." Hazama merogoh tasnya dan mengeluarkan novel dari dalamnya, mengulurkannya pada Terasaka.
Pemuda itu meraihnya dengan sebelah tangan. Ia mengamati sejenak. Dahinya mengernyit. "Aku tidak suka novel klasik yang tidak terkenal seperti ini. Aku tidak akan membaca—"
"Masalahnya kompleks, didominasi oleh konflik politik."
"Akan kubaca," tukasnya. Ia menarik kembali buku yang hampir ia kembalikan pada Hazama dan menaruhnya di keranjang depan bersama tasnya.
"Pfffft."
"Jangan tertawa."
"Habisnya kau itu lucu."
"Dimananya?"
"Kalau aku tidak tahu kau itu pengunjung tetap perpustakaan aku akan tertawa terbahak-bahak. Melihatmu membaca buku itu terlihat mustahil."
"Ya, ya... Aku bahkan masih ingat wajah setengah matimu saat kau pertama kali melihatku ada di sana. Terima kasih sudah memberikan kenangan memalukan untukku," ucap Terasaka setengah dongkol.
"Jangan begitu Terasaka. Aku ini sudah banyak membantumu."
"Terima kasih kalau begitu."
Ckiiit!
"Terasaka! Jangan mengerem mendadak. Kau membuatku hampir jatuh."
"Hahahaha... maaf, maaf! Aku baru saja serius memikirkan tentang rasa terima kasihku, bagaimana jika aku mentraktirmu kali ini? Kupikir sekali-kali tidak akan menguras dompetku."
"Aku sudah lama menantikan itu."
"Harusnya kau bilang. Kita ke kedainya Muramatsu, lain kali setelah aku gajian kutraktir di restoran mahal."
"Kunantikan itu."
.
..
...
Owari
...
..
.
