Ditengah kegamangannya, seseorang mendekat.

"Bagaimana? Apakah kau mau berjuang denganku di Partai Pekerja Nasionalis Sosialis Jepang?"

Tanpa menunggu waktu, torehan senyum itu bagai anggukkan kepala.

Si Pelukis Gagal (c) bruderup

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Ino tahu, Sai menunggu lama. Ino paham, Sai berusaha keras, menghabiskan malam-malam yang seharusnya dipakai istirahat meski beralaskan kardus bekas di belakang toko. Ino lebih mengerti, kalau Sai menantikan hal ini.

Meski wajah pucat itu menyunggingkan senyum lebar, jantungnya berdegup kencang, tangannya basah oleh keringat gugup.

"Hm... Bagaimana mengatakan ini ya?"

Suaranya terdengar agak horor, gadis Yamanaka yang mengintip dari jendela jadi ikut gugup, suasana murung membuat bermacam-macam suara terdengar lebih jelas. Untuk sebuah pagi, suasana masih dirasa terlampau murung.

"Jujur saja, gambarmu jelek!"

Hei, tidak tahukah kalau gambar Sai adalah yang terbaik di sekolah kami dulu? Batin Ino. Berharap rentetan kalimat selanjutnya mungkin terdengar manis.

"Maaf, kau tidak diterima disini, sekali lagi maaf,"

Sai masih menorehkan senyum, berjalan kearah meja, lalu mengambil lembaran-lembaran gambarnya, Ino masih menunggu diluar.

"Sai..."

"Tidak apa-apa, Ino," ujarnya santai, "Mungkin gambarku jelek, ayo, sebentar lagi pabrik dibuka dan kita akan bekerja!" Ino menyambut genggaman tangan itu dengan raut kesedihan.

Gadis pirang itu paham, sebetulnya Sai lelah.

Lelah sekali, punya ayah tukang pukul, ibu meninggal di usianya saat muda, kakak dan adik yang tidak saling peduli satu sama lain. Tiba-tiba saja saat menikmati ransum gratis dari pemerintah, pria pucat itu mendadak duduk disampingnya, meminta sebuah kehangatan, meminta telinga untuk mendengarkan.

Sejak saat itu mereka kawan. Rekat sekali. Nyaris tak ada sekat-sekat rahasia menghalangi mereka.

"Ino,"

Ya?

"Ino! Kau melamun lagi."

"Ah, maafkan aku, Sai." Ini sudah berapa tahun mereka bersama? 4 kah? Entah, Ino lupa persisnya.

"Mari pulang,"

Pulang? Ke belakang toko itu lagi dan menikmati ransum gratis dari pemerintah? "Iya, memangnya mau apa lagi? Kita ini terlampau miskin,"

Mata kebiruan Ino melebar, ada yang aneh.

Sai tidak tersenyum, tidak sama sekali.

Ini aneh, biasanya pria itu hanya tidak tersenyum saat tidur, ketika paling perih sekalipun, senyumnya akan nampak meski sedikit.

Sai, kenapa?

"Tidak kenapa kok, hanya sedikit, lelah.. kau tahu? Kawan di tempat kita bekerja menawarkanku untuk masuk ke partai pekerja,"

"Jangan Sai, kataku jangan ikut-ikutan partai, nasibmu akan lebih tidak menentu,"

"Tapi aku tidak mau seperti ini terus, Ino. Saatnya berubah, saatnya mencanangkan sebuah revolusi!" Untuk kali pertama pula, Ino mendengar pria itu lantang dalam berintonasi, biasanya santai dan elegan.

Ada yang berubah, Sai yang berubah, atau keadaan ini yang membuat Sai berubah?

Ino menghentikan langkah, membiarkan angin malam lembut melewati helai-helai rambut pirang panjang terikat.

Ditengah kegamangannya, seseorang mendekat.

"Bagaimana? Apakah kau mau berjuang denganku di Partai Pekerja Nasionalis Sosialis Jepang?"

Ah, orang itu.

Tanpa menunggu waktu, torehan senyum itu bagai anggukkan kepala.

"Ya, aku mau."

Ino tak lagi mampu menghentikan langkah Sai, tanpa tahu masa depan, kalau pria berwajah pucat dan selalu tersenyum itu akan menjadi seorang pemimpin partai pekerja nasionalis sosialis Jepang, yang menyebabkan bencana kemanusiaan paling mengerikan sepanjang sejarah.

End.

Huh, adakah yang tahu siapa tokoh sejarah yang kisahnya seperti kisah Sai?