Silence
Jaehyun x Taeyong
Taeyong
Aku tidak dilahirkan begini.
Dulu aku bisa bicara.
Sebelum suaraku dicuri.
.
.
.
Aku selalu diam. Tidak punya banyak teman saat junior high school karena itu. Introvert sebagian orang menyebutku. Sebagian lagi lebih suka mengejekku bisu atau bodoh. Sering sekali sampai aku berhenti menghitungnya. Aku tidak peduli. Karena aku punya Jaehyun.
Selain orangtua, keluarga dan kerabat dekat, hanya Jaehyun yang tahu suaraku. Jaehyun adalah tempat teramanku. Caranya memelukku, mengacak rambutku dengan jari-jarinya, berbisik di telingaku sembari memanggil 'Taeyongie ' selalu membuatku merasa nyaman. Sesuatu yang kurasa tak bisa ditawarkan orang lain di dunia ini padaku.
Sebelum aku tahu apa itu cinta, aku sudah jatuh cinta pada Jaehyun.
Saat aku masuk senior high school, rumor tentang kekurangan itu sudah tersebar lebih dulu. Semua orang tahu. Para guru pun tahu.
Aku selalu menjadi orang terakhir yang meninggalkan kelas. Sengaja menghindari interaksi dengan teman sebayaku yang lain. Yang kuinginkan hanya kembali ke zona nyamanku, ke rumah, pada orangtuaku dan Jaehyun, tanpa ada kendala.
Tapi hari itu, harusnya aku tahu akan lebih baik jika aku pulang dengan yang lain...
.
.
.
Aku memasukkan bukuku ke dalam tas saat pelajaran sejarah berakhir dan bel pulang berbunyi. Hari ini seperti hari-hari kemarin. Sinar hangat matahari sore di musim semi melewati jendela dan menyentuh kulitku. Aku tidak sabar menghabiskan akhir pekan di bawah sinar matahari seperti ini dengan Jaehyun lagi. Kami sangat suka melakukan itu.
Lamunanku terputus saat aku mendengar suara pintu kelas dibanting dan dikunci. Aku mendongak dan melihat Park seonsaengnimberdiri di dekat pintu, menatapku.
Aku belum pernah melihat tatapan mata seperti itu sebelumnya dari orang lain. Tatapan jijik, ketidaksukaan, kebencian, aku tahu. Tapi ini... tatapan mata gelap itu aku tidak bisa mengartikannya.
"Jadi, Taeyong, aku ingin berbicara denganmu."
Dia tersenyum saat dia mulai berjalan ke arahku.
"Apa kau bisu? Aku tidak mendapat surat pemberitahuan tapi aku juga tidak pernah mendengar suara atau sekedar gumaman darimu."
Aku menyernyit, terus memasukkan barang-barangku. Nada suaranya menakutiku. Penuh dengan ancaman dan nada tajam.
Aku hanya menggelengkan kepala saat selesai dengan tasku dan berdiri.
"Tidak mau menjawab? Berani sekali. Jika kau memang tidak bisu, bicara. Jawab aku dengan mulutmu!" teriaknya, kemarahannya meledak. "Aku mungkin masih muda untuk ukuran seorang guru, tapi kau harus tetap menunjukkan rasa hormatmu!"
Tidak ada yang pernah berbicara seperti itu padaku. Suaranya semakin kencang dan dia semakin mendekat. Mungkin jika aku mengatakan sesuatu, dia akan berhenti dan membiarkanku pergi. Tubuhku gemetar saat dia terus mendekatiku, menjulang tinggi tepat di sisi lain mejaku.
"T-tidak, seongsaengnim," kataku.
Itu hampir terdengar seperti bisikan dan suaraku gemetar. Aku benci suaraku itu saat aku pakai bicara. Tapi Jaehyun selalu tahu bagaimana agar membuatku merasa lebih baik.
Aku menatap kakiku saat melihat Park seonsaengnim berhenti di depanku.
"Ahh, kau begitu pemalu. Suaramu lembut dan indah... tubuhmu ramping dan-"
Nadanya berubah tiba-tiba menjadi sesuatu yang entah mengapa lebih mengerikan lagi. Aku melihat bayangan lengannya bergerak di mejaku sebelum merasakan telapak tangannya yang hangat dan basah di pipiku.
"Wajah yang manis dan cantik."
Aku berpaling dari sentuhannya saat mencium wangi cologne yang dipakainya. Merasa seperti ingin muntah.
Aku merasakan tangannya meninggalkan pipiku, dan merasa lega untuk sesaat. Sampai aku merasakan tangan yang sama mencengkram rambut di belakang kepalaku. Menarikku ke arahnya dengan kekuatan brutal.
"Jangan berani menolak atau melawanku, Taeyong. Kecuali kau mau aku menghancurkan wajah cantikmu ini sekarang juga dengan tanganku."
Napasnya berhembus memuakan di wajahku. Dia mempererat cengkeramannya pada rambutku. Air mataku jatuh saat aku mendengar suara meja dipindahkan.
Mungkin jika aku tidak membuka mataku...
Mungkin jika aku tidak membuat suara apapun...
Ini semua akan berlalu begitu saja...
Itulah yang aku pikirkan saat aku merasakan bagian belakang kepalaku berbenturan dengan lantai kelas. Itulah yang aku pikirkan saat aku merasakan beban tubuh Park seonsaengnim menekan tubuhku dari atas. Saat tangannya yang menjijikkan mulai menyentuhku. Saat dia mencengkeram tenggorokanku...
"Jaehyun..."
Aku tersedak, karena air mata, rasa sakit, dan kesulitan bernapas.
Tidak ada yang mendengarku.
Aku tidak tahu berapa lama itu berlangsung, tapi aku tahu tidak butuh waktu lama sampai Park seonsaengnim pergi begitu dia selesai.
Aku hanya berbaring di sana. Tidak bergerak. Seluruh tubuhku sakit tak tertahankan, tapi di dalam sana, aku tidak bisa merasakan apa-apa. Tidak ada air mata yang tersisa untukku menangis. Tidak ada kata-kata yang tersisa untuk kukatakan.
Itulah terakhir kalinya aku bicara.
.
.
.
Setelah bisa mengumpulkan cukup tenaga, aku bergerak untuk pergi dari sana. Tepat sebelum malam begitu sampai di rumah. Baik ayah maupun ibuku sedang menunggu di sofa sambil memegang ponsel erat-erat di tangan.
Kondisiku terlihat mengerikan. Mataku merah dan bengkak sehabis menangis dengan memar di beberapa tempat. Aku bersyukur mereka tidak bisa melihat bekas luka lain dibalik celana dan kemeja seragamku.
Orangtuaku terkesiap bersamaan dan berlari ke sisi tubuhku, memelukku.
"Kau berkelahi, Taeyong?" Ibuku bertanya, kekhawatiran membuat suaranya bergetar, "Kami sangat mengkhawatirkanmu! Kau dari mana saja?!"
"Sayang," Ayahku berbicara, meletakkan tangan di bahu ibuku, "Kau tahu Taeyong tidak mungkin berkelahi."
"Jadi, kau dipukuli?" Mata Ibu melebar saat ia mencengkeram bahuku. "Siapa, Taeyong? Siapa yang melakukan ini padamu?!"
Aku meringis kesakitan saat menggeleng dan menunduk.
Malam itu berlalu. Aku berhasil meyakinkan orang tuaku bahwa aku dipukuli karena semua orang di sekolah sangat membenciku. Aku tidak bisa mengatakan secara langsung apa yang sebenarnya dilakukan Park Seonsaengnim padaku kepada mereka.
.
.
.
Setelah itu, aku benar-benar berhenti bicara. Orangtuaku terkejut. Mendesak agar aku mau bercerita tapi aku tetap diam. Mereka memutuskan mengeluarkanku dari sekolah, mendatangkan guru untuk homeschooling dan membuatkan janji dengan terapis. Aku tidak keberatan. Apapun asalkan aku menjauh dari sekolah itu. Apapun asalkan aku tidak harus melihat mata itu lagi. Dan kegelapan juga rasa sakit seperti waktu itu lagi.
Aku merasa lega bisa tinggal dan berdiam dibatasi dinding kamarku.
Aku masih bisa keluar, hanya jika Jaehyun ada di sisiku. Tanpanya, aku tidak tahan.
Tetapi bahkan di dunia baru yang telah aku ciptakan, di kesendirianku, hatiku tetap terasa berat. Kenangan itu selalu menghantuiku di malam-malam melalui mimpi buruk. Di keheningan, aku bisa mendengar jeritan pilu dan kesakitanku sendiri seperti waktu itu.
Aku tidak ingin menghadapinya sendiri. Aku ingin bersama Jaehyun.
Jaehyun... tolong aku.
Jaehyun
Dari saat pertama kali aku melihat Taeyong, aku tahu dia istimewa.
Ada sesuatu di matanya saat dia menatap ke luar jendela kelas. Itu bukanlah ekspresi seperti murid kelas delapan lainnya, bukan juga sekedar lamunan kosong. Kalian bisa melihat kerinduan dan kesedihan di mata hitam yang indah namun dingin itu.
Aku selalu mengaguminya dari kejauhan: rambut hitamnya yang terlihat lembut, kulitnya yang halus dibawah sinar matahari, campuran kekhawatiran dan rasa ingin tahu yang terlukis di wajahnya, dan keheningan yang mutlak selalu menemaninya.
Dia selalu sendiri dan aku ingin menemaninya.
Aku ingin dia berbicara padaku. Aku ingin tahu tentangnya lebih banyak.
Aku ingin mengenal Taeyong. Bahkan ke setiap detail bagian darinya yang tidak diketahui orang lain.
Dan ternyata yang aku butuhkan hanyalah keberanian, tekad, kesabaran dan niat tulus untuk itu- sesuatu yang ternyata sangat jarang Taeyong dapatkan dari orang lain.
Aku mulai bicara padanya setiap hari, sebelum masuk dan sepulang sekolah. Apa saja. Aku menceritakan segala hal yang mau aku ceritakan. Merasa sangat bangga begitu bisa melihatnya tersenyum hanya saat sedang bersamaku meski tanpa membalas kata-kata.
Aku hampir putus asa ingin mendengar suaranya di hari terakhir kelas delapan kami. Aku berlari menyusuri lorong saat bel pulang berbunyi dan mengejar Taeyongie-ku. Dia sudah hampir mau pergi saat aku mendekat dan menarik lengan bajunya.
Dia berbalik kaget dan aku melihat kilatan ketakutan di matanya. Aku bersumpah, aku tidak pernah mau melihatnya seperti itu lagi.
Aku menariknya mendekat, memeluknya erat- seolah tidak akan pernah membiarkannya pergi.
"Selamat liburan, Taeyongie," kataku pelan.
Aku mengusap lehernya lalu mengacak-acak rambutnya sedikit.
Aku merasa tubuhnya menegang saat dia melawan dan mendorongku dengan kedua tangan dan kekuatan penuh. Aku sudah siap untuk menghadapi reaksinya akan sikap kurang ajarku, tapi aku justru melihat senyuman manis itu terbentuk di bibirnya.
"Se-lamat liburan juga, Jaehyun. Terimakasih sudah mau bicara padaku."
Aku bisa merasakan jantungku berhenti berdetak, seperti deru mesin mobil yang sedang melaju cepat kemudian tiba-tiba dimatikan.
Suara Taeyong bahkan lebih indah dari yang penah aku bayangkan! Halus, menenangkan. Seperti angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah basah sehabis hujan.
Sebuah ekspresi khawatir melintas di wajahnya saat dia mengulurkan tangan untuk menyentuh tanganku dengan jarinya.
Aku tersentak dari keterkejutanku, lalu menggenggam tangannya.
Jantungku berdebar kencang sekarang. Dengan tangan lain aku mengambil ponselku, menaruh itu ditelapak tangannya.
"Berikan aku nomormu, Taeyongie."
"U-ntuk apa?"
Itu nyaris tak terdengar seperti sebuah bisikan, tapi aku mendengarnya.
Aku tersenyum.
"Agar aku bisa terus berbicara padamu setiap saat."
Dia tersenyum sekali lagi, mengambil ponselku, mengetikkan nomornya disana, dan mengembalikannya padaku sebelum berbalik dan berjalan di bawah sinar matahari sore.
Sejak saat itu, aku tahu. Aku akan melakukan apapun untuknya. Untuk Taeyongie-ku.
Sebelum aku tahu apa itu cinta, aku sudah jatuh cinta lebih dulu padanya. Pada Taeyong.
Taeyong
"Jadi Taeyongie sepertinya akuakan melanjutkan sekolah di Seoul. Tapi tenang saja, jarak Busan-Seoul tidak sejauh itu. Akan aku usahakan sering pulang," katanya dengan begitu santai. Seolah itu bukanlah apa-apa.
Jangan tinggalkan aku!
Aku ingin menjerit.
Jaehyun, kumohon jangan tinggalkan aku...
"Aku diterima di SNU. Ayah ibuku juga mendukung. Kelas pertama dimulai awal bulan depan..."
Dia berhenti sejenak, mengambil beberapa saat untuk memberi ciuman lembut di dahiku.
"Aku janji, aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
Aku benar-benar tidak ingin menahan Jaehyun. Dia adalah siswa terpintar yang pernah aku kenal. Predikat lulusan terbaiknya semakin menegaskan itu. Aku tidak mau kepintarannya itu menjadi sia-sia. Tapi apa aku bisa bertahan tanpanya? Empat tahun... dan aku hanya akan bertemu dengannya sesekali? Itu membuatku takut.
Sudah dua tahun sejak aku meninggalkan sekolah dan memulai homeschooling. Dua tahunku tanpa suara.
Awalnya Jaehyun kaget, tak lelah membujukku untuk menceritakan apa yang terjadi sampai dia menyadari dengan sendirinya jika, bukan aku yang tidak mau bicara. Tapi karena aku tidak bisa.
Setelah kejadian itu suaraku seakan dicuri. Terapisku bilang itu adalah dampak dari trauma yang aku terima. Butuh waktu untuk melihat apakah suaraku akan kembali atau tidak.
Orangtuaku selalu mendukungku. Begitu juga Jaehyun.
Dia tinggal bersamaku selama ini. Orangtua kami memperbolehkannya karena melihat kondisiku. Meski aku tidak pernah bisa memberitahu mereka lewat kata-kata betapa berartinya Jaehyun untukku, aku yakin mereka tahu.
Sekarang Jaehyun ada denganku di tempat tidur. Rasanya sangat aman dan nyaman bisa ada dalam pelukannya seperti ini di bawah selimut.
Dari dekat aku bisa melihat wajahnya yang semakin tampan. Hampir tidak terasa nyata. Aku yakin Jaehyun bisa memiliki siapapun yang dia inginkan; baik pria atau wanita.
Jadi, kenapa aku?
"Aku sangat mencintaimu," bisiknya sambil mengusap wajahnya dengan tanganku yang ada di genggamannya.
Kenapa aku?
Karena dia mencintaiku.
Aku menelusuri sepanjang garis bibir bawahnya dengan tangan, menikmati kehangatan wajahnya yang tampan di bawah kulit jari-jemari. Alisnya berkerut pelan, menikmati itu. Begitu dia membuka matanya, aku tahu Jaehyun menginginkanku saat ini juga.
Pikiranku kabur.
Aku melihatnya bergerak mengubah posisi. Tiba-tiba bisa kurasakan beban tubuh Jaehyun yang melayang diatasku juga sentuhan yang sangat aku kenal di bibirku sendiri.
Jaehyun bukanlah orang pertama yang menyentuh tubuhku, tapi dia adalah orang pertama yang menyentuh bibirku, hatiku, orang pertama yang membawa sesuatu yang bisa aku nikmati atas sentuhan di tubuhku yang pernah aku benci karena merasa begitu kotor, orang pertama yang memberiku perasaan tulus bernama cinta.
Dan sejauh yang aku tahu, Jaehyun adalah orang pertama dalam segala hal hebat yang terjadi dihidupku.
Aku sangat menginginkannya. Tak peduli betapa kotornya tubuhku sebelum dia menjadikanku miliknya. Tak peduli jika aku telah berlaku tak adil padanya dengan tetap diam dan menyembunyikan semua fakta itu rapat-rapat.
Di saat seperti ini, semua sentuhan dan perhatiannya membuatku mampu menghilangkan rasa sakitku di dalam deru napas terputus penuh kebahagiaan.
Jaehyun. Dia satu-satunya yang bisa membuatku merasa seperti ini.
Masa lalu penuh kenangan buruk itu- sama sekali tidak terpikir olehku saat aku bersamanya, tergantikan oleh pikiran mengenai masa depan kami yang kini membuatku sakit karena tahu dia akan segera pergi.
Jaehyun membuka bibirnya dan membiarkan lidah kami bertemu dalam belaian lembut saat ia menggeser tubuhnya sepenuhnya berada di atas tubuhku.
Jaehyun, jangan tinggalkan aku...
Aku mengulurkan tangan dan menyentuh wajahnya saat satu tangannya mulai membuka kancing bajuku dengan perlahan. Bibirnya meninggalkan bibirku hanya untuk membenamkan wajahnya di lekuk leherku.
"Taeyongie, aku mencintaimu..."
Dia mengulangi kalimat itu berkali-kali saat tangannya merayap turun.
Dengan Jaehyun berada di atasku seperti ini, dengan semua sentuhan tangannya yang mengklaim tubuhku dan bibirnya yang membisikan pernyataan cinta manis seperti itu, aku justru merasa semakin berat untuk melepaskannya.
Aku juga mencintaimu.
Karena saat aku bersamanya, aku bersinar. Dan tanpanya, yang bisa kulihat hanyalah kegelapan.
Kumohon, jangan tinggalkan aku...
Jaehyun
Sudah enam bulan, aku jauh dari Taeyong. Dan selama enam bulan ini aku merasa sangat hampa. Setiap aku jauh dari Taeyongie-ku, aku merasa seolah-olah kehilangan bagian lain dari diriku.
Aku kira aku bisa menahannya. Aku kira aku akan terbiasa seiring berjalannya waktu. Rupanya tidak semudah itu. Aku sangat merindukannya. Semakin merindukannya setiap waktunya.
Ya, aku memang suka tinggal di Seoul. Ibu kota sangat jauh berbeda dengan kotaku besar, Busan. Melanjutkan sekolah di sini, di salah satu Universitas terbaik, sudah seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi hanya bisa melihat Taeyong sesekali saja tidaklah cukup.
Aku selalu mencoba menghibur diri dengan membayangkan apa yang bisa aku lakukan dengan Taeyong jika dia ada di sini bersamaku.
Sebagai siswa berbeasiswa, sekarang aku tinggal di asrama.
Sebenarnya aku ingin mengajak Taeyong ke Seoul, untuk tinggal bersamaku. Tapi aku belum mampu membeli apartemen di sini dengan gaji dari tempatku bekerja sambilan di sebuah restoran. Aku juga tidak mau merepotkan orangtuaku lagi dengan keinginanku itu.
Aku ingin mandiri. Aku ingin cepat bekerja dan mapan, agar bisa menawarkan hidup yang lebih baik saat meminta Taeyong hidup bersamaku nanti.
Rasanya sangat sakit saat aku melepaskannya walau hanya sebentar. Tapi Taeyong tampak begitu kuat, memberiku dukungan dan senyuman meyakinkan jika kami bisa melewati empat tahun ini. Lagipula ini semua untuknya. Untuk kami.
Aku merogoh kotak kecil hitam dari sakuku. Tidak tahu sudah berapa kali membuka dan menutup kotak itu selama sebulan ini. Menatap benda di dalamnya sambil memikirkan kapan saat yang tepat untuk memberikannya pada Taeyong, memintanya untuk terus bersamaku selamanya.
Yang jelas tidak hari ini.
Beberapa minggu ini aku begitu sibuk. Tugasku menupuk, ulangan-ulangan menanti, dan aku harus lembur bekerja di hari ulang tahunku- sempurna.
Aku sudah berjanji pada Taeyong jika aku akan pulang ke rumah di hari ulang tahunku, tapi pegawai yang mendapat jadwal kerja hari ini sakit dan aku yang ditugaskan menggantikannya.
Aku sudah menelepon orang tua Taeyong, meminta mereka memberi tahunya jika aku tidak bisa pulang setidaknya sampai minggu depan.
Aku merasa bersalah karena tidak bisa menepati janjiku, karena aku tahu Taeyongie-ku akan sangat sedih saat mendengarnya. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan.
.
.
.
Saat pekerjaanku selesai, itu hampir tengah malam.
Aku sedang mengunci pintu depan restoran saat aku mendengar suara-suara samar dari sebuah gang kecil dekat dari situ.
"Ada orang di sana?"
Aku berteriak memanggil, menjulurkan leherku untuk mengintip ke dalam kegelapan. Aku tidak mendapat jawaban, tapi suara-suara -yang baru aku sadar terdengar seperti rintihan- itu berhenti.
"Halo?"
Aku memanggil lagi, kini sambil mendekati gang itu. Cahaya dari beberapa jendela rumah dan lampu jalan berkedip remang dari atas, memperlihatkan siluet bayangan sesosok orang yang sedang meringkuk di tanah.
"Ya, Tuhan! Apa kau baik-baik saja?" Kataku pelan, berjalan lebih cepat ke arah tubuh yang gemetaran.
Tiba-tiba, aku merasakan napasku tertahan di tenggorokan setelah aku berhenti di hadapannya.
Aku bisa melihat sosok itu dengan lebih jelas- sosok kecil dengan lengan kurus yang sekarang dihiasi memar, memeluk sekitar lulut di sudut-sudut kotor, rambut hitam berantakan, dan mata besar berair yang menatapku di kegelapan. Aku mengenal itu semua-
"TAEYONG?!"
.
.
.
TBC
.
.
.
Kritik dan saran sangat diapresiasi :)
