IN A LIFETIME
A Tsukiuta Fanfiction
Tsukiuta belongs to Movic, created by Fujiwara as its original creator, and designed by Jiku as its original character designer.
Alternate Universe; Post-Meiji Restoration; real historical persons or events; Kai's younger than Shun... sort of; slow burn, like... really slow.
Chapter 1: 白菊 Shiragiku
[White Chrysanthemum; Hanakotoba: Grief, Truth]
Bagi Fuduki Kai, banyak hal mengenai Shimotsuki Shun yang tak akan pernah bisa ia cerna dengan nalar. Sosok dengan kulit pucat dan rambut yang sama pucatnya itu tak pernah berhenti membuatnya tercengang, entah karena tingkah polahnya yang unik atau perkataannya yang misterius.
Musim berganti dan tahun berlalu hingga Kai tak mampu lagi menghitungnya, tapi pemuda di sampingnya itu tak berubah. Sejak pertama kali mereka bertemu di bawah temaram bulan penuh dan pendar kunang-kunang, Shun tak pernah berubah. Sejak ia hanya anak lelaki yang baru saja menelan pahitnya perpisahan entah untuk keberapa kalinya, Shun selalu menjadi sosok konstan dalam hidupnya.
Ya. Shimotsuki Shun tak pernah, sedikitpun, berubah.
Hari itu adalah akhir musim panas, langit senja memerah saat mentari hanya tinggal sepenggalah hingga tenggelam di cakrawala. Suara jangkrik bersahutan seiring dengan langkahnya dan serombongan kecil orang-orang, melewati lautan hutan bambu, menaiki satu-persatu anak tangga menuju puncak bukit. Tak jauh di depan, gerbang torii merah berdiri tegak menyambut. Bukan dengan suka cita, tetapi dengan duka yang menggantung.
Bagi Kai kecil, hari itu adalah hari dimana untuk pertama kalinya ia membenci musim panas.
Ia hanya menunduk, memandangi kakinya yang hanya dibalut sandal jerami sederhana. Iring-iringan kecil terus berjalan, meninggalkannya jauh di belakang, dipimpin oleh beberapa orang yang tengah memanggul peti berisi jenazah gadis kecil yang baru saja meninggal.
Upacara pemakaman berjalan sederhana, hanya ada seorang pendeta dan beberapa orang yang mengingat dan berkabung untuknya. Gadis itu hanya seorang yatim piatu dari panti asuhan, tak tahu siapa ayah dan ibunya sejak pertama kali ia bisa mengingat. Begitu juga Kai.
(Setidaknya ia masih cukup beruntung mengingat wajah kedua orang tuanya, dan adik-adiknya. Sebelum api melalap rumah dan kenangan masa kecilnya, bersama dengan orang-orang yang begitu berharga baginya.)
Kai masih mengingat dengan jelas senyum manis sang gadis kecil yang menyambutnya, kala ia masih berkabung di tengah hiruk pikuk panti asuhan. Ia adalah teman pertama yang ia miliki.
Namun kemudian ia pergi, meninggalkan Kai sama seperti ayah, ibu, dan adik-adiknya.
Kai terlanjur terbiasa dengan kehilangan. Adik-adik kecil yang silih berganti datang dan pergi, ditinggalkan orang tua yang lama dan dijemput orang tua yang baru. Kai turut senang untuk mereka yang akhirnya menemukan keluarga yang benar-benar menginginkan mereka, tak lelah mengguratkan senyum lebar dan mengucapkan selamat, selayaknya figur seorang kakak laki-laki di antara bocah-bocah tanpa orang tua yang nyaris kehilangan pendar kebahagiaan di matanya.
Hari silih berganti, namun tak seorang pun dari mereka yang datang untuk Kai, atau sang mendiang gadis kecil. Hingga akhirnya gadis itu berpulang, meninggalkan Kai.
Malam merayapi petang, bersamaan dengan satu persatu pelayat yang mulai meninggalkan area pemakaman. Namun Kai tak beranjak dari tempatnya berdiri, mematung memandangi makam yang tampak segar baru saja digali dan ditutup kembali. Ia tak ingin kembali, meninggalkan gadis itu sendirian di tempat sesepi ini, tak peduli kalau yang tersisa hanya tinggal jasad tanpa ruh dan kenangan.
Suara nyaring lonceng membuatnya mendongakkan wajah, lalu menoleh ke arah datangnya suara.
"Selamat malam, adik kecil." Suara lembut menyapanya, diiringi dengan senyum yang tergurat.
Kai tertegun, memandangi pemuda yang berada di sampingnya entah sejak kapan. Langit kini sudah menggelap, mereka berdua kini hanya diterangi sinar bulan dan kunang-kunang.
Tapi dalam kegelapan sekalipun, Kai dapat melihat sepasang mata yang bersinar terang, serta rambut dan kulit yang sepucat salju. Pakaian yang pemuda itu kenakan juga tidak seperti yang biasa ia lihat sehari-hari—lebih mirip pakaian para gaijin yang hilir mudik di pelabuhan, bahkan.
Apakah pemuda ini orang asing? Tapi ia bisa berbahasa Jepang?
"Bukan, bukan," Tawa renyah terdengar dari mulut sang pemuda, seakan mampu membaca pikiran Kai kecil. "Aku bukan orang asing, tenang saja. Ayahku akhir-akhir ini senang sekali dengan kebudayaan Eropa, dan untukku juga itu hal yang menarik."
Lalu... siapa orang ini, batin Kai dalam hati.
"Ah, aku belum memperkenalkan diri, ya? Namaku—"
"Bisakah kau tidak membaca pikiranku, Tuan?" Kai berseloroh, membuat pemuda di sampingnya tertawa lagi.
"Maafkan aku," ucapnya, meskipun Kai tahu tidak ada sedikitpun rasa bersalah dalam nada bicaranya. "Aku memperhatikanmu sejak upacara pemakaman dimulai. Kau tampak seperti akan melompat ke dalam liang lahat itu, aku jadi khawatir."
Kai tak sedikitpun menyanggah. Ia memang merasa ingin ikut dikubur saja saat itu juga. Gadis itu pasti kesepian di dalam sana. Dan ia juga kesepian di sini.
"Tapi tentunya ia," Pemuda itu menatap nisan yang berdiri tegak, "tak ingin kau terus bersedih. Karena itu ia memintaku menemanimu."
Kai menatap pemuda itu bingung.
"Kau mengenalnya?" tanyanya, sedikit menaikkan suara. Ia tak tahu ada orang lain yang mengenali gadis itu selain orang-orang di panti asuhan.
"Semacam itu!" Ia mengerlingkan matanya, lalu tersenyum penuh arti. Tangannya merogoh salah satu saku pada lapisan pakaian terluarnya—Kai tak tahu apa namanya, hanya orang-orang Eropa di pelabuhan yang mengenakan pakaian seperti itu—lalu meraih tangan Kai. "Ia memintaku memberikan ini pada Kai."
Awalnya ia terkejut ketika pemuda itu menyebutkan namanya tanpa perlu bertanya, namun benda yang kini ada dalam genggamannya membuat ia jauh lebih terkejut.
"Ini...?!"
Tergeletak di telapak tangannya yang terbuka, adalah sebuah jepit rambut berhias bunga kamelia merah. Lonceng mungil menggantung manis, berbunyi nyaring saat jatuh ke tangan Kai. Sebuah jepit rambut yang begitu familiar, karena ia sendiri yang membelikannya untuk sang mendiang di perayaan Tanabata awal bulan ini, hasil mengumpulkan upah berhari-hari membantu para nelayan di pelabuhan...
...dan ia sendiri juga yang memasangkannya pada rambut hitam sang gadis, sebelum mereka menutup peti jenazahnya.
"Bagaimana bisa ini ada di tanganmu?!"
Pemuda itu tersenyum misterius.
"Rahasia~!" Pemuda itu mengerlingkan matanya lagi. "Tetapi yang pasti, ia memintaku untuk menemani Kai saat ia tiada."
Kai tertegun, bergantian menatap pupil cerah dan kamelia merah bergantian.
Tangannya menggenggam jepit rambut hadiah terakhirnya untuk sang gadis begitu erat. Separuh hatinya ingin membiarkan gadis itu mengenakannya hingga ke liang lahat, separuh lainnya ingin menyimpan sebagai memorabilia manis bercampur pahit.
Ia kemudian menetapkan hati. Jika gadis itu ingin ia menyimpannya, maka itulah yang akan ia lakukan.
"Aah, ini sudah malam. Tidak baik mengganggu orang-orang yang sudah beristirahat, Kai, jadi ada baiknya kita pergi dari sini." Pemuda itu mengulurkan tangannya, menuntun Kai melewati jalan setapak pemakaman yang semakin gelap. Entah bagaimana caranya ia bisa melewatinya tanpa tersandung, meskipun Kai yakin bebatuan yang melapisi jalanan telah dua kali membuatnya nyaris terjatuh tadi. Tetapi sekarang, jalanan yang membentang di hadapannya begitu mulus.
"Kita akan pergi kemana?" tanyanya lagi saat melewati anak-anak tangga yang membelah hutan bambu.
"Kyoto," jawab pemuda itu singkat. "Mulai hari ini, Kai akan menjadi pengawalku."
Pengawal, pikirnya. Tetapi bahkan tubuhnya masih jauh lebih kecil daripada pemuda berambut keperakan di sampingnya.
"Tidak sekarang, tentunya. Kai harus banyak belajar dan berlatih. Karena itu, Kai harus ikut ke Kyoto."
Ia lagi-lagi bisa membaca pikirannya, batin Kai.
Begitu anak-anak tangga itu habis, sebuah kereta kuda telah menanti mereka. Seseorang membungkuk hormat ke arah mereka, lalu membukakan pintu kereta.
"Tunggu dulu!" Kai menghentikan sang pemuda ketika ia hendak menaiki kereta kuda. Pemuda itu menoleh. "Siapa namamu?"
Ia tersenyum, dan Kai berani bersumpah wajah pucat itu bersinar di bawah temaram bulan penuh.
"Namaku Shimotsuki Shun. Tapi kau bisa memanggilku Shun."
Bersamaan dengan kereta kuda yang meninggalkan area kuil, sesosok gadis kecil tersenyum dari balik hutan bambu.
Hidup Kai berubah sejak hari itu.
