Summary :
Bagiku Hinata adalah pelampiasan—tentu saja karena Sakura lebih memilih Sasuke dibanding diriku. Dan di awal sebenarnya semua berjalan normal, tapi tidak lagi setelah kuterima handycam ini dari Hinata, serta rencana Sasuke yang seharusnya tidak kuikuti.
.
.
"Sakuraa! Kamu dan Sasuke pacaran, ya?"
Sakura Haruno, atau gadis bersurai pink itu menoleh. Ia pandangi sahabatnya yang tadi memanggil. Perlahan senyuman manis tercipta dari bibirnya. "Iya..."
"Wah, berita hebat! Kalian kan cocok banget!"
Mau tidak mau semburat tipis mulai hadir memenuhi pipi cantik milik Haruno Sakura. "Ino, pujianmu berlebihan..." Gerutunya sambil tertawa pelan. "Aku dan Sasuke sama kayak pasangan lain kok..."
Ino memperlebar cengiran. Niat awal sih memang hanya menggoda si sahabat, tapi secara mendadak raut wajah Ino berubah ketika ia mengingat salah satu gosip tentang Sasuke yang sudah hampir menjamur. Ia pun menarik Sakura mendekat untuk berbisik pelan. "Tapi Sakura, apa kamu yakin?"
"Kenapa?"
"Sasuke kan playboy..."
"Hm, iya sih..." Mata emerald-nya langsung bergerak ke atas, seakan berpikir. "Mungkin kalau sekarang masih belum percaya, tapi aku yakin dia bisa berubah kok."
.
.
.
HANDYCAM
Sanpacchi's Fanfiction 2011
Naruto is Masashi Kishimoto's | NaruHina & SasuHina | Fanfiction-net
Genre : Romance, Angst, Tragedy. | Warning : AU, OOC, Typos, Mature Themes, etc. | Inspired : "Shutter"—Thailand Version. | Jika ada kesamaan ide harap dimaklumi.
MATURE CONTENT—YOU HAVE BEEN WARNED!
.
.
Handycam no I. Cinta Segiempat?
.
.
"Apa kau tau, Naruto? Sasuke dan Sakura sudah pacaran. "
Di dalam suasana kantin yang ramai, Naruto terbelalak. Bibir tipisnya yang belepotan kuah mie pun terbuka lebar. Bahunya menegang dan jepitan sumpit di tekstur mie yang lunak ikut terlepas begitu saja. Entah karena dia yang terlalu kaget atau memang sudah tidak sadarkan diri di tempat.
Setelah menunggu beberapa detik, ekspresinya berubah datar.
"Oh, mereka benar-benar pacaran? Bukan rumor lagi?" Terdengar suara lesu dari Naruto, membuat Kiba yang kini sedang menemaninya di depan meja jadi meringis penuh penyesalan.
"Wah, maaf! Kukira kau sudah tau! Sumpah!"
"Santai saja..." Pria jabrik di sampingnya menggumamkan nada suram. Tidak lupa dengan gerak membenamkan wajah ke lipatan tangannya yang ada di meja. Berkali-kali terdengar suara decakan dari sana.
Kiba menggaruk pipi. Bingung harus berbuat apa. Lagi pula... bagaimana caranya ia tidak merasa iba kepada Naruto; kalau dia yang terbiasa memiliki semangat layaknya orang gila berubah menjadi lemas tak bertenaga seperti ini?
Si rambut cokelat memasang senyum penyemangat. "Err, Naruto. Bagaimana kalau mulai sekarang kau lupakan Sakura, lalu move on ke orang lain? Yang patah hati bukan hanya kau doang kok. Penggemar Sakura kan ada ratusan di sekolah ini..."
Naruto memiringkan wajah dan menunjukkan mata sendunya. Ia berpikir.
Ya, benar kata pria bermarga Inuzuka itu. Siapa juga yang tidak menyukai Sakura Haruno? Dia memang bukan siswi terpintar atau yang paling cantik di sekolah ini, tapi semangat dan keceriaannya seolah menjadi karisma tersendiri. Membuatnya dielu-elukan sebagai perempuan idaman tiga angkatan sekaligus di Konoha High School. Semua orang ingin dekat dengannya.
Dan Naruto, selaku sahabat Sakura sejak kecil, bisa dibilang wajar jika menyimpan secarik perasaan khusus kepadanya. Sebuah cinta yang diawali dari waktu ke waktu. Masa SD, SMP sampai ke SMA—sekarang. Dimulai dari tahap persahabatan.
Tapi Naruto tidak ingin Sakura tau, sudah pasti karena ia tidak ingin menghancurkan hubungan pertemanan yang selama ini mereka bina. Lagi pula Naruto juga sudah terlanjur nyaman mencintai Sakura secara diam-diam.
Namun tampaknya semua jadi berbeda sejak ia mengetahui bahwa Sasuke, pria idola sekolah yang juga sahabat Naruto sejak SMP, berpacaran dengan Sakura.
Sesak.
Baru kali ini ia mencicipi rasa pahit dari cinta yang bertepuk sebelah tangan.
"Oh, ya, Naruto. Kau sama Hinata saja! Dia itu cantik, baik, ramah dan lembut! Terlebihnya ada banyak gosip yang mengatakan kalau si Hyuuga itu menyukaimu!" Kiba menepuk punggung Naruto dengan nada ceria.
"Hah? Hinata?"
Seketika pikiran Naruto terbayang ke teman sekelasnya, Hinata Hyuuga. Siswi pintar yang sangat pemalu dan pendiam. Sosok yang tidak mencolok. Plain. Membosankan. Bahkan Naruto mengaku tidak hafal suara gadis tersebut—mereka nyaris tidak pernah berbicara sih. Tapi soal Hinata yang menyukai dirinya, entahlah, Naruto tidak tau secara pasti. Yang jelas berita itu memang sempat tersebar sampai Hinata menangis di toilet karena malu.
Dan coba tanya, kenapa gadis sepasif dia bisa digosipkan?
Jawabannya karena satu; popularitas Hinata Hyuuga yang sangat tinggi di sekolah.
Dialah primadona kebanggaan sekolah. Gadis tercantik.
Prestasi gemilang, paras sempurna, sopan dan ramah—sangat sesuai dengan kalimat yang diucapkan Kiba. Maka jangan heran saat gosip yang berisi Hinata menyukainya itu sampai ke telinga Naruto, ia hanya menanggapi dengan sebuah tawa menggelegar. Bukan bermaksud untuk meremehkan, masalahnya hanya satu, siapa yang menyangka kalau Hinata Hyuuga menyukai pembuat onar sepertinya? Nyaris tidak mungkin, bukan?
Mustahil, malah.
"Dan yang paling keren dari seorang Hinata adalah body-nya, Naruto! Nomos satu deh! Aku yakin kau tidak akan menyesal!" Kiba mempromosikan dengan bangga. "Terlebih lagi dia punya hati yang lembut, kan? Jadinya kalau kau ajak mojok, pasti dia bakal mau-mau saja perlawanan!"
Naruto menegakkan tubuh agar bisa menghela nafas berat, sekaligus memberikan Kiba sebuah tatapan bosan. "Aku bukan sepertimu."
"Kita itu sesama pria dan sudah pasti bakalan senang punya pacar seperti dia!" Sudut bibir si pencinta anjing itu semakin lebar, mengingat ini adalah salah satu topik kesukaan para lelaki. "Bisa dimanja setiap hari, dipeluk setiap hari, di'itu' setiap hari—"
Naruto memutar bola mata. "Kau mulai bicara ke arah mana sih?"
Si rambut coklat itu tertawa kencang, nyaris satu kantin yang ribut berhasil mendengar suaranya. Lalu ia merangkul pundak Naruto untuk berbisik. "Tidak perlu berlagak polos! Aku yakin kau akan cepat melupakan Sakura bila bersamanya!"
"Terserahlah." Gerah dengan apa yang dibicarakan, ia pun langsung menepis pelan tangan Kiba dari pundaknya, lalu berdiri. "Aku pulang duluan."
.
.
: handycam | sanpacchi :
.
.
Dengan langkah gontai Naruto menelusuri koridor sekolah yang sudah sepi. Kebanyak murid-murid yang sengaja tidak pulang cepat memilih untuk memenuhi kantin dan lapangan olahraga, bermain dengan teman masing-masing.
Seorang siswa berambut pirang jabrik, tujuh belas tahun, dan bernama lengkap Naruto Uzumaki, menghela nafas lemas. Seharian ini ia memang muram. Hampir satu angkatan berserta para guru dibuatnya heran. Tentu Naruto seperti tadi karena munculnya berita tentang mereka, si pasangan baru, siapa lagi kalau bukan Sasuke dan Sakura, kedua sahabatnya yang kini menjalin kasih.
Dulu, beberapa bulan yang lalu, Sakura memang pernah bercerita kepadanya kalau ia menyukai Sasuke sejak pandangan pertama. Tapi di saat itu Naruto hanya menanggapi dengan candaan karena ia yakin seratus persen kalau Sakura akan berpindah hati dengan cepat, mengingat ada puluhan nama perempuan di daftar mantan Sasuke Uchiha yang mengaku pernah disakiti olehnya.
Tapi sekarang apa? Nyatanya mereka pacaran. Dan tidak ada yang tidak mungkin, Sasuke pasti menjadikan Sakura sebagai kekasihnya hanya untuk main-main. Ya, pasti itu. Ia sangat kenal Sasuke yang tak pernah serius menjalani hubungan.
Hanya saja Naruto enggan menyuruh Sakura putus. Toh, dia juga sudah berjanji kalau akan bahagia bila Sakura bahagia. Dan untuk sementara ini sepertinya Sakura sudah sangat bahagia; tentu, pacaran dengan lelaki yang dia suka, kenapa tidak?
Tapi bagaimana caranya untuk menghapus kecemasan 'dirinya sendiri' terhadap mereka...?
Setelah ia menapakkan kaki beralas sepatu ketsnya di lantai luar gedung, Naruto mengadahkan wajahnya ke atas, memandang hamparan langit jingga yang akan berganti warna ke biru gelap di angkasa.
"Apa... aku harus mengikuti saran Kiba?" Gumamnya, tak bertenaga. "Move on ke orang lain?"
Naruto meluruskan pandangan ke depan sembari menghela nafas. Baru akan melanjutkan perjalanan melewati gerbang, matanya menangkap sebuah siluet seseorang. Ia menoleh dan kemudian menemukan sosok di bagian taman sekolah yang sedang berjongkok sambil membelakanginya.
Naruto menatap orang itu secara seksama. Sepertinya dia adalah seorang siswi. Seragam sailor putih biru melekat di tubuhnya yang mungil. Ujung rambut panjangnya menyentuh pinggang.
Naruto tidak bisa menebak siapa gadis itu atau kegiatan apa yang sedang dia lakukan. Namun jika boleh menebak, maka ia akan mengeluarkan nama 'Hinata Hyuuga' di pikirannya. Kalau tidak salah Hinata adalah anggota klub kebumian yang memiliki tugas menyiram bunga tiap pulang sekolah, kan?
Naruto berjalan mendekat, dan akhirnya jawaban di kepalanya terbukti jelas. Itu benar Hinata. Dia sedang menyiram bunga dengan penuh penghayatan.
"Hinata?"
Sontak bahu Hinata itu menegang. Dengan perlahan ia berdiri dan memutar tubuhnya ke belakang—arah suara Naruto terdengar. Dan ketika mata lavender pucat itu menemui Naruto yang sudah tersenyum, ia menunduk, menyembunyikan pipi merahnya yang memanas.
Naruto hanya menanggapi reaksi Hinata dengan cengiran. Hinata kan pemalu, pikirnya. Padahal hal itu hanya akan terjadi apabila ia berbicara atau pun bertatapan mata dengan Naruto seorang.
"Sedang apa?"
"A-Aku sedang piket menyiram bunga..." Ia menjawab sambil mengeratkan pelukannya ke penyiram hijau besar yang ia pegang.
"Ohh. Sudah selesai?"
"Mm..."
"Baiklah. Berhubung ini sudah hampir malam... bagaimana kalau kita pulang bareng?"
Hinata sedikit menaikkan wajah. Tertangkap jelas dari ekspresinya bahwa ia kaget sekaligus bahagia mendengar ajakan yang diajukan Naruto kepadanya. Ini momen pertama. "I-Iya. Tu-Tunggu sebentar..."
Hinata sangat bersyukur piketnya telah ia kerjakan dengan sempurna, sehingga ia tidak perlu merasa bersalah saat terburu-buru menaruh penyiram ke tempatnya dan bersiap-siap meninggalkan taman. Seakan tidak ingin membuat Naruto menunggu lama, Hinata langsung meraih tas jinjingnya lalu berlari ke depan Naruto sampai poni ratanya jadi ikut berantakan—karena diterpa angin yang menabraknya sewaktu berlari.
Naruto tersenyum saat melihat Hinata yang terengah. Walau poninya berantakan dan terjejer buliran keringat akibat berlari-lari, gadis itu tetap memandang sapphire milik Naruto dengan perasaan gembira. Persis seperti kucing saat melihat majikannya.
Dan jika Naruto perhatikan baik-baik, sepertinya ia setuju, wajah Hinata memang cantik dan manis. Oriental, khas Asia. Tapi wajah ayu itu tidak membuatnya berbunga-bunga seperti saat ia melihat Sakura yang tersenyum lebar. Tidak tau kenapa bisa seperti itu.
Cepat-cepat Naruto memejamkan mata sembari mengerutkan kening, berusaha mengenyahkan Sakura yang lagi-lagi mampir ke pikirannya.
Sepertinya betul apa yang dikatakan Kiba, untuk sementara ia memang harus melupakan Sakura. Ia butuh tempat pelarian.
Tangan berkulit coklat terang itu bergerak, membuat Hinata langsung membeku di tempat karena Naruto mengelap keringat yang ada di dahinya dan memperbaiki poninya agar tertata sempurna.
Setelah sudah dipastikan rapi, Naruto memulai langkah pertama. "Ayo..."
Dari balik punggung Naruto, Hinata mengangguk lalu bergerak maju. Jujur, ia sangat senang. Dan euforia di dalam hati ini menghalangi senyumannya untuk pudar. Hinata berlari kecil, lalu menormalkan laju jalannya saat ia sampai di samping pria yang ia sukai itu.
"Kalau tidak salah rumahmu yang bergaya tradisional, kan? Yang ada di sebelah kantor pos kota?" Naruto membuka suara. Setidaknya sebagai pengajak acara pulang bersama ini ialah yang harus memulai pembicaraan.
"Ke-Kenapa Uzumaki-kun tau?"
"Haha, banyak yang membicarakan rumahmu. Habisnya keren sih. Terlihat seperti istana." Jelasnya. Dulu kalau tidak salah ia tau hal tersebut dari pembicaraan murid-murid sekelas yang menggosip. "Oh, ya. Jalan pulangku kan ada dua, salah satunya bisa lewat sana. Mau kuantarkan juga sampai rumah?"
Sebenarnya banyak sekali siswa-siswi di sekolah yang menawarkan pulang bersama seperti ini, tapi karena merasa terlalu merepotkan ia sering sekali menolak dengan lembut. Namun, pengecualian untuk Naruto. Ia memang takut bila merepotkan, tapi keinginannya untuk bisa terus bersama Naruto membuatnya tidak sempat berpikir dua kali. "Bo-Boleh, asal tidak merepotkanmu..."
"Hehe, baguslah."
Sepanjang perjalanan pulang, mereka pun mengobrol tanpa kehabisan topik. Meski Naruto yang masih mendominasi pembicaraan, sepertinya Hinata sudah mulai terbiasa dan beradaptasi. Bahkan karena kalimat lucu yang sering Naruto selipkan di kalimatnya, tak jarang Hinata mengeluarkan tawa pelan. Gadis itu tak lagi gagap saat berbicara dengannya.
Sampai akhirnya kalimat dari Kiba kembali terngiang di benak Naruto, membuat pembicaraan di antara mereka sempat berhenti selama beberapa saat. Naruto sedikit bimbang, tapi ia putuskan untuk bertanya. "Hinata..."
"Hm, kenapa?"
"Aku mendengar dari temanku kalau kau suka padaku..." Tanpa basa-basi lagi Naruto membawanya ke topik utama, tidak tau kalau kalimat tadi membuat Hinata menghentikan gerak kakinya dalam serentak. "Itu benar atau hanya gosip?"
Melihat Hinata yang sudah tidak berjalan di sampingnya, Naruto menoleh ke belakang dengan wajah heran.
"S-Si-Siapa yang bi-bilang?"
"Ada. Aku cuma dengar-dengar sih." Gumamnya sambil berpikir. Sadar sedikit kalau dirinya terlalu percaya diri, Naruto langsung panik. "Ah... aku kenarsisan, ya? Ahahah, lupakan saja!"
Hinata menelan ludah.
"Ta-Tapi... itu benar kok."
Dengan keberanian maksimal yang dimilikinya, ia membuka suara, berharap lirihannya dapat didengar Naruto yang sedang tertawa maksa.
"Eh... apa?" Mata beriris biru Naruto terbelalak. Bingung sekaligus senang kalau gosip tentang Hinata ternyata benar. Lalu ia memperserius diri. Sedikit kikuk harus bagaimana. Tapi lama kelamaan otot bibir Naruto terangkat dan ia pun mendekati Hinata yang sedang menunduk, menyembunyikan blushing-an berat di balik helaian rambut biru tuanya.
Pertama Naruto menaruh kedua tangannya di pundak Hinata, kemudian ia juga menunduk agar dapat memandang wajah merah Hinata yang dari bawah. "Kalau begitu... apa kau mau jadi pacarku?"
DEG!
Naruto... menembak Hinata?
Ah, demi apa?
Apa dia cuma main-main—?
"Dobe." Mendadak suara itu menyusul suara detak jantung Hinata yang terus mengebu.
Naruto melepaskan pegangan dari Hinata lalu berdiri tegak, melirik Sasuke—yang baru muncul dari ujung jalan—sedang berjalan menghampiri mereka. Hinata ikut menoleh. Menatap seorang siswa asing di matanya yang berwajah tampan. Poni berantakan serta rambut belakang yang mencuat menjadi daya tarik tersendiri bagi pria berkulit pucat itu. Tapi Hinata kurang suka kedatangannya. Jelas Sasuke menghancurkan momen kebersamaannya dengan Naruto. Padahal kan tadi Naruto sedang menembaknya...
Hinata menggigit bibir.
"Malam ini kau bisa ke klab?" Ia menguap malas. "Aku butuh hiburan."
"Oke... tapi aku mau mengantar Hinata pulang dulu, tidak apa-apa?"
"Hn." Jawabnya tanpa melihat siapa orang yang disebut 'Hinata' oleh Naruto.
"Tapi kenapa harus ke klab?"
Sasuke mengernyit tidak mengerti. "Maksudmu?"
"Bukannya kau baru pacaran dengan Sakura?"
Naruto tidak bisa menambahkan kalimat 'kan kau sering macam-macam di sana', sudah pasti karena ada Hinata yang tengah mendengarkan.
"Itu tidak ada hubungannya."
Si pirang terdiam sebentar lalu mengangguk pelan. "Baiklah, aku akan ke rumahmu dulu. Kita akan berangkat bareng. Tapi tunggu sebentar..." Sebenarnya ia sangat tidak suka dengan jawaban Sasuke, tapi mau bagaimana lagi? Ia putuskan untuk tidak bertanya lebih jauh dan kembali fokus ke Hinata.
"Bagimana Hinata? Maaf ya gara-gara si Teme Jelek ini suasana romantis kita jadi terganggu..."
Hinata kembali menatap Naruto. Ia tidak menyangka Naruto akan melanjutkan 'acara penembakan' ini sekalipun ada Sasuke yang kini menatapnya. Menelan ludah, Hinata menatap aspal yang ia pijak. Wajahnya merona. Bahkan ia jadi bisa menciptakan sendiri embun panas dari pori-pori pipinya.
Hinata bingung.
Ia harus menjawab kapan?
Bilang langsung, atau jawabnya nanti saja, pas mereka cuma berduaan—tanpa kehadiran Sasuke?
Dan saat Hinata menggunakan waktunya untuk berpikir, tanpa sepengetahuan gadis itu ada sebuah onyx yang memperhatikannya dengan teliti beserta tatapan stoic khasnya. Siapa lagi kalau bukan Sasuke Uchiha? Lalu saat mata pria itu melihat bibir merah muda Hinata yang melengkungkan sebuah senyuman, Sasuke membuang muka, tampak tidak suka.
"Jadi... bagaimana?"
"M-Mau."
"Hehe, terima kasih. Dari detik ini panggil aku Naruto, ya? Tidak perlu pakai marga..."
"Mm..."
"Ck, lama." Suara Sasuke langsung membuat semua mata kembali mengarah kepadanya. "Kalian membuang waktuku."
"Padahal kau sudah mengganggu kami, Sasuke..." Naruto mengeluarkan wajah bete. "Iya kan, Hinata?" Tangan kanannya langsung memeluk pinggang Hinata, membuat pipi putih kekasih barunya kembali menyala bagaikan lampu.
Sasuke tak acuh kepadanya. Naruto kembali marah-marah bercanda ke Sasuke. Tapi sayang Naruto kurang peka. Tak ada yang menyadari kalau Sasuke Uchiha, khusus saat ini, terasa dua kali lebih sinis dibandingkan biasanya. Kedua alisnya dari tadi tertekuk.
"Eh, Sasuke, Hinata, kalian belum kenalan, kan? Ayo kenalan dulu..." Naruto memeluk Hinata dari belakang, memajukan tubuhnya, lalu mengambil salah satu tangan mungil Hinata dan menuntunnya untuk berjabat tangan dengan Sasuke. "Nih ya Teme, ini Hinata—pacarku..."
Hinata mencoba mematuhi perintah Naruto. Mata pucat itu menatap wajah datar Sasuke yang ada di depannya, lalu ia tersenyum tipis dengan polos. Sasuke memperhatikan. Pandangan mata, garis bibir serta aura sejuknya sangat berbeda dari gadis lain yang sering Sasuke temui. Dan yang membuat Sasuke lebih kesal, senyuman Hinata untuk Naruto terasa jauh lebih hidup dibandingkan saat ia tersenyum kepadanya. Tidak adil.
Sasuke menatap Hinata dalam diam. Menjabat tangannya tanpa suara.
"Aku Hinata Hyuuga. Salam kenal ya, umm—" Diawal gadis indigo itu menunggu Sasuke untuk menyebutkan namanya sendiri—seperti kebiasaan saat perkenalan nama. Tapi saat tidak mendengar sepatah kata pun dari bibir pria di depan, Hinata sedikit berpaling. Dengan ragu ia melemparkan tatapan khawatir ke Naruto. Sudah jelas dari gerak-gerik itu Hinata berharap Naruto membantunya menyebutkan nama pria yang kini tangannya ia jabat.
"Dia Sasuke Uchiha. Sasuke." Naruto menahan tawa. "Kau tidak mengenalnya?"
Malu-malu Hinata mengangguk. Tidak enakan.
"Hahah! Ternyata kau tidak seterkenal pikiranku ya, Teme...? Hinata saja tidak mengenalmu!" Naruto tampak girang mengetahui ada siswi di sekolahnya yang tidak tau Sasuke. Terlebihnya seorang primadona sekolah. Bukannya itu sebuah pukulan telak bagi seorang Uchiha Sasuke yang paling terkenal di mana-mana?
Hinata menelan ludah. Ia abaikan dulu tawa menggelegar Naruto dan meneruskan untuk asas kesopanan. Ia tatap ulang Sasuke yang masih terdiam dan menatapnya. "Salam kenal, Uchiha-san..."
"Jangan pakai marga, Hinata." Naruto tertawa jahil "Lagi pula buat apa menggunakan bahasa formal dengannya? Atau panggil dia Teme deh, dia kan teme*."
Hinata cuma tersenyum pasrah. Tapi Sasuke tidak. Penglihatannya belum terlepas dari wajah Hinata yang tampak bahagia karena ia sedang berada di pelukan tangan kiri Naruto. Dan ketika perkenalan singkat mereka telah selesai, Hinata berniat menarik tangannya, namun tangannya tercekat. Sasuke belum mau melepaskan tangannya.
Perut Hinata bergejolak aneh. Apalagi saat menemui pandangan intens yang diberikan Sasuke kepadanya. Terasa bagaikan sengatan listrik yang mengejutkan. "Eh?"
"Ada apa, Hinata?"
Set.
Di detik itu Sasuke melepaskannya dan berbalik. Pria itu merasa muak secara random, entah ke siapa. Karenanya ia alihkan pandangan dan berjalan melewati Naruto dan Hinata ke arah jalan pulang.
"Tidak... t-tidak apa-apa..." Hinata menatap punggung Sasuke, menjawab pertanyaan Naruto yang tadi. Naruto mengangguk.
"Hei, Teme, kau mau ke mana?"
"Pulang."
"Katanya mau ke klab bareng?"
"Malas."
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
Sansan's Note :
[Nb : "Panggil dia Teme deh, dia kan teme*!" = "Panggil dia Teme deh, dia kan brengsek!" (Teme = Brengsek)]
.
.
Next Chapter :
"Aku dengar-dengar kamu sudah pacaran sama Hinata nih?"
"Sasuke-kun... apa kamu melihat Naruto?"
"Na-Naruto-kun... ka-kamu kenapa?"
"Ah, tidak! Aku tidak mau...!"
.
.
I'll be pleased if you enter your comment
Mind to Review?
.
.
SANSANKYU
