verbotene Liebe
Story By Ryuhara
Naruto © Masashi Kishimoto
Rate: M
Pairing: Sasori x Sakura x Sasuke
Warning: Twincest, mature theme, OOC, typo (S).
.
.
.
Kedua bola mata itu saling menatap. Seolah-olah waktu berhenti dan pusat gravitasi berpindah diantara mereka. Mengabaikan dunia di sekelilingnya dan terus bertatap seolah-olah mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
.
.
Chapter one: Separated
.
.
.
16 Tahun yang lalu.
Seorang ibu muda terbaring lemah di sebuah ranjang berukuran 2 x 1,5 m itu tampak sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan sesosok anak bayi yang kelak akan menjadi penerusnya. Di sebelah kirinya terlihat sesosok pria dewasa yang menggenggam erat tangannya seraya terus menerus menyeka keringat yang bercucuran di dahi istrinya. Hari ini, ia akan melihat proses kelahiran anak pertama mereka setelah menunggu 9 bulan lamanya. Seigo –nama pria dewasa itu- mengecup dahi istrinya seraya terus membisikkan kata-kata penyemangat. Ia tidak ingin istrinya menyerah untuk berjuang melahirkan anak pertama mereka.
"Tinggal sedikit lagi. Kepalanya sudah terlihat. Mebuki-san, lebih kuat lagi mendorongnya." Teriak Tsunade selaku dokter kandungan yang bertanggung jawab atas prosesi kelahiran buah hati dari keluarga Akasuna ini.
Mebuki mencengkeram tangan suaminya lebih erat.
"Seigo-kun, a-aku tidak kuat. Sakit sekali! Aaakkhh...!" Mebuki berteriak dengan kencang, disaat bersamaan terdengar suara bayi mungil yang lahir ke dunia ini.
Mata hazel milik Seigo menatap haru pada sosok mungil bersimbahan darah yang kini didekap oleh Tsunade. Sebuah senyuman merekah dibibirnya. Inikah sosok mungil yang menjadi buah cinta mereka selama ini? Seraya menggendong bayi mungil itu, Tsunade menatap pasangan suami istri dihadapannya, "Selamat bayi kalian sehat dan jenis kelaminnya laki-laki, kelahiran pada pukul 9 tepat." Tsunade hendak memperlihatkannya pada Mebuki yang menangis haru. Namun, suatu kontraksi di liang peranakannya membuatnya kembali mencengkram erat tangan suaminya.
"Akkh... Seigo-kun, Sakit sekali. A-aku tidak kuat!"
Perut Mebuki yang baru saja melahirkan itu kembali berkontraksi, bersamaan dengan terdengarnya tangisan keras dari sang anak.
"Oekk...!"
Tsunade memberikan bayi mungil itu kepada perawat dan memeriksa kembali keadaan pasiennya. Seigo kembali membisikkan kata-kata penyemangat dan mengecup istrinya dengan sayang. Ia menatap raut wajah istrinya yang kembali kesakitan seperti keadaan awal saat melahirkan.
"Suster, siapkan peralatan lagi aku akan membantu prosesi kelahiran saudara kembar dari anak tadi." Perintah Tsunade.
Mendengar perkataan itu Seigo menatap istrinya bingung. Begitu pula dengan Mebuki. Mereka tidak tahu jika bayi yang berada di dalam kandungan istrinya selama ini adalah anak kembar karena mereka tidak pernah mau melakukan USG.
"Baik Tsunade-sama."
Bayi mungil bersurai merah seperti ayahnya itu kembali meronta. Ia menangis keras dan membuat Seigo mengambil alih dari suster yang menggendongnya.
"Sabar sayang, sebentar lagi adikmu akan lahir." Ia membisikkannya pada bayi mungil itu. Secara alami bayi mungil itu terdiam dan memegang erat jempol Seigo yang menggendongnya. Mata hazel yang serupa dengan milik ayahnya itu tampak berkaca-kaca. Seigo mengecup pipi bayi mungil itu dan kembali menggenggam tangan Mebuki untuk menyemangati istrinya kembali.
"Ayo sayang, kau pasti kuat."
Tak lama setelah itu terdengar suara tangisan bayi yang kedua. Sebuah senyuman kembali terbit dipasangan suami istri itu. Apalagi Mebuki yang menangis haru dan memeluk suaminya.
"Kau berhasil sayang. Kau berhasil melahirkan kedua anak kita." Seigo mengecup sekilas bibir istrinya. Mata emerald Mebuki berkilat lelah. Ia menatap bayi mungil pertama mereka yang kini diam dan memegang erat jempol Seigo. Kemudian beralih pada sosok bayi mungil kedua yang masih bersimbahan darah di pelukan Tsunade.
"Selamat kembali Mebuk-sani dan Seigo-san, bayi kedua kalian perempuan dan dia sehat. Kelahiran bayi kedua pada pukul 9 lewat lima menit." Tsunade menyerahkan bayi kedua mereka pada Mebuki. Ibu dari dua anak kembar itu menangis haru. Ia mengecup pipi chubby bayi perempuan yang sangat mirip dengannya. Hanya saja surai anak itu berwarna merah muda.
"Seigo-kun, dia cantik sekali ne. Dan kakaknya juga tampan sekali. Persis seperti dirimu." Mebuki menatap suaminya dengan perasaan bahagia.
"Terima kasih sayang. Kau memberikan kado terindah untukku hari ini." Pria dewasa itu mengecup kepala istrinya dengan sayang.
Setelah melakukan penjahitan dari proses persalinan, kini Mebuki dipindahkan ke kamar inap. Kedua bayi mungil mereka dimandikan dan dibalut oleh kain bedung yang hangat. Mebuki menatap kedua anaknya dengan sayang. Ia mengecup pipi masing-masing bayi mungil yang tertidur pulas itu. Seigo sendiri tersenyum pada istrinya yang tampak kelelahan.
"Sayang, sebaiknya kau istirahat dulu. Aku akan menjaga mereka." Ia mengecup punggung tangan istrinya dengan sayang. Mebuki menatap suaminya yang sudah 2 hari ini tidak tidur karena menemaninya di rumah sakit.
"Kau juga sayang. Kau butuh istirahat, biar ibu dan ayah yang menjaga 2 malaikat kita. Aku tidak ingin kau juga jatuh sakit." Ia menatap suaminya cemas.
Seigo menggeleng pelan. Mata hazelnya menatap ke dalam sepasang emerald dari gadis yang ia cintai itu.
"Aku tidak mau meninggalkan kau dan meninggalkan mereka. Aku bisa tidur disini." Seigo menyamankan kepalanya di atas tangan mereka yang saling bergenggaman. Mebuki mengusap lembut pada surai merah Seigo yang terlihat berantakan.
"Kau lihat, anak kita mewarisi warna rambut dan matamu. Dia pasti akan menjadi anak yang tampan." Mebuki mengusap pipi bayi mungil pertama mereka.
"Yah... dan putri kita mewarisi warna matamu. Kau lihat Mebuki-chan, rambutnya indah sekali. Seperti bunga sakura yang mekar di musim semi." Seigo mengusap pelan helaian rambut bayi kedua mereka.
"Aku ingin menamai putra kita Akasuna Sasori. Bagaimana menurutmu sayang?" Mebuki menatap mata hazel suaminya.
"Nama yang bagus. Dan aku ingin menamai putri kita Akasuna Sakura. Dia akan tumbuh dan mekar seperti sakura di musim semi." Seigo menatap Mebuki untuk meminta persetujuan.
"Yah... aku menyukainya. Sasori dan Sakura akan menjadi anak yang baik untuk kehidupan kita selanjutnya." Mebuki mengusap pipi Sakura yang tampaknya terusik karena sentuhan kedua orang tuanya.
"Terima kasih. Sekali lagi terima kasih, aku mencintaimu."
End of flashback
-000-
Sakura menatap potongan roti panggang yang sudah selesai diolesi selai stroberi kesukaannya. Di hadapannya ada segelas susu hangat yang baru diminum setengah. Mata emerald-nya menatap sosok wanita cantik diusianya yang menjelang 40 sudah siap dengan setelan kerja seperti biasa.
"Saku-chan, kau harus menghabiskan sarapanmu. Kalau tidak kau bisa sakit sayang." Ujar ibunya.
Sakura tersenyum, "Hai' Kaa-chan." Sakura menghabiskan susunya dan memakan roti miliknya dengan cepat.
"Ne, setelah ini kau akan diantar oleh Gaara-kun ke sekolah. Ibu tidak bisa mengantarmu sayang. Tapi setelah pekerjaan ibu selesai, ibu akan mengantarmu. Ibu janji." Mebuki mengecup kepala merah muda putrinya dengan sayang. Ia mengambil tas kerjanya di atas kursi dan memberikan uang saku untuk anak gadisnya yang akan masuk ke sekolah sebagai hari pertamanya menjadi siswi SMA.
"Ha'i, tidak usah dipaksakan Kaa-chan, Saku mengerti Kaa-chan pasti sangat sibuk. Hati-hati ne." Sakura membalas pelukan ibunya dan mengecup pipi Mebuki cukup lama.
"Kau memang anak Kaa-chan yang pintar. Kaa-chan berangkat dulu. Jaa ne, Saku-chan." Suara Mebuki hilang bersamaan dengan pintu yang tertutup.
Sakura menghabiskan sarapannya dan menyampirkan tasnya ke pundak. Di luar seseorang mengetuk pintu rumah mereka sebanyak tiga kali.
"Sakura kau di dalam? Kau sudah siap belum?"
"Ya, Gaa-kun. Tunggu sebentar."
Sakura keluar dari rumahnya. Ia mengunci pintu rumahnya dan meletakkan kuncinya di bawah pot bunga nomor 3 dari sebelah kiri. Tempat penyimpanan rahasia ia dan ibunya karena mereka memiliki jam pulang yang berbeda.
"Hai, kau terlihat cantik dengan pakaian itu. Sudah siap?" seorang pemuda bersurai merah tua dan warna mata jadhe yang hampir serupa dengan warna mata Sakura menatap gadis itu dari atas ke bawah. Sakura memakai pakaian sailor kebanggaan Suna High School. Sebuah sekolah yang cukup terkenal dan berkualitas di kota mereka. Untuk memasukinya saja harus melewati tes yang sangat ketat. Dimulai dari tes administrasi, tes tertulis, tes kemampuan bahasa inggris, psikotes, wawancara dengan orang tua, dan tes kesehatan. Dari ribuan pendaftar hanya sekitar 200 siswa yang diterima. Dan Sakura adalah 1 dari siswa yang terpilih itu.
"Bagaimana? Kau terlihat gugup." Gaara menggodanya. Sakura menggembungkan pipinya sebal dan berjalan mendahului Gaara yang terkekeh.
"Cepatlah Gaa-kun, aku tidak mau kita terlambat."
Gaara mengusap lembut surai merah muda adik sepupunya tersebut. Ia segera menyalakan motor sport merah tua miliknya yang terparkir di pekarangan rumah keluarga Haruno.
"Baiklah nona muda, ayo berangkat."
Sakura tersenyum. Ia naik ke atas motor besar itu dan melingkarkan tangannya di pinggang Gaara.
"Sudah siap?" Gaara menyeringai dibalik helm.
Sakura menganggukkan kepalanya. "Let's go!" Teriaknya seraya mengacungkan tinjunya ke udara. Dan motor sport itu pun membelah kota Sunagakure dengan kecepatan di atas 100 km/jam.
~000~
Sepasang mata hazel yang tampak sayu menatap bosan pidato penyambutan siswa/siswi baru. Seorang lelaki bersurai kuning terang yang bernama Namikaze Minato itu sibuk menyampaikan pidatonya yang sudah berlangsung selama kurang lebih 45 menit. Di sebelahnya terdapat sosok pirang dengan warna mata secerah langit yang berulang kali menguap dan mengusap-usap matanya yang sudah memerah.
"Saso-chan, sebentar lagi setelah tua bangka itu selesai, giliranmu untuk berpidato sebagai siswa peraih nilai tertinggi. Kau tidak gugup heh?" Deidara menyenggol lengan Sasori.
Sasori sendiri yang sedang khusyuk memperhatikan pidato dari kepala sekolah yang sudah hampir habis itu menatap sebal ke arah sahabat pirangnya sejak SMP itu. Ia melirik sekilas dan kembali duduk tenang. Kesal karena merasa terabaikan Deidara memainkan ponselnya.
"Baiklah, selanjutnya penyampaian pidato dari siswa teladan tahun ini." Ucap sang pembawa acara. "Kepada Haruno Sakura dipersilahkan." Di tempat lain yang juga sedang melaksanakan upacara penyambutan siswi baru, seorang gadis dengan tubuh yang cukup ideal, rambut merah muda sebahu, warna mata emerald yang begitu teduh, namun sorot matanya begitu dingin, dan kulitnya yang begitu putih maju ke depan sebagai perwakilan siswa teladan yang berhasil meraih peringkat tertinggi di segala rangkaian tes untuk menjaring siswa/siswi baru kemarin. Ia berdiri di tengah podium yang menjadi pusat perhatian dari beratus-ratus pasang mata yang menatapnya kagum. Sedikit gugup ia mengepalkan tangannya dengan erat dan menarik nafas panjang.
Sepasang mata hazel itu menatap puluhan bahkan sekitar 200-an teman barunya yang akan berjuang bersama selama tiga tahun ke depan. Ia membaca doa di dalam hati sebelum bersuara untuk menyampaikan amanat dan kesan atau pesannya sebagai siswa baru di Konoha High School.
"Selamat pagi, saya Akasuna Sasori/Haruno Sakura sebagai perwakilan dari siswa baru untuk Konoha High School/ Suna High School mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan."
Secara bersamaan kedua anak manusia yang terpisah antara ruang dan waktu itu menyampaikan pidato penyambutan siswa baru dengan lantang di antara ratusan mata yang menatap mereka.
~000~
Seorang gadis bersurai pirang dan wajahnya yang begitu cantik menghampiri gadis merah muda yang tadi ia kenal saat pembacaan pidato penyambutan dari siswi teladan. Ia menaruh tasnya di samping gadis itu dan menginterupsi kegiatannya sejenak.
"Hai, perkenalkan namaku Yamanaka Ino. Aku akan berada di kelasmu selama satu tahun ke depan. Salam kenal ne." Gadis pirang itu menyodorkan tangannya dihadapan gadis bermata hijau apel tersebut.
Sakura menghentikan kegiatan membaca novelnya sejenak. Ia menatap gadis pirang yang terlihat ramah dihadapannya.
"Namaku Haruno Sakura, Yamanaka-san. Senang mengenalmu." Ujarnya.
Gadis yang ia panggil dengan sebutan Yamanaka-san itu menggembungkan pipinya sebal. Namun ia segera tertawa saat kedua alis teman barunya itu mengkerut.
"Ne, kenapa kaku begitu. Panggil Ino saja. Aku boleh memanggilmu Sakura 'kan?" ia merangkul bahu teman barunya itu berusaha mengakrabkan diri. Sakura tersenyum samar. Ia menatap sosok teman barunya itu lebih lembut dan mengangguk.
"Yap, kau boleh memanggilku Sakura, Ino."
"Kyaa... kau tahu Sakura? Penampilanmu saat pidato tadi sangat bagus ne. Aku sendiri jadi terkagum-kagum dengan penyampaianmu yang begitu lantang dan berwibawa. Kau pasti sudah biasa membawakan pidato dihadapan orang banyak ya?"
"Kau bisa saja Ino. A-aku juga gugup ne."
Di satu sisi...
"Saso-chan, aku duduk di sebelahmu ya? Kau kan dingin sekali. Pasti tidak ada yang mau duduk disebelah mu." Deidara setengah melemparkan tasnya ke sebelah Sasori yang sibuk membaca buku novel bertemakan psikologi di tangannya. Sebuah kacamata berbentuk persegi bertengger di atas hidung mancungnya yang begitu sempurna. Membuat beberapa gadis tampak berusaha mencuri-curi pandang ke arahnya.
"Terserahmu Dei!" jawabnya ketus tanpa sedikit pun mengalihkan matanya dari bacaan dihadapannya.
"Ck! Serius sekali. Nanti kau cepat tua lo Saso-chan. Nanti tidak ada gadis yang ingin mendekatimu." Deidara berusaha mengambil alih perhatian Sasori.
"Kau itu berisik sekali! Pergi sana." Sasori mengusir sahabatnya yang sekarang menatapnya secara intens itu.
"Ya...ya... terserah kau saja Danna. Aku mau ke kantin sekaligus melihat-lihat suasana sekolah ini kau mau ikut tidak?" ajak Deidara. Sasori menggelengkan kepalanya dan tetap fokus pada bacaannya. "Dasar, pria sok misterius!" ia mencibir Sasori dan beranjak dari kelas mereka menuju kantin sekolah. Sasori sendiri membuka kacamata ber-frame persegi itu dan mengusap mata hazel-nya yang terlihat lelah.
.
.
.
Sakura memperhatikan lokasi tempat ia bersekolah sekarang. Sebuah bangunan bertingkat tiga dan dicat berwarna hijau muda dengan arsitektur bercampuran gaya Barat dan Asia. Di tengah-tengah sekolah terdapat air mancur besar yang mengalir dari patung berbentuk manusia yang bersayap. Menjadi lambang sebagai perwujudan dewa ilmu pengetahuan. Di samping itu, lokasi sekolah yang cukup luas ini terdiri dari 5 gedung, yaitu gedung kelas X, kelas XI, kelas, XII, kantor guru dan kantin yang terletak di Timur sekolah.
Sakura melangkahkan kaki jenjangnya ke halaman belakang yang merupakan tempat yang cukup sepi karena jarang dikunjungi oleh siswa-siswi SHS. Ia mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang terdapat di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran. Dan menikmati semilir angin musim semi yang membelai lembut wajahnya. Ia tidak sadar bahwa sedari tadi ada pemuda yang sedang berbaring di tengah hamparan rumput hijau itu sembari mengasingkan diri dari keramaian. Ia tidak suka terusik oleh sesuatu yang mengganggu tidur siangnya.
"Ah... disini sejuk sekali ne. Sepertinya menjadi tempat yang bagus untuk menikmati makan siang." Sakura membuka kotak bento-nya.
Ia tidak sadar bahwa ada sepasang mata onyx yang menatapnya tidak jauh dari lokasi ia duduk sekarang. Seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada untuk berdoa, gadis itu mulai menikmati bekal makan siangnya tanpa tahu sosok yang memperhatikannya itu menyeringai.
"Gadis yang menarik."
~000~
Sasori menikmati makan malamnya bersama sosok pria dewasa yang tampak seperti duplikatnya. Pria itu bersurai merah dan juga memiliki mata hazel yang sama persis dengan Sasori. Bahkan jika mereka berdua tersenyum akan sangat sulit membedakannya. Mungkin hanya perbedaan garis wajah yang sudah dewasa dan tegaslah yang menandakan bahwa pria itu adalah ayah Sasori.
"Bagaimana sekolahmu Saso-kun? Berjalan lancarkan?" tanya pria dewasa itu sembari menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Putra semata wayangnya itu meliriknya sejenak dan mengangguk. Sasori menikmati teh hangat di hadapannya.
"Berjalan dengan baik." Jawabnya singkat.
"Sudah menemukan teman baru?" tanya Seigo lagi.
Sasori menaikkan alisnya. Ia menatap mata hazel yang serupa itu dan tersenyum kecil. "Ayah seperti tidak tahu saja. Memangnya aku terlihat cukup ramah untuk mendapatkan teman baru?"
"Yah... bisa sajakan? Putra sematawayang ayah ini akan berubah." Seigo mengusap rambut merah anaknya. Mereka tertawa bersama.
"Ayah... apakah ayah akan pergi ke Suna lagi untuk proyek itu?" Sasori bertanya disela-sela tertawa mereka.
"Hm... memangnya kenapa? Saso-kun takut kesepian?" Seigo memandang wajah baby face anaknya.
Sasori terlihat ragu, ia mengeratkan cengkeramannya pada kedua tangannya yang sedang memegang sendok dan garpu, "Ya... aku bosan ditingal sendiri." Sasori mengatakan perasaannya yang sejujurnya.
Hidup berdua dengan seorang ayah dan tanpa kehadiran sosok ibu ataupun saudara kerap membuatnya merasa kesepian. Sejak ia kecil, ia sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Ayahnya bilang bahwa ibunya sudah lama meninggal saat ia berusia 1 tahun. Entah apa penyebab ibunya meninggal, Sasori sendiri tidak tahu. Bahkan ia tidak pernah melihat foto mendiang ibunya itu. Dulu, Seigo tinggal di Suna namun karena kematian ibunya, Seigo berusaha untuk pindah ke Konoha agar bisa melupakan mendiang ibunya tersebut.
Sasori sering kali ditinggal sendiri di apartemen mewah mereka karena Seigo berprofesi sebagai arsitek terkenal yang kerap mendapatkan proyek di luar kota ataupun di luar negeri. Terkadang ia tidak ada di rumah selama satu minggu. Dan Sasori dititipkan ke neneknya yang berada di Suna. Namun, menjelang Sasori berusia 12 tahun ayahnya itu menganggap bahwa putranya sudah cukup besar jika ia tinggal pergi selama perjalanan dinas keluar daerah.
Sedikit merasa bersalah karena telah meninggalkan anaknya Seigo mengusap kepala anaknya dengan sayang.
"Saso-kun, minggu depan ayah hanya keluar kota. Ayah ada proyek di Ame. Dan itu hanya memakan waktu 5 hari. Jika Saso-kun merasa kesepian, Saso-kun bisa tinggal di rumah nenek saat hari Sabtu dan Minggu." Ujar ayahnya.
Sasori mengaduk mie goreng dihadapannya dengan tatapan bosan, "Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan sendiri. Dan jarang meluangkan waktu untukku. Aku mau belajar saja di kamar, Oyasumi." Sasori menghabiskan makan malamnya dengan cepat dan segera beranjak dari ruang makan dan masuk ke dalam kamarnya. Seigo sendiri yang menatap kepergian putra tunggalnya itu hanya menghela nafas panjang dan mengurut pelipisnya.
"Mebuki-chan." desahnya pelan.
~000~
Hari ini Sakura makan malam di rumah Gaara lagi. Saudara sepupu dari pihak ibunya itu sibuk memasak nasi goreng yang akan menjadi menu makan malam mereka. Haruno Mebuki masih sibuk di kantor dan berpesan pada Sakura bahwa ia akan lembur. Jadi, ia menyuruh anak gadisnya itu untuk bermain sebentar di rumah Gaara sembari menumpang makan malam disana karena bahan makanan di kulkasnya sudah habis.
"Hai, Sakura-chan! Bagaimana kabar sekolah barumu?" tanya Gaara sambil meletakkan nasi goreng dengan telur dadar di atas meja.
Sakura yang sedang melamun itu menatap sepupunya dengan bingung. Gaara membuka celemek merah yang ia gunakan dan mengusap lembut kepala merah muda adik sepupu yang ia anggap sebagai adik kandungnya itu.
"Hei, kenapa melamun?"
Sakura menyukai usapan Gaara di kepalanya. Ia selalu nyaman jika kakak sepupunya itu memanjakannya seperti sekarang.
"Umm... baik-baik saja Gaa-kun. Makan malamnya sudah jadi?" Sakura menatap nasi goreng buatan Gaara yang terlihat menggiurkan. Maklum saja, ia belum makan apa-apa setelah makan siang di sekolah tadi.
"Gomen ne Sakura-chan, Kaasan dan Tousan sedang keluar kota jadi aku hanya bisa masak ini." Gaara mengambil tempat di hadapan Sakura.
"Tidak apa-apa. Aku menyukai masakan Gaa-kun." Sakura mulai melahap nasi goreng buatan Gaara itu dengan semangat. Membuat pemuda di seberang tempat ia duduk sekarang tersenyum.
"Sakura-chan manis sekali."
~000~
Haruno Mebuki memperhatikan sosok salah satu dari malaikat kecilnya yang sedang terlelap di kamar Gaara. Tadi, saat ia pulang pukul 22.00 rumah mereka dalam keadaan gelap dan kosong. Namun, lampu teras dan ruang tamu menyala menandakan bahwa rumah itu tidak ditinggal sepenuhnya. Ia mampir ke rumah yang terletak tepat di samping rumahnya yang notabene adalah rumah adiknya sendiri. Mebuki mengetuk beberapa kali sampai sosok pemuda merah membukakan pintu untuknya.
"Ah... Baa-san. Silahkan masuk." Gaara membuka pintu lebih lebar.
"Maaf mengganggu Gaa-kun. Dimana Saku-chan? Dia masih disini?" Mebuki masuk ke dalam dan Gaara mengunci pintu.
"Yah... dia tertidur sehabis makan malam. Mungkin kelelahan. Baasan sendiri baru pulang? Baasan sudah makan malam?" Tanya Gaara dengan sopan.
Mebuki mengacak surai merah Gaara dengan gemas. Anak itu terlihat seperti anak laki-lakinya yang mengkhawatirkan keadaannya.
"Hm...Baasan lembur. Baasan kira Sakura di rumah. Tapi suasana rumah sepertinya kosong, makanya Baasan ke sini. Anak itu, merepotkan saja." Mebuki mendudukkan dirinya di sofa dan membuka blazer kerjanya yang membuatnya gerah. Tak lama kemudian Gaara datang sembari membawakan teh hangat.
"Arigatou, Gaa-kun." Gaara tersenyum samar.
"Tak apa Baa-san. Saku-chan 'kan sudah Gaara anggap adik kandung."
"Dimana dia Gaa-kun?"
"Tertidur di kamar."
Maka dari itu ia disini. Menatap lembut gadis merah muda yang ia lahirkan 16 tahun yang lalu. Gadis kecilnya yang tumbuh tanpa mendapat kasih sayang seorang ayah. Dan kesepian karena dirinya yang sering keluar kota demi menafkahi kehidupan mereka. Andai saja, kejadian 15 tahun yang lalu itu tidak terjadi, mungkin ia dan Sakura tidak harus berpisah dari Seigo dan juga Sasori. Melihat anak gadisnya yang sudah tumbuh sebesar ini, Mebuki menjadi rindu dengan sosok anaknya yang satu lagi. Saudara kembar Sakura yang mungkin hari ini juga sudah duduk dibangku SMA.
"Sasori-kun, bagaimana kabarmu sayang?" Ia mengusap helaian merah muda Sakura. "Seandainya aku dan Seigo tidak egois, kita semua pasti hidup bahagia sayang." Ujarnya sedih seraya mencium kepala Sakura.
Gaara sendiri yang menyaksikan kejadian itu dari balik celah pintu kamarnya menatap nanar ke arah Sakura dan ibunya. Ia memang tidak tahu siapa ayah dari adik kecilnya itu, namun ia pernah mendengar ucapan ibunya bahwa Sakura itu memiliki saudara kembar. Dan saudara kembarnya itu dibawa pergi oleh ayah mereka. Gaara yang saat itu baru berusia 2 tahun tidak mengetahui apa-apa kecuali fakta bahwa ayah dan ibu Sakura dicerai paksa oleh keluarga ayah Sakura. Dan masing-masing dari mereka membawa satu anak. Sakura dibawa oleh ibunya, dan saudara kembarnya dibawa oleh ayahnya.
.
.
.
.
TBC
Word [3297]
JBI, 15.06.16 (2:14)
Akasuna Ryuhara
